• info@njombangan.com

Ali Markasa, Sang Maestro Tari Remo Jombangan

Ali Markasa, Sang Maestro Tari Remo Jombangan

Spread the love

JOMBANG – Nama Ali Markasa tak asing lagi bagi para pecinta ludruk maupun pengreman di Jawa Timur, khususnya Jombang. Pria kelahiran Dukuh Arum, Desa/Kecamatan Tembelang 9 Juli 1942 ini Maestro Tari Remo Jombangan. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Kasemin dan Kaini ini puluhan tahun melanglang buana di dunia ludruk khususnya Tari Remo. 

”Saya memang suka kesenian tradisional sejak dulu. Ayah saya itu bayan tapi juga merupakan pengrawit,” ujar Ali Markasa kepada Jawa Pos Radar Jombang. Kecintaannya pada Tari Remo dibuktikan dengan bergabung pada grup ludruk sebagai penari remo sejak lulus SD. Bahkan ia rela meninggalkan bangku SMP demi menjadi penari remo. 

”Saya dulu sudah kelas 3 SMP Sawunggaling tapi tidak melanjutkan, padahal tinggal dua bulan sudah lulus,” sambungnya. Pria 75 tahun ini mengaku kerap ditegur gurunya lantaran kerap tertidur di kelas. Dia sendiri tidak dapat menahan kantuk setelah semalaman ikut tanggapan ludruk.

Foto pementasan tari Remo Jombangan yang dilakukan Ali Markasa semasa masih muda.

Foto pementasan tari Remo Jombangan yang dilakukan Ali Markasa semasa masih muda. (RICKY VAN ZUMA/JAWA POS RADAR JOMBANG)

 

Mulai tahun 1956 ia telah menjadi bagian dari grup ludruk Margo Rukun di desa tempat tinggalnya saat itu. Tiga tahun berselang, Ali Markasa muda pindah ke grup ludruk lainnya Margo Utomo di Desa Ngogri, Kecamatan Megaluh. Tiga tahun selanjutnya ia pindah ke grup Sinar Budaya Lamongan tahun 1962. Tak hanya itu, Ali Marksa juga pernah bergabung dengan sejumlah grup ludruk populer saat itu yaitu Marhaen Muda, Gaya Baru  hingga Gaya Marhaen. 

”Saya cukup lama jadi satu grup dengan Mbah Bolet di Gaya Baru. Tapi saat itu saya tidak pernah menari karena saya kurang suka dengan gaya Tari Remo Boletan,” paparnya.

Mbah Bolet juga menyadari jika Ali Markasa tidak menyukai Tari Remo Boletan yang dibawakannya. Ali Markasa pun pindah ke grup ludruk Bhiyana Mayangkara Jombang tahun 1966. Berbeda dengan pengreman lainnya, Ali Markasa ini belajar tari remo secara otodidak. 

Hanya dengan sekali menyaksikan pengreman menari, ia sudah bisa menirukan tarian remo tersebut. Berbagai gerak tari remo yang bagus dari penari yang disaksikannya pun diterapkannya dan disempurnakan dengan gerak saduk sampur (tendangan selendang, Red). 

Konsep gerak Tari Remo Jombangan ini dibentuk dari berbagai pengalaman Ali Markasa selama menari bertahun-tahun. Pada 28 Nopember 1967 terciptalah Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa. Bahkan Tari Remo Jombangan ini telah diakui nasional, namun baru dipatenkan 27 Januari 2009 silam. ”Pada tahun 1974 Pak Slamet, ketua ludruk Bhiyana Mayangkara meminta Mbah Bolet untuk datang ke salah satu tanggapan menyaksikan saya menari remo di Pulodadi,” lanjutnya. Mbah Bolet pun menurutnya kagum dengan gaya Tari Remo Ali Markasa tersebut.

Mbah Bolet berpesan beberapa hal kepada Ali Markasa. ”Le aku sing nyiptakno Tari Remo Boletan, lek ngremoku iku ngremo Sudrun ora nggawe pakem. Ngremoku iku ngremo banyolan. Ngremo mu apik ono ojo kalah karo Suroboyo, opo maneh saduk sampur iku awakmu tok. Tarian mu iku Remo Jombangan, (Nak, aku yang membuat Tari Remo Boletan, tari remo ku ini Remo Sudrun tidak menggunakan pakem. Tari Remo ku ini tari komedi. Tari Remo mu itu bagus apalagi gerak tendang selendang itu asli hanya dirimu saja, Red),” ucapnya.

Pesan lain yang disampaikannya juga membahas terkait gerakan Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa. ”Ojo nggawe gerak ayam alas model Suroboyoan, kekalemen kurang keras. Tanjak e sikil  ojo digawe dlosor, sikile kudu siku (Jangan menggunakan gerakan ayam hutan gaya Surabaya, terlalu lembut kurang keras. Tanjak kaki jangan dibuat panjang sebelah tapi kaki harus membentuk siku, Red)” tuturnya. 

Sehingga Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa ini semakin diperkuat dan masih sama sejak dulu hingga kini. Tak banyak yang tahu jika Tari Remo Boletan jauh berbeda dengan Tari Remo Jombangan. Tari Remo Boletan diciptakan Mbah Bolet Sastra Amenan, sedangkan Tari Remo Jombangan diciptakan Ali Markasa. Tari Remo Jombangan sudah didaftarkan hak paten sehingga gerakan, irama, ketukan, kostum hingga rias sudah baku. 

Sedangkan  Tari Remo Boletan masih belum didaftarkan hak cipta, sehingga beberapa gerakan sudah tidak sesuai dengan Tari Remo Boletan ala Mbah Bolet dulu. ”Kebanyakan orang menganggap Tari Remo Boletan itu sama dengan Tari Remo Jombangan, itu perlu diluruskan,” tandasnya. 

Ali Markasa sendiri sebenarnya juga pernah membentuk grup ludruk sendiri dengan nama Asmara Murni dan menjadi ketua. Meski bertahan cukup lama, namun grup ini bubar. Ali Markasa bergabung dengan grup ludruk Kopasgat Madiun mulai 1984-1994. Ia juga pernah menjadi anggota Sari Murni, Karya Budaya, Budhi Jaya dan yang terakhir Mustika Jaya Jombang tahun 2005.

Ali Markasa juga pernah melakukan battle dance (lomba menari, Red) dengan para penari remo papan atas di Jombang. ”Ada delapan penari remo terbaik yang diundang menari remo di Kodim tahun 1971, termasuk Mbah Bolet,” lontar Ali Markasa. 

Ia menuturkan jika juara pertama Tari Remo tersebut diraih Mbah Bolet. Menurutnya kelebihan Mbah Bolet sangat menonjol terutama pada gerakan tanjak sangat bagus. Olah tangan dan kaki Mbah Bolet juga luar biasa. Sedangkan Ali Markasa yang belum sempurna tariannya saat itu meraih juara tiga. 

”Gerakan saduk sampur itu memang saya saja yang melakukan. Itu yang membuat saya berbeda dan juara tiga padahal tarian saya saat itu belum maksimal,” tambahnya. Namun ia mengakui jika pesona dan karakter Mbah Bolet sangat kuat melekat di tengah masyarakat dengan segala kelebihannya. Meski demikian, ia mengaku kurang suka untuk menari Remo Boletan.

”Saya tidak suka tariannya karena tidak pakem, kalau dengan Mbah Bolet sangat baik. Tari Remo Boletan mengikuti pakem pada awalnya saja,” ungkapnya. Namun pada bagian pertengahan hingga akhir, gerakan tari Mbah Bolet itu sudah diluar pakem bahkan diselingi berbagai banyolan. 

Ketika selesai menari di satu panggung, gaya tari Mbah Bolet sudah berbeda keesokan harinya saat di tempat lain. Hal itu disesuaikan dengan humor yang sedang hangat saat itu. Meski demikian, gaya Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa tak kalah dinamis dari Remo Boletan. Ia mampu mengolah sampur dikombinasikan dengan tendangan menghasilkan visualisasi yang sangat atraktif, berkarakter dan cermat. 

Gerakan yang detaik dan ekspresif ini menggunakan teknik gerak tinggi. Gerakan Tari Remo Jombangan ini tak hanya menghibur tapi juga menyampaikan pesan moral kepada para penonton. Ali Markasa pun cukup berprestasi dalam bidang Tari Remo dan ludruk. Ia meraih juara 1 Tari Remo se-Provinsi Jawa Timur tahun 1981. Grup ludruk yang diikutinya pun meraih juara 1 Jawa Timur serta juara 2 lomba tari remo tahun 1994. 

Selain itu ia juga sering meraih penghargaan sebagai penari Remo Jombangan. Ia juga kerap menjadi bintang tamu, pengisi workshop dan juri lomba sejenis pada jamannya. Meski tak ada perhatian dari pemerintah, Ali Markasa tetap semangat  melestarikan Tari Remo Jombangan. Ia mengaku cukup prihatin dengan kondisi kesenian asli Jombang yang hampir punah. Kini dia dibantu isterinya mengajarkan tari kepada anak-anak, remaja dan masyarakat umum untuk belajar menari remo. Bahkan dia tetap mengajar menari di usia senja 74 tahun. 

”Saat ini saya sudah tidak sanggup menari. Usia saya sudah sepuh 75 tahun, kaki saya juga asam urat,” terang Ali Markasa. Dia dan isterinya, Winarsih pun dengan sabar mengajari ratusan penari yang belajar kepada mereka. Tak sekedar mengajar, ia juga menunjukkan nama-nama gerakan dan sejarahnya. Hanya saja menurutnya regenerasi ludruk dan tari remo di tempat lahirnya sendiri dalam kondisi cukup kritis. ”Sudah jarang orang nanggap ludruk di Jombang kalah dengan hiburan modern. Justru ludruk lebih berkembang di daerah lain,” cetusnya. Ia berharap dengan apa yang dilakukannya ludruk dan Tari Remo tidak punah. ”Tari Remo itu bukan sekedar tari. Remo itu ngerem lewat agomo,” jelasnya. 

Dia mengaku gemas melihat tari remo yang berkembang di Jombang sudah meremehkan nilai-nilai sakral tari remo. Remo sejati tidak asal-asalan dibuat, gerakan yang melenceng sudah mengubah filosofi gerakan remo itu sendiri. Ia mencontohkan gerakan manembah pada tari Remo Boletan yang miring, sudah tidak sesuai dengan tari Mbah Bolet sendiri. 

”Tari Remo Mbah Bolet itu manembah yang benar lurus. Manembah itu ibarat menghadap kepada Tuhan, lurus itu kebenaran atau agama,” paparnya. Sedangkan kepalan tangan melambangkan persatuan, lima jari menunjukkan Pancasila. Hentakan musik yang dinamis berarti mengajak masyarakat untuk bersatu bersama Pancasila. Ia tidak menampik hal ini berhubungan dengan sejarah perpecahan bangsa yang terjadi pada 1965 silam.

Sementara itu, tarian Remo Jombangan telah didokumentasikannya dalam CD (compact disk). Terdapat Remo Jombangan untuk TK, SD, SMP dan SMA atau umum. Perbedaan terletak pada durasi dan pengulangan gerakan namun tetap mengikuti pakem. Meski telah diakui hak ciptanya, penghargaan dari Pemkab Jombang sangat kurang. Ia pun menghabiskan tabungan belasan juta rupiah untuk biaya dokumentasi Tari Remo Jombangan ini. 

”Mulai dari upah maupun sewa panjak, gamelan, sound, makan, jasa shooting video, busana tata rias dan lain-lain cukup banyak. Itu kami tanggung sendiri, pernah mengajukan bantuan ke bupati katanya disetujui tapi saat saya ke dinas terkait bilangnya tidak tahu,” tandasnya kecewa. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

admin

Njombangan adalah inisiatif untuk melestarikan dan mempromosikan heritage Jombang berupa seni, budaya, bahasa, adat, sejarah, peninggalan bangunan atau bentuk fisik serta lainnya.

Leave your message