Jombang – Mewabahnya virus korona di penjuru dunia termasuk Indonesia, membuat permintaan temulawak dan kunyit naik. Baik di tingkat pedagang maupun produsen. Temulawak dan kunyit ramai dipesan karena dipercaya dapat meningkatkan imun tubuh.
Satu persatu karung berisi temulawak dan kunyit diangkut ke mesin penggiling. Usai digiling lembut, karung besar yang berisi temulawak dan kunyit ditimbang lalu dipacking untuk dikirim.
Ya, salah satu produsen pengolahan kunyit dan temulawak di Desa Mancar, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang ini kebanjiran order seiring mewabahnya virus korona. Temulawak dan kunyit yang masuk dalam kategori rempah-rempah, dipercaya bisa meningkatkan imunitas untuk menangkal virus seperti korona.
”Kalau diakui meningkat ya. Sebelum ada korona kami rutin mengirim sekitar 500 ton per bulan, namun sejak dua minggu terakhir meningkat jadi 700 ton,” ujar M Syaifuddin pemilik usaha, kemarin (13/3).
Dia menambahkan, seiring meningkatnya permintaan, harga bahan temulawak dan kunyit di tingkat petani juga naik. Misalnya kunyit yang kualitas bagus kini dihargai Rp 15 ribu/kg, dari harga beli sebelumnya hanya Rp 10 ribu. Sedangkan temulawak dari harga sebelumnya Rp 6 ribu, kini menjadi Rp 8 ribu. ”Memang dampak permintaan ini harga di petani dinaikkan,” jelas dia.
Begitu harga di tingkat petani naik, lanjut dia, harga olahan kunyit dan temulawak yang dia jual juga mengalami kenaikan. Serbuk jamu temulawak dari sebelumnya Rp 9 ribu menjadi Rp 20 ribu per kilo. Sedangkan kunyit dari harga awal Rp 20 ribu menjadi Rp 50 ribu per kilo. ”Permintaan dari luar Indonesia juga ada, termasuk beberapa negara di Asia,” jelasnya.
Kunyit dan temulawak tersebut didapatkan dari berbagai daerah di Jawa Timur termasuk Wonosalam. ”Dari Jombang ada namun tidak banyak, paling banyak dari daerah selatan,” papar dia.
Temulawak dan kunyit tersebut sebelumnya dijual belikan untuk campuran makanan ternak. Khususnya kunyit yang dikenal dengan nama latin curcuma domestica ini. Namun seiring perkembangan isu nasional, banyak yang membeli kunyit untuk jamu. ”Kami kan jual olahan serbuk, jadi tinggal mengonsumsi untuk jamu. Namun harus sesuai takaran,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Banyak minuman yang dikemas dalam gelas plastik dimanfaatkan Ari Rahmawati, warga Kepanjen Jombang untuk menekuni usaha sablon gelap cup.
Waktu masih pagi, aktivitas sablon milik Ari Rahmawati sama persis dengan sablon pada umumnya. Sejumlah pekerja sibuk menyelesaikan pekerjaan. Ada yang tengah mengelas baja untuk cetakan sablon, sebagian sibuk menempel bahan sablon ke plastik.
Ya, aktivitas itu berlangsung hampir setiap hari. Bengkelnya yang berada di gang atau dekat RSUD Jombang, terlihat ramai. Selain proses produksi, beberapa pelanggan datang pergi untuk mengambil pesanan.
Ari Rahmawati pemilik usaha mengaku, kerajinan mecetak sablon di gelas plastik beserta tutupnya itu belum berlangsung lama. “Baru tiga tahunan ini berjalan,” katanya membuka pembicaraan dengan Jawa Pos Radar Jombang kemarin (14/3).
Sembari memperlihatkan produk miliknya yang sudah jadi, dia menceritakan, sablon di gelas plastik atau cup ini bermula saat tren penjualan es dan kopi yang semakin berkembang pesat. Sehingga perlu gelas yang terdapat brand yang dipasang pemilik usaha. “Dari situ kemudian muncul ide membuat sablon. Setelah saya tanya ke teman-teman, ternyata di Jombang masih jarang,” imbuh dia.
Berbekal tekat itu dia kemudian menjajaki informasi di setiap media sosial. Melalui akun youtube dia terus berupaya mencari bagaiamana proses pembuatan gelas cup itu. “Ternyata paling banyak di luar kota, jadi ya ada peluang buka sendiri,” sambungnya.
Singkat cerita, dia akhirnya membuka produksi gelap cup. Seiring perkembangan waktu, dari mulut ke mulut akhirnya usaha dia mulai berkembang. Kini, pemesanan sablon miliknya merambah konsumen hingga luar Jombang. “Jombang saja sedikit, paling 20 outlet. Paling banyak yang mesan dari luar semua, mulai Surabaya, Malang, Probolinggo hingga Kediri,” sebut wanita usia 30 tahun ini.
Proses produksi disebutnya hampir sama dengan sablon pada umumnya. Yang membedakan hanya gelas ukurannya lebih mini. Dan medianya pun di plastik. “Baik tutup atau gelas plastik yang kita sablon,” terang dia. Sehingga sudah ada design yang disiapkan.
“Biasanya design sudah dari pemesan, kalau pun belum ada, kami bisa membantu buatkan. Artinya pesan kemudian tinggal ambil atau kirim,” sambungnya. Banyaknya pesanan dari luar Jombang, dalam sehari ia bisa menghasilkan hingga 15.000 gelap cup.
Dengan dibantu enam pekerja. Setiap pekerja masing-masing bisa membuat 1.000 gelas. “Tugasnya beda-beda, ada yang sablon tutup ata cup plastik. Sebagian nyablon gelas,” sebut Ari.
Harga yang ditawarkan masih terjangkau. Paling murah dibanderol Rp 350 per cup. “Paling mahal untuk gelar dari karton atau untuk panas Rp 650 per cup. Sudah komplet paper dan tutupnya,” pungkasnya. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Doa bersama mengenang 40 hari meninggalnya KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah digelar di Pondok Pesantren Tebuireng, Kamis malam (12/3). Ribuan orang memenuhi kompleks pemakaman keluarga sejak sore. Selain warga sekitar pondok, sebagian dari mereka juga peziarah dari luar Jombang.
Usai doa bersama, keluarga almarhum Gus Sholah yang diwakili Irfan Asy’ari Sudirman Wahid atau yang akrab disapa Gus Ipang memberikan sambutan. “Atas nama keluarga kami mengucapkan terima kasih atas kehadirannya dalam doa bersama 40 hari meninggalnya ayah,” ungkap Gus Ipang.
Sambil berlinang air mata, Gus Ipang mengenang perjalanan hidup ayahnya selama memimpin pondok pesantren Tebuireng. “Sekitar tahun 2006, Mbah Ud (KH Yusuf Hasyim) memanggil ayah. Beliau menanyakan kepada ayah, apakah siap melanjutkan tampuk kepemimpinan sebagai pengasuh di Tebuireng,” lanjutnya. Atas pertanyaan itu Gus Sholah tidak langsung menjawab, tapi meminta waktu untuk berpikir.
“Karena pada waktu itu, ayah juga mendapat tawaran untuk menjadi duta besar di Aljazair. Kemudian Mbah Ud memberikan kesempatan ayah untuk berpikir,” imbuhnya. Namun di akhir pembicaraan, KH Yusuf Hasyim bertanya apakah Gus Sholah tega membiarkan Tebuireng tetap seperti ini.
“Ayah ditanyai, menjadi duta besar atau Tebuireng tetap begini saja kondisinya. Ucapan Mbah Ud itu mengena di hati dan perasaan ayah, akhirnya dipilihlah Tebuireng,” tambahnya.
Ipang berkata, Gus Sholah menyebut itu adalah dawuh dari Mbah Hasyim yang harus dijalankan. “Setelah itu, ayah magang tiga bulan di Tebuireng. Ayah belajar apapun tentang Tebuireng. Khas ayah adalah mencermati sesuatu, memetakan, dan membuat strategi apa yang harus disempurnakan,” ujarnya.
Bagi mereka yang kenal dekat dengan Gus Sholah, Ipang menyebut pasti tahu cirikhas tersebut. “Ini khas orang ITB, pemikirannya memang seperti itu. Namun saat itu banyak yang meragukan bapak sebagai pengasuh pondok. Karena ayah kan bukan kiai, kok mengurus Tebuireng. Dia hanya lulusan ITB, bukan pondok. Hobinya gitaran menyanyi. Waktu jadi OSIS SMAN 1 Jakarta, ayah ketua bidang kesenian,” imbuhnya.
Gus Sholah semasa hidup juga sering bergaul dengan bukan kiai. “Mereka yang bersuara karena tidak mengenal bapak. Padahal bapak tipe orang yang punya komitmen, pasti akan dikerjakan sampai tuntas. Ciri khas bapak adalah menyukai perbaikan. Secara sistematis bapak pasti memetakan masalah dan mencari jalan keluarnya,” ucap Ipang.
Hal itu bisa dilihat dari kondisi Pondok Pesantren Tebuireng dibanding 14 tahun lalu. “Banyak perubahan di pondok selama bapak memimpin sebagai pengasuh,” tegasnya.
Sementara itu, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz mengatakan, banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Gus Sholah. “Sejak 2013, beliau membuka cabang pondok pesantren. Mulai dari SMA Sains, hingga Tebuireng pondok pesantren cabang ke-15 di Samarinda. Hanya dilakukan dalam waktu enam tahun, jadi banyak yang sudah dilakukan beliau,” bebernya.
Doa bersama mengenang 40 hari meninggalnya Gus Sholah juga dihadiri para dzurriyah KH Hasyim Asy’ari, Bupati Jombang Mundjdiah Wahab, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nazaruddin Umar, Pengasuh pondok pesantren Al Mahbubiyyah Jakarta KH Manarul Hidayat, serta beberapa kiai lainnya. (*)
Bupati: Dakwah dan Berjuang
BUPATI Mundjidah Wahab mengenang pesan khusus Gus Sholah. Saat menghadiri peringatan 40 hari wafatnya KH Salahuddin Wahid di Tebuireng kemarin malam (12/3), disampaikan kenangan itu saat maju pilkada 2018. Tujuan yang lurus penting untuk keberhasilan memimpin Jombang, yaitu dakwah dan berjuang.
“Dua pesan ini masih terus saya ingat, saat saya meminta restu kepada Gus Sholah,” tambahnya. Gus Sholah juga salah satu tokoh yang perjuangannya luar biasa. Perjuangan di jalan Allah dan kecintaannya pada NU harus dicontoh generasi muda. Gus Sholah menjunjung tinggi toleransi, baik antar umat beragama serta menghargai perbedaan antar organisasi.
“Gus Sholah juga salah satu pemersatu antara dua organisasi Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU,” tambahnya. Atas perjuangan semua tokoh, termasuk Gus Sholah, Alhamdulillah Pondok Pesantren Tebuireng sudah berdiri 16 cabang pondok di seluruh Indonesia. “Ini sangat luar biasa,” puji bupati.
Lebih dari itu, Mundjidah juga mengungkapkan keberhasilan pembangunan dan ketenteraman Jombang tidak lepas dari peran empat pesantren Jombang dari segala penjuru di Jombang. Kondisi dan situasi Jombang yang aman menurutnya karena empat pesantren besar menjadi penyangga.
Dari arah selatan ada Pesantren Tebuireng, dari arah barat ada Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, di utara ada Bahrul Ulum Tambakberas, dan di sisi timur ada Darul Ulum Rejoso Peterongan. “Empat pondok pesantren dengan ribuan santri ini yang menyangga Kabupaten Jombang,” tambahnya.
Peringatan 40 hari wafatnya Gus Sholah diselenggarakan di samping makam. Puluhan ribu jamaah dan santri hadir. Saking banyaknya, kehadiran jamaah memakan separuh badan Jl KH Hasyim Asyari. (*)
(jo/wen/mar/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang