Fariz Ilham Rosyidi
Latar Belakang & Permasalahan
Perkembangan suatu wilayah yang disebut sebagai kota biasanya dimulai dari sebuah desa yang mengalami perubahan terus-menerus. Dalam perjalanannya, desa akan mulai berubah menjadi kota kecil, kota kecil akan menjadi kota sedang, kota sedang akan menjadi kota besar, kota besar akan menjadi metropolis, dan metropolis akan berubah menjadi megapolis. Di dalamnya terdapat banyak pertemuan yang kompleks dengan berbagai macam entitas yang membentuk berbagai macam ciri yang nampak, seperti yang diutarakan Kevin LynchDalam penelitiaannya, ia menyebutkan bahwa kota terdiri atas beberapa elemen, salah satunya adalah landmark (Basundoro, 2012:1).
Landmark atau tetenger diartikan sebagai penanda sebuah kota. Keberadaan sebuah landmark dapat membentuk simbol identitas dan status dari suatu wilayah administratif. Di Jawa, salah satu ciri dari simbol tersebut dapat ditengarai dengan adanya hamparan lapangan rumput luas yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor pendopo dan masjid. Tempat ini yang biasanya dinamakan dengan “alun-alun”.
Sejak masa Kerajaan Majapahit, alun-alun telah dikenal dan namanya telah diabadikan dalam sebuah riwayat, yakni Alun-Alun Bubat. Dalam sejarahnya kemudian, pada masa kerajaan Mataram alun-alun terbagi menjadi dua jenis, yaitu alun-alun keraton kerajaan (kediaman raja) dengan alun-alun kabupaten (kediaman bupati). Alun-alun kerajaan, seperti Surakarta dan Yogyakarta, mempunyai dua buah alun-alun yang mana satu terletak di utara keraton dan satu lagi terletak di selatan keraton. Permukaan alun-alun keraton tersebut berupa hamparan pasir halus, sedangkan alun-alun kabupaten mempunyai satu alun-alun di depan kediaman bupati dan hamparannya biasanya berumput (Warpani, 2009:1). Pada periode tersebut ditemukan adanya makna orientasi kota. Orientasi yang dimaksud adalah hubungan antara alun-alun pada objek dan kawasan sekitarnya. Pada konsep alun-alun Jawa terdapat konsep mancapat yang berarti alun-alun menjadi konsep spasial penentu mata angin di kotanya. Sedangkan pada alun-alun masa kolonial fungsinya untuk penghimpunan massa dan kegunaannya untuk simbolisme dari kekuasaan terhadap bumiputera (Handinoto, 1992:13).
Tujuan Penulisan
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan sejarah perjalanan Jombang sebagai kota toleransi yang mana warganya dapat menghormati dan hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan. Penulis berharap, tulisan ini dapat menjadi pengingat khususnya bagi warga Jombang untuk terus merawat keharmonisan ini. Selain itu, artikel ini juga dapat dijadikan inspirasi bagi daerah lain untuk belajar menjaga hubungan baik di masyarakat.
Pembahasan
Salah satu contoh dari akulturasi konsep orientasi alun-alun Jawa dan Kolonial adalah kompleks alun-alun Djombang. Alun-alun dianggap mempunyai orientasi karena menjadi bukti sejarah dimulainya pemerintahan di Kabupaten Jombang. Selain itu, alun-alun mempunyai aspek struktur konsep tata kota tradisional di Jawa yang disebut catur tunggal. Hal ini dapat diamati dari adanya bangunan di sekitar alun-alun. Catur tunggal atau orang Yogyakarta menyebutnya catur gatra tunggal adalah empat komponen utama yang meliputi pendopo, masjid, pengadilan (penjara), dan pasar (Fitria, 2017:1).
Alun-alun merupakan ruang persegi bersejarah di Jawa yang menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah dan menjadi pusat kegiatan hingga saat ini. Alun-alun Kota Jombang dianggap sebagai melting-pot (titik pertemuan) masyarakat Jombang seperti pertemuan, kegiatan keagamaan serta kegiatan kenegaraan.
“…Jika ingin rakyatnya beragama maka Bupati harus menyediakan ‘tempat ibadah’ masjid, jika ingin rakyatnya sejahtera maka Bupati perlu menyediakan pasar, lalu jika ingin rakyatnya adil, maka hakim perlu membuat pengadilan dan penjara, dan yang terrakhir, jika rakyat menginginkan Bupatinya bijak maka perlu membuat pendopo sebagai bentuk keluh kesah rakyat kepada penguasanya…” (Basundoro, 2009:12).
Hal itu dapat ditinjau dari adanya aktivitas dan pranata yang berlaku di kawasan sekitar alun-alun yang saling memiliki keterkaitan. Adapun tempat-tempat yang dimaksud akan dipaparkan sebagai berikut:
Konon disebutkan dalam cerita rakyat tentang hubungan Bupati Jombang yang pertama yakni Soeroadiningrat (Kyai Sepuh) dengan Bupati Sedayu (Gresik) dalam soal ilmu yang berkaitan dengan pembuatan masjid di Kota Jombang (Fahrudin Nasrulloh dkk, 2010:2). Hal itu merupakan petunjuk yang mendasari eksistensi awal tata kota di Kabupaten Jombang, tepatnya di kampung Muslim yang dikenal dengan “Kauman”. Masjid yang diberi nama Baitul Mukminin ini terletak di sebelah barat alun-alun. Masjid Agung ini merupakan salah satu masjid tua di Jombang, Berdirinya masjid bersamaan dengan berdirinya gereja Mojowarno pada tahun 1879. Akan tetapi, kedua pembangunan tempat ibadah ini menempati wilayah yang berbeda dan berjauhan (Humas Bappeda Jombang, 2014:26). Meski begitu, sekitar dua ratus meter dari timur alun-alun, dibangun Gereja Pantekosa untuk peribadatan masyarakat Kristen di pusat kota Jombang agar mereka tidak perlu pergi ke Mojowarno untuk melaksanakan ibadah.
Bagi warga Tionghoa, terdapat Kelenteng Hok Liong Kiong Kepatihan yang berada sekitar satu kilometer ke utara alun-alun Jombang. Kelenteng ini menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi penganut Tri Dharma. Selain itu, warga Tionghoa menyulap tempat di sekitarnya sebagai Kampung Pecinan, yang berdekatan dengan kegiatan pasar.
Pada tahun 1893 Afdeeling Jombang mulai membangun pemerintahannya. Hal tersebut dikuatkan dengan penempatan Asisten Resident dari Pemerintahan Belanda di wilayah Kabupaten Jombang. Sebagai simbol kekuasann, pada saat itu dibangun pendopo dan kantor keresidenan (yang saat ini menjadi kantor Bupati Jombang). Posisi Masjid Agung dan Pendopo Bupati berseberangan dan menghadap terbuka ke lapangan alun-alun. Perpanjangan sumbu tersebut dalam pandangan Jawa merepresentasikan adanya konsep relasi antara manusia dengan Tuhan, relasi antara manusia (penguasa) dengan masyarakat, dan relasi antara manusia dengan alam. Harmonisasi tersebut telah tergambar dan dapat dilihat hingga sekarang.
Sekitar tahun 1917, Kebon Rojo sudah menjadi ruang terbuka dengan pasar dan taman yang saling berdampingan. Selain sebagai ruang terbuka, Kebon Rojo juga berperan sebagai simbol kesejahteraan masyarakat di Jombang yang dibangun dekat dengan alun-alun. Pada tahun 1948, terjadi perang kebon rojo. Perang atau bisa disebut sebagai serangan tersebut dinilai berhasil karena Kebon Rojo yang menjadi jantung kota masyarakat Jombang, tidak jadi dibumihanguskan oleh Belanda.
Pengadilan dan penjara di Jombang sudah ada sejak jaman Hindia-Belanda. Pada waktu itu bernama Landraad. Sebelumnya, wilayah hukum di Jombang masih mengikuti Mojokerto, namun pada tahun 1954, Kabupaten Jombang memisahkan diri dan mendirikan pengadilan negeri yang terletak tidak jauh dari alun-alun. Sebagaimana kota tradisional di Jawa, pengadilan serta penjara tidak terpisahkan untuk menjaga pranata sosial dan pranata hukum dalam menjaga kerukunan serta ketertiban di wilayah Jombang, khususnya wilayah kota (Sri Margana, 2010:22).
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan tentang konsep catur gatra tunggal di atas, tulisan ini dapat menjadi sumber referensi bagi generasi muda agar mereka lebih memahami sejarah Kota Jombang. Sejak dulu kompleks Alun-Alun Djombang telah menjadi irisan perkembangan sekaligus saksi berdirinya Kabupaten Jombang. Di dalamnya memuat unsur toleransi yang begitu kental dengan ciri masyarakat Jombang, yakni kultur ijo (santri) dan abangan (kejawen).
Lampiran Foto
Foto 1 Boong Ge bersama keluarganya di Kebon Rojo Jombang tahun 1917(Dok. Ge Simao)
Foto 2 keadaan Terminal Penumpang Umum dekat alun-alun di Kauman Utara Kecamatan Jombang pada tahun 1938 (dok. Pribadi)
Foto 3 Pendopo Kabupaten Jombang pada tahun 1930 (dok. Istimewa)
Foto 4 Arsip Pembentukan Kabupaten Jombang pada Tahun 1910 hasil pemekaran dari Mojokerto (dok. pribadi).
Daftar Pustaka
Buku
Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
________. 2009, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak.
Nasrulloh, F., Sukarno, D., dan Wibisono, Y. 2010. Biografi Para Bupati Jombang Jombang: Pemerintah Kabupaten Jombang.
Margana, Sri, 2010. Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: Ombak.
Tim Bappeda dan Humas Jombang, 2014. Profil Kabupaten Jombang: Visit Jombang friendly and religious Jombang: Bappeda Kabupaten Jombang.
Skripsi
Fitria, Lum’atul. 2017. Analisis Fungsi dan Struktur Alun-Alun Kota Jombang Serta Kawasan Sekitar Sebagai Kawasan Bersejarah. Bogor: Skripsi Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Jurnal
Handinoto. 1992. ”Alun-Alun Sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang”. Jurnal Dimensi Vol.18
Warpani, Suwardjoko. 2009. “Alun-Alun Lor dan Kidul”, SAPPK Perencanaan Wilayah dan Kota p.1