SEBAGAI pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Keras, Kiai Asy’ari dikenal warga sebagai pribadi yang sangat sederhana dan tak neko-neko. Pendidikan kepada seluruh santri yang tidak banyak juga dilakukannya sendiri. Dengan tanggung jawabnya yang mungkin jarang dilakukan kiai besar.
“Beliau itu punya kebiasaan untuk menimba kamar mandi yang akan dibuat wudlu santrinya ketika subuh, setelah itu baru membangunkan santri,” cerita KH. Ahmad Labib kembali.
Hal ini tentu menjadi kebiasaan yang bisa dikatakan aneh. Dimana seorang kiai, di pesantrennya adalah guru besar, dan biasanya akan diperlakukan secara istimewa oleh santrinya. “Buat beliau itu rasa tanggung jawabnya kepada santri, supaya mereka benar-benar jadi orang,” lanjutnya.
Contoh lain nan sederhana lain dibuktikannya dengan pembuatan kolam air untuk wudlu santri. Kolam ini seperti dibuat sengaja berbentuk segi delapan dan tak berbentuk kotak atau bundar, seperti kebanyakan lainnya yang hingga kini masih bisa dilihat di sebelah selatan masjid Keras. Satu lagi, sebuah pijakan juga terlihat dibangun di sisi utara tempat berwudlu ini yang kini sudah tidak lagi karena renovasi.
“Kolamnya memang sudah diubah, tapi bentuknya tetap, hanya ditambah ubin saja,” sambungnya. Dari penampakannya, pijakan itu sengaja dibuat untuk Mbah Asy’ari duduk atau berdiri dan dari situ semua kolam akan kelihatan sehingga bisa mengawasi cara santrinya wudlu. “Mbah Asy’ari memang mengajarkan semua langsung dari dasar, dan kenapa segi delapan, karena itu jumlah santrinya dulu. Itulah keuntungannya mengambil santri yang tidak banyak, semua pembelajaran bisa dilakukan sangat mendasar dan mengena,” imbuhnya.
Tak saja sang kiai, upaya untuk tirakat juga dilakukan istrinya Nyai Halimah. Bahkan untuk ini, nyai Halimah tetap menjaga barakah santrinya dilakukannya dengan cara berpuasa selama tiga tahun berturut-turut. “Tahun pertama untuk membersihkan dirinya, tahun kedua untuk keluarga dan dhuriahnya, dan tahun ketiga ini untuk santrinya. Ini bukti kecintaan Nyai Halimah kepada santrinya,” tegasnya lagi.
Bahkan menurut salah seorang anggota keluarga lain, diyakini hingga kini Pondok Pesantren Keras memang tak pernah bisa menampung banyak santri karena doa yang dipanjatkan Kiai Asy’ari. Hingga kini setidaknya masih ada 11 santri yang mondok di pesantren ini. Masih ada sampai sekarang santrinya, tapi ya itu sejak awal santrinya memang tidak banyak. Doa mbah itu untuk menjadi orang bermanfaat walaupun tidak banyak.
“Yang jelas nyari yang mau tekun sekali disini, tapi ya memang jadi betul. Buat mbah, yang penting itu kualitasnya bukan kuantitasnya,” ucap H. Abdul Ghorib, adik KH. Ahmad Labib. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com