Jombang – Cara berternak kelinci yang dilakukan Eko Krismianto, 25, warga Dusun Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang cukup menarik. Meski punya belasan indukan, ia ternyata tak punya kelinci pejantan untuk membuahi.
Di rumah yang berada di samping jalan utama dusun itu, terlihat ada sebuah kandang bambu. Kandang ini terletak di samping, beratap terpal dan lokasinya menempel dengan dinding rumah. Ada dua kandang berukuran besar di samping rumah tersebut. Andang berdinding bambu dan bertutup besi ram di bagian depan, berbentuk susun dua dengan masing-masing empat bagian.
Di dalamnya, terdapat sejumlah hewan kelinci yang terlihat berlarian. Di beberapa kandang, terlihat satu kelinci besar dan beberapa kelinci anakan. Namun di beberapa kandang lain, hanya terlihat kelinci besar tanpa anakan yang terlihat asyik mengunyah pakan yang telah disediakan.
Begitulah kondisi peternakan milik Eko. Sejak tiga tahun terakhir ia mengaku fokus mengembangkan usaha sampingan peternakan kelinci. “Ya awalnya coba-coba saja karena hobi, tapi cukup menghasilkan ya diteruskan saja sampai sekarang, dan tambah banyak,” terangnya.
Di peternakan kelinci, ia menyebut punya 15 indukan dari berbagai jenis. Mulai kelinci rex, lokal, Australia, Holland Lop dan beberapa jenis lainnya. Kendati demikian, seluruh indukan kelinci ini adalah betina. “Seluruh indukan betina, saya tidak punya jantan,” lanjutnya.
Karena hanya punya indukan betina itulah Eko mengaku harus menumpang ketika akan mengawinkan kelincinya. “Ya, biasanya ke teman yang punya pejantan setiap kali kawin, kan setiap bulan harus kawin, dua minggu sekali biasanya,” lanjutnya lagi.
Kendati harus kawin dengan cara menumpang, produksi kelinci anakan di peternakannya ini cukup menggembirakan. Eko bisa menghasilkan 7 hingga 15 anakan kelinci setiap bulan. Hal ini bergantung dari siklus birahi masing-masing indukan.
Kelinci-kelinci anakan biasanya mulai bisa dipanen untuk dijual setelah berumur satu bulan. Eko, biasa menjualnya ke beberapa pengepul di sejumlah pasar sekitar Jombang. “Kalau menjual biasanya ke Pare, Mojokerto, Jombang, masih sekitar sini saja,” imbuh dia.
Anakan kelinci berumur sebulan itu punya harga jual lumayan, tergantung jenisnya. Untuk jeniz kelinci rex atua lokal, harganya memang sangat terjangkau, hanya Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu per ekor. “Yang mahal itu jenis impor seperti Holland Lop juga Australia, harganya bisa sampai 10 kali lipat, umur sebulan sudah bisa sampai Rp 250 ribu,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Bagi sebagian orang, melihat tusuk sate mungkin bukanlah suatu yang istimewa. Namun, tidak bagi Heru Sibandi, 51. Warga Dusun Sedamar, Desa Talunkidul, Kecamatan Sumobito sukses dengan usaha produksi tusuk sate. Kini omzetnya pun mencapai jutaan rupiah.
Di tanah kosong di belakang rumahnya ini, bandi dibantu sejumlah pekerja setiap harinya memproduksi tusuk sate. Di dalam pabrik, beberapa orang nampak sibuk bekerja dengan mesin produksi tusuk sate. Terlihat dua pekerja duduk berjajar mengoperasikan mesin pencacah, sementara beberapa orang lain mondar-mandir menjemur dan mengambil tusuk yang setengah jadi.
Sesekali, mereka mengecek sebuah mesin di depan pintu barat, di sini, potongan kayu bambu itu digosok serta dicampur dengan lilin. ”Prosesnya memang cukup panjang, tidak bisa sehari selesai. Biasanya dua hari itu baru benar-benar siap jual,” terang Heru kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Proses produksi tusuk sate di Dusun Sedamar, Desa Talunkidul, Kecamatan Sumobito. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
Kendati terlihat sederhana, proses pembuatan tusuk sate membutuhkan keuletan. Dimulai dari mendatangkan bambu ori sebagai bahan utama tusuk sate. Menurut bandi, untuk bisa menghasilkan produk tusuk sate yang baik, tentunya bahannya juga harus berkualitas. ”Biasanya saya mendatangkan dari luar kota, sebab kualitasnya baik,” bebernya.
Setelah bahan baku siap, proses selanjutnya pemotongan. Ukurannya disesuaikan dengan produk. ”Untuk ukuran tusuk sate panjangnya 20 centimeter, dan untuk tusuk pentol Cuma 15 centimeter,” bebernya.
Setelah proses pemotongan selesai, selanjutnya dicacah. Untuk proses ini, Bandi sudah dibantu dengan keberadaan alat pencacah. ”Dicacah sampai berbentuk lidi. Setelah selesai baru dijemur seharian sampai benar-benar kering,” tambahnya.
Tak cukup dengan penjemuran, lidi-lidi ini juga harus terlebih dahulu dioven dengan belerang, untuk menghilangkan jamur. ”Kalau sudah baru masuk mesin poles itu. Di sana diberi lilin supaya halus dan debunya hilang. Terahir sebelum dibungkus diruncingkan dulu, pakai mesin juga,” lontarnya. Proses selanjutnya tinggal pengemasan dan barang siap dijual.
Seiring banyaknya konsumen, dalam sehari Bandi menghabiskan sekitar 90 buah batang bambu. ”Itu jadi sekitar 2 kuintal tusuk sate dan pentol,” bebernya.
Untuk harga, per bungkus tusuk sate, Bandi mematok Rp 12.000, sementera per bungkus tusuk pentol Rp 10.500. ”Per bungkus isi 100 biji,” singkatnya. (*)
Promosi dari Mulut ke Mulut, Kewalahan Layani Pesanan
MESKI sudah mempunyai lima karyawan, Heru Sibandi mengaku kewalahan memenuhi permintaan konsumen. Terlebih mendekati momentum hari-hari besar. Saat ini, produk tusuk satenya sudah merambah pasar di sejumlah kabupaten kota, termasuk luar Provinsi Jawa Timur.
Meski sudah memproduksi dalam skala yang cukup besar tiap harinya, Heru Subandi mengaku kuwalahan menghadapi pesanan yang datang. Padahal, ia mengaku selama ini tak pernah mempromosikan tusuk sate buatannya. ”Kalau pesanan yang datang itu jejaring saja, dari pedagang nyambung ke pedagang lainnya. Jadi dari mulut ke mulut,” lanjutnya.
Menurutnya, tingginya permintaan tusuk sate, salah satunya masih minimnya perajin. ”Terus terang saya sampai kewalahan melayani pesanan. Satu toko saja bisa 20 karung mintanya, belum yang lain,” bebernya.
Tak jarang, dia pun sampai ikut membantu membuat tusuk sate. ”Kalau pas permintaan tinggi-tingginya, saya juga kadang bantu juga,” bebernya. Tidak hanya di Jombang, konsumennya bahkan datang dari wilayah Papua. ”Biasa kirim ke beberapa kabupaten/kota di Jatim, termasuk Sulawesi dan Papua,” singkatnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Tanaman beluntas yang biasanya tumbuh liar, kini mulai dibudidayakan warga Dusun Macekan, Desa Ngrandu Lor, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang. Salah satu pembudidaya yang cukup berhasil adalah Mohammad Nuhin, 47. Ia berhasil membuat teh luntas yang dipercaya berkhasiat untuk kesehatan.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung, Nuhin tampak sibuk memetik daun beluntas yang berada di dekat rumahnya. Tanaman yang memiliki nama ilmiah pluchea indica tersebut kemudian dimasukan keranjang. Setelah dicuci bersih, dia terlihat jeli memilah mana daun kering dan mana daun basah. Beberapa tanaman pengganggu juga dibuang.
Sesaat kemudian, dia menjemur di bawah plastik berwarna hitam agar tak langsung bertatapan dengan terik. Begitulah h proses awal Nuhin membuat teh daun luntas. Ide awal tercetus membuat teh daun luntas itu setelah melihat banyak tanaman beluntas yang dipotong begitu saja oleh warga.
Tanaman yang biasanya dimanfaatkan untuk pagar rumah itu sebelumnya memang tak bernilai ekonomi. Namun, setelah dilakukan penelitian, Nuhin akhirnya bisa membuat teh dari daun luntas. ”Saya mulai produksi sekitar tujuh bulan lalu,” terangnya sembari menuang teh luntasnya kemarin.
Teh daun luntas buatan Nuhin memiliki citarasa unik. Kendati bau daun luntas saat basah beraroma langu. Namun setelah diolah, bau itu hilang manakala sudah menjadi minuman teh. Bau langu tersebut hilang setelah proses pengeringan. Penjemuran dilakukan di bawah kresek/kain hitam agar tak terkena sinar matahari langsung.
Selain itu, waktu dan tingkat panas matahari perlu dipertimbangkan. Sebab, kalau dijemur langsung di bawah matahari, maka daun beluntas akan menjadi kering dan tidak bisa diolah menjadi teh. Sedangkan rasanya seperti teh pada umumnya hambar alias anyep. ”Kalau ingin manis ditambahkan gula sedikit,” tambah dia.
Teh daun luntas buatannya juga memiliki aroma harum. Laiknya green tea. Nuhin sengaja mengemas teh dengan cara serbuk. ”Saya tidak mengemas seperti teh kantong celup. Melainkan langsung serbuk yang diseduh pakai air panas,” jelasnya.
Untuk mengantisipasi habisnya pasokan daun luntas, Nuhin memberdayakan warga sekitar agar menanam dan menjual basah kepada dirinya. ”Mereka biasanya menjual ke saya dalam bentuk basah Rp 4.000,” papar dia.
Nuhin mengaku, kali pertama menjual the luntas, tak begitu diminati banyak orang. Namun setelah dipasarkan kesana kemari, akhirnya sekarang dirinya bisa memetik hasil. Bahkan omset penjualan teh luntasnya mencapai angka Rp 5-6 juta perbulan. ”Peminatnya rata-rata dari luar Jombang, misalnya yang selalu kita kirim Malang, Samarinda dan Balikpapan,” paparnya lagi.
Teh luntas ini memiliki manfaat lebih karena dipercaya dapat menghilangkan bau badan. Selain itu dapat mengatasi pegal linu, keputihan bagi kaum hawa, rematik dan nyeri pinggang. ”Dari konsumen yang sudah langganan memang pengakuannya dapat berkhasiat untuk kesehatan,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Desa Pagerwojo dikenal dengan kerajinan rebana, instrumen musik tradisional yang biasanya untuk kosidah dan banjari. Meski untuk menghasilkan suara rebana yang nyaring bergantung insting dan perasaan. Namun setiap hari, tiga set dihasilkan.
“Satu hari tiga set, semua pesanan karena kita tidak punya toko untuk memasarkan rebana,” ucap Muhibbin, salah seorang perajin rebana ditemui di rumahnya, kemarin (29/2). Hanya, di saat musim hujan seperti sekarang, dia tidak produksi banyak. Sebab, pembuatan rebana membutuhkan panas matahari agar kulit benar-benar kering.
Sehingga ia tak mau ambil risiko menjemur terlalu lama hingga berhari-hari ketika hujan turun. “Kalau pagi saya lihat mendung, hanya bikin satu/dua set, kalau panasnya bagus bisa sampai tiga set,” ungkapnya. Menjemur kulit rebana tak terlalu lama, cukup satu hari jika panas terik. Kecuali jika mendung bisa sampai lebih dari dua hari.
Sebagai perajin rebana, ia mengerjakan mulai dari pemotongan kayu, bubut, penempelan kulit pada kayu hingga pemasaran. Dengan dibantu empat karyawan. Kayu yang digunakannya selain kayu mangga, ada mahoni dan kayu pohon nangka. Kayu-kayu ini dipotong sendiri. Kemudian dibubut menjadi bentuk dasar rebana. Baru setelah itu dicat dan tahap pemasangan kulit.
Muhibbin memiliki banyak stok kayu yang sudah melalui proses pemotongan dan pengecatan. Ia tinggal memasang kulit dan menjemur. Setelah dijemur, rebana diberi paku, kemudian dilapisi dengan pelipit. Sebagai tahap finising, diberi paku pines memutar.
Kerajinan rebananya banyak terjual di Jawa Timur, sekitar Nganjuk, Kediri dan Jombang. Tapi terkadang ia mendapat pesanan dari Lampung. “Tapi jarang, paling sering Jatim, kemarin Ning Emma (putrinya Bu Mundjidah) juga pesan 50 set,” ungkapnya.
Satu set rebana yang dijual harganya bervariasi, bergantung jumlah jenis yang dipesan. Kisarannya Rp 500 ribu yang berisi tujuh jenis rebana, dan ada yang Rp 1,7 juta untuk lima jenis banjari. “Beda karena banjari ada kepingannya, jadi agak mahal,” tambahnya.
Kulit yang digunakan untuk membuat rebana adalah kulit kambing betina. Muhibbin tak pernah menggunakan kulit kambing jantan karena dinilainya terlalu tebal. “Kalau yang betina itu tipis dan bisa melar, kalau jantan kulitnya tebal dan tidak bisa melar,” beber dia.
Selain rebana, terkadang menerima pesanan bedug yang dibuat secara khusus dari kulit lembu. Hanya saja, bedug tidak dibuat setiap hari. “Kalau ada pesanan saja, kalau tidak ada ya tidak buat,” imbuhnya.
Menurut Muhibbin, pembuatan rebana memerlukan insting yang kuat. Terutama saat memasang kulit secara benar karena tidak semua orang bisa melakukan. Menghasilkan rebana dengan suara yang diinginkan, katanya, tergantung dari pemasangan kulit.
“Khusus untuk yang masang kulit harus saya tangani sendiri. Agar menghasilkan bunyi yang pas karena harus pakai perasaan,” terang dia sambil menunjuk ke arah rebana.
Satu rebana baru, bisa bertahan kurang lebih satu tahun. Biasanya, rebana butuh pembaruan kulit karena biasanya kendor. Pemesan pun bisa membawa datang ke tempatnya untuk memperbaiki rebana. “Kalau sudah diganti dengan kulit baru, bisa bertahan bertahun-tahun. Karena kulitnya sudah kering,” pungkasnya.
Penyimpanan rebana setelah dipakai juga harus dilakukan secara benar. Tidak boleh diletakkan di tempat lembab agar tidak menjamur. Tak heran, produksi rebana yang diteruskan sejak 1984 lalu, masih bertahan sampai sekarang. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kerupuk ceplok merupakan kerupuk legendaris di Jombang. Rasanya yang legit dominan asin, menjadi ciri khas tersendiri yang tak pernah berubah sejak dulu.
Salah satu rumah produksi kerupuk ceplok yang masih eksis hingga saat ini berada di Gatot Subroto Jombang. Beberapa waktu lalu Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke tempat produksi ini.
Seperti pada umumnya pabrik kerupuk, terlihat ada satu pekerja yang mengaduk dan membanting adonan dalam tepung. Sementara satu pekerja lainnya sibuk dengan mesin. Beberapa wanita paruh baya tengah asyik membawa tampah.
“Ya begini ini proses pembuatan kerupuk. Kita biasa sebut kerupuk ceplok, ada juga yang menyebut kerupuk kelet atau kerupuk lengket,” ucap Sumarsono, 62, pemilik usaha.
Meski terlihat kecil dan sederhana, pembuatan kerupuk ini melalui proses cukup panjang. Dimulai dengan pembuatan adonan yang dilakukan pekerja pria. Setelah jadi, baru adonan dimasukkan mesin. “Tapi mesinnya juga masih manual, hanya dipress saja, semua yang menjalankan juga tetap manusia,” lanjutnya.
Bahan utama dari adonan ini adalah tepung tapioka. Tepung ini membuat tekstur kerupuk buatan Sumarsono sangat khas. Tentunya dengan bumbu rahasia yang diwariskan dari orang tuanya. Dari mesin, kerupuk kemudian dicetak seukuran tampah. Baru setelah itu dilakukan proses pencetakan.
Pekerjaan inilah yang dilakukan pekerja wanita yang sibuk dengan alat plongnya. “Proses ini yang membuat kerupuk ini dinamakan kerupuk ceplok, karena prosesnya diceplok pakai besi,” tambah Sumarno.
Proses selanjutnya pengovenan. Dia juga menggunakan alat manual berupa lubang pada lantai pabrik. Lubang ini telah dipanasi bagian bawahnya dengan api dan air, yang kemudian ditutup dengan besi pada bagian atasnya. Proses ini berlangsung beberapa menit untuk membuat adonan matang. “Baru setelah itu dijemur sampai benar-benar kering. biasanya produksi hari ini, baru bisa digoreng besok,” tambahnya.
Untuk penggorengan, lanjut dia, biasanya dilakukan sore hari. Proses ini akan dilakukannya sendiri. Penggorengan bukan dengan kompor, melainkan penggunaan tungku kayu. Setelah matang, kerupuk akan berwarna polos, putih namun agak keruh. Namun hal ini yang disebut Sumarno menjadi ciri khas kerupuk ceplok buatannya.
Karena tak menggunakan pemutih juga pewarna, hasil kerupuk memang terlihat tak bersih. “Makanya ada yang bilang juga kerupuk elek karena warnanya seprti ini. Tapi bukti kalau tidak ada pewarna tambahan, sejak ayah saya membuka 1951 dulu tetap,” sambung pria yang telah menjalankan usaha sejak 1980 ini.
Setiap hari, ia bisa mengolah hingga ribuan bungkus kerupuk ceplok berisi lima keping. Kerupuk-kerupuk ini biasanya langsung ludes diborong tengkulak untuk diedarkan di sejumlah warung. “Kalau harganya Rp 1000 tiap bungkus isi lima keping,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Pernah mencicipi sayur daun racun? Anda bisa datang ke Kecamatan Wonosalam. Tanaman unik yang tumbuh subur di di kaki lereng Gunung Anjasmara ini bisa diolah menjadi oseng-oseng dan kotokan. Biasanya, olahan ini sebagai pelengkap sarapan dan makan malam.
Hawa sejuk menyelimuti Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang pagi kemarin (26/2). Di sebuah warung sederhana pinggir jalan, tercium aroma sedap masakan lokal. Tampak sekelompok ibu-ibu merebus beberapa daun racun yang dipetik dari kebun. Daun racun sendiri didapat dari pohon kastuba.
Meski namanya terdengar berbahaya, namun daun ini sama sekali tak mengandung racun atau toxic maupun senyawa berbahaya lainnya. Daun ini justru sering dimanfaatkan warga setempat untuk olahan kotokan (baca; sayur). ”Tanaman racunan ini tumbuh subur di Desa Panglungan,’’ ujar Yadu’ah, salah seorang pemilik warung yang menjual kotokan daun racun.
Sejak zaman dahulu, daun racun menjadi menu pelengkap untuk sarapan maupun makan malam. Biasanya, warga mengolah dalam bentuk oseng-oseng maupun kotokan yang dicampur petai, tahu maupun tempe. Namun pecinta kuliner tak perlu repot-repot memasak, sebab di warung Yadu’ah ini sudah disediakan dengan harga terjangkau. ”Murah, seporsi mulai Rp 5 ribu – Rp 10 ribu,’’ tambah ibu dua anak ini.
Yadu’ah dan suaminya, Dwi Cahyo Utomo sudah tiga tahun ini menjual menu sayur daun racun. Begitu tersentuh di pucuk lidah, maka rasa sayur terasa gurih. Aroma langu dan pahit juga hilang setelah direbus dan dimasak dengan bumbu khusus yang sudah disiapkan sejak awal. ”Rasanya seperti daun singkong, namun tidak ada pahit maupun langu,’’ jelas dia.
Awal mula dia menjual menu sayur daun racun karena ingin mengenalkan olahan lokal yang sudah ada turun temurun di Wonosalam. Sejak menu tersebut ada pengunjung dari Sidoarjo maupun Surabaya selalu penasaran dan ingin mencoba. ”Kini mereka menjadi langganan, setiap tahun selalu banyak yang kesini,’’ tandasnya.
Tak hanya itu, tanaman daun racun kini juga mulai banyak dibudidayakan warga. Menyusul banyaknya permintaan dari pecinta kuliner. ”Sekarang kami minta mereka menanam di rumah, untuk antisipasi kalau dapat pesanan banyak,’’ pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Puluhan foto semasa hidup KH Bisri Syansuri tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar dipamerkan kemarin (24/2). Ribuan santri berbondong-bondong untuk melihat dari dekat kegiatan Kiai Bisri berjuang, sebelum wafat 41 tahun silam.
Pantauan di lokasi, beberapa rombongan santri perempuan tampak antusias melihat foto yang dipajang di lantai 2 Aula KH Bisri Syansuri. Total ada 69 foto. Beberapa foto yang dipajang itu tidak hanya foto kegiatan di Ponpes Denanyar, melainkan foto saat kegiatan DPR RI.
Semasa hidup, sosok Kiai Bisri dikenal sosok yang teguh dalam memegang prinsip. Baik prinsip fikih maupun pemahaman pendapat. ”Beliau terkenal teguh dalam memegang prinsip fikihnya,” ujar ujar Zufa Al Husna, salah satu cicit KH Bisri Syansuri usai melihat foto.
Seperti pendapat kiai Bisri menyikapi drum band, ia menganggap seorang perempuan tidak boleh karena ada kemaksiatan yang diumbarkan. Namun, pendapat KH Wahab Chasbullah pendiri NU masih diperbolehkan asal tidak aneh-aneh. ”Beliau berdua memiliki pendapat masing-masing namun sebagai sahabat hal itu tidak masalah,” sambungnya.
Selain sebagai tokoh NU, lanjut dia, kiai Bisri juga dikenal sebagai seorang politisi yang aktif memperjuangkan nasib rakyat kecil di DPR RI. Yang paling dikenang adalah perjuangan tentang pentingnya keluarga berencana. ”Hal itu dapat dilihat dari foto perjuangan beliau,” tegasnya.
Sementara, Aziz Ja’far, Ketua Umum Ikatan Alumni Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif (IKAPPMAM) di Haul Kiai Bisri ke 41, akan diusulkan gelar kepahlawanan ke Kemensos RI. ”Pengusulan gelar kepahlawanan Mbah Bisri sudah diproses, dokumen harus dilampirkan, contohnya foto-foto,” ujar dia.
Usulan tersebut murni inisiatif alumni yang didukung keluarga pondok. Saat ini usulan sudah dikaji di Dinas Sosial Jombang untuk selanjutnya diajukan ke Dinsos Jatim hingga menunggu keputusan Kemensos. ”Nanti kami akan diundang untuk presentasi, selanjutnya akan diproses di Kementrian Sosial,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kulit sapi dan kambing memang memiliki nilai jual tinggi. Selain digunakan untuk bahan dasar industri tekstil, kulit juga bisa digunakan sebagai bahan pembuatan sandal sepatu.
Namun demikian, tidak semua kulit sapi digunakan bahan produksi. Sebab, kulit sapi juga banyak diburu untuk bahan pembatan cecek. Salah satunya yang digeluti Juwati, 50, warga Desa Gambiran, Kecamatan Mojoagung.
Meski banyak memanfaatkan kulit afkir (sisa lebih produksi, Red), namun dalam sehari, dari rumah priduksinya itu dia bisa menghasilkan 3 kuintal cecek siap jual. ”Biasa ambil kulit afkir yang tak bisa diolah pabrik tekstil. Makanya biasanya yang datang lebih banyak bagian kepala, buntut, kaki sama bagian perut yang potongan kecil. Karena selain kulit itu kan biasanya bisa diolah jadi bahan lain,” lanjutnya.
Proses pengolahan kulit sapi untuk dijadikan cecek. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
Menurut Juwati, proses pembuatan cecek memang membutuhkan waktu relatif panjang. ”Kelihatannya sederhana bentuknya, namun prosesnya panjang, jadi pekerjaannya memang cukup njelimet,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Proses awal dimulai dari pengolahan bahan dasar bahan pembuatan cecek, yakni kulit sapid an kambaing. Pertama-tama, dia harus mencuci dan merebus kulit. Proses ini cukup memakan waktu dan butuh kesabaran.
Setelah selesai proses perebusan, proses selanjutnya penjemuran. ”Harus dikeringkan terlebih dulu. Dipanaskan di terik matahari,” bebernya. Selesai proses penjemuran, selanjutnya dilanjutkan proses pembakaran. Tujuannya menghilangkan bulu yang menempel pada permukaan kulit sapi.
Tak berhenti sampai di situ, sambil menunggu proses pembakaran selesai, Juwati dibantu delapan karyawannya menyiapkan sejumlah tungku besar untuk tempat merebus bahan dasar cecek itu. ”Dibakar itu biar bulunya hilang, setelah itu direbus lagi satu malam, biar permukaanya lentur,” lanjutnya.
Keluar dari tungku, penampakan cecek sudah mulai berwarna kecoklatan, namun perlu pembersihan dan perebusan sekali lagi sampai akhirnya cecek ini benar-benar bersih dan siap jual.
Dalam sehari, rumah produksi Juwati bisa memproduksi hingga sebanyak 3 kuintal cecek. ”Ya tergantung, kalau sedang ramai bisa sampai mencapai 3 kuital, tapi kadang-kadang kalau sepi juga sedikit, tidak sampai satu kuintal juga pernah,” lontar ibu empat anak ini.
Harga Murah, Paling Mahal Bagian Kulit Kepala
TERHITUNG sekarang, usaha pembuatan cecek yang digeluti Juwati sudah mencapai 22 tahun. Produknya pun banyak diburu para pelanggaan. Tidak hanya di wilayah Jombang,banyak konsumennya juga datang dari luar Kabupaten Jombang.
”Kuncinya kita jaga kualitas. Nggak pake bahan aneh-aneh, sehingga merugikan pelanggan,” terang Juwati. Menurut Juwati, selain menjaga kualitas, salah satu yang menjadikan permintaan cecek tinggi, yakni harga jual terjangkau.
Untuk satu kilo produk ceceknya, Juwati biasa menjual dengan harga antara Rp 8 ribu-Rp 17 ribu. ”Memang harganya bisa berbeda, bagian kulit juga mempengaruhi harga, sebab rasanya berbeda,” imbuhnya.
Misal cecek yang dihasikan dari kulit bagian ekor dan perut sapi, harganya cukup terjangkau. Selain rasa, juga memiliki permukaan lebih tipis. ”Kalau untuk yang tipis, dari buntut, atau perut bawah, itu biasanya lebih murah,” rincinya.
Berbeda dengan cecek yang dihasilkan dari bahan kulit di bagian kepala, memiliki permukaan yang lebih tebal dan rasanya lebih mantap. ”Kalau cecek yang bagus, bagian kepala misalnya, itu bisa terjual Rp 17 ribu per kilogram,” bebernya.
Selain mendatangkan pundi-pundi uang, Juwati juga bisa memberdayakan sejumlah warga sekitar. ”Saya punya delapan karyawan. Awalnya dulu saya kerjakan sendiri, belum punya karyawan,” bebernya.
Untuk menjual produk, Juwati sudah tak kesulitan. Pasalnya, setiap harinya sudah banyak konsumen yang antri mengambil produk ceceknya. Bahkan tidak hanya di local Jombang saja, produk cecek Juwati juga sudah merambah sjeumlah pasar di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Timur. ”Kalau Jombang sendiri sudah penuh mungkin. Produk saya ini dijual ke Kediri, Gresik, Sidoarjo, dan beberapa kota lain di Jawa Timur,” pungkas Juwati. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kerajinan miniatur mobil di Kabupaten Jombang semakin digandrungi masyarakat. Kali ini dilakukan Dicky Santoso, 23, pemuda asal Desa Wringinpitu, Kecamatan Mojowarno yang mengolah potongan-potongan kayu bekas menjadi miniatur truk.
Maklum, di desa ini hampir semua rumah mempunyai usaha mebel. Tak heran banyak tumpukan kayu yang tidak terpakai di daerah itu. Melihat banyaknya sisa kayu yang tak terpakai, mendorong Dicky untuk memanfaatkannya.
”Saya masih baru membuat truk ini,” ujarnya. Ide muncul untuk membuat truk ini berawal dirinya melihat banyak yang membuat miniatur truk berbahan kayu. Lantaran, di daerahnya banyak sekali kayu bekas mebel yang tidak digunakan.
”Pertama kali ya sangat sulit membuatnya. Namun, sekarang sudah terbiasa ya cukup mudah,” katanya.
Menurutnya, paling rumit pada saat membuat kepala truk. Karena harus sedetail mungkin mulai dari membuat jok dan setir di dalamnya. Selain itu memasang kaca dan lampu.
“Untuk kacanya sendiri menggunakan mika agar mudah ditekuk,” katanya. Ia menambahkan, agar kualitas truk yang dibuat terjamin dan sangat kuat, dia menggunakan kayu jati. Tak heran mainan buatannya terlihat sangat kokoh dan bisa dinaiki orang yang mempunyai berat badan sampai 70 kilogram.
”Saya buat semirip mungkin, saya kasih per juga seperti aslinya,” imbuhnya. Untuk membuat satu miniatur truk, membutuhkan waktu sampai satu minggu. Kualitas hasil karyanya tetap dinomorsatukan. Tak heran, dirinya mematok harga minimal Rp 1 juta untuk satu miniatur truknya.
”Kalau ukuran yang lebih besar ya harganya beda lagi,” ungkapnya. Saat ini dirinya masih mengandalkan media sosial untuk penjualan.
Selain itu, dia sering ikut komunitas miniatur truk. Sehingga miniatur truknya bisa semakin dikenal orang banyak. ”Ya kan ini juga ada komunitasnya, kadang-kadang berkumpul di Kediri. Sehingga, saya juga pasarkan melalui komunitas itu,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Kesenian Sandur Manduro di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, yang sudah berusia ratusan tahun, tetap bertahan hingga kini. Pemain dan penerusnya pun masih menjaga kelestarian cerita dan topengnya.
Sebuah rumah di Dusun Guwo, Desa Manduro, Kecamatan Kabuh menjadi saksi. Hanya di rumah milik Warito ini, topeng-topeng Sandur Manduro dan alat pementasannya disimpan.
Keranjang kotak besar kusam, juga jadi saksi karena sebagai tempat menyimpan delapan topeng berwajah manusia. Topeng Klono, Topeng Bapang, dua Topeng Panji dan dua Topeng Ayon-ayon diletakkan lengkap dengan beberapa aksesori sayap dan gelang.
Selain itu, ada sebuah karung, meski bukan karung yang berusia ratusan tahun, namun isi di dalamnya juga topeng kuno. Topeng Jepaplok, Manuk, Celeng dan Topeng Sapen yang mewakili hewan macan, burung, babi dan sapi disimpan di karung ini. “Kalau alat musiknya juga ada di dalam, disimpan juga,” ucap Warito kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Menurut Warito, topeng-topeng ini kondisinya masih terawat hingga kini. Meski mulai terdapat beberapa kerusakan, ia mengaku tetap menggunakan topeng ini untuk pentas setiap kali ada tanggapan. “Semuanya masih asli, khususnya pada topengnya ini, ini sejak buyut masih dipakai. Jadi dulu dari buyut, ke mbah, ke bapak saya kemudian ke saya ini, saya turunan ke empat yang melanjutkan,” lanjutnya.
Maklum, kesenian yang kini dipimpinnya ini adalah satu dari dua kesenian Sandur Manduro yang hingga kini bertahan. Sayang, satu kelompok memilih berhenti beroperasi dan menjual seluruh topeng lamanya.
“Ya kan dulu sempat sepi sekali, mati suri lah istilahnya, jadi awalnya ada dua, kemudian yang satu dijual, tapi karena saya dapat pesan untuk tidak boleh menjual, ya saya pertahankan sampai sekarang,” lanjutnya. Hal inilah yang membuat keseniannya ini masih orisinil hingga kini.
Selain topeng, yang hingga kini masih dipertahankan adalah jalan cerita dalam Sandur Manduro. Warito menyebut, kendati bisa dilakukan variasi pada beberapa titik pementasan, secara umum pementasan Sandur Manduro pimpinannya tak berubah sejak dulu.
Pertunjukan biasanya diawali dengan Tari Klono, dilanjut dengan Tari Bapang, Tari Gunungsari, Tari Panji dan Ayon-ayon. Ditutup dengan lawak pada bagian sapen. “Nah di bagian sapen ini yang ada improvisasinya biasanya, lainnya tetap karena kan pakem, dan pamakai topeng tidak berdialog,” tambah mantan Sekdes Manduro ini.
Hanya yang berubah, pada sisi pemakaian bahasa. Karena yang mengundangnya tak melulu dari Desa Manduro yang biasa memakai Bahasa Madura, Warito menyebut bahasa dalam pertunjukan pun seringkali disesuaikan dengan wilayah pengundang.
“Jadi kalau yang mengundang dominan Jawa ya pakai Bahasa Jawa. Kalau pengundangnya orang Manduro ya pakai Bahasa Madura. Tapi tetap tidak merubah jalan cerita, karena ini sudah pakem dan diwariskan,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, warga Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang merupakan keturunan orang Madura, yang sejak ratusan tahun lalu hijrah ke Jombang. Setelah berhasil mbabat alas di Kecamatan Kabuh, mereka menamakan desanya Desa Manduro. Saat ini sebagian warganya masih menggunakan Bahasa Madura. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang