Syamsul Maarif
Latar Belakang & Permasalahan
Tahun 2019 merupakan “tahun politik” bagi Indonesia, dimana seluruh wilayah di negeri ini secara serentak menyelenggarakan pesta demokrasi. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu kali ini dapat dikatakan sebagai pemilu yang paling besar dalam sejarah Pemilihan Umum di Indonesia. Hal itu dikarenakan antara Pemilihan Presiden (pilpres) dan Pemilihan Legislatif (pileg) dilangsungkan secara bersamaan dalam satu kali waktu. Pilihan politik yang berbeda-beda tidak jarang meningkatkan suhu politik di negeri ini. Apalagi setelah diketahui hanya ada dua calon presiden yang secara tidak langsung menjadikan rakyat semakin terpolarisasi tajam.
Tujuan Penulisan
Artikel ini ditulis dengan maksud mewaspadai munculnya konflik, perpecahan, ataupun permusuhan akibat pemilu di negeri yang sudah berusia 73 tahun ini. Kita pasti berharap rakyat dapat kembali mengimplementasikan jati diri Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara dengan rakyat yang hidup rukun di tengah keberagaman. Saling bertoleransi sudah selayaknya sekarang ini dikedepankan oleh masyarakat di seluruh Indonesia.
Bicara mengenai toleransi, sudah dari masa ke masa banyak digaungkan oleh para aktivis kemanusiaan. Toleransi sendiri dapat diartikan sebagai sikap menghormati ataupun menghargai perbedaan pendapat. Menurut Ahmad Syarif Yahya (2017), toleransi dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan ranah sosiologis. Jika kita tarik ulang dengan realitas persoalan bangsa saat ini, khususnya mengenai perbedaan pandangan politik akibat pemilu, tepatlah toleransi harus dimunculkan oleh segenap bangsa. Sangat merugi apabila nusantara yang telah dibangun dengan perjuangan yang besar oleh pendahulu kita, terpecah belah hanya karena kepentingan politik sesaat.
Pembahasan
Salah satu wilayah di Indonesia yang menyelenggarakan pemilu periode ini adalah Jombang. Sama halnya dengan daerah lain, Jombang menggelar pilpres dan pileg secara bersamaan. Meskipun demikian, konflik atau perselisihan hanya karena perbedaan orientasi politik minim terjadi di wilayah ini bahkan tidak ada. Keharmonisan kehidupan antar masyarakat Jombang menjadi kunci tidak adanya konflik tersebut. Hal itu pula tidak lain karena peran dari masyarakat Jombang sendiri yang dalam kehidupan sehari-hari sangat mengamalkan nilai-nilai toleransi.
Merujuk laporan nu.or.id yang berjudul Junjung Toleransi Antarumat Beragama, Jombang Tuan Rumah AYIC 2017 pada 2 Juni 2017, Association of Southeast Asians Nations (ASEAN) pernah menaruh perhatian lebih pada Jombang karena perepresentasian nilai-nilai toleransi yang nyata oleh warga Jombang. ASEAN mendapuk Jombang sebagai tuan rumah ASEAN Youth Interfaith Camp (AYIC) atau Program Pertukaran Pemuda Lintas Agama. Dalam rangka penyambutan acara tersebut, Pemerintah Kabupaten Jombang meresmikan Taman ASEAN yang dibangun di sebelah selatan Ringin Conthong Jombang.
Selain melalui prestasi di atas, nilai-nilai toleransi yang diterapkan masyarakat Jombang juga dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa bulan lalu, umat Kristiani merayakan hari raya Natal, tidak terkecuali umat Kristiani yang berada di Jombang. Salah satu tempat perayaan Natal di Jombang adalah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang berada di Kecamatan Mojowarno. Keharmonisan hubungan antar umat beragama tampak pada peristiwa tersebut. Penjagaan keamanan dilakukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) saat perayaan Natal di GKJW Jombang. Banser sendiri merupakan badan otonom dari Nahdlatul Ulama’ (NU), yang mana NU adalah Ormas Islam terbesar di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan agama bukanlah suatu penghalang untuk saling menguatkan tali persaudaraan.
Pemandangan serupa juga tercermin pada masyarakat Dusun Ngepeh yang terletak di Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro. Di dusun ini, hidup masyarakat dengan tiga agama berbeda, yakni Hindu, Islam dan Kristen. Walaupun demikian, para warga tidak pernah saling bermusuhan atau mengunggulkan satu sama lain. Bahkan, di dusun ini pula tiga rumah ibadah dari masing-masing agama berdiri kokoh. Alhasil, nikmatnya kerhamonisan karena saling toleransi sangat terasa di dusun ini.
Selain nilai-nilai toleransi yang ditunjukkan lewat hubungan antar umat beragama, warga Jombang yang bergelut di dunia seni juga turut mengumandangkan nilai-nilai tersebut. Central of Peace atau yang akrab disebut C.O.P. adalah band reggae yang berasal dari Jombang. Melalui lagu yang berjudul “Jombang Beriman”, C.O.P. mengkampanyekan semangat-semangat bertoleransi. Dalam lagu tersebut terdapat lirik yang berbunyi “beragam warna, agama, budaya, bersatu dalam kedamaian”. Penggalan lirik tersebut menggambarkan bahwa Jombang sebenarnya kota dengan keberagaman yang cukup kompleks, akan tetapi Jombang mampu meleburkan semua itu menjadi simpul persatuan.
Jombang sejatinya sering dijuluki dengan sebutan “Kota Santri”, dikarenakan banyaknya pondok pesantren yang berdiri kokoh di sana. Namun, sebenarnya Jombang adalah kota dengan tingkat keberagaman yang cukup besar seperti yang telah saya uraikan di atas. Perbedaan yang sangat bervariasi, tidak menjadikan masyarakat Jombang saling bermusuhan ataupun terpecah belah. Justru karena perbedaan itulah, kerangka-kerangka persaudaraan dan persatuan dirajut masyarakat Jombang.
Kesimpulan dan Saran
Jika kita kembali pada permasalahan awal di atas, banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan masyarakat Jombang sebagai solusi mengatasi permasalahan tersebut. Lebih khusus menyikapi keberagaman, bagaimana masyarakat Jombang lebih mengedepankan persaudaraan ataupun kemanusiaan di tengah perbedaan. Sudah sepatutnya kota-kota lain di Indonesia meneladani Kota Jombang yang kental akan nilai-nilai toleransi. Sehingga, pada akhirnya mengantarkan Indonesia menjadi negara yang rukun, damai, aman sentosa dan jauh dari konflik antar saudara.