• info@njombangan.com

Daily ArchiveMarch 12, 2019

Prasasti Gurit, Salah Satu Peninggalan Raja Airlangga di Jombang

Jombang – Menjadi salah satu peninggalan Raja Airlangga, Prasasti Gurit yang terletak di Dusun Sumbergurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang sampai saat ini masih sering dikunjungi warga. Ada yang sekedar ingin belajar sejarah, tapi ada juga yang melakukan ritual khusus.

“Pengunjung tidak banyak, hanya ada beberapa yang datang, satu dua orang setiap hari, kebanyakan ingin tahu sejarah seperti pelajar atau mahasiswa, tapi ada juga yang melakukan ritual atau berdoa menyampaikan hajatnya disini,” kata Badri, juru pelihara Prasasti Gurit.

Meski seringkali didatangi untuk melakukan ritual tertentu, prasasti ini tidak pernah dijadikan tempat maksiat seperti pacaran atau yang lainnya. Sebab, prasasti gurit terletak tepat di tengah perkampungan warga. Sehingga tidak pernah lepas dari pengawasan. 

“Kalau hanya berkunjung tidak masalah, asal tidak digunakan untuk hal yang macam-macam seperti pacaran, atau minum-minum, agar tidak meresahkan warga,” tambahnya. 

Selain bernama prasasti gurit, banyak juga yang menyebut prasasti ini dengan sebutan Prasasti Munggut. Pasalnya isi dari prasasti gurit menetapkan pembebasan pajak untuk daerah Munggut. ”Munggut itu nama dusun di tengah hutan, Munggut masuk wilayah Desa Cupak Kecamatan Ngusikan,” jelasnya. 

Pembebasan pajak saat itu ditetapkan pada tanggal 14 Krisnapaksa, Bulan Caitra, Tahun 944 Saka (3 April 1022 M). Meski hanya penetapan sima bebas pajak, prasasti ini dinilai cukup penting sebagai wujud dari eksistensi Raja Airlangga. 

Prasasti Gurit ini berbentuk segilima dimana setiap sisinya  terpahat tulisan-tulisan kuno yang sebagian sudah tidak terbaca lagi. Mulai dari sisi depan, kanan, kiri, belakang hingga atas  pun penuh dengan pahatan. Prasasti ini ditulis dalam bahasa sansekerta dipahat di atas batu andesit. 

Letak prasasti ini pun masih asli dan tidak berubah sejak dulu. Warga sekitar hanya melakukan pemeliharaan saja, dan tidak pernah memindah. Prasasti gurit sendiri termasuk salah satu cagar budaya di Jombang yang terdaftar di BPCB Jawa Timur. Hanya saja belum banyak masyarakat Jombang yang mengetahui keberadaan prasasti ini. 

“Padahal prasasti ini terletak di tengah pemukiman warga, lokasinya juga tidak jauh dari Sendang Made, namun antusias pengunjung ke prasasti gurit lebih rendah dibanding ke Sendang Made, sehingga prasasti ini semakin tak dikenal,” terangnya.

Kegiatan warga sendiri di sekitar prasasti gurit masih cukup banyak. Beberapa ada yang meletakkan sesajen di sekitar prasasti sebelum mengadakan hajatan. Bahkan sedekah bumi juga masih bertahan diselenggarakan setiap tahun di sekitar prasasti. Namun untuk penetapan waktunya berubah-ubah tergantung kebijakan dusun/desa. 

Kondisi cagar budaya ini cukup bersih dan terawat. Hanya saja papan yang berisi penjelasan mengenai sejarah prasasti belum ada. Sehingga pengunjung harus bertanya kepada juru kunci untuk mengetahui sejarah prasasti gurit. 

”Ini merupakan peninggalan nenek moyang kita. Sudah seharusnya kita jaga dan lestarikan, dan ada baiknya generasi muda belajar tentang sejarah terutama yang ada di Jombang untuk terus bisa melestarikan sejarah,” pungkas Badri. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Dojo Mahameru, Dojo Pribadi Pertama di Indonesia Milik Kwat Prayitno

JOMBANG – Kecintaan Kwat Prayitno pada karate juga diwujudkan dengan terus membina junior-junior yang jauh di bawahnya. Bahkan ia merelakan sepetak tanah pribadinya digunakan sebagai dojo atau tempat berlatih  karateka setiap harinya. 

Dojo yang diberi nama Dojo Mahameru itu diresmikan mantan ajudan Presiden Soeharto, Irjen Pol (Purn) Hamami Nata pada 2002. Bahkan Dojo Mahameru disebut-sebut sebagai dojo tertutup dan milik pribadi pertama di Indonesia.

“Sebenarnya saya punya dojo itu sudah lama, tapi hanya seperti pelataran dan tanpa atapnya, tempat itu sering dipakai latihan sama teman-teman atlet karate,” kata alumni SMPK Wijana Jombang 1974.

Suasana Dojo Mahameru ketika dipakai latihan para karateka.

Suasana Dojo Mahameru ketika dipakai latihan para karateka. (Wenny Rosalina/Jawa Pos Radar Jombang)

 

Dojo Mahameru diresmikan Irjen Pol Hamami Nata yang saat itu menjabat sebagai ketua PB Inkanas dan kebetulan sedang ada kegiatan di Jombang, sekaligus meresmikan dojo milik Kwat.

Singkat cerita, pada 2001 lalu toko emas miliknya kebakaran. Tidak ingin menyia-nyiakan sisa bangunan, kemudian dirinya mengolah kembali besi-besi sisa kebakaran kemudian dibuatlah atap dojo yang dulunya adalah tempat parkir kendaraannya. 

Ditambah dengan dana pribadinya, akhirnya cita-cita memiliki dojo yang tertutup terwujud. Sampai sekarang dojo masih dimanfaatkan karateka muda seperti Jombang Karate Club atau (JKC) yang setiap hari memanfaatkan dojo tersebut untuk berlatih. 

“Sebetulnya banyak juga dojo di Jombang, dojo tidak harus seperti tempat saya yang tertutup dan kesannya seperti gedung jadi, dojo itu tempat latihan, dimanapun tempatnya itu disebut dojo, entah itu di teras rumah maupun di balai desa biasanya, tapi tetap namanya dojo, jadi dojo saya sama yang lain sama saja,” jelas alumnus STIE Satya Widya Surabaya 1988 ini.

Ia mengaku membuat dojo memang cita-citanya, tapi hal tersebut wajar, menurutnya seluruh pegiat olahraga pasti menginginkan tempat berlatih untuk atlet-atlet lainnya. Namun meski sudah memiliki dojo cukup besar dan bagus, Kwat masih memiliki cita-cita membangun tempat tinggal sekaligus tempat berlatih para karateka yang hiasa disebut dengan istilah honbu.

Cita-citanya tersebut terinspirasi dari ungkapan Widjono Soejono yang menginginkan Jombang memiliki tempat yang layak untuk berlatih sekaligus dengan tempat tinggal karateka. Namun ia belum bisa memperkirakan kapan bisa mewujudkannya. “Ya semoga saja segera terwujud kalau sudah ada rezeki, agar teman-teman lebih total berlatih serta ikatan persaudaraannya semakin kuat,” tambahnya.

Menjadi dojo tertutup pertama dan milik pribadi pertama di Indonesia, dojo Kwat juga menjadi inspirasi bagi teman-temannya yang lain. 

Manfaat dojo milik Kwat ini betul-betul membuat karateka generasi berikutnya turut berbangga dengan Jombang. Salah satu atlet binaannya adalah Ade Rengga yang sangat mengapresiasi semangat suhunya ini karena sudah membuatkan tempat berlatih yang layak.

“Manfaatnya sangat besar sekali, beruntung sekali memiliki guru seperti beliau yang mau memberikan separuh hartanya untuk membuat dojo, sehingga kita atlet juniornya yang merasakan manfaat,” kata Ade Rengga kemarin.

Pantas saja, pelatih JKC ini mengakui jika karateka-karateka berprestasi tak lepas begitu saja dengan binaan serta tempat berlatih yang juga turut menunjang prestasi. “Kalau cabor-vabor lain pasti juga membutuhkan tempat untuk berlatih, tapi alhamdulillah kita sudah memiliki tempat yang layak untuk berlatih,” tambahnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Mengenal Sosok KH Salahuddin Wahid, Sang Pembaharu Pesantren Tebuireng

JOMBANG – Sosok yang satu ini adalah salah seorang ulama, tokoh politik, tokoh Hak Asasi Manusia (HAM), juga tokoh pemikir yang asalnya dari Jombang. Tokoh yang juga salah satu putra daerah dari trah keluarganya menghasilkan banyak tokoh besar.

Ia adalah KH Salahuddin wahid atau akrab disapa Gus Solah, lahir di Jombang tanggal 11 september 1942. Putra ketiga dari enam bersaudara putra-putri KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Sholihah putri KH. Bisri Sansuri. Ia juga adik kandung dari Mantan presiden ke empat, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Meski menjadi putra kiai, Gus Solah memperoleh pengajaran cukup berbeda dengan saudaranya Gus Dur. Jika Gus Dur lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pesantren, Gus Solah malah banyak menempuh pendidikan umum mulai dari SD Perwari Salemba, SMP Negeri 1 Cikini lanjut SMA Negeri 1 Budi Utomo hingga menamatkan kulaihnya di jurusan Arsitek ITB. 

“Saya di Jombang memang tidak lama, karena setelah tahun 1950, saya harus pindah ke Jakarta bersama ayahanda yang saat itu menjabat menteri agama. Otomatis secara pendidikan saya memang menghabiskan pendidikan di umum, meski di sore harinya biasanya tetap ada kegiatan mengaji untuk mengisi ilmu agama,” ceritanya saat ditemui di kediamannya.

Tak saja itu, kehidupannya usai lepas dari kampus juga banyak bergerak di bidang arsitektur. Gus Solah adalah salah satu arsitek handal dan pernah mengepalai beberapa perusahaan konstruksi besar hingga akhirnya berhenti di tahun 1998, setelah krisis moneter melanda Indonesia. Selain juga bergerak di beberapa organisasi dan partai politik, bahkan sempat juga digandeng Wiranto untuk menjadi calon wakil presiden 2004.

“Bisa dibilang hampir 57 tahun saya tidak lagi hidup di Jombang dan memang sibuk di Jakarta. Saya baru pulang kampung ke Jombang ketika usia sudah 64 tahun dan ditunjuk langsung menjadi pengasuh Tebuireng,” lanjutnya.

Meski mengaku sempat kagok dengan dipilihnya dirinya untuk memimpin pesantren. Dirinya terbukti mampu menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, seringkali disebut sebagai pembaharu Pesantren Tebuireng. Ini terlihat dari pembangunan dan revitalisasi hampir di segala bidang di Tebuireng, mulai berjalan secara masif. 

“Tentu kalau disebut memodernkan, sudah jauh-jauh hari dilakukan ayah saya yang mulai memasukkan pelajaran umum di kurikulum pesantren. Bahkan di Jaman Pak Ud (KH. Yusuf Hasyim, Red) sekolah juga sudah mulai dibangun. Hanya di era saya intensitas dan percepatannya saja naik,” ujarnya.

Terhitung sejak 2007, sejumlah wisma baru dibangun menggantikan pemondokan lama. Masjid baru Tebuireng juga dipugar. Bahkan sejumlah kamar baru dibangun dengan konsep modern dan tertata rapi. “Kalau ditanya kenapa ya memang saya ingin pondok ini berkembang, ini bisa diukur dengan makin banyaknya santri, dan untuk bisa menampung santri, ya bangunanya harus dipersiapkan. Selain itu agar semua tertata dan santri nyaman dan bisa disiplin,” sebutnya.

Tak saja di sisi fisik, di ranah pendidikan, sejumlah kebijakan baru diterapkan. Kurikulum ditata sedemikian rupa hingga dibuatnya lembaga khusus bernama penjamin mutu untuk mengawasi langsung kurikulum yang berjalan. Sejumlah sekolah baru juga didirikan. Sebut saja madrasah Muallimin hingga Sma Trensains. Juga tak ketinggalan Unhasy yang berhasil dibangkitkan setelah sempat mengalami kemunduran saat bernama Ikaha.

Saat ditanyai hal ini, Gus Solah menyebut faktor perbedaan latar belakang yang mempengaruhi hal ini bisa terjadi dengan cepat. “Saya kan seorang insinyur, sehingga terbiasa bekerja dalam target dan capaian yang terukur. Kalau tidak dengan target bagaimana kita mengukur, karena itu dengan target yang jelas upayanya juga akan jelas, dan terbuki itu berhasil,” lanjut suami dari Nyai Hj Farida ini.

Dan setelah 11 tahun menjadi Pengasuh Tebuireng, dirinya kini mulai menata kehidupannya sendiri. Bahkan ia menyebut kemungkinan besar tahun depan dirinya akan segera melepas jabatan sebagai pengasuh, dan akan lebih konsen untuk menikmati hari tua. “Mungkin sudah saatnya tahun depan saya akan berhenti, memberikan kepada orang yang layak memimpin dan tentunya dari kalangan Dhuriyyah, setelah itu mungkin saya akan lebih berkonsentrasi untuk menjalani masa tua,” pungkasnya.

Tak saja KH Wahid Hasyim yang dikenal jago menulis dan membaca. Kebiasaan ini ternyata juga menurun ke Gus Solah. Ya, kebiasaan Gus Solah menulis sebenarnya baru muncul ketika dirinya mulai menutup kantor jasa kontraktornya karena krisis moneter 1998 silam.

Di tahun-tahun itu, Gus Solah mengaku sempat menganggur setelah ditutup kantornya. Masa itulah yang menjadi titik tolak kehidupannya. Ia mengaku menjadi lebih sering menghabiskan waktu untuk membaca dan belajar menulis. “Saya benar-benar belajar dari nol menulis, karena saya memang tidak terbiasa dan tidak berbakat, berbeda dengan Gus Dur yang punya bakat sejak kecil,” sebutnya.

Bahkan disebutnya untuk berhasil menembus surat kabar kala itu, dirinya harus sampai 20 kali lebih mengirim tulisan. “Setelah itu baru saya mulai bisa terbiasa dan sampai sekarang menjadi kebutuhan,” lanjutnya.

Hal ini diakui pula Nyai Farida, istrinya. Ia menyebut di awal penulisan, Gus Solah bukan orang yang pandai merangkai kata. Dirinya menganggap hal ini sebagai hal yang wajar, mengingat background Gus Solah dari kalangan eksakta dan tak terbiasa dengan tulisan yang berkembang.

“Di awal, tulisannya memang kaku sekali, bahkan untuk menulis surat saja tidak akan bisa lebih dari tiga baris. Malah saya sendiri juga tidak tahu kenapa dulu beliau itu mulai suka menulis, padahal sebelumnya tidak pernah, karena lebih banyak menggambar sebagai seorang arsitektur,” jelasnya.

Bahkan, di awal Gus Solah menulis, dirinya seringkali jadi korektor atas tulisan sang suami sebelum akhirnya bisa benar-benar berkembang. “Saya selalu diminta beliau untuk mengecek tulisannya, sebelum dikirim ke surat kabar. Beruntung beliau adalah orang yang sangat mau belajar dan menerima kritik, sehingga tidak pernah merasa tersinggung kalaupun diingatkan. Beliau itu orang yang tidak pernah mau berhenti belajar,” lanjutnya.

Bahkan hingga kini, dikediamannya ada ruang tersendiri untuk Gus Solah melakukan aktifitas unik yakni mengliping surat kabar setiap hari. “Setiap hari beliau akan membaca koran dan mengguntingnya untuk dikliping menjadi satu berkas khusus dan diindex per kasus,” ucapnya. Hal ini disebutnya biasa dilakukan setiap hari dan akan mempermudah ketika membutuhkan sebuah kajian dan harus diungkapkan dalam ceramah.

Selain itu, kebiasaan menulis yang seolah tak bisa ditinggalkan Gus Solah juga bisa dilihat dengan terus menerusnya mengetik meski sambil beraktifitas. “Beliau itu punya dua HP, yang satu itu memang khusus untuk nulis, jadi seringkali meski di kendaraan atau sedang bersantai dan memegang handphone tersebut, beliau pasti sedang mengetik. Mungkin terlihat seperti orang SMS, padahal beliau sedang menulis,” lanjutnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com