• info@njombangan.com

Daily ArchiveMarch 2, 2020

Geliat Produksi Tusuk Sate di Dusun Sedamar, Omzetnya Jutaan Rupiah

Jombang – Bagi sebagian orang, melihat tusuk sate mungkin bukanlah suatu yang istimewa. Namun, tidak bagi Heru Sibandi, 51. Warga Dusun Sedamar, Desa Talunkidul, Kecamatan Sumobito  sukses dengan usaha produksi tusuk sate. Kini omzetnya pun mencapai jutaan rupiah.

Di tanah kosong di belakang rumahnya ini, bandi dibantu sejumlah pekerja setiap harinya memproduksi tusuk sate. Di dalam pabrik, beberapa orang nampak sibuk bekerja dengan mesin produksi tusuk sate. Terlihat dua pekerja duduk berjajar mengoperasikan mesin pencacah, sementara beberapa orang lain mondar-mandir menjemur dan mengambil tusuk yang setengah jadi.

Sesekali, mereka mengecek sebuah mesin di depan pintu barat, di sini, potongan kayu bambu itu digosok serta dicampur dengan lilin. ”Prosesnya memang cukup panjang, tidak bisa sehari selesai. Biasanya dua hari itu baru benar-benar siap jual,” terang Heru kepada Jawa Pos Radar Jombang.

Proses produksi tusuk sate di Dusun Sedamar, Desa Talunkidul, Kecamatan Sumobito.

Proses produksi tusuk sate di Dusun Sedamar, Desa Talunkidul, Kecamatan Sumobito. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)

Kendati terlihat sederhana, proses pembuatan tusuk sate membutuhkan keuletan. Dimulai dari mendatangkan bambu ori sebagai bahan utama tusuk sate. Menurut bandi, untuk bisa menghasilkan produk tusuk sate yang baik, tentunya bahannya juga harus berkualitas. ”Biasanya saya mendatangkan dari luar kota, sebab kualitasnya baik,” bebernya.

Setelah bahan baku siap, proses selanjutnya pemotongan. Ukurannya disesuaikan dengan produk. ”Untuk ukuran tusuk sate panjangnya 20 centimeter, dan untuk tusuk pentol Cuma 15 centimeter,” bebernya.

Setelah proses pemotongan selesai, selanjutnya dicacah. Untuk proses ini, Bandi sudah dibantu dengan keberadaan alat pencacah. ”Dicacah sampai berbentuk lidi. Setelah selesai baru dijemur seharian sampai benar-benar kering,” tambahnya. 

Tak cukup dengan penjemuran, lidi-lidi ini juga harus terlebih dahulu dioven dengan belerang, untuk menghilangkan jamur. ”Kalau sudah baru masuk mesin poles itu. Di sana diberi lilin supaya halus dan debunya hilang. Terahir sebelum dibungkus diruncingkan dulu, pakai mesin juga,” lontarnya. Proses selanjutnya tinggal pengemasan dan barang siap dijual.

Seiring banyaknya konsumen, dalam sehari Bandi menghabiskan sekitar 90 buah batang bambu. ”Itu jadi sekitar 2 kuintal tusuk sate dan pentol,” bebernya.

Untuk harga, per bungkus tusuk sate, Bandi mematok Rp 12.000, sementera per bungkus tusuk pentol Rp 10.500. ”Per bungkus isi 100 biji,” singkatnya. (*)

Promosi dari Mulut ke Mulut, Kewalahan Layani Pesanan

MESKI sudah mempunyai lima karyawan, Heru Sibandi mengaku kewalahan memenuhi permintaan konsumen. Terlebih mendekati momentum hari-hari besar. Saat ini, produk tusuk satenya sudah merambah pasar di sejumlah kabupaten kota, termasuk luar Provinsi Jawa Timur.

Meski sudah memproduksi dalam skala yang cukup besar tiap harinya, Heru Subandi mengaku kuwalahan menghadapi pesanan yang datang. Padahal, ia mengaku selama ini tak pernah mempromosikan tusuk sate buatannya. ”Kalau pesanan yang datang itu jejaring saja, dari pedagang nyambung ke pedagang lainnya. Jadi dari mulut ke mulut,” lanjutnya.

Menurutnya, tingginya permintaan  tusuk sate, salah satunya masih minimnya perajin. ”Terus terang saya sampai kewalahan melayani pesanan. Satu toko saja bisa 20 karung mintanya, belum yang lain,” bebernya.

Tak jarang, dia pun sampai ikut membantu membuat tusuk sate. ”Kalau pas permintaan tinggi-tingginya, saya juga kadang bantu juga,” bebernya. Tidak hanya di Jombang, konsumennya bahkan datang dari wilayah Papua. ”Biasa kirim ke beberapa kabupaten/kota di Jatim, termasuk Sulawesi dan Papua,” singkatnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

Photo courtesy: Radar Jombang

Article courtesy: Radar Jombang