Fariz Ilham Rosyidi
Latar Belakang & Permasalahan
Elemen warna sering kali dijadikan instrumen untuk memaknai sesuatu. Proses pemaknaan juga terjadi di Kabupaten Jombang, yang simbol kedaerahannya diwakili secara dominan oleh warna ijo (hijau) dan abang (merah). Dari kedua warna itu muncul akronim Jombang yang dipercaya sebagai asal muasal nama Kabupaten Jombang.
Sosiolog Universitas Darul Ulum Jombang, Dr. Tadjoer Ridjal, mengatakan bahwa dalam kultur masyarakat Jawa dikenal metode pemaknaan yang diistilahkan dengan Kirata (kira-kira ning nyata). Menurutnya, ijo mewakili kultur santri, kaum agamawan, atau lebih spesifik beragama Islam yang berasal dari masyarakat pesisir. Sedangkan abang mewakili kultur masyarakat yang berpaham nasionalis yang berasal dari pedalaman dan berlatar sejarah Kejawen (Penerbit Kompas, 2004:386).
Tujuan Penulisan
Tulisan ini berusaha memberikan gambaran mengenai sejarah dan dinamika sosial yang membentuk masyarakat Jombang dewasa ini. Melalui cerita ini diharapkan masyarakat Indonesia di daerah lainnya dapat mengambil pelajaran yang baik dari Kabupaten Jombang. Sehingga, konflik sosial yang berbasis suku, agama, maupun ras tidak akan muncul kembali.
Pembahasan
Simbol warna Kabupaten Jombang, Ijo dan abang, seringkali dianggap sebagai kultur yang berseberangan, namun kedua warna ini ternyata memiiki makna yang khusus bagi masyarakat Jombang. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran dua kerajaan besar di pulau Jawa. Kerajaan Majapahit menjadi simbol keselarasan kosmis Hindu di Nusantara, sementara Kerajaan Mataram kemunculannya menciptakan budaya dominan Islam di Tanah Jawa. Kedua aliran tersebut berkelindan di Jombang karena dianggap sebagai miniatur dari perpaduan keseimbangan yang memunculkan nilai-nilai toleransi, kemoderatan, dan sikap terbuka.
Pagar Pesantren di Kota Santri
Keadaan itu juga ditengarai oleh banyaknya pondok pesantren (ponpes) di Jombang yang membuat masyarakat Jombang lebih terbuka. Para santrinya tidak hanya berasal dari wilayah Jawa saja, akan tetapi juga berasal dari luar Pulau Jawa dengan kultur yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak dilihat sebagai ancaman bagi penduduk lokal sehingga pesantren di Jombang juga tetap diminati hingga saat ini.
Setidaknya, terdapat empat pondok pesantren besar yang didirikan sejak akhir abad ke-19. Keempat pondok pesantren itu seolah memagari pusat Kota Jombang, dengan sebelah utara Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, sebelah selatan Pondok Pesantren Salafiyah Safiyah Tebuireng, Sebelah timur Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan, dan sebelah barat terdapat Pondok Pesantren Denanyar yakni Mambaul Ma’arif.
Pada tahun 1885 Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso dirintis oleh K.H. Cholil Al-Djuraemi dan K.H. Thamim Romly. Diberikannya nama Darul Ulum sendiri juga memiliki arti yang berarti darul adalah gudang dan ulum adalah ilmu-ilmu (secara jamak). Sehingga, pondok pesantren Darul Ulum diharapkan dapat menjadi “gudangnya ilmu-ilmu”. Pondok Pesantren ini dipercayai untuk mengayomi para santri dengan mencetak kader-kader muslim yang mampu menjalankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan balutan pendidikan modern.
Sementara itu, pada tahun 1899, Pesantren Salafiyah Safiyah Tebuireng didirikan oleh Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren ini mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan dengan disumbang oleh masyarakat sekelilingnya. Pondok Pesantren Tebuireng juga menjadi saksi perjuangan melawan penjajah Jepang dengan menolak seikerei, dan tentunya seruan Resolusi Jihad untuk melawan agresi militer setelah Indonesia merdeka.
Lalu Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar didirikan oleh K.H. Bisri Syamsuri (Mbah Bisri) salah satu Tokoh pendiri Nahdatul Ulama (NU). Berdirinya Pondok Pesantren ini sekitar tahun 1917. Dibandingkan dari ketiga pesantren di atas, Pondok Mambaul Ma’arif Denanyar masih sangat muda. Pesantren ini adalah tanah kelahiran K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Presiden Republik ke-4) tokoh plurarisme Indonesia yang dikagumi di dunia.
Terakhir, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras didirikan oleh KH Abdus Salam pada tahun 1825. K.H. Abdus Salam merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit, beliau menikahi seorang putri dari Demak dan memiliki empat anak. Salah satu anaknya menikah dengan K.H. Hasyim Asy’ari cikal bakal Pondok Pesantren Tebuireng. Pondok ini hampir setara dengan Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso. Hanya saja, kekentalan budaya di pondok itu masih sangat melekat. Secara bertahap Pondok Pesantren Bahrul Ulum semakin berkembang dengan pendidikan keislamannya yang kental, sehingga dapat mencetak khalifah-khalifah muslim yang aktif dan tetap patuh terhadap ajaran islam di Indonesia. (https://m.bernas.id, 2018).
Gereja dan Kelenteng Sebagai Warna Toleransi
Selain peran dari pondok pesantren, masyarakat Jombang yang religius juga telah lama mengenal model toleransi antar pemeluk agama. Hal ini bahkan sudah berjalan sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda, seperti adanya beberapa bangunan Gereja yang ada di sekitar Pondok Pesantren Tebuireng: Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Bongsorejo dan Mojowarno. Disinyalir, gereja itu berperan penting pada penyebaran agama kristen di Indonesia.
GKJW Mojowarno merupakan gereja Jawa tertua di Jawa Timur. Bangunan ini menjadi saksi penyebaran agama Kristen melalui Nederlandsch Zendeling Genotsch (NZG) untuk memerangi perilaku buruk seperti madat, mabuk, dan main judi. Selain itu, GKJW Mojowarno juga berfungsi sebagai pelopor perdamaian pada peristiwa G30/S. Peran misionaris dan pendeta GKJW Mojowarno pada waktu itu tak henti-hentinya memberikan semangat untuk menjaga persatuan dan kebhinekaan di Kabupaten Jombang.
Lalu, sekitar dua puluh kilometer ke arah selatan dari pusat kota Jombang ada kelenteng yang sudah lama didirikan sejak tahun 1700-an. Kelenteng itu bernama Hong San Kiong yang terletak di Kecamatan Gudo. Diketahui, kelenteng ini menjadi tempat peribadatan bagi penganut Tri Dharma, yakni agama Budha, Konghucu, dan Taois. Selain menjadi tempat peribadatan, kelenteng ini juga berfungsi sebagai balai pengobatan bagi warga sekitar, baik Tionghoa maupun pribumi (situsbudaya.id, 2017).
Hal menarik lainnya dapat kita temui di Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro. Disana terdapat tiga penganut agama besar di Indonesia yakni Islam, Kristen, dan Hindu . Warga di sana membangun rumah ibadat secara berdampingan dengan jarak sekitar 100 meter. Rumah ibadah tersebut didirikan sejak tahun 1983. Meskipun demikian, tak pernah terdengar ada konflik apalagi yang berkaitan dengan agama. Bahkan, ketika peristiwa rasis yang muncul akibat krisis tahun 1998 yang melanda Indonesia, masyarakat Ngepeh tidak terpengaruh karena selalu menjaga toleransi antar umat beragama. (Triraharjo, 2019)
Kesimpulan & Saran
Bisa disimpulkan bahwa masyarakat Jombang sudah lama hidup dalam harmoni, toleransi, dan pantas mendapat gelar sebagai The Most Harmonious City in ASEAN atau kota paling toleran di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2017, Jombang mendapatkan penghargaan tersebut atas pencapaiannya menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia, baik lewat pemikiran tokoh-tokohnya seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib (Cak Nun) maupun lewat masyarakatnya sendiri yang berkultur moderat ijo dan abang.
Sekarang, untuk melihat monumen pencapaian atas prestasi itu, kita dapat melihatnya di simpang tiga Ringin Contong Jombang, tepatnya di Taman ASEAN yang bercokol sepuluh bendera negara ASEAN di atasnya. Dan monumen itu akan menjadi saksi bagi generasi selanjutnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya bahwa kita harus terus merajut persaudaraan di tengah masyarakat Indonesia yang multikultur. Dengan hidup berdampingan, maka kita akan menjadi bangsa yang kuat dan maju bersama dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Daftar Pustaka
Penerbit Kompas, 2004. Profil Daerah Kabupaten dan Kota Jilid 4, Jakarta: Kompas Media Nusantara.
https://www.bernas.id/60901-mau-nyantri-inilah-referensi-4-pondok-pesantren-yang-ada-di-jombang-yuk-simak.html diakses tanggal 20 Mei 2019 pukul 11.25 WIB
http://jejakkolonial.blogspot.com/2018/09/mengenal-mojowarno-pusat-siar-kristen.html diakses tanggal 20 Mei pukul 11.49 WIB
https://situsbudaya.id/sejarah-klenteng-hong-san-kiong-gudo/ diakses tanggal 20 Mei 2019 pukul 11.58 WIB
https://radarjombang.jawapos.com/read/2019/01/25/115791/di-dusun-ngepeh-masjid-gereja-dan-pura-hanya-berjarak-100-meter diakses tanggal 20 Mei