• info@njombangan.com

Daily ArchiveMarch 16, 2020

Ukir Sketsa Wajah di Kayu Jati yang Mulai Digandrungi Masyarakat Kabuh

Jombang – Cukup banyak industri mebel di wilayah utara Brantas. Seiring berjalannya waktu, para perajin mulai tak hanya memproduksi furniture. Melihat pasar, mereka berinovasi membuat ukiran sketsa wajah yang berbahan kayu jati.

Dari sebuah bangunan kecil yang lokasinya di belakang rumah, Adi Hariono, 25, pemuda Desa Tanjungwadung, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, memulai bisnisnya. Bermodalkan mesin ukir dan pengalamannya sebagai perajin mebel, Adi mengubah papan kayu jati bekas menjadi kerajinan yang bernilai jual yaitu sketsa siluet.

Bisnis ini sudah ia jalani sejak tiga bulan lalu. Awalnya, dia hanya memproduksi sketsa ukir untuk koleksi pribadi. ”Namun setelah itu, banyak yang minta dibuatkan. Sementara ini permintaan dari warga desa sendiri, dan desa tetangga. Biasanya untuk dipajang di dinding rumah,” kata Adi kepada Jawa Pos Radar Jombang, kemarin (15/3).

Ide tersebut bermula ketika ia jengah dengan banyaknya limbah kayu jati hasil dari perusahaan mebel milik saudaranya. Sebagian besar limbah kayu jati itu hanya digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. ”Saya mencoba memaksimalkan limbah tersebut sebagai kerajinan. Pertama kali saya coba buat sendiri, ternyata banyak peminat,” lanjutnya.

Alasan lain, selama ini Adi kesulitan mendapatkan lapangan kerja yang layak. ”Sekarang susah mencari pekerjaan. Dalam setiap tahun ada begitu banyak lulusan SMA dan perguruan tinggi. Sedangkan lapangan kerja semakin sempit, mencari pekerjaan saja seperti kompetisi,” imbuh Adi. 

Atas dasar itu, Adi mencoba berwirausaha dengan mengolah limbah kayu jati untuk produk kerajinan ukiran. ”Awalnya untuk pekerjaan saya sendiri. Tapi mimpi saya, ke depan bisa menyerap dan memberikan peluang pekerjaan untuk teman-teman di desa,” tambahnya.

Untuk membuat ukir sketsa wajah ini, Adi menggunakan limbah kayu jati yang sudah berbentuk papan. Selain jenis kayu jati, untuk jenis sketsa tertentu Adi juga menggunakan kombinasi kayu triplek. ”Proses awal yaitu menyiapkan sketsa wajah yang akan digambar di kayu. Pola sketsa dicetak di kertas,” ujarnya. Setelah itu papan yang akan diukir dipotong sesuai ukuran pemesan.

”Papan biasanya tebal satu sentimeter, tapi bisa juga dua meter. Tergantung permintaan,” tambahnya. Begitu sudah terpotong sesuai ukuran, papan kemudian disambung menggunakan lem kayu. ”Rata-rata permintaan ukuran 50×70 sentimeter. Kadang ada juga yang minta ukuran lebih kecil. Untuk satu sketsa yang ukuran 50×70 biasanya butuh waktu 2 sampai 3 hari,” lanjutnya.

Selain menggunakan mesin, dalam mengukir Adi juga menggunakan alat pahat manual. Mengenai harga, Adi menyebut tergantung ukuran serta permintaan bahan. ”Misalnya sketsa Bung Karno ukuran 50×70 dengan bahan kayu jati sama triplek, saya bandrol dengan harga 300 ribu,” katanya. Sedangkan jika permintaan full kayu jati, Adi menyebut harga bisa lebih mahal lagi. ”Paling mahal 400 ribu,” pungkasnya. (*)

(jo/mar/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang

Sate Kuda Sumbawa; Legendaris Sejak 1997, Pakai Daging Kuda Sumbawa

Jombang – Salah satu rumah makan di Jombang ternyata punya menu khusus dan khas yang telah ada sejak puluhan tahun lalu. Sate kuda dan daging kuda asli Sumbawa.

Rumah makan Mayar, yang menyediakan menu ini terletak di pinggir jalan nasional masuk Dusun Ngemplak, Desa Pagerwojo, Kecamatan Perak. Tak sulit menemukan rumah makan ini. Lokasinya hanya berjarak 300 meter dari embong miring perak, terletak di sisi timur jalan raya. Tulisan sate kuda dan beberapa makanan lain pun bisa dilihat jelas pada papan nama rumah makan.

“Di sini, sate kuda tersedia setiap hari. Setiap saat bisa dipesan. Dagingnya juga selalu ada dan disiapkan,” ucap Bayu Wijayanto, pemilik rumah makan.

Bayu cerita, sudah buka sejak 1997. “Saya generasi ke dua,” ungkapnya. Ia menyebut, daging yang dipakai sate di warungnya menggunakan daging kuda asli Sumbawa. Pemotongannya dilakukan di Kediri.

Bayu menjelaskan, tekstur sate daging kuda nyaris tak berbeda dengan sate sapi, ataupun kambing. Perbedaan yang paling menonjol adalah tak adanya lemak pada sate kuda. “Bedanya hanya kelihatan waktu masih mentah, warna dagingnya lebih merah. Tapi rasanya ya kayak daging sapi. Daging kuda tidak ada lemaknya, jadi satenya daging semua,” lanjutnya.

Proses pembuatan sate kuda juga tak berbeda dengan sate lain. Diawali dengan memotong daging kuda menjadi bentuk dadu lalu ditusuk menggunakan lidi. Dalam satu tusuk, Bayu biasa memasang tiga hingga empat daging, tergantung ukurannya. “Setelah itu baru direndam dengan sari nanas, supaya empuk. Setelahnya, dibakar diatas bara api sampai lima menit, hingga daging matang,” urainya.

Setelah matang, sate pun siap dihidangkan. Diberi bumbu kacang dan kecap lengkap dengan irisan bawang merah. “Cuma yang berbeda, bumbu kacang untuk sate kuda ditambah kacang mente, jadi lebih enak dan gurih rasanya,” rinci Bayu.

Satu porsi sate kuda berisi 10 tusuk, plus nasi, Rp 30 ribu. Dalam seminggu, Bayu mengaku bisa menjual hingga 30 kilogram daging kuda. “Pembelinya rata-rata dari luar kota, biasanya langganan khusus. Tapi dari Jombang juga ada. Pengguna jalan yang kebetulan lewat juga ada,” ungkapnya.

Dipercaya untuk Vitalitas hingga Obat Penyakit

TAK saja diburu karena rasanya yang khas, sate kuda juga memiliki pelanggan khusus. Para pelanggan ini mencari sate kuda tidak hanya untuk makan agar kenyang. “Daging kuda dikenal bisa untuk  vitalitas pria dewasa, selain itu biasanya juga untuk pegal-pegal,” ucap Bayu.

Selain dua manfaat itu, Bayu sering mendapat beragam testimoni dari pelanggan yang membeli sate kuda. Diantaranya untuk pengobatan keluarga. “Testimoni dari pembeli, ada yang buat obat sesak nafas. Dulu ada pelanggan dari Wonosalam, dia khusus membeli untuk obat eksim anaknya,” lontarnya. Sampai sekarang testimoni itu dia tulis sebagai manfaat sate kuda.

Hal inipun diakui salah satu penikmat sate kuda yang ditemui Jawa Pos Radar Jombang. Reviwati, 45, mengaku merasa lebih bugar setelah menyantap sate kuda di rumah makan milik Bayu. “Ya bisa buat menghilangkan capek-capek, jadi lebih enteng badannya,” terangnya.

Warga Lamongan ini sering mampir setiap kali melintas di Jombang. “Sudah langganan. Rasanya juga enak,  dagingnya empuk,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang