• info@njombangan.com

Oedjoeng Galoeh, Hadiah Ulang Tahun Surabaya dari Grup Ludruk Luntas

Oedjoeng Galoeh, Hadiah Ulang Tahun Surabaya dari Grup Ludruk Luntas

Spread the love

Generasi anyar ludruk Surabaya ini tak henti-hentinya tampil dengan naskah-naskah yang segar. Termasuk mementaskan sejarah Ujung Galuh yang dalam salah satu versi menjadi cikal bakal Surabaya. Nama kelompok itu adalah Ludrukan Nom-noman Tjap Suroboio (Luntas).

 

Kesibukan terasa di belakang panggung Gedung Pringgodani, Taman Hiburan Rakyat, Sabtu (27/5). Belasan orang tampak berlalu-lalang kian kemari. Mereka memoleskan riasan wajah, mengepaskan kostum di badan, hingga mengecek kesiapan sebelum naik ke pentas.

Persiapan itu rampung sekitar pukul 21.00. Telat setengah jam dari jadwal yang seharusnya. Tapi, penonton no problem. Tetap setia menunggu hingga pertunjukan dimulai.

Sebagaimana pakem ludruk, adegan bedhayan membuka pementasan lakon Oedjoeng Galoeh. Itu adalah semacam adegan selamat datang. Yang membawakan tujuh lelaki. Tapi, banci. Memakai baju putri. Sesuai tradisi.

Nah, malam itu, ada tujuh lelaki yang melakonkan bedhayan tersebut. Mereka berkebaya. Melihat bentuk para banci itu, tawa penonton kembali terpingkal-pingkal. Perut semakin terkocok saat para lelaki tersebut menari. Entah tarian, entah gerakan orang ’’kumat’’. Sebab, mereka bergoyang sesuka hati. Tidak ada aturan gerakan yang pasti. Makin kocak.

Ledakan tawa itu seolah menjadi bom saat jarit (kain) yang mereka kenakan tiba-tiba melorot begitu saja di atas panggung. Lagu gamelan yang awalnya mengiringi tiba-tiba bersalin rupa menjadi lagu upbeat. Para penari berjingkrak-jingkrak kian heboh. Bak cheerleader lengkap dengan pompomnya.

Itu memang keriangan khas Ludrukan Nom-noman Tjap Soeroboio (Luntas).
 Ada pakem yang dijaga. Tapi, dimodifikasi sesuai segmentasi zaman dan penonton.

Nah, malam itu, mereka memainkan Oedjoeng Galoeh. Dalam salah satu versi, kisah tersebut menggambarkan asal-usul Surabaya yang tumbuh sekitar tujuh abad silam. Inti cerita malam itu adalah kedatangan pasukan Tartar dari Mongolia yang ingin menguasai tanah Jawa. Kisah sejarah yang cukup serius, sejatinya. Tapi, Luntas tetap membawakannya dengan gaya kocak.

”Yang penting, inti ceritanya bisa tersampaikan. Tapi, kan yang namanya ludruk itu ya tetap harus menghibur,” tutur Robert Bayoned, sutradara. Robert mengaku tidak mengalami kesulitan saat membikin naskah. Sebab, lelaki yang bermain ludruk sejak 1993 tersebut memang suka sejarah sejak dahulu. Berbagai buku sejarah dilahapnya untuk menentukan versi cerita yang akan diadaptasi menjadi bahasa panggung.

Lakon Oedjoeng Galoeh digarap selama tiga pekan. Mereka memilih versi sejarah Ujung Galuh berdasar penelitian Pemkot Surabaya. ’’Karena kita di Surabaya,’’ ucap Robert.

Nah, naskah ludruk itu tidak berwujud buku tebal bak naskah film. Wujudnya adalah lembaran-lembaran kertas untuk menata alur. Untuk mengawal cerita.

’’Inti ludruk adalah improvisasi. Jadi, pemain hanya mendapat penjelasan dari sutradara, lalu dikembangkan masing-masing,’’ kata lelaki yang pernah membikin grup lawak Bayoned tersebut. Nah, naskah malam itu adalah penjaga benang merah yang harus disampaikan kepada penonton.

Sebagai seniman ludruk generasi anyar, Luntas memang rutin pentas. Tapi, penampilan malam itu didedikasikan sebagai kado ulang tahun Surabaya yang jatuh pada 31 Mei.

Meski membawakan kisah zaman kerajaan, tidak semua setting panggung dan kostum jadul. Sejumlah kesan modern tetap ditampilkan di atas panggung. Sebagai penanda bahwa Luntas memang berbeda. Mulai backdrop, kostum yang semi-cosplay, hingga sejumlah karakter yang diberi sentuhan modernisasi.

Tengok saja kemunculan tukang parkir kapal yang setia menunggu di pelabuhan. Atau tukang asongan yang tiba-tiba muncul saat para pemain beradegan serius. Kemunculan mereka tentu langsung bikin gerrr…

Saat kedatangan pasukan Tartar yang bengis di pelabuhan, si tukang parkir tetap menagih ongkos parkir kapal yang berlabuh. ’’Mbok pikir gratis? Gak ngrasakno rasane ditagih dishub, dikongkon mbayar karcis (Kamu pikir gratis? Kamu nggak merasakan ditagih dishub untuk bayar karcis, Red). Malah plonga-plongo,’’ sembur sang tukang parkir sambil mendorong kepala panglima pasukan Tartar.

Tentu, perut penonton terus dikocok. Apalagi, omelan sang tukang parkir dibalas omelan sang panglima yang memakai bahasa dari antah berantah.

Boleh dibilang, pertunjukan malam itu sukses. Baik dari sisi apresiasi penonton, penampilan, maupun eksistensi Luntas. Tapi, para pemain tidak mau langsung puas. Terlebih, mereka merasa adegan di atas panggung kurang maksimal. ’’Baru benar-benar latihan empat hari,’’ kata Saiful Irwanto, pembina Luntas. Sebelumnya, Luntas berfokus pada pertunjukan lain. Bahkan, setelah latihan intensif pun, para pemain tidak sepenuhnya komplet.

Saiful Irwanto alias Ipoel berperan sebagai penerjemah panglima Tartar. Dia juga menjadi leader di atas panggung. Jika ada pemain yang akan keluar jalur, dia meluruskan. Dengan kode dan dialog tertentu. ’’Kayak tadi si panglima. Improvisasi lawakannya kan banyak banget. Jadi, seharusnya ceritanya bisa sampai, tapi ketutup oleh tawa penonton duluan,’’ kata Ipoel.

Meski begitu, tetap ada rasa lega dalam batin para pemain. Inti kisah tetap tersampaikan dengan baik. ”Meski waktu latihan sempit, karena mereka sudah punya jam terbang tinggi, hasilnya tidak terlalu mengecewakan,” tutur Ipoel.

Hal serupa diakui pemain lainnya, Yudha Purnawan. ”Kesulitan dialog,’’ kata Yudha soal perannya sebagai raja Majapahit. Tak heran, dia hanya punya sedikit waktu untuk berlatih. Adi Sutakrib yang berperan sebagai panglima Tartar juga merasakan itu. ’’Gampang-gampang susah. Apalagi ini ngomongnya pakai bahasa tumbuhan,” katanya, lantas tertawa.


Malam itu, tingkah kocak Adi kerap membikin penonton terpingkal-pingkal. Dia memang sering mendapat peran untuk adegan-adegan konyol. Itu jugalah yang berhasil menutupi beberapa kesalahan kecil yang dibuatnya di atas panggung. ”Itu ekspresi dari hati. Kalau disuruh mengulang, pasti nggak bisa,” ucap ayah dua anak tersebut.


Kisah itu dipungkasi persekutuan pasukan Tartar dengan Majapahit untuk menghancurkan Kerajaan Daha. Dalam sejarah, itu adalah momen perseteruan Raden Wijaya dari Majapahit melawan Jayakatwang dari Daha (Kediri). Perang pun akhirnya pecah dengan kemenangan berada di tangan Majapahit dan Tartar. Pertunjukan berakhir dengan pesta kemenangan besar-besaran di pelabuhan. Saat pasukan Tartar terlena, Majapahit menyerang hingga banyak yang tewas, termasuk sang panglima yang tetap bertingkah kocak meski sudah terbaring mati.


Rupanya, meski mau bersekutu, raja Majapahit hanya ingin memanfaatkan Tartar untuk membalaskan dendamnya ke Kerajaan Daha. Dengan kemenangan itu, Arya Lembu Sora pun mengumumkan bahwa nama pelabuhan tersebut adalah Churabhaya. Chura berarti berani dan bhaya bermakna bahaya. Surabaya. (*/c6/dos)

 

Penulis: Suryo Eko Prasetyo

Article courtesy: Jawapos.com

Photo courtesy: Jawapos.com

admin

Njombangan adalah inisiatif untuk melestarikan dan mempromosikan heritage Jombang berupa seni, budaya, bahasa, adat, sejarah, peninggalan bangunan atau bentuk fisik serta lainnya.

Leave your message