Jombang, Radar Jombang – Keterbatasan fisik tak membuat Slamet Hari Budiyono, difabel asal Kelurahan Jombatan, Kecamatan Jombang, putus asa dalam menjalani hidup. Belajar secara otodidak, Slamet kini sukses menjadi pengusaha sarung keris. Bahkan dalam bulan Suro tahun ini, pesanan sarung keris buatan Slamet meningkat.
”Saya membuat warangka sejak 1982,” ujar dia ditemui Jawa Pos Radar Jombang kemarin (1/9). Pria kelahiran Jombang 12 Januari 1960 ini mengalami lumpuh kaki karena terserang polio sewaktu masih kecil. Akhirnya, seumur hidupnya dia menggunakan bantuan kruk dan gledhekan untuk berjalan.
Kendati demikian, tak pernah membuatnya patah semangat. ”Ya memang begini keadaannya. Harus tetap bersyukur,” sambungnya. Membuat warangka keris merupakan satu-satunya keahlian untuk meneruskan hidup. Sebab, di zaman sekarang ijasah SD tak akan laku untuk melamar pekerjaan. Apalagi kondisinya yang tak memungkinkan untuk bekerja ekstra.
”Saya dulu suka koleksi barang-barang antik. Termasuk keris dan pusaka,” tutur dia. Namun, setelah mengetahui harga warangka cukup mahal diapun belajar secara otodidak dari kayu sonokeling. Untuk belajar membuat warangka, dia menghabiskan waktu sekitar empat bulan. ”Setelah saya tekuni ternyata ada yang pesan. Bahkan, lumayan ada yang mencari saya untuk membuat warangka,” sambung dia.
Hampir 37 tahun menggeluti kerajinan warangka, nama Slamet kini terus dikenal. Pelanggannya tidak hanya dari Jombang, juga dari Tuban, Kediri, Gresik, Surabaya dan daerah lain juga sering mendatanginya. Harga yang ditawarkan juga bersaing, mulai Rp 100 ribu dengan ukuran yang paling kecil hingga Rp 500 ribu dengan balutan kuningan.
”Harganya tergantung model. Kalau yang standar begini Rp 300 ribu,” jelas dia. Untuk membuat warangka keris, tidak sembarang kayu bisa dipakai. Hanya beberapa kayu yang memiliki kualitas bagus untuk membuat warangka misalnya sonokeling, timongo dan kemuning. ”Sebab kayu ini ringan tapi kuat,” jelas dia.
Memasuki bulan Suro seperti ini, diakui untuk pesanan warangka mulai banyak. Sebagian masih menawar nawar harga dan sebagian lainnya sudah memesan. ”Ini saya dapat pesanan dua warangka,” tandasnya. Tidak hanya memesan warangka, khusus pelanggan tetap biasanya hanya datang untuk mereparasi warangka tersebut. ”Kalau reparasi murah, tinggal melihat apa yang diperbaiki,” pungkasnya. (ang)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
No Poverty
Oleh Ade Julandha Wiranata
Berkembangnya aplikasi transportasi di bidang dalam jaringan (daring) mulai memasuki Kabupaten Jombang. Kabar datangnya salah satu nama ojek daring sudah tersiar dan cepat menyebar di masyarakat melalui beberapa sosial media seperti Instagram, WhatsApp dan Facebook. Penulis melihat bahwa Grab adalah transportasi daring pertama yang memasuki Jombang pada awal bulan Januari 2018 lalu. Perubahan kecil mulai terjadi pada tataran konsumsi transportasi publik khususnya para pemegang gadget yang mayoritas adalah generasi milenial. Beberapa minggu kemudian mulai banyak bersliweran pengemudi sepeda motor yang menggunakan jaket Grab sebagai penanda mereka di jalanan Kabupaten Jombang. Transportasi konvensional berupa becak dan angkot lin di area Stasiun Jombang dalam observasi penulis pada setiap hari Jum’at dan Minggu di Bulan Januari 2018, menunjukkan mulai kehilangan penumpang. Sepinya penumpang transportasi konvensional pada saat itu terjadi karena masih belum terjadi gesekan dan belum adanya larangan yang mengatur pembagian tempat penjemputan. Diberitakan dari faktualnews.co pada 1 Maret 2018 bahwa konflik horizontal di Jombang pun terjadi berupa penyanderaan dua driver Grab oleh tukang becak.
Upaya peredaman konflik ini telah diupayakan oleh Pemerintah Kabupaten Jombang dengan menggelar pertemuan antara pihak dari transportasi konvensional dan ojek daring Grab pada 8 Maret 2018. Hasilnya memutuskan bahwa disepakati pembagian zona penjemputan untuk daerah pusat keramaian seperti Stasiun Jombang, GOR Merdeka dan beberapa lembaga pendidikan pesantren. Selain sistem zonasi yang dipakai, diterapkan pula denda bagi ojek daring yang mengambil penumpang pada tempat yang telah menjadi konsensus. Hasil dari konsensus tersebut tidak begitu berdampak bagi pemilihan penumpang milenial atau pengguna gadget terhadap konsumsi transportasi konvensional. Observasi penulis dari Bulan Maret sampai Mei 2018 pada hari Sabtu dan Minggu, menunjukkan bahwa deretan tukang becak di Stasiun Jombang jarang mendapatkan penumpang. Hal ini juga memengaruhi tingkat konsumsi keluarga dari tukang becak yang menyebabkan penurunan konsumsi kebutuhan subsisten mereka. Sosiologi bidang pedesaan menjelaskan bahwa masyarakat kurang sejahtera selalu berupaya memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makan dan minum. Wawancara yang dilakukan penulis terhadap Bapak Karim salah satu tukang becak di Stasiun Jombang pada 10 Maret 2018, mengatakan bahwa mereka sering tidak mendapatkan penumpang sama sekali.
Berdasarkan permasalahan akibat kemajuan teknologi ini, penulis menawarkan sebuah konsep pendampingan dari pihak Grab kepada tukang becak berupa program CSR yang bertajuk ‘Nyayur’. ‘Nyayur’ sebagai program tanggung jawab sosial atas hadirnya sarana transportasi baru Grab terhadap transportasi konvensional untuk memberikan pelatihan dan pendampingan terhadap tukang becak di sekitar Stasiun Jombang. Modal awal berupa peralatan dan benih akan ditanggung oleh pihak Grab dan selanjutnya diteruskan oleh para tukang becak secara berkelanjutan. Program ini bertujuan untuk membantu para tukang becak dalam memenuhi salah satu kebutuhan dasar mereka yaitu konsumsi sayur. Sayur yang nantinya akan mereka tanam, konsumsi dan dijual sendiri dengan cara hidroponik atau tanpa tanah seperti kangkung, sawi hijau, buncis, tomat dan cabai. Penanaman ini memanfaatkan halaman rumah mereka sendiri yang nantinya sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga sebagai dampak dari menurunnya pendapatan mereka. Ojek daring Grab Jombang secara personal melakukan getting in atau pendekatan terhadap beberapa tukang becak untuk memberikan pancingan tawaran program ‘Nyayur’. Pihak dari Grab sebagai fasilitator akan mendampingi secara partisipatif dari proses awal pembuatan media penanaman, penanaman, hingga proses pemanenan yang dilakukan di salah satu rumah tukang becak sebagai percontohan.
Program ‘Nyayur’ diberikan bukan untuk menghapus transportasi becak di sekitar Kota Jombang, tetapi program ini sebagai upaya membantu memperbaiki pola konsumsi dan pendapatan tukang becak pasca kehadiran transportasi daring Grab. ‘Nyayur’ sebagai usaha kedua mereka di rumah dengan pembagian tugas bersama istri atau keluarga untuk perawatan seperti menyiram pasca penanaman. ‘Nyayur’ pada target pertama adalah untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga dan target terakhir adalah untuk penjualan secara bertahap. Penjualan dilakukan dengan sistem menjual ‘titip’ kepada bakul sayur rumahan. Program ‘Nyayur’ mencoba membentuk kebiasaan baru dalam mencari pendapatan lain bagi tukang becak akibat dari sepinya penumpang. Setiap tukang becak memiliki kesempatan yang sama dalam usaha penanaman hidroponik ‘Nyayur’ ini. Pihak Grab pada nantinya hanya akan melakukan monitoring setiap bulan dan melakukan evaluasi program ‘Nyayur’, serta kemudian dilakukan secara berkelanjutan oleh para tukang becak secara mandiri. Selain mencoba membangun kemandirian tukang becak untuk mengurangi kemiskinan, program ini juga bertujuan untuk mencoba mendamaikan konflik horizontal tukang becak dengan ojek daring Grab di Kota Jombang.