Jombang – Doa bersama mengenang 40 hari meninggalnya KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah digelar di Pondok Pesantren Tebuireng, Kamis malam (12/3). Ribuan orang memenuhi kompleks pemakaman keluarga sejak sore. Selain warga sekitar pondok, sebagian dari mereka juga peziarah dari luar Jombang.
Usai doa bersama, keluarga almarhum Gus Sholah yang diwakili Irfan Asy’ari Sudirman Wahid atau yang akrab disapa Gus Ipang memberikan sambutan. “Atas nama keluarga kami mengucapkan terima kasih atas kehadirannya dalam doa bersama 40 hari meninggalnya ayah,” ungkap Gus Ipang.
Sambil berlinang air mata, Gus Ipang mengenang perjalanan hidup ayahnya selama memimpin pondok pesantren Tebuireng. “Sekitar tahun 2006, Mbah Ud (KH Yusuf Hasyim) memanggil ayah. Beliau menanyakan kepada ayah, apakah siap melanjutkan tampuk kepemimpinan sebagai pengasuh di Tebuireng,” lanjutnya. Atas pertanyaan itu Gus Sholah tidak langsung menjawab, tapi meminta waktu untuk berpikir.
“Karena pada waktu itu, ayah juga mendapat tawaran untuk menjadi duta besar di Aljazair. Kemudian Mbah Ud memberikan kesempatan ayah untuk berpikir,” imbuhnya. Namun di akhir pembicaraan, KH Yusuf Hasyim bertanya apakah Gus Sholah tega membiarkan Tebuireng tetap seperti ini.
“Ayah ditanyai, menjadi duta besar atau Tebuireng tetap begini saja kondisinya. Ucapan Mbah Ud itu mengena di hati dan perasaan ayah, akhirnya dipilihlah Tebuireng,” tambahnya.
Ipang berkata, Gus Sholah menyebut itu adalah dawuh dari Mbah Hasyim yang harus dijalankan. “Setelah itu, ayah magang tiga bulan di Tebuireng. Ayah belajar apapun tentang Tebuireng. Khas ayah adalah mencermati sesuatu, memetakan, dan membuat strategi apa yang harus disempurnakan,” ujarnya.
Bagi mereka yang kenal dekat dengan Gus Sholah, Ipang menyebut pasti tahu cirikhas tersebut. “Ini khas orang ITB, pemikirannya memang seperti itu. Namun saat itu banyak yang meragukan bapak sebagai pengasuh pondok. Karena ayah kan bukan kiai, kok mengurus Tebuireng. Dia hanya lulusan ITB, bukan pondok. Hobinya gitaran menyanyi. Waktu jadi OSIS SMAN 1 Jakarta, ayah ketua bidang kesenian,” imbuhnya.
Gus Sholah semasa hidup juga sering bergaul dengan bukan kiai. “Mereka yang bersuara karena tidak mengenal bapak. Padahal bapak tipe orang yang punya komitmen, pasti akan dikerjakan sampai tuntas. Ciri khas bapak adalah menyukai perbaikan. Secara sistematis bapak pasti memetakan masalah dan mencari jalan keluarnya,” ucap Ipang.
Hal itu bisa dilihat dari kondisi Pondok Pesantren Tebuireng dibanding 14 tahun lalu. “Banyak perubahan di pondok selama bapak memimpin sebagai pengasuh,” tegasnya.
Sementara itu, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz mengatakan, banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Gus Sholah. “Sejak 2013, beliau membuka cabang pondok pesantren. Mulai dari SMA Sains, hingga Tebuireng pondok pesantren cabang ke-15 di Samarinda. Hanya dilakukan dalam waktu enam tahun, jadi banyak yang sudah dilakukan beliau,” bebernya.
Doa bersama mengenang 40 hari meninggalnya Gus Sholah juga dihadiri para dzurriyah KH Hasyim Asy’ari, Bupati Jombang Mundjdiah Wahab, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nazaruddin Umar, Pengasuh pondok pesantren Al Mahbubiyyah Jakarta KH Manarul Hidayat, serta beberapa kiai lainnya. (*)
Bupati: Dakwah dan Berjuang
BUPATI Mundjidah Wahab mengenang pesan khusus Gus Sholah. Saat menghadiri peringatan 40 hari wafatnya KH Salahuddin Wahid di Tebuireng kemarin malam (12/3), disampaikan kenangan itu saat maju pilkada 2018. Tujuan yang lurus penting untuk keberhasilan memimpin Jombang, yaitu dakwah dan berjuang.
“Dua pesan ini masih terus saya ingat, saat saya meminta restu kepada Gus Sholah,” tambahnya. Gus Sholah juga salah satu tokoh yang perjuangannya luar biasa. Perjuangan di jalan Allah dan kecintaannya pada NU harus dicontoh generasi muda. Gus Sholah menjunjung tinggi toleransi, baik antar umat beragama serta menghargai perbedaan antar organisasi.
“Gus Sholah juga salah satu pemersatu antara dua organisasi Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU,” tambahnya. Atas perjuangan semua tokoh, termasuk Gus Sholah, Alhamdulillah Pondok Pesantren Tebuireng sudah berdiri 16 cabang pondok di seluruh Indonesia. “Ini sangat luar biasa,” puji bupati.
Lebih dari itu, Mundjidah juga mengungkapkan keberhasilan pembangunan dan ketenteraman Jombang tidak lepas dari peran empat pesantren Jombang dari segala penjuru di Jombang. Kondisi dan situasi Jombang yang aman menurutnya karena empat pesantren besar menjadi penyangga.
Dari arah selatan ada Pesantren Tebuireng, dari arah barat ada Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, di utara ada Bahrul Ulum Tambakberas, dan di sisi timur ada Darul Ulum Rejoso Peterongan. “Empat pondok pesantren dengan ribuan santri ini yang menyangga Kabupaten Jombang,” tambahnya.
Peringatan 40 hari wafatnya Gus Sholah diselenggarakan di samping makam. Puluhan ribu jamaah dan santri hadir. Saking banyaknya, kehadiran jamaah memakan separuh badan Jl KH Hasyim Asyari. (*)
(jo/wen/mar/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang