Jombang – Sosok pahlawan ini pernah turut berjuang mempertahankan kemerdekaan di Jombang periode 1945-1950. Namanya Brigjen R Kretarto, bagi warga Jombang nama ini tak asing. Maklum, namanya memang terabadikan sebagai salah satu jalan di wilayah Jombang yang juga ruas jalur nasional.
Dikutip dari buku karya Moch. Faisol, Jejak Perjuangan Laskar Hizbullah Jombang R Kretarto tercatat sebagai salah satu orang yang memimpin operasi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Jombang. Berbagai macam pangkat juga diperolehnya. Sebut saja Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada awal Kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi salah satu unsur pembentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karirnya di jalur militer terus naik dengan memegang berbagai jabatan. Didukung pengalaman lapangannya yang terlibat dalam berbagai pertempuran sejak 1945 di Surabaya, Mojokerto hingga harus mempertahankan benteng terakhir di Jombang. Sebab, pasukan NICA Belanda sudah berhasil menguasai Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Malang.
Monumen Brigjen R Kretarto yang terdapat di Jombang. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)
“Sejak 1947, dia sudah menyandang pangkat Letnan Kolonel, R. Kretarto, dipercaya menjabat Komandan Resimen 32 dari Divisi VI / Narotama, sebelum dilebur menjadi satu dalam Divisi I Jawa Timur. Sebelumnya, pada 1946 pernah menjabat Komandan CoPP VI (Commando Pusat Pertempuran) Divisi VI/Narotama. Hingga dirinya menjadi salah satu anggota tentara Nasional Indonesia (TNI),” tulis Faisol dalam bukunya.
Pak Kret, sapaan akrabnya, salah satu orang yang berjasa ketika agresi militer Belanda II dilancarkan dan sempat membuat pasukan Indonesia mundur, setelah gagal mengebom jembatan Ploso yang saat itu jadi lokasi perbatasan Indonesia dengan wilayah Belanda.
Tak banyak dokumen yang bisa diungkit untuk menjelaskan siapa sebenarnya dia dan seberapa besar kiprahnya. Namun satu dari dua patung R Kretarto yang dibangun Pemkab Jombang menyebutkan, lahir di Bandung Jawa Barat 16 Januari 1913, dan wafat di Jawa tengah tanggal 26 Oktober 1961. Dalam monumen tersebut disebutkan jika R Kretarto berpangkat terkahir Brigjend, dengan jabatan Sekretaris Komando Tertinggi (KOTI).
Meski minim dokumen yang menjelaskan peran R Kretarto di Jombang melawan Belanda. Namun tak berarti hilang begitu saja jejaknya di Jombang. Hingga saat ini, setidaknya terlihat dari beberapa monumen yang ada di Jombang selain jalan nasional yang menggunakan namanya.
Setidaknya ada dua buah monumen berupa patung dia di Jombang. Satu monumen sangat besar dan megah terletak di samping PG Jombang Baru. “Monumen Patung Brigjen R. Kretarto di pertigaan Jl PB. Sudirman sebelah utara PG Djombang Baru itu didirikan semasa pemerintaham Bupati Soewoto Adiwibowo. Monumen ini diresmikan pada peringatan HUT TNI 5 Oktober 1997,” jelas Moch Faisol kembali.
Dan satu buah patung lagi terletak di Desa Gongseng, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang. Patung yang terletak tepat di pertigaan tak jauh dari Kantor Desa Gongseng itu hingga kini masih berdiri tegak meski terlihat kurang dirawat. Ini terlihat dari beberapa cat yang telah memudar dan bangunan yang mulai lapuk. “Sudah lama ini didirikan, mungkin tahun 70-an, memang kurang diperhatikan sepertinya, padahal ini peninggalan sejarah penting,” celetuk Adit, salah satu warga yang ditemui di lokasi. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Munir mengaku jika dirinya tidak pernah promosi, karena sudah cukup legendaris, pelanggan datang sendiri untuk memesan. “Katanya bagus dan awet, itu yang menilai mereka, saya hanya membuat yang terbaik saja,” kata Munir.
Selain kenyamanan saat dipakai dan kualitasnya terjaga, salah satu yang membuat Sepatu Topik begitu dikenal, yakni membuat sepatu khas. Karena sepatu-sepatu itu sulit ditemui di toko sepatu. Misalnya, sepatu mayoret drumband yang unik, juga sepatu polisi, selop pasangan manten.
“Yang banyak memang pesanan, seperti pasukan pengibar bendera, pasukan drum band lengkap dengan mayoretnya, polisi, TNI, kepala desa, hingga jasa rias pengantin yang banyak memesan,” urainya. Tidak hanya sepatu, Munir juga membuat jaket, tas, dompet, ikat pinggang dan sandal.
Untuk satu pasang sendal wanita dan laki-laki, harganya antara Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu. Untuk sepatu wanita ia biasanya menjual antara Rp 225 ribu, sampai Rp 400 ribu. Untuk sepatu laki-laki, ia biasanya menjual Rp 250 ribu sampai Rp 700 ribu per pasang.
“Kalau jaket karena bahan baku yang dibutuhkan banyak, saya biasanya menjual Rp 1 juta sampai Rp 2 juta,” imbuhnya. Meski saat ini populer pemasaran melalui online, Munir mengaku tak tertarik. Karena untuk melayani pelanggan saja, dia mengaku sudah kuwalahan.
“Di kartu nama, tidak ada nomor whatsapp, hanya nomor telepon biasa. Nggak melalui online seperti sekarang, tetapi datang langsung ke sini,” jelasnya.
Jika kehabisan bahan baku atau pesanan sedang menumpuk, Munir lebih memilih untuk menolak pesanan pelanggan. “Daripada mengecewakan pelanggan, lebih baik saya tolak,” pungkasnya.
Selain memiliki beberapa model yang ia buat sendiri. Munir juga menerima pesanan semua bentuk yang diinginkan. Bahan yang digunakan juga bisa dipilih, bisa dari kulit asli atau bisa dari kulit imitasi. “Kalau pemesan menggunakan gambar dan saya memprediksi ini hasilnya akan jelek jika dibikin dengan kulit asli, maka saya tolak,” pungkasnya. (*)
(jo/wen/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Nama Ali Markasa tak asing lagi bagi para pecinta ludruk maupun pengreman di Jawa Timur, khususnya Jombang. Pria kelahiran Dukuh Arum, Desa/Kecamatan Tembelang 9 Juli 1942 ini Maestro Tari Remo Jombangan. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Kasemin dan Kaini ini puluhan tahun melanglang buana di dunia ludruk khususnya Tari Remo.
”Saya memang suka kesenian tradisional sejak dulu. Ayah saya itu bayan tapi juga merupakan pengrawit,” ujar Ali Markasa kepada Jawa Pos Radar Jombang. Kecintaannya pada Tari Remo dibuktikan dengan bergabung pada grup ludruk sebagai penari remo sejak lulus SD. Bahkan ia rela meninggalkan bangku SMP demi menjadi penari remo.
”Saya dulu sudah kelas 3 SMP Sawunggaling tapi tidak melanjutkan, padahal tinggal dua bulan sudah lulus,” sambungnya. Pria 75 tahun ini mengaku kerap ditegur gurunya lantaran kerap tertidur di kelas. Dia sendiri tidak dapat menahan kantuk setelah semalaman ikut tanggapan ludruk.
Foto pementasan tari Remo Jombangan yang dilakukan Ali Markasa semasa masih muda. (RICKY VAN ZUMA/JAWA POS RADAR JOMBANG)
Mulai tahun 1956 ia telah menjadi bagian dari grup ludruk Margo Rukun di desa tempat tinggalnya saat itu. Tiga tahun berselang, Ali Markasa muda pindah ke grup ludruk lainnya Margo Utomo di Desa Ngogri, Kecamatan Megaluh. Tiga tahun selanjutnya ia pindah ke grup Sinar Budaya Lamongan tahun 1962. Tak hanya itu, Ali Marksa juga pernah bergabung dengan sejumlah grup ludruk populer saat itu yaitu Marhaen Muda, Gaya Baru hingga Gaya Marhaen.
”Saya cukup lama jadi satu grup dengan Mbah Bolet di Gaya Baru. Tapi saat itu saya tidak pernah menari karena saya kurang suka dengan gaya Tari Remo Boletan,” paparnya.
Mbah Bolet juga menyadari jika Ali Markasa tidak menyukai Tari Remo Boletan yang dibawakannya. Ali Markasa pun pindah ke grup ludruk Bhiyana Mayangkara Jombang tahun 1966. Berbeda dengan pengreman lainnya, Ali Markasa ini belajar tari remo secara otodidak.
Hanya dengan sekali menyaksikan pengreman menari, ia sudah bisa menirukan tarian remo tersebut. Berbagai gerak tari remo yang bagus dari penari yang disaksikannya pun diterapkannya dan disempurnakan dengan gerak saduk sampur (tendangan selendang, Red).
Konsep gerak Tari Remo Jombangan ini dibentuk dari berbagai pengalaman Ali Markasa selama menari bertahun-tahun. Pada 28 Nopember 1967 terciptalah Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa. Bahkan Tari Remo Jombangan ini telah diakui nasional, namun baru dipatenkan 27 Januari 2009 silam. ”Pada tahun 1974 Pak Slamet, ketua ludruk Bhiyana Mayangkara meminta Mbah Bolet untuk datang ke salah satu tanggapan menyaksikan saya menari remo di Pulodadi,” lanjutnya. Mbah Bolet pun menurutnya kagum dengan gaya Tari Remo Ali Markasa tersebut.
Mbah Bolet berpesan beberapa hal kepada Ali Markasa. ”Le aku sing nyiptakno Tari Remo Boletan, lek ngremoku iku ngremo Sudrun ora nggawe pakem. Ngremoku iku ngremo banyolan. Ngremo mu apik ono ojo kalah karo Suroboyo, opo maneh saduk sampur iku awakmu tok. Tarian mu iku Remo Jombangan, (Nak, aku yang membuat Tari Remo Boletan, tari remo ku ini Remo Sudrun tidak menggunakan pakem. Tari Remo ku ini tari komedi. Tari Remo mu itu bagus apalagi gerak tendang selendang itu asli hanya dirimu saja, Red),” ucapnya.
Pesan lain yang disampaikannya juga membahas terkait gerakan Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa. ”Ojo nggawe gerak ayam alas model Suroboyoan, kekalemen kurang keras. Tanjak e sikil ojo digawe dlosor, sikile kudu siku (Jangan menggunakan gerakan ayam hutan gaya Surabaya, terlalu lembut kurang keras. Tanjak kaki jangan dibuat panjang sebelah tapi kaki harus membentuk siku, Red)” tuturnya.
Sehingga Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa ini semakin diperkuat dan masih sama sejak dulu hingga kini. Tak banyak yang tahu jika Tari Remo Boletan jauh berbeda dengan Tari Remo Jombangan. Tari Remo Boletan diciptakan Mbah Bolet Sastra Amenan, sedangkan Tari Remo Jombangan diciptakan Ali Markasa. Tari Remo Jombangan sudah didaftarkan hak paten sehingga gerakan, irama, ketukan, kostum hingga rias sudah baku.
Sedangkan Tari Remo Boletan masih belum didaftarkan hak cipta, sehingga beberapa gerakan sudah tidak sesuai dengan Tari Remo Boletan ala Mbah Bolet dulu. ”Kebanyakan orang menganggap Tari Remo Boletan itu sama dengan Tari Remo Jombangan, itu perlu diluruskan,” tandasnya.
Ali Markasa sendiri sebenarnya juga pernah membentuk grup ludruk sendiri dengan nama Asmara Murni dan menjadi ketua. Meski bertahan cukup lama, namun grup ini bubar. Ali Markasa bergabung dengan grup ludruk Kopasgat Madiun mulai 1984-1994. Ia juga pernah menjadi anggota Sari Murni, Karya Budaya, Budhi Jaya dan yang terakhir Mustika Jaya Jombang tahun 2005.
Ali Markasa juga pernah melakukan battle dance (lomba menari, Red) dengan para penari remo papan atas di Jombang. ”Ada delapan penari remo terbaik yang diundang menari remo di Kodim tahun 1971, termasuk Mbah Bolet,” lontar Ali Markasa.
Ia menuturkan jika juara pertama Tari Remo tersebut diraih Mbah Bolet. Menurutnya kelebihan Mbah Bolet sangat menonjol terutama pada gerakan tanjak sangat bagus. Olah tangan dan kaki Mbah Bolet juga luar biasa. Sedangkan Ali Markasa yang belum sempurna tariannya saat itu meraih juara tiga.
”Gerakan saduk sampur itu memang saya saja yang melakukan. Itu yang membuat saya berbeda dan juara tiga padahal tarian saya saat itu belum maksimal,” tambahnya. Namun ia mengakui jika pesona dan karakter Mbah Bolet sangat kuat melekat di tengah masyarakat dengan segala kelebihannya. Meski demikian, ia mengaku kurang suka untuk menari Remo Boletan.
”Saya tidak suka tariannya karena tidak pakem, kalau dengan Mbah Bolet sangat baik. Tari Remo Boletan mengikuti pakem pada awalnya saja,” ungkapnya. Namun pada bagian pertengahan hingga akhir, gerakan tari Mbah Bolet itu sudah diluar pakem bahkan diselingi berbagai banyolan.
Ketika selesai menari di satu panggung, gaya tari Mbah Bolet sudah berbeda keesokan harinya saat di tempat lain. Hal itu disesuaikan dengan humor yang sedang hangat saat itu. Meski demikian, gaya Tari Remo Jombangan ala Ali Markasa tak kalah dinamis dari Remo Boletan. Ia mampu mengolah sampur dikombinasikan dengan tendangan menghasilkan visualisasi yang sangat atraktif, berkarakter dan cermat.
Gerakan yang detaik dan ekspresif ini menggunakan teknik gerak tinggi. Gerakan Tari Remo Jombangan ini tak hanya menghibur tapi juga menyampaikan pesan moral kepada para penonton. Ali Markasa pun cukup berprestasi dalam bidang Tari Remo dan ludruk. Ia meraih juara 1 Tari Remo se-Provinsi Jawa Timur tahun 1981. Grup ludruk yang diikutinya pun meraih juara 1 Jawa Timur serta juara 2 lomba tari remo tahun 1994.
Selain itu ia juga sering meraih penghargaan sebagai penari Remo Jombangan. Ia juga kerap menjadi bintang tamu, pengisi workshop dan juri lomba sejenis pada jamannya. Meski tak ada perhatian dari pemerintah, Ali Markasa tetap semangat melestarikan Tari Remo Jombangan. Ia mengaku cukup prihatin dengan kondisi kesenian asli Jombang yang hampir punah. Kini dia dibantu isterinya mengajarkan tari kepada anak-anak, remaja dan masyarakat umum untuk belajar menari remo. Bahkan dia tetap mengajar menari di usia senja 74 tahun.
”Saat ini saya sudah tidak sanggup menari. Usia saya sudah sepuh 75 tahun, kaki saya juga asam urat,” terang Ali Markasa. Dia dan isterinya, Winarsih pun dengan sabar mengajari ratusan penari yang belajar kepada mereka. Tak sekedar mengajar, ia juga menunjukkan nama-nama gerakan dan sejarahnya. Hanya saja menurutnya regenerasi ludruk dan tari remo di tempat lahirnya sendiri dalam kondisi cukup kritis. ”Sudah jarang orang nanggap ludruk di Jombang kalah dengan hiburan modern. Justru ludruk lebih berkembang di daerah lain,” cetusnya. Ia berharap dengan apa yang dilakukannya ludruk dan Tari Remo tidak punah. ”Tari Remo itu bukan sekedar tari. Remo itu ngerem lewat agomo,” jelasnya.
Dia mengaku gemas melihat tari remo yang berkembang di Jombang sudah meremehkan nilai-nilai sakral tari remo. Remo sejati tidak asal-asalan dibuat, gerakan yang melenceng sudah mengubah filosofi gerakan remo itu sendiri. Ia mencontohkan gerakan manembah pada tari Remo Boletan yang miring, sudah tidak sesuai dengan tari Mbah Bolet sendiri.
”Tari Remo Mbah Bolet itu manembah yang benar lurus. Manembah itu ibarat menghadap kepada Tuhan, lurus itu kebenaran atau agama,” paparnya. Sedangkan kepalan tangan melambangkan persatuan, lima jari menunjukkan Pancasila. Hentakan musik yang dinamis berarti mengajak masyarakat untuk bersatu bersama Pancasila. Ia tidak menampik hal ini berhubungan dengan sejarah perpecahan bangsa yang terjadi pada 1965 silam.
Sementara itu, tarian Remo Jombangan telah didokumentasikannya dalam CD (compact disk). Terdapat Remo Jombangan untuk TK, SD, SMP dan SMA atau umum. Perbedaan terletak pada durasi dan pengulangan gerakan namun tetap mengikuti pakem. Meski telah diakui hak ciptanya, penghargaan dari Pemkab Jombang sangat kurang. Ia pun menghabiskan tabungan belasan juta rupiah untuk biaya dokumentasi Tari Remo Jombangan ini.
”Mulai dari upah maupun sewa panjak, gamelan, sound, makan, jasa shooting video, busana tata rias dan lain-lain cukup banyak. Itu kami tanggung sendiri, pernah mengajukan bantuan ke bupati katanya disetujui tapi saat saya ke dinas terkait bilangnya tidak tahu,” tandasnya kecewa. (*)
(jo/ric/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com