Jombang – Bagi sebagian orang, melihat tusuk sate mungkin bukanlah suatu yang istimewa. Namun, tidak bagi Heru Sibandi, 51. Warga Dusun Sedamar, Desa Talunkidul, Kecamatan Sumobito sukses dengan usaha produksi tusuk sate. Kini omzetnya pun mencapai jutaan rupiah.
Di tanah kosong di belakang rumahnya ini, bandi dibantu sejumlah pekerja setiap harinya memproduksi tusuk sate. Di dalam pabrik, beberapa orang nampak sibuk bekerja dengan mesin produksi tusuk sate. Terlihat dua pekerja duduk berjajar mengoperasikan mesin pencacah, sementara beberapa orang lain mondar-mandir menjemur dan mengambil tusuk yang setengah jadi.
Sesekali, mereka mengecek sebuah mesin di depan pintu barat, di sini, potongan kayu bambu itu digosok serta dicampur dengan lilin. ”Prosesnya memang cukup panjang, tidak bisa sehari selesai. Biasanya dua hari itu baru benar-benar siap jual,” terang Heru kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Proses produksi tusuk sate di Dusun Sedamar, Desa Talunkidul, Kecamatan Sumobito. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
Kendati terlihat sederhana, proses pembuatan tusuk sate membutuhkan keuletan. Dimulai dari mendatangkan bambu ori sebagai bahan utama tusuk sate. Menurut bandi, untuk bisa menghasilkan produk tusuk sate yang baik, tentunya bahannya juga harus berkualitas. ”Biasanya saya mendatangkan dari luar kota, sebab kualitasnya baik,” bebernya.
Setelah bahan baku siap, proses selanjutnya pemotongan. Ukurannya disesuaikan dengan produk. ”Untuk ukuran tusuk sate panjangnya 20 centimeter, dan untuk tusuk pentol Cuma 15 centimeter,” bebernya.
Setelah proses pemotongan selesai, selanjutnya dicacah. Untuk proses ini, Bandi sudah dibantu dengan keberadaan alat pencacah. ”Dicacah sampai berbentuk lidi. Setelah selesai baru dijemur seharian sampai benar-benar kering,” tambahnya.
Tak cukup dengan penjemuran, lidi-lidi ini juga harus terlebih dahulu dioven dengan belerang, untuk menghilangkan jamur. ”Kalau sudah baru masuk mesin poles itu. Di sana diberi lilin supaya halus dan debunya hilang. Terahir sebelum dibungkus diruncingkan dulu, pakai mesin juga,” lontarnya. Proses selanjutnya tinggal pengemasan dan barang siap dijual.
Seiring banyaknya konsumen, dalam sehari Bandi menghabiskan sekitar 90 buah batang bambu. ”Itu jadi sekitar 2 kuintal tusuk sate dan pentol,” bebernya.
Untuk harga, per bungkus tusuk sate, Bandi mematok Rp 12.000, sementera per bungkus tusuk pentol Rp 10.500. ”Per bungkus isi 100 biji,” singkatnya. (*)
Promosi dari Mulut ke Mulut, Kewalahan Layani Pesanan
MESKI sudah mempunyai lima karyawan, Heru Sibandi mengaku kewalahan memenuhi permintaan konsumen. Terlebih mendekati momentum hari-hari besar. Saat ini, produk tusuk satenya sudah merambah pasar di sejumlah kabupaten kota, termasuk luar Provinsi Jawa Timur.
Meski sudah memproduksi dalam skala yang cukup besar tiap harinya, Heru Subandi mengaku kuwalahan menghadapi pesanan yang datang. Padahal, ia mengaku selama ini tak pernah mempromosikan tusuk sate buatannya. ”Kalau pesanan yang datang itu jejaring saja, dari pedagang nyambung ke pedagang lainnya. Jadi dari mulut ke mulut,” lanjutnya.
Menurutnya, tingginya permintaan tusuk sate, salah satunya masih minimnya perajin. ”Terus terang saya sampai kewalahan melayani pesanan. Satu toko saja bisa 20 karung mintanya, belum yang lain,” bebernya.
Tak jarang, dia pun sampai ikut membantu membuat tusuk sate. ”Kalau pas permintaan tinggi-tingginya, saya juga kadang bantu juga,” bebernya. Tidak hanya di Jombang, konsumennya bahkan datang dari wilayah Papua. ”Biasa kirim ke beberapa kabupaten/kota di Jatim, termasuk Sulawesi dan Papua,” singkatnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Tanaman beluntas yang biasanya tumbuh liar, kini mulai dibudidayakan warga Dusun Macekan, Desa Ngrandu Lor, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang. Salah satu pembudidaya yang cukup berhasil adalah Mohammad Nuhin, 47. Ia berhasil membuat teh luntas yang dipercaya berkhasiat untuk kesehatan.
Saat Jawa Pos Radar Jombang berkunjung, Nuhin tampak sibuk memetik daun beluntas yang berada di dekat rumahnya. Tanaman yang memiliki nama ilmiah pluchea indica tersebut kemudian dimasukan keranjang. Setelah dicuci bersih, dia terlihat jeli memilah mana daun kering dan mana daun basah. Beberapa tanaman pengganggu juga dibuang.
Sesaat kemudian, dia menjemur di bawah plastik berwarna hitam agar tak langsung bertatapan dengan terik. Begitulah h proses awal Nuhin membuat teh daun luntas. Ide awal tercetus membuat teh daun luntas itu setelah melihat banyak tanaman beluntas yang dipotong begitu saja oleh warga.
Tanaman yang biasanya dimanfaatkan untuk pagar rumah itu sebelumnya memang tak bernilai ekonomi. Namun, setelah dilakukan penelitian, Nuhin akhirnya bisa membuat teh dari daun luntas. ”Saya mulai produksi sekitar tujuh bulan lalu,” terangnya sembari menuang teh luntasnya kemarin.
Teh daun luntas buatan Nuhin memiliki citarasa unik. Kendati bau daun luntas saat basah beraroma langu. Namun setelah diolah, bau itu hilang manakala sudah menjadi minuman teh. Bau langu tersebut hilang setelah proses pengeringan. Penjemuran dilakukan di bawah kresek/kain hitam agar tak terkena sinar matahari langsung.
Selain itu, waktu dan tingkat panas matahari perlu dipertimbangkan. Sebab, kalau dijemur langsung di bawah matahari, maka daun beluntas akan menjadi kering dan tidak bisa diolah menjadi teh. Sedangkan rasanya seperti teh pada umumnya hambar alias anyep. ”Kalau ingin manis ditambahkan gula sedikit,” tambah dia.
Teh daun luntas buatannya juga memiliki aroma harum. Laiknya green tea. Nuhin sengaja mengemas teh dengan cara serbuk. ”Saya tidak mengemas seperti teh kantong celup. Melainkan langsung serbuk yang diseduh pakai air panas,” jelasnya.
Untuk mengantisipasi habisnya pasokan daun luntas, Nuhin memberdayakan warga sekitar agar menanam dan menjual basah kepada dirinya. ”Mereka biasanya menjual ke saya dalam bentuk basah Rp 4.000,” papar dia.
Nuhin mengaku, kali pertama menjual the luntas, tak begitu diminati banyak orang. Namun setelah dipasarkan kesana kemari, akhirnya sekarang dirinya bisa memetik hasil. Bahkan omset penjualan teh luntasnya mencapai angka Rp 5-6 juta perbulan. ”Peminatnya rata-rata dari luar Jombang, misalnya yang selalu kita kirim Malang, Samarinda dan Balikpapan,” paparnya lagi.
Teh luntas ini memiliki manfaat lebih karena dipercaya dapat menghilangkan bau badan. Selain itu dapat mengatasi pegal linu, keputihan bagi kaum hawa, rematik dan nyeri pinggang. ”Dari konsumen yang sudah langganan memang pengakuannya dapat berkhasiat untuk kesehatan,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Desa Pagerwojo dikenal dengan kerajinan rebana, instrumen musik tradisional yang biasanya untuk kosidah dan banjari. Meski untuk menghasilkan suara rebana yang nyaring bergantung insting dan perasaan. Namun setiap hari, tiga set dihasilkan.
“Satu hari tiga set, semua pesanan karena kita tidak punya toko untuk memasarkan rebana,” ucap Muhibbin, salah seorang perajin rebana ditemui di rumahnya, kemarin (29/2). Hanya, di saat musim hujan seperti sekarang, dia tidak produksi banyak. Sebab, pembuatan rebana membutuhkan panas matahari agar kulit benar-benar kering.
Sehingga ia tak mau ambil risiko menjemur terlalu lama hingga berhari-hari ketika hujan turun. “Kalau pagi saya lihat mendung, hanya bikin satu/dua set, kalau panasnya bagus bisa sampai tiga set,” ungkapnya. Menjemur kulit rebana tak terlalu lama, cukup satu hari jika panas terik. Kecuali jika mendung bisa sampai lebih dari dua hari.
Sebagai perajin rebana, ia mengerjakan mulai dari pemotongan kayu, bubut, penempelan kulit pada kayu hingga pemasaran. Dengan dibantu empat karyawan. Kayu yang digunakannya selain kayu mangga, ada mahoni dan kayu pohon nangka. Kayu-kayu ini dipotong sendiri. Kemudian dibubut menjadi bentuk dasar rebana. Baru setelah itu dicat dan tahap pemasangan kulit.
Muhibbin memiliki banyak stok kayu yang sudah melalui proses pemotongan dan pengecatan. Ia tinggal memasang kulit dan menjemur. Setelah dijemur, rebana diberi paku, kemudian dilapisi dengan pelipit. Sebagai tahap finising, diberi paku pines memutar.
Kerajinan rebananya banyak terjual di Jawa Timur, sekitar Nganjuk, Kediri dan Jombang. Tapi terkadang ia mendapat pesanan dari Lampung. “Tapi jarang, paling sering Jatim, kemarin Ning Emma (putrinya Bu Mundjidah) juga pesan 50 set,” ungkapnya.
Satu set rebana yang dijual harganya bervariasi, bergantung jumlah jenis yang dipesan. Kisarannya Rp 500 ribu yang berisi tujuh jenis rebana, dan ada yang Rp 1,7 juta untuk lima jenis banjari. “Beda karena banjari ada kepingannya, jadi agak mahal,” tambahnya.
Kulit yang digunakan untuk membuat rebana adalah kulit kambing betina. Muhibbin tak pernah menggunakan kulit kambing jantan karena dinilainya terlalu tebal. “Kalau yang betina itu tipis dan bisa melar, kalau jantan kulitnya tebal dan tidak bisa melar,” beber dia.
Selain rebana, terkadang menerima pesanan bedug yang dibuat secara khusus dari kulit lembu. Hanya saja, bedug tidak dibuat setiap hari. “Kalau ada pesanan saja, kalau tidak ada ya tidak buat,” imbuhnya.
Menurut Muhibbin, pembuatan rebana memerlukan insting yang kuat. Terutama saat memasang kulit secara benar karena tidak semua orang bisa melakukan. Menghasilkan rebana dengan suara yang diinginkan, katanya, tergantung dari pemasangan kulit.
“Khusus untuk yang masang kulit harus saya tangani sendiri. Agar menghasilkan bunyi yang pas karena harus pakai perasaan,” terang dia sambil menunjuk ke arah rebana.
Satu rebana baru, bisa bertahan kurang lebih satu tahun. Biasanya, rebana butuh pembaruan kulit karena biasanya kendor. Pemesan pun bisa membawa datang ke tempatnya untuk memperbaiki rebana. “Kalau sudah diganti dengan kulit baru, bisa bertahan bertahun-tahun. Karena kulitnya sudah kering,” pungkasnya.
Penyimpanan rebana setelah dipakai juga harus dilakukan secara benar. Tidak boleh diletakkan di tempat lembab agar tidak menjamur. Tak heran, produksi rebana yang diteruskan sejak 1984 lalu, masih bertahan sampai sekarang. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang