Gender Equality
Oleh Purbowo
Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki di Indonesia lebih banyak dibanding perempuan. Hal ini terlihat pada provinsi yang rasio jumlah laki-lakinya lebih banyak dibanding dengan perempuan yaitu Kalimantan Utara. Selanjutnya diperingkat berikutnya adalah Papua, Papua Barat dan Kalimantan Timur yang mencapai lebih dari 110 laki-laki per 100 persempuan. Berbeda dengan provinsi dengan rasio laki-laki paling sedikit dibanding perempuan yaitu Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Data rasio ini merupakan data tambahan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS).
Kemiskinan penduduk Indonesia pada September 2015 telah mencapai sebanyak 28,51 juta orang (11,13 %), menurun sebesar 0,08 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2015 yang sebesar 28,59 juta orang (11,22 persen). Salah satu faktor penurunan angka tersebut disebabkan oleh semakin banyaknya pengusaha online yang sebagian besar dilakukan oleh perempuan yang berperan sebagai agen/reseller produk. Hal ini merupakan suatu kemajuan dalam era disrupsi dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Saat ini media sosial seperti facebook dan instagram menjadi sarana utama dalam melakukan kegiatan dalam menentukan strategi nafkah melalui kewirausahaan.
Jika dilihat dari peran perempuan sebagai buruh tani, maka tingkat upah nominal harian buruh tani pada bulan Januari 2016 naik masing-masing sebesar 0,52 % dibanding upah nominal bulan sebelumnya. Sehingga mereka memiliki harapan kesejahteraan hidup untuk masa depannya. Melihat peluang dan potensi tersebut perempuan pedesaan mampu untuk berkembang dengan pemberdayaan perempuan. Sehingga dalam artikel ini menawarkan upaya pemberdayaan perempuan pedesaan secara berkelanjutan tanpa menyerap dana APBN/APBD secara terus menerus pada pelaksanaannya dan bahkan berpotensi mengembalikan anggaran yang telah digunakan.
PEMBAHASAN
Pemberdayaan perempuan selama ini sangat dikait eratkan dengan pelatihan pembuatan suatu produk atau menginovasi produk yang telah tersedia. Namun jika dilihat dari sisi efektivitas, efisiensi, kontinuitas serta nilai manfaat sebenarnya sangat jauh dari harapan pemerintah. Tingkat efektivitas dalam pelaksanaan program sangat rendah, hal ini dikarenakan perempuan pedesaan dituntut untuk dapat melakukan suatu ketrampilan dalam waktu yang sangat singkat Namun tidak memiliki tujuan hilirnya yaitu pada upaya pemasaran produk yang mereka buat saja. Biaya yang dianggarkan juga bersifat statis (habis pakai) sehingga sangat tidak efisien karena tidak ada perputaran uang. Keberlanjutan program sangat mustahil terjadi karena hanya terfokus pada anggaran dana yang turun dari pemerintah. Sehingga program pelatihan hanya terkesan sebagai ajang “gugur kewajiban” dalam melaksanakan tanggung jawab karena tidak terdapat manfaat yang signifikan yang didapatkan. Dari uraian permasalahan yang terjadi di lapangan tersebut, maka diperlukan pembaharuan model pemberdayaan kewirausahaan perempuan pedesaan pada pemasaran produk pertanian (DP 80%).
Delapan P disingkat DP 80% merupakan akronim dari Pemberdayaan Peran Perempuan Pedesaan Pada Pemasaran Produk Pertanian yaitu suatu penawaran program pemberdayaan perempuan yang berbasis suistaibility livelihood untuk masa depan perempuan pedesaan. Pada mulanya program pemberdayaan dilakukan berdasarkan SOP suatu instansi mulai dari penyusunan anggaran, penyerapan dana, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Namun pada DP 80% menawarkan suatu pengelolaan yang intensif terhadap program pemberdayaran melalui pemasaran produk sehingga dana yang dianggarkan dari pusat dapat berputar dalam jangka waktu tertentu dan bahkan dapat mengembalikan anggaran dana yang telah diberikan. Berikut perbedaan pengelolaan dana program pemberdayaan saat ini (kiri) dan solusi pengelolaan untuk masa depan (kanan):
Pemasaran merupakan hilir dari suatu bentuk kegiatan usaha untuk menentukan sebagai hasil yang laba atau rugi. Sedangkan menurut Kotler dan Keller pemasaran merupakan upaya identifikasi dan pemenuhan kebutuhan manusia dan sosial. Kedua definisi tersebut mengarahkan pemberdayaan perempuan pedesaan terhadap produk pertanian dengan mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien sehingga dapat mandiri dan menghemat anggaran negara.
Penerapan DP 80% yaitu dengan pelatihan pembuatan produk dengan bobot sebesar 10%. Pembuatan produk merupakan hal teknis yang dapat dilaksanakan secara cermat dan komprehensif yang dilakukan oleh pendamping profesional dan berkelanjutan dari hulu hingga hilir sehingga mendapatkan output pelatihan yang maksimal berupa produk unggulan desa. Produk pertanian cenderung memiliki risiko yang sangat besar apabila tidak diberikan penanganan yang tepat semenjak pasca panen. Beberapa yang dapat dilakukan oleh perempuan pedesaan yaitu pengemasan, pengawetan maupun diversifikasi produk. Kemudian pelatihan management & pencatatan keuangan sebesar 10% untuk mendukung segala hal yang dibutuhkan secara administratif terhadap kegiatan program pemberdayaan.
Diperlukan fungsi manajemen sebagai seni untuk mengatur segala hal yang terdapat dalam kegiatan usaha. Oleh karena itu dalam hal pemasaran mendapatkan porsi paling besar yaitu 80% sebagai ujung tombak dari keberlanjutan program pemberdayaan. Bobot pemberdayaan melalui pemasaran sangat tinggi karena membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, sehingga diperlukan pendampingan yang intensif oleh profesional. Output yang diharapkan yaitu dengan adanya pengembalian modal anggaran untuk program serta laba sebagai dampak dari program pemberdayaan yang telah dilaksanakan.
Harapan ke depan untuk Jombang emas di era milenial diharapkan perempuan pedesaan memiliki kemandirian dalam strategi nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini bisa diwujudkan dengan terciptanya suatu produk unggulan desa yang dikelola secara swadaya dan terorganisir untuk mendapatkan laba yang maksimal secara berkelanjutan. Sehingga perempuan memiliki derajat kesetaraan gender dan menghindari segitiga ketidaksetaraan gender yaitu stereotipi, marginalisasi maupun subordinasi.
KESIMPULAN
Kegiatan pemberdayaan perempuan pedesaan seharusnya sampai sektor hilir yaitu pemasaran sebagai indikator dalam pelaksanaan pemberdayaan secara berkelanjutan serta dapat memutar dana yang diakses dari APBN/APBD sehingga menghemat pengeluaran negara. Pemerintah sebaiknya memperhatikan kebutuhan di lapangan yaitu keberlanjutan nafkah (sustainable livelihood) rumah tangga petani yang melibatkan peran perempuan pada saat menentukan perencanaan pembangunan.