Jombang – Khetan Merdeka. Ya, warung ketan ini sengaja ditulis Khetan yang sudah terkenal itu sudah ada sejak puluhan tahun silam. Warungnya berada di Jombang kota yakni di Jalan KH Abdurrahman Wahid (Jalan Merdeka).
Sri Utami pemilik warung Ketan Merdeka menceritakan, dia merupakan generasi ketiga penerus dari kuliner itu. “Jadi sebelum ketan ini dulunya sudah jualan getuk, perintisnya Mbah Warni, kemudian Mbah Wage baru saya,” kata Utami kemarin (24/2).
Dia sendiri tak begitu hafal tahun berapa warung yang berada di jalan protokol itu mulai berdiri. Seingat dia, generasi kedua (Wage) yang merintis panganan ketan itu. “Kalau jualan ketan full itu Mbah Wage sekitar 1960-an. Sekarang sudah meninggal,” imbuh dia.
Singkat cerita, seiring berjalannya waktu, warung ketan itu pun semakin populer hingga sekarang dengan sebutan Ketan Merdeka. Bukanya pun sampai sekarang masih tetap sama, yakni selepas salat Subuh.
Menurut wanita usia 62 tahun ini, tidak ada batasan pukul berapa warung itu buka. “Pokoknya setelah turun dari salat Subuh sudah buka, nggak ngerti jam berapa. Sampai pukul berapa juga tidak dibatasi. Pokoknya mau habis sudah nggak melayani lagi, kita sudah tahu ancer-ancernya,” imbuh dia.
Saking ramainya, hampir setiap hari dalam hitungan jam Ketan Merdeka itu habis terjual. Bahkan pukul 05.30 WIB saja beberapa pelanggan harus kembali dengan tangan hampa. “Sehari itu biasanya habis 20-30 kilogram ketan. Baik ketan hitam maupun putih, kalau ditambahi saya yang nggak kuat,” sebut dia diiringi dengan tawa.
Ada dua varian ketan, yakni ketan hitam dan putih. Yang menjadikan beda yakni adanya pelengkap berupa sambal atau bumbu yang terasa gurih. Sehingga perpaduan antara ketan dengan bumbu itu bercampur jadi satu, antara gurih dan sedikit manis.
“Khasnya mungkin ada di bumbunya, ada bumbu kedelai dan kelapa. Ditambahi parutan kelapa,” beber istri Sujali ini. Menuru Utami, untuk membuat bumbu itu memang agak sulit. Terutama pada bumbu kelapa.
“Yang susah itu sambal kelapa, miniml lima sampai enam butir untuk sehari, itu buatnya harus telaten. Gorengnya minimal tiga jam, kemudian ditumbuk soalnya kalau digiling nggak bisa,” urai dia.
Ketan yang dipakai juga tidak ada jenis ketan tertentu. Menurut dia, yang terpenting dia bisa menjaga mutu dan kualitas. “Kalau bisa, berusaha meningkat,” tutur dia. Harganya juga terbilang masih ramah di kantong, sebab bila campur jadi satu antara ketan hitam dan putih dibandrol 5000. Bisa dibungkus atau dimakan di warung. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com