Semoga kita semua dimanapun berada selalu dalam keadaan baik, sehat, sejahtera, dan bahagia. Amien.
Njombangan mengajak seluruh masyarakat untuk Bersama melawan Covid-19 melalui berbagai cara yang sederhana. Salah satunya adalah mendukung program Njombangan Berbagi.
Dengan semakin merebaknya wabah Corona, maka keluarga dari ekonomi lemah serta mereka yang berpenghasilan harian menjadi kelompok yang semakin rentan terkena dampaknya. Oleh karena itu, Njombangan kembali mengadakan program sosial Njombangan Berbagi untuk mengajak #BersamaLawanCorona
Kamu bisa mengusulkan tetangga, teman, keluarga atau siapapun di Jombang yang kiranya berhak menerima bantuan ini (one time assistance). Kriteria tersebut adalah:
Silahkan untuk menginformasi data calon penerima paling lambat tanggal 6 April 2020 sbb:
Nama:
Alamat:
Pekerjaan:
Hubungan: keluarga/ tetangga/ teman lainnya
Nomor Hp mu yang bisa dihubungi
.
Kamu bisa mengirimkan data tersebut ke:
1. DM kami melalui Instagram @njombanganofficial
2. E-mail kami di njombangan@gmail.com CC: info@njombangan.com
3. Whatsapp CP ke 085890626260
*Mengingat jumlah paket program ini yang terbatas, maka kami akan menyeleksi usulan calon penerima. Usulan bukan first come first served.
Yuk kita saling jaga dan berbagi dengan cara #DirumahAja dan #BersamaLawanCorona
Info lengkap klik di sini.
Jombang – Cukup banyak industri mebel di wilayah utara Brantas. Seiring berjalannya waktu, para perajin mulai tak hanya memproduksi furniture. Melihat pasar, mereka berinovasi membuat ukiran sketsa wajah yang berbahan kayu jati.
Dari sebuah bangunan kecil yang lokasinya di belakang rumah, Adi Hariono, 25, pemuda Desa Tanjungwadung, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, memulai bisnisnya. Bermodalkan mesin ukir dan pengalamannya sebagai perajin mebel, Adi mengubah papan kayu jati bekas menjadi kerajinan yang bernilai jual yaitu sketsa siluet.
Bisnis ini sudah ia jalani sejak tiga bulan lalu. Awalnya, dia hanya memproduksi sketsa ukir untuk koleksi pribadi. ”Namun setelah itu, banyak yang minta dibuatkan. Sementara ini permintaan dari warga desa sendiri, dan desa tetangga. Biasanya untuk dipajang di dinding rumah,” kata Adi kepada Jawa Pos Radar Jombang, kemarin (15/3).
Ide tersebut bermula ketika ia jengah dengan banyaknya limbah kayu jati hasil dari perusahaan mebel milik saudaranya. Sebagian besar limbah kayu jati itu hanya digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. ”Saya mencoba memaksimalkan limbah tersebut sebagai kerajinan. Pertama kali saya coba buat sendiri, ternyata banyak peminat,” lanjutnya.
Alasan lain, selama ini Adi kesulitan mendapatkan lapangan kerja yang layak. ”Sekarang susah mencari pekerjaan. Dalam setiap tahun ada begitu banyak lulusan SMA dan perguruan tinggi. Sedangkan lapangan kerja semakin sempit, mencari pekerjaan saja seperti kompetisi,” imbuh Adi.
Atas dasar itu, Adi mencoba berwirausaha dengan mengolah limbah kayu jati untuk produk kerajinan ukiran. ”Awalnya untuk pekerjaan saya sendiri. Tapi mimpi saya, ke depan bisa menyerap dan memberikan peluang pekerjaan untuk teman-teman di desa,” tambahnya.
Untuk membuat ukir sketsa wajah ini, Adi menggunakan limbah kayu jati yang sudah berbentuk papan. Selain jenis kayu jati, untuk jenis sketsa tertentu Adi juga menggunakan kombinasi kayu triplek. ”Proses awal yaitu menyiapkan sketsa wajah yang akan digambar di kayu. Pola sketsa dicetak di kertas,” ujarnya. Setelah itu papan yang akan diukir dipotong sesuai ukuran pemesan.
”Papan biasanya tebal satu sentimeter, tapi bisa juga dua meter. Tergantung permintaan,” tambahnya. Begitu sudah terpotong sesuai ukuran, papan kemudian disambung menggunakan lem kayu. ”Rata-rata permintaan ukuran 50×70 sentimeter. Kadang ada juga yang minta ukuran lebih kecil. Untuk satu sketsa yang ukuran 50×70 biasanya butuh waktu 2 sampai 3 hari,” lanjutnya.
Selain menggunakan mesin, dalam mengukir Adi juga menggunakan alat pahat manual. Mengenai harga, Adi menyebut tergantung ukuran serta permintaan bahan. ”Misalnya sketsa Bung Karno ukuran 50×70 dengan bahan kayu jati sama triplek, saya bandrol dengan harga 300 ribu,” katanya. Sedangkan jika permintaan full kayu jati, Adi menyebut harga bisa lebih mahal lagi. ”Paling mahal 400 ribu,” pungkasnya. (*)
(jo/mar/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Salah satu rumah makan di Jombang ternyata punya menu khusus dan khas yang telah ada sejak puluhan tahun lalu. Sate kuda dan daging kuda asli Sumbawa.
Rumah makan Mayar, yang menyediakan menu ini terletak di pinggir jalan nasional masuk Dusun Ngemplak, Desa Pagerwojo, Kecamatan Perak. Tak sulit menemukan rumah makan ini. Lokasinya hanya berjarak 300 meter dari embong miring perak, terletak di sisi timur jalan raya. Tulisan sate kuda dan beberapa makanan lain pun bisa dilihat jelas pada papan nama rumah makan.
“Di sini, sate kuda tersedia setiap hari. Setiap saat bisa dipesan. Dagingnya juga selalu ada dan disiapkan,” ucap Bayu Wijayanto, pemilik rumah makan.
Bayu cerita, sudah buka sejak 1997. “Saya generasi ke dua,” ungkapnya. Ia menyebut, daging yang dipakai sate di warungnya menggunakan daging kuda asli Sumbawa. Pemotongannya dilakukan di Kediri.
Bayu menjelaskan, tekstur sate daging kuda nyaris tak berbeda dengan sate sapi, ataupun kambing. Perbedaan yang paling menonjol adalah tak adanya lemak pada sate kuda. “Bedanya hanya kelihatan waktu masih mentah, warna dagingnya lebih merah. Tapi rasanya ya kayak daging sapi. Daging kuda tidak ada lemaknya, jadi satenya daging semua,” lanjutnya.
Proses pembuatan sate kuda juga tak berbeda dengan sate lain. Diawali dengan memotong daging kuda menjadi bentuk dadu lalu ditusuk menggunakan lidi. Dalam satu tusuk, Bayu biasa memasang tiga hingga empat daging, tergantung ukurannya. “Setelah itu baru direndam dengan sari nanas, supaya empuk. Setelahnya, dibakar diatas bara api sampai lima menit, hingga daging matang,” urainya.
Setelah matang, sate pun siap dihidangkan. Diberi bumbu kacang dan kecap lengkap dengan irisan bawang merah. “Cuma yang berbeda, bumbu kacang untuk sate kuda ditambah kacang mente, jadi lebih enak dan gurih rasanya,” rinci Bayu.
Satu porsi sate kuda berisi 10 tusuk, plus nasi, Rp 30 ribu. Dalam seminggu, Bayu mengaku bisa menjual hingga 30 kilogram daging kuda. “Pembelinya rata-rata dari luar kota, biasanya langganan khusus. Tapi dari Jombang juga ada. Pengguna jalan yang kebetulan lewat juga ada,” ungkapnya.
Dipercaya untuk Vitalitas hingga Obat Penyakit
TAK saja diburu karena rasanya yang khas, sate kuda juga memiliki pelanggan khusus. Para pelanggan ini mencari sate kuda tidak hanya untuk makan agar kenyang. “Daging kuda dikenal bisa untuk vitalitas pria dewasa, selain itu biasanya juga untuk pegal-pegal,” ucap Bayu.
Selain dua manfaat itu, Bayu sering mendapat beragam testimoni dari pelanggan yang membeli sate kuda. Diantaranya untuk pengobatan keluarga. “Testimoni dari pembeli, ada yang buat obat sesak nafas. Dulu ada pelanggan dari Wonosalam, dia khusus membeli untuk obat eksim anaknya,” lontarnya. Sampai sekarang testimoni itu dia tulis sebagai manfaat sate kuda.
Hal inipun diakui salah satu penikmat sate kuda yang ditemui Jawa Pos Radar Jombang. Reviwati, 45, mengaku merasa lebih bugar setelah menyantap sate kuda di rumah makan milik Bayu. “Ya bisa buat menghilangkan capek-capek, jadi lebih enteng badannya,” terangnya.
Warga Lamongan ini sering mampir setiap kali melintas di Jombang. “Sudah langganan. Rasanya juga enak, dagingnya empuk,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Mewabahnya virus korona di penjuru dunia termasuk Indonesia, membuat permintaan temulawak dan kunyit naik. Baik di tingkat pedagang maupun produsen. Temulawak dan kunyit ramai dipesan karena dipercaya dapat meningkatkan imun tubuh.
Satu persatu karung berisi temulawak dan kunyit diangkut ke mesin penggiling. Usai digiling lembut, karung besar yang berisi temulawak dan kunyit ditimbang lalu dipacking untuk dikirim.
Ya, salah satu produsen pengolahan kunyit dan temulawak di Desa Mancar, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang ini kebanjiran order seiring mewabahnya virus korona. Temulawak dan kunyit yang masuk dalam kategori rempah-rempah, dipercaya bisa meningkatkan imunitas untuk menangkal virus seperti korona.
”Kalau diakui meningkat ya. Sebelum ada korona kami rutin mengirim sekitar 500 ton per bulan, namun sejak dua minggu terakhir meningkat jadi 700 ton,” ujar M Syaifuddin pemilik usaha, kemarin (13/3).
Dia menambahkan, seiring meningkatnya permintaan, harga bahan temulawak dan kunyit di tingkat petani juga naik. Misalnya kunyit yang kualitas bagus kini dihargai Rp 15 ribu/kg, dari harga beli sebelumnya hanya Rp 10 ribu. Sedangkan temulawak dari harga sebelumnya Rp 6 ribu, kini menjadi Rp 8 ribu. ”Memang dampak permintaan ini harga di petani dinaikkan,” jelas dia.
Begitu harga di tingkat petani naik, lanjut dia, harga olahan kunyit dan temulawak yang dia jual juga mengalami kenaikan. Serbuk jamu temulawak dari sebelumnya Rp 9 ribu menjadi Rp 20 ribu per kilo. Sedangkan kunyit dari harga awal Rp 20 ribu menjadi Rp 50 ribu per kilo. ”Permintaan dari luar Indonesia juga ada, termasuk beberapa negara di Asia,” jelasnya.
Kunyit dan temulawak tersebut didapatkan dari berbagai daerah di Jawa Timur termasuk Wonosalam. ”Dari Jombang ada namun tidak banyak, paling banyak dari daerah selatan,” papar dia.
Temulawak dan kunyit tersebut sebelumnya dijual belikan untuk campuran makanan ternak. Khususnya kunyit yang dikenal dengan nama latin curcuma domestica ini. Namun seiring perkembangan isu nasional, banyak yang membeli kunyit untuk jamu. ”Kami kan jual olahan serbuk, jadi tinggal mengonsumsi untuk jamu. Namun harus sesuai takaran,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Banyak minuman yang dikemas dalam gelas plastik dimanfaatkan Ari Rahmawati, warga Kepanjen Jombang untuk menekuni usaha sablon gelap cup.
Waktu masih pagi, aktivitas sablon milik Ari Rahmawati sama persis dengan sablon pada umumnya. Sejumlah pekerja sibuk menyelesaikan pekerjaan. Ada yang tengah mengelas baja untuk cetakan sablon, sebagian sibuk menempel bahan sablon ke plastik.
Ya, aktivitas itu berlangsung hampir setiap hari. Bengkelnya yang berada di gang atau dekat RSUD Jombang, terlihat ramai. Selain proses produksi, beberapa pelanggan datang pergi untuk mengambil pesanan.
Ari Rahmawati pemilik usaha mengaku, kerajinan mecetak sablon di gelas plastik beserta tutupnya itu belum berlangsung lama. “Baru tiga tahunan ini berjalan,” katanya membuka pembicaraan dengan Jawa Pos Radar Jombang kemarin (14/3).
Sembari memperlihatkan produk miliknya yang sudah jadi, dia menceritakan, sablon di gelas plastik atau cup ini bermula saat tren penjualan es dan kopi yang semakin berkembang pesat. Sehingga perlu gelas yang terdapat brand yang dipasang pemilik usaha. “Dari situ kemudian muncul ide membuat sablon. Setelah saya tanya ke teman-teman, ternyata di Jombang masih jarang,” imbuh dia.
Berbekal tekat itu dia kemudian menjajaki informasi di setiap media sosial. Melalui akun youtube dia terus berupaya mencari bagaiamana proses pembuatan gelas cup itu. “Ternyata paling banyak di luar kota, jadi ya ada peluang buka sendiri,” sambungnya.
Singkat cerita, dia akhirnya membuka produksi gelap cup. Seiring perkembangan waktu, dari mulut ke mulut akhirnya usaha dia mulai berkembang. Kini, pemesanan sablon miliknya merambah konsumen hingga luar Jombang. “Jombang saja sedikit, paling 20 outlet. Paling banyak yang mesan dari luar semua, mulai Surabaya, Malang, Probolinggo hingga Kediri,” sebut wanita usia 30 tahun ini.
Proses produksi disebutnya hampir sama dengan sablon pada umumnya. Yang membedakan hanya gelas ukurannya lebih mini. Dan medianya pun di plastik. “Baik tutup atau gelas plastik yang kita sablon,” terang dia. Sehingga sudah ada design yang disiapkan.
“Biasanya design sudah dari pemesan, kalau pun belum ada, kami bisa membantu buatkan. Artinya pesan kemudian tinggal ambil atau kirim,” sambungnya. Banyaknya pesanan dari luar Jombang, dalam sehari ia bisa menghasilkan hingga 15.000 gelap cup.
Dengan dibantu enam pekerja. Setiap pekerja masing-masing bisa membuat 1.000 gelas. “Tugasnya beda-beda, ada yang sablon tutup ata cup plastik. Sebagian nyablon gelas,” sebut Ari.
Harga yang ditawarkan masih terjangkau. Paling murah dibanderol Rp 350 per cup. “Paling mahal untuk gelar dari karton atau untuk panas Rp 650 per cup. Sudah komplet paper dan tutupnya,” pungkasnya. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Doa bersama mengenang 40 hari meninggalnya KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah digelar di Pondok Pesantren Tebuireng, Kamis malam (12/3). Ribuan orang memenuhi kompleks pemakaman keluarga sejak sore. Selain warga sekitar pondok, sebagian dari mereka juga peziarah dari luar Jombang.
Usai doa bersama, keluarga almarhum Gus Sholah yang diwakili Irfan Asy’ari Sudirman Wahid atau yang akrab disapa Gus Ipang memberikan sambutan. “Atas nama keluarga kami mengucapkan terima kasih atas kehadirannya dalam doa bersama 40 hari meninggalnya ayah,” ungkap Gus Ipang.
Sambil berlinang air mata, Gus Ipang mengenang perjalanan hidup ayahnya selama memimpin pondok pesantren Tebuireng. “Sekitar tahun 2006, Mbah Ud (KH Yusuf Hasyim) memanggil ayah. Beliau menanyakan kepada ayah, apakah siap melanjutkan tampuk kepemimpinan sebagai pengasuh di Tebuireng,” lanjutnya. Atas pertanyaan itu Gus Sholah tidak langsung menjawab, tapi meminta waktu untuk berpikir.
“Karena pada waktu itu, ayah juga mendapat tawaran untuk menjadi duta besar di Aljazair. Kemudian Mbah Ud memberikan kesempatan ayah untuk berpikir,” imbuhnya. Namun di akhir pembicaraan, KH Yusuf Hasyim bertanya apakah Gus Sholah tega membiarkan Tebuireng tetap seperti ini.
“Ayah ditanyai, menjadi duta besar atau Tebuireng tetap begini saja kondisinya. Ucapan Mbah Ud itu mengena di hati dan perasaan ayah, akhirnya dipilihlah Tebuireng,” tambahnya.
Ipang berkata, Gus Sholah menyebut itu adalah dawuh dari Mbah Hasyim yang harus dijalankan. “Setelah itu, ayah magang tiga bulan di Tebuireng. Ayah belajar apapun tentang Tebuireng. Khas ayah adalah mencermati sesuatu, memetakan, dan membuat strategi apa yang harus disempurnakan,” ujarnya.
Bagi mereka yang kenal dekat dengan Gus Sholah, Ipang menyebut pasti tahu cirikhas tersebut. “Ini khas orang ITB, pemikirannya memang seperti itu. Namun saat itu banyak yang meragukan bapak sebagai pengasuh pondok. Karena ayah kan bukan kiai, kok mengurus Tebuireng. Dia hanya lulusan ITB, bukan pondok. Hobinya gitaran menyanyi. Waktu jadi OSIS SMAN 1 Jakarta, ayah ketua bidang kesenian,” imbuhnya.
Gus Sholah semasa hidup juga sering bergaul dengan bukan kiai. “Mereka yang bersuara karena tidak mengenal bapak. Padahal bapak tipe orang yang punya komitmen, pasti akan dikerjakan sampai tuntas. Ciri khas bapak adalah menyukai perbaikan. Secara sistematis bapak pasti memetakan masalah dan mencari jalan keluarnya,” ucap Ipang.
Hal itu bisa dilihat dari kondisi Pondok Pesantren Tebuireng dibanding 14 tahun lalu. “Banyak perubahan di pondok selama bapak memimpin sebagai pengasuh,” tegasnya.
Sementara itu, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz mengatakan, banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Gus Sholah. “Sejak 2013, beliau membuka cabang pondok pesantren. Mulai dari SMA Sains, hingga Tebuireng pondok pesantren cabang ke-15 di Samarinda. Hanya dilakukan dalam waktu enam tahun, jadi banyak yang sudah dilakukan beliau,” bebernya.
Doa bersama mengenang 40 hari meninggalnya Gus Sholah juga dihadiri para dzurriyah KH Hasyim Asy’ari, Bupati Jombang Mundjdiah Wahab, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nazaruddin Umar, Pengasuh pondok pesantren Al Mahbubiyyah Jakarta KH Manarul Hidayat, serta beberapa kiai lainnya. (*)
Bupati: Dakwah dan Berjuang
BUPATI Mundjidah Wahab mengenang pesan khusus Gus Sholah. Saat menghadiri peringatan 40 hari wafatnya KH Salahuddin Wahid di Tebuireng kemarin malam (12/3), disampaikan kenangan itu saat maju pilkada 2018. Tujuan yang lurus penting untuk keberhasilan memimpin Jombang, yaitu dakwah dan berjuang.
“Dua pesan ini masih terus saya ingat, saat saya meminta restu kepada Gus Sholah,” tambahnya. Gus Sholah juga salah satu tokoh yang perjuangannya luar biasa. Perjuangan di jalan Allah dan kecintaannya pada NU harus dicontoh generasi muda. Gus Sholah menjunjung tinggi toleransi, baik antar umat beragama serta menghargai perbedaan antar organisasi.
“Gus Sholah juga salah satu pemersatu antara dua organisasi Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU,” tambahnya. Atas perjuangan semua tokoh, termasuk Gus Sholah, Alhamdulillah Pondok Pesantren Tebuireng sudah berdiri 16 cabang pondok di seluruh Indonesia. “Ini sangat luar biasa,” puji bupati.
Lebih dari itu, Mundjidah juga mengungkapkan keberhasilan pembangunan dan ketenteraman Jombang tidak lepas dari peran empat pesantren Jombang dari segala penjuru di Jombang. Kondisi dan situasi Jombang yang aman menurutnya karena empat pesantren besar menjadi penyangga.
Dari arah selatan ada Pesantren Tebuireng, dari arah barat ada Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, di utara ada Bahrul Ulum Tambakberas, dan di sisi timur ada Darul Ulum Rejoso Peterongan. “Empat pondok pesantren dengan ribuan santri ini yang menyangga Kabupaten Jombang,” tambahnya.
Peringatan 40 hari wafatnya Gus Sholah diselenggarakan di samping makam. Puluhan ribu jamaah dan santri hadir. Saking banyaknya, kehadiran jamaah memakan separuh badan Jl KH Hasyim Asyari. (*)
(jo/wen/mar/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Roti jadul bolu plemben yang diproduksi di Desa Banyuarang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang masih eksis hingga sekarang. Roti berbentuk seperti tempurung kura-kura berwarna cokelat ini rasanya khas, manis empuk.
Rumah produksi bolu plemben ini cukup luas. Terbagi beberapa bagian, mulai buat adonan, oven sampai packing. Dibantu puluhan pegawai, setiap hari, pemilik usaha bolu plemben, Bustomi Azid, bisa memproduksi hingga ribuan biji. Masing-masing pegawai punya peran sendiri, mulai proses pembuatan adonan, pencetakan kue, proses oven sampai pengemasan.
Kini, bolu plemben ini mempunyai dua variasi, yaitu basah dan satu lagi variasi kering. Rasa roti plemben begitu khas dengan cita rasa yang empuk dan gurih manis. Tak heran, para pecinta roti merasa ketagihan dan kangen dengan rasanya yang khas. ”Dulu resep dari orang tua saya di Magetan,” ujarnya.
Resep itu diteruskan sejak 2003 silam sampai sekarang. Cara pembuatannya cukup sederhana hanya mengolah bahan telur, tepung, gula dan mentega. ”Pembuatannya juga sangat mudah, tidak ribet. Setelah adonan dibentuk langsung dioven hingga matang,” akunya santai.
Untuk menikmati bolu plemben, para penikmat roti tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Karena bolu jadul ini dibanderol dengan harga terjangkau, hanya Rp 3.200 per pak untuk variasi basah dan Rp 4 ribu per pak untuk variasi kering. ”Per pak bolu isinya sembilan biji,” imbuhnya.
Setiap hari, dirinya bisa membuat 31.000 biji plemben. Ribuan plemben ini dibuat seiring dengan banyaknya permintaan konsumen. Tidak hanya dikirim ke berbagai daerah di Jawa, pengiriman juga menyeluruh hingga Kalimantan dan Sumatera. ”Sudah ada yang mengambil sendiri, pernah kirim Kalimantan dan Sumatera, tapi kebanyakan pulau Jawa,” tegas Tomi.
Selain dikirim, banyak warga sekitar yang langsung membeli ke rumah produksinya di Desa Banyuarang. Sebab, plemben ini memang lebih enak dinikmati dalam keadaan masih hangat. Sehingga tak sedikit, masyarakat yang membeli langsung saat plemben baru keluar dari mesin oven. “Banyak yang beli langsung ke rumah karena dapat yang hangat,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Jombang – Wilayah Sumobito sejak dulu dikenal sebagai sentra produksi kerupuk. Seiring perkembangan waktu, sejumlah produsen mulai mencari cara agar tidak selalu bergantung tepung sebagai bahan baku utama. Salah satunya memanfaatkan kulit ikan.
Seperti dilakukan Muhammad Dhofar, warga Desa Badas, Kecamatan Sumobito, yang mulai menekuni produksi kerupuk dengan bahan baku kulit ikan. Kemarin (8/3) Jawa Pos Radar Jombang melihat langsung proses produksi kerupuk kulit ikan di rumahnya.
“Baru dua bulanan ini mencoba buat kerupuk dari bahan baku kulit ikan. Kalau dari tepung kan sudah biasa,” katanya. Kulit yang dijadikan Dhofar bahan baku krupuk berasal dari ikan patin dan ikan kakap. “Beli di Tembelang setiap tiga hari sekali 10 kilo,” lanjutnya.
Kerupuk kulit ika patin dan kakap yang sudah dikemas dan siap dijual. (Mardiansyah Triraharjo/Jawa Pos Radar Jombang)
Per kilogram kulit ikan patin mentah, ia beli Rp 15 ribu. Sedangkan kulit ikan kakap per kilo Rp 17 ribu. “Setelah tiba di rumah, kulit ikan direndam dengan air panas untuk menghilangkan lemak dan kotoran,” tambahnya. Dalam proses pembersihan, ia dibantu tetangga yang seluruhnya ibu rumah tangga.
“Kulit ikan dibersihkan sisiknya, terutama kulit ikan kakap. Kalau kulit ikan patin, biasanya yang dibersihkan adalah sisa daging dan lemaknya,” ujar Dhofar.
Selesai dicuci, kulit ikan dicampuri bumbu yang terbuat dari bawang putih, ketumbar, kunyit, dan garam. Khusus untuk garam, ia mengaku tak sembarangan menggunakan garam.
“Hanya satu merk garam yang dipakai, dan itu dipilih berdasarkan pengalaman selama ini. Kalau gonta-ganti merek garam, rasa kerupuknya sudah berbeda,” ucapnya. Setelah kulit ikan bercampur dengan bumbu, lantas dijemur. Proses ini butuh waktu dua hari.
“Jika cuaca panas ya butuh dua hari saja, tapi kalau mendung bisa lebih lama,” tambahnya.
Jika sudah kering, kulit ikan yang sudah berbentuk seperti krecek itu digoreng. Berbeda dengan kerupuk tepung yang menggunakan plastik panjang dan ditali, dalam pengemasan kerupuk kulit ikan ini menggunakan plastik persegi dan dipress menggunakan mesin pemanas.
Itu karena kerupuk kulit tidak dipasarkan secara keliling ke rumah-rumah penduduk. Melainkan untuk dipajang di toko modern. “Kalau untuk tetangga sendiri, biasanya tidak perlu dikemas seperti ini. Pakai kresek saja cukup,” ujarnya. Per 100 gram, kerupuk kulit ikan patin ia jual Rp 18 ribu. Sedangkan untuk kerupuk kulit ikan kakap seharga Rp 20 ribu per 100 gram.
Melalui Uji Coba Berkali-kali
BUTUH proses lama untuk Muhammad Dhofar bisa memproduksi kerupuk kulit ikan. Karena belum punya pengalaman, Dhofar memberanikan diri untuk bereksperimen. Awalnya, membeli kulit ikan patin dan kakap untuk uji coba dibuat kerupuk.
“Awalnya beli sedikit untuk belajar. Pertama dua kilo yang dicoba, tapi ternyata gagal,” katanya. Kulit ikan patin dan ikan kakap itu membusuk, Dhofar pun terpaksa membuangnya. Kejadian ini ia alami berkali-kali. “Kalau dihitung, ada 10 kilogram kulit ikan yang terbuang karena eksperimen gagal itu,” lanjutnya.
Namun ia belum menyerah. Dhofar kembali membeli kulit ikan patin dan kakap. Hingga akhirnya ia pun berhasil membuat kerupuk tanpa bahan pengawet. “Ternyata kuncinya ada di penjemuran. Kulit harus benar-benar kering sebelum digoreng. Supaya awet hingga satu bulan,” imbuhnya.
Selama eksperimen itu, Dhofar menemukan fakta ternyata kulit ikan ketika dikeringkan mengalami penyusutan berat yang cukup banyak. Per 10 kg kulit ikan patin basah, ketika sudah kering susut menjadi 4,5 kg. “Kulit ikan kakap malah lebih banyak susutnya, per 10 kilo susut menjadi 4 kilo kurang,” tambahnya.
Ini yang menurut Dhofar jadi penyebab harga jual kerupuk kulit ikan kakap lebih mahal dari kerupuk kulit ikan patin. “Harga beli bahan bakunya mahal, susutnya juga lebih banyak. Jadi ya terpaksa jual dengan harga mahal,” pungkasnya. (*)
(jo/mar/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang
Fariz Ilham Rosyidi
Latar Belakang & Permasalahan
Perkembangan suatu wilayah yang disebut sebagai kota biasanya dimulai dari sebuah desa yang mengalami perubahan terus-menerus. Dalam perjalanannya, desa akan mulai berubah menjadi kota kecil, kota kecil akan menjadi kota sedang, kota sedang akan menjadi kota besar, kota besar akan menjadi metropolis, dan metropolis akan berubah menjadi megapolis. Di dalamnya terdapat banyak pertemuan yang kompleks dengan berbagai macam entitas yang membentuk berbagai macam ciri yang nampak, seperti yang diutarakan Kevin LynchDalam penelitiaannya, ia menyebutkan bahwa kota terdiri atas beberapa elemen, salah satunya adalah landmark (Basundoro, 2012:1).
Landmark atau tetenger diartikan sebagai penanda sebuah kota. Keberadaan sebuah landmark dapat membentuk simbol identitas dan status dari suatu wilayah administratif. Di Jawa, salah satu ciri dari simbol tersebut dapat ditengarai dengan adanya hamparan lapangan rumput luas yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor pendopo dan masjid. Tempat ini yang biasanya dinamakan dengan “alun-alun”.
Sejak masa Kerajaan Majapahit, alun-alun telah dikenal dan namanya telah diabadikan dalam sebuah riwayat, yakni Alun-Alun Bubat. Dalam sejarahnya kemudian, pada masa kerajaan Mataram alun-alun terbagi menjadi dua jenis, yaitu alun-alun keraton kerajaan (kediaman raja) dengan alun-alun kabupaten (kediaman bupati). Alun-alun kerajaan, seperti Surakarta dan Yogyakarta, mempunyai dua buah alun-alun yang mana satu terletak di utara keraton dan satu lagi terletak di selatan keraton. Permukaan alun-alun keraton tersebut berupa hamparan pasir halus, sedangkan alun-alun kabupaten mempunyai satu alun-alun di depan kediaman bupati dan hamparannya biasanya berumput (Warpani, 2009:1). Pada periode tersebut ditemukan adanya makna orientasi kota. Orientasi yang dimaksud adalah hubungan antara alun-alun pada objek dan kawasan sekitarnya. Pada konsep alun-alun Jawa terdapat konsep mancapat yang berarti alun-alun menjadi konsep spasial penentu mata angin di kotanya. Sedangkan pada alun-alun masa kolonial fungsinya untuk penghimpunan massa dan kegunaannya untuk simbolisme dari kekuasaan terhadap bumiputera (Handinoto, 1992:13).
Tujuan Penulisan
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan sejarah perjalanan Jombang sebagai kota toleransi yang mana warganya dapat menghormati dan hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan. Penulis berharap, tulisan ini dapat menjadi pengingat khususnya bagi warga Jombang untuk terus merawat keharmonisan ini. Selain itu, artikel ini juga dapat dijadikan inspirasi bagi daerah lain untuk belajar menjaga hubungan baik di masyarakat.
Pembahasan
Salah satu contoh dari akulturasi konsep orientasi alun-alun Jawa dan Kolonial adalah kompleks alun-alun Djombang. Alun-alun dianggap mempunyai orientasi karena menjadi bukti sejarah dimulainya pemerintahan di Kabupaten Jombang. Selain itu, alun-alun mempunyai aspek struktur konsep tata kota tradisional di Jawa yang disebut catur tunggal. Hal ini dapat diamati dari adanya bangunan di sekitar alun-alun. Catur tunggal atau orang Yogyakarta menyebutnya catur gatra tunggal adalah empat komponen utama yang meliputi pendopo, masjid, pengadilan (penjara), dan pasar (Fitria, 2017:1).
Alun-alun merupakan ruang persegi bersejarah di Jawa yang menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah dan menjadi pusat kegiatan hingga saat ini. Alun-alun Kota Jombang dianggap sebagai melting-pot (titik pertemuan) masyarakat Jombang seperti pertemuan, kegiatan keagamaan serta kegiatan kenegaraan.
“…Jika ingin rakyatnya beragama maka Bupati harus menyediakan ‘tempat ibadah’ masjid, jika ingin rakyatnya sejahtera maka Bupati perlu menyediakan pasar, lalu jika ingin rakyatnya adil, maka hakim perlu membuat pengadilan dan penjara, dan yang terrakhir, jika rakyat menginginkan Bupatinya bijak maka perlu membuat pendopo sebagai bentuk keluh kesah rakyat kepada penguasanya…” (Basundoro, 2009:12).
Hal itu dapat ditinjau dari adanya aktivitas dan pranata yang berlaku di kawasan sekitar alun-alun yang saling memiliki keterkaitan. Adapun tempat-tempat yang dimaksud akan dipaparkan sebagai berikut:
Konon disebutkan dalam cerita rakyat tentang hubungan Bupati Jombang yang pertama yakni Soeroadiningrat (Kyai Sepuh) dengan Bupati Sedayu (Gresik) dalam soal ilmu yang berkaitan dengan pembuatan masjid di Kota Jombang (Fahrudin Nasrulloh dkk, 2010:2). Hal itu merupakan petunjuk yang mendasari eksistensi awal tata kota di Kabupaten Jombang, tepatnya di kampung Muslim yang dikenal dengan “Kauman”. Masjid yang diberi nama Baitul Mukminin ini terletak di sebelah barat alun-alun. Masjid Agung ini merupakan salah satu masjid tua di Jombang, Berdirinya masjid bersamaan dengan berdirinya gereja Mojowarno pada tahun 1879. Akan tetapi, kedua pembangunan tempat ibadah ini menempati wilayah yang berbeda dan berjauhan (Humas Bappeda Jombang, 2014:26). Meski begitu, sekitar dua ratus meter dari timur alun-alun, dibangun Gereja Pantekosa untuk peribadatan masyarakat Kristen di pusat kota Jombang agar mereka tidak perlu pergi ke Mojowarno untuk melaksanakan ibadah.
Bagi warga Tionghoa, terdapat Kelenteng Hok Liong Kiong Kepatihan yang berada sekitar satu kilometer ke utara alun-alun Jombang. Kelenteng ini menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi penganut Tri Dharma. Selain itu, warga Tionghoa menyulap tempat di sekitarnya sebagai Kampung Pecinan, yang berdekatan dengan kegiatan pasar.
Pada tahun 1893 Afdeeling Jombang mulai membangun pemerintahannya. Hal tersebut dikuatkan dengan penempatan Asisten Resident dari Pemerintahan Belanda di wilayah Kabupaten Jombang. Sebagai simbol kekuasann, pada saat itu dibangun pendopo dan kantor keresidenan (yang saat ini menjadi kantor Bupati Jombang). Posisi Masjid Agung dan Pendopo Bupati berseberangan dan menghadap terbuka ke lapangan alun-alun. Perpanjangan sumbu tersebut dalam pandangan Jawa merepresentasikan adanya konsep relasi antara manusia dengan Tuhan, relasi antara manusia (penguasa) dengan masyarakat, dan relasi antara manusia dengan alam. Harmonisasi tersebut telah tergambar dan dapat dilihat hingga sekarang.
Sekitar tahun 1917, Kebon Rojo sudah menjadi ruang terbuka dengan pasar dan taman yang saling berdampingan. Selain sebagai ruang terbuka, Kebon Rojo juga berperan sebagai simbol kesejahteraan masyarakat di Jombang yang dibangun dekat dengan alun-alun. Pada tahun 1948, terjadi perang kebon rojo. Perang atau bisa disebut sebagai serangan tersebut dinilai berhasil karena Kebon Rojo yang menjadi jantung kota masyarakat Jombang, tidak jadi dibumihanguskan oleh Belanda.
Pengadilan dan penjara di Jombang sudah ada sejak jaman Hindia-Belanda. Pada waktu itu bernama Landraad. Sebelumnya, wilayah hukum di Jombang masih mengikuti Mojokerto, namun pada tahun 1954, Kabupaten Jombang memisahkan diri dan mendirikan pengadilan negeri yang terletak tidak jauh dari alun-alun. Sebagaimana kota tradisional di Jawa, pengadilan serta penjara tidak terpisahkan untuk menjaga pranata sosial dan pranata hukum dalam menjaga kerukunan serta ketertiban di wilayah Jombang, khususnya wilayah kota (Sri Margana, 2010:22).
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan tentang konsep catur gatra tunggal di atas, tulisan ini dapat menjadi sumber referensi bagi generasi muda agar mereka lebih memahami sejarah Kota Jombang. Sejak dulu kompleks Alun-Alun Djombang telah menjadi irisan perkembangan sekaligus saksi berdirinya Kabupaten Jombang. Di dalamnya memuat unsur toleransi yang begitu kental dengan ciri masyarakat Jombang, yakni kultur ijo (santri) dan abangan (kejawen).
Lampiran Foto
Foto 1 Boong Ge bersama keluarganya di Kebon Rojo Jombang tahun 1917(Dok. Ge Simao)
Foto 2 keadaan Terminal Penumpang Umum dekat alun-alun di Kauman Utara Kecamatan Jombang pada tahun 1938 (dok. Pribadi)
Foto 3 Pendopo Kabupaten Jombang pada tahun 1930 (dok. Istimewa)
Foto 4 Arsip Pembentukan Kabupaten Jombang pada Tahun 1910 hasil pemekaran dari Mojokerto (dok. pribadi).
Daftar Pustaka
Buku
Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
________. 2009, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak.
Nasrulloh, F., Sukarno, D., dan Wibisono, Y. 2010. Biografi Para Bupati Jombang Jombang: Pemerintah Kabupaten Jombang.
Margana, Sri, 2010. Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: Ombak.
Tim Bappeda dan Humas Jombang, 2014. Profil Kabupaten Jombang: Visit Jombang friendly and religious Jombang: Bappeda Kabupaten Jombang.
Skripsi
Fitria, Lum’atul. 2017. Analisis Fungsi dan Struktur Alun-Alun Kota Jombang Serta Kawasan Sekitar Sebagai Kawasan Bersejarah. Bogor: Skripsi Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Jurnal
Handinoto. 1992. ”Alun-Alun Sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang”. Jurnal Dimensi Vol.18
Warpani, Suwardjoko. 2009. “Alun-Alun Lor dan Kidul”, SAPPK Perencanaan Wilayah dan Kota p.1
Jombang – Cara berternak kelinci yang dilakukan Eko Krismianto, 25, warga Dusun Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang cukup menarik. Meski punya belasan indukan, ia ternyata tak punya kelinci pejantan untuk membuahi.
Di rumah yang berada di samping jalan utama dusun itu, terlihat ada sebuah kandang bambu. Kandang ini terletak di samping, beratap terpal dan lokasinya menempel dengan dinding rumah. Ada dua kandang berukuran besar di samping rumah tersebut. Andang berdinding bambu dan bertutup besi ram di bagian depan, berbentuk susun dua dengan masing-masing empat bagian.
Di dalamnya, terdapat sejumlah hewan kelinci yang terlihat berlarian. Di beberapa kandang, terlihat satu kelinci besar dan beberapa kelinci anakan. Namun di beberapa kandang lain, hanya terlihat kelinci besar tanpa anakan yang terlihat asyik mengunyah pakan yang telah disediakan.
Begitulah kondisi peternakan milik Eko. Sejak tiga tahun terakhir ia mengaku fokus mengembangkan usaha sampingan peternakan kelinci. “Ya awalnya coba-coba saja karena hobi, tapi cukup menghasilkan ya diteruskan saja sampai sekarang, dan tambah banyak,” terangnya.
Di peternakan kelinci, ia menyebut punya 15 indukan dari berbagai jenis. Mulai kelinci rex, lokal, Australia, Holland Lop dan beberapa jenis lainnya. Kendati demikian, seluruh indukan kelinci ini adalah betina. “Seluruh indukan betina, saya tidak punya jantan,” lanjutnya.
Karena hanya punya indukan betina itulah Eko mengaku harus menumpang ketika akan mengawinkan kelincinya. “Ya, biasanya ke teman yang punya pejantan setiap kali kawin, kan setiap bulan harus kawin, dua minggu sekali biasanya,” lanjutnya lagi.
Kendati harus kawin dengan cara menumpang, produksi kelinci anakan di peternakannya ini cukup menggembirakan. Eko bisa menghasilkan 7 hingga 15 anakan kelinci setiap bulan. Hal ini bergantung dari siklus birahi masing-masing indukan.
Kelinci-kelinci anakan biasanya mulai bisa dipanen untuk dijual setelah berumur satu bulan. Eko, biasa menjualnya ke beberapa pengepul di sejumlah pasar sekitar Jombang. “Kalau menjual biasanya ke Pare, Mojokerto, Jombang, masih sekitar sini saja,” imbuh dia.
Anakan kelinci berumur sebulan itu punya harga jual lumayan, tergantung jenisnya. Untuk jeniz kelinci rex atua lokal, harganya memang sangat terjangkau, hanya Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu per ekor. “Yang mahal itu jenis impor seperti Holland Lop juga Australia, harganya bisa sampai 10 kali lipat, umur sebulan sudah bisa sampai Rp 250 ribu,” pungkasnya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Photo courtesy: Radar Jombang
Article courtesy: Radar Jombang