• info@njombangan.com

Monthly ArchiveFebruary 2019

Selain di Kabuh, Usaha Kerajinan Anyaman Bambu Juga Ada di Sumobito

JOMBANG – Tak hanya di wilayah Kecamatan Kabuh, usaha kerajinan anyaman bambu ternyata juga bisa ditemukan di Dusun Tulungrejo, Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang.

Ngaderi, adalah salah satu pengrajin anyaman bambu di dusun tersebut. Jenis anyaman bambu yang diproduksi adalah tomblok, dan sudah berjalan sejak puluhan tahun lalu. “Keranjang bambu, kalau istilah Jawa disebut tomblok,” terang Ngaderi, saat ditemui Jawa Pos Radar Jombang.

Tangannya terlihat sangat terampil dan cekatan menganyam satu per satu bambu untuk disilangkan, hingga membentuk struktur tomblok. Dia melakoni pekerjaan itu sejak 1970-an.

“Disini ada puluhan yang bikin kerajinan bambu, tapi cuma saya yang bikin tomblok, yang lain biasanya bikin tampah sama kaluh,” imbuh pria 67 tahun ini. Selain karena alasan telah terlalu banyak pengrajin anyaman bambu jenis tampah dan kaluh, ia juga terbiasa sejak muda membuat tomblok.

Terlebih, dirinya mengaku sudah ada langganan tetap yang tiap hari menerima hasik kerajinannya. Setiap harinya, dia mapu memproduksi 5 sampai 6 tomblok. Jumlah itu bisa bertambah banyak jika istri dan anaknya turut membantu. 

“Kalau sendiri paling 6, kalau ada yang membantu bisa sampai 10 per hari,” sambungnya. Tomblok yang sudah jadi, biasanya akan langsung dikirim ke penjual baik, di Jombang maupun luar daerah. Dia pun tak mematok harga mahal, cukup Rp 7 ribu rupiah per biji.

“Ya biasanya ke pasar-pasar kalau di Jombang, kebetulan yang sedang dianyam ini pesanan dari Mojokerto,” terang Ngaderi. Tomblok tersebut menurutnya bisa digunakan untuk berbagai macam wadah.

Selain yang paling umum digunakan sebagai tempat sampah. “Tempat sampah bisa, tapi yang paling banyak pesan itu pengepul rosok, ada juga yang buat tempat bunga dan tape,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

47 Tahun Suratman Produksi Kacang Goreng Pasir Pakai Alat Tradisional

JOMBANG – Kabupaten Jombang ternyata memiliki banyak produk makanan ringan dari industri rumah tangga. Kali ini yang ditemukan adalah kacang goreng sangrai atau yang digoreng menggunakan pasir. Suratman, warga Dusun Mlaten, Desa Selorejo, Kecamatan Mojowarno, adalah salah satu produsen makanan jenis ini.

Ia bahkan sudah menekuni usaha produksi kacang sangrai sejak 47 tahun silam. Dia merupakan salah satu diantara sekian warga yang menggeluti usaha kacang sangrai di wilayah tersebut. Suratman mengungkapkan sudah puluhan tahun menekuni usaha kacang sangrai.

“Sejak 1971 sudah mulai produksi sendiri,” kata dia. Usaha kacang goreng sangrai menurut Suratman sebelumnya juga sudah dilakukan orang tuanya. “Lebih tepatnya usaha turun-temurun, meneruskan mbah-mbah dulu. Sejak jaman Jepang di sini sudah ada ampyang,” imbuh dia.

Singkat cerita, karena meneruskan usaha keluarga, kakek usia 67 tahun ini mengungkapkan hingga sekarang ini alat yang dipakai masih tetap tradisional. Seluruh pekerjaan dilakukan manual. Mulai dari penggorengan, pemilahan kacang hingga pengepakan.

“Dulu itu pernah pakai oven, terus drum tapi nggak jalan. Nggak ada yang laku, terus balik lagi pakai pasir,” papar Suratman. Dengan dibantu enam orang pekerja notabene masih sanak keluarganya, dalam sehari kata dia bisa menggoreng hingga empat kuintal kacang. Mulai dari pukul 07.00 hingga 14.00 WIB.

“Satu orang dua kuintal, itu kacangnya sudah matang. Tinggal dipilah dan dikemas,” sebut Suratman. Tentunya, melihat cuaca. Sebab, ketika sudah musim hujan, biasanya kurang dari empat kuintal. Salah satu penyebabnya, lantaran waktu kacang dijemur bertambah.

“Semua tergantung kacangnya, kalau kacangnya basah waktu jemur sampai satu hari. Kalau kacangnya kering dibasahi air dulu satu hari satu malam lalu langsung digoreng, nggak usah dijemur lagi,” urai dia.

Uniknya, meski produksi berada di Jombang, untuk bahan baku atau kacang jenis hibrida itu justru didapat dari luar Jombang. Biasanya dia membeli dari Nganjuk, Mojokerto, Kabupaten Malang hingga Bojonegoro.

“Bahan baku dari luar semua, kalau kemarau begini dari Dawarblandong (Mojokerto). Nah nanti kalau sudah musim hujan itu mengambil dari Malang dan Blitar,” sebut dia. 

Karena dari beragam daerah, maka kacang-kacang tersebut pun kondisinya berbeda. Perlu dilakukan pemilahan terlebih dahulu sebelum dikemas dalam plastik dengan ukuran beragam. “Kalau di Jombang jarang, adanya kacang kecil-kecil. Kalau yang ini jenis hibrida semua, jadi agak besar,” tutur Suratman. 

Karena masih bertahan dengan alat tradisional, kata Suratman kacang yang dia jual itu murni tanpa tambahan. “Tidak ada perasa maupun pengawet, murni dari sawah kita olah kemudian kita kemas. Kalau kacang basah yang dijemur dulu itu bisa bertahan sampai tiga bulan. Kalau yang kering hanya satu bulanan saja,” rinci dia.

Meski masih memakai alat tradisional, penjualan kacang sangrai itu hingga luar    Jombang. “Satu minggu biasanya jual satu ton, itu keluar kota semua. Mulai Mojokerto, Malang sampai Gresik,” sebut dia. 

Justru musim kemarau seperti sekarang ini yang ditunggu-tunggu. Sebab, penyusutan kacang sewaktu produksi tak  begitu banyak.

“Kondisi kacang setiap daerah berbeda, kalau kemarau begini penyusutannya nggak banyak, satu kilogram rata-rata hanya setengah kilogram saja. Musim hujan sekitar empat sampai lima ons terkadang malah ada yang nggak jadi,” pungkas dia seraya menyebutkan harga per kilonya dibandrol Rp 20 ribu. (*)

(jo/fid/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Dulu Menganggur Akibat Krisis 98, Kini Sukses dengan Usaha Tape Ketan

Jombang – Anda pernah makan tape ketan berwarna hijau dengan bungkus kertas yang dijual di warung atau pasar? Bisa jadi tape yang anda makan adalah hasil produksi Usman Ali, warga Dusun Bandungsari, Desa Bandung, Kecamatan Diwek.

Bersama Aslikah, 57, istrinya, Usman menjalankan usaha tape ketan sejak 90an silam. Masih belum hilang dalam ingatannya saat krisis moneter 1998 lalu, usaha permennya mengalami kebangkrutan.

”Saya waktu itu menganggur,” terang Usman, kepada Jawa Pos Radar Jombang. Di tengah upaya mendapatkan pekerjaan, Usman berfikir keras mencari jalan agar dirinya tidak menganggur. Hingga akhirnya muncul ide merintis pembuatan tape ketan. ”Mungkin karena saya lama bekerja di industri pembuatan permen tape,” bebernya.

”Kebetulan istri saya bisa membuat makanan, saya minta mencoba membuat tape ketan,” imbuhnya. Pertama kali membuat tape ketan, hasilnya lumayan. Hanya untuk dimakan sendiri dan keluarga. Beberapa kali mencoba membuat tape ketan, hasilnya cukup enak. Famili dan tetangga yang diminta mencicipi, menyebut tape ketannya cukup enak.

”Dari situ akhirnya saya dorong istri saya untuk menseriusi produksi tape ketan,” bebernya. Diawal dirinya hanya memasak dalam jumlah terbatas. ”Awal membuat dalam jumlah sedikit, hanya sekitar satu kilogram ketan,” bebernya. Hasilnya lagi-lagi memuaskan. 

Dari situ, dirinya mulai belajar memasarkan produk tape ketan. ”Awal kami pasarkan ke toko-toko di sekitar rumah, termasuk sebagian dijual ke pasar. Ternyata peminatnya banyak,” bebernya.

Melihat prospeknya bagus, dirinya pun secara bertahap menambah jumlah produksi tape ketan. ”Masaknya ditambah, di pasar lagi-lagi laku keras,” bebernya.

Seiring produknya mulai berkembang, dirinya pun mulai melakukan inovasi dan memperluas pasar termasuk membuat label khusus produk. ”Nama produknya, tape ketan Aslikah, sesuai nama istri saya,” imbuhnya.

Seiring produknya kian dikenal luas, dirinya pun mulai kebanjiran order. ”Banyak yang pesan untuk hajatan, khususnya mendekati hari raya permintaan banyak sekali, kadang sampai kuwalahan,” imbuhnya.

Salah satu kunci larisnya produk tape ketan buatan Aslikah, salah satunya dari kualitas rasa. ”Kualias kami jaga betul, mulai dari pemilihan bahan dasar, kita pilih yang terbaik. Termasuk memasak dan kemasannya kami perhatikan betul, jangan sampai konsumen kecewa,” imbuhnya.

Tak ayal produknya pun tembus ke pasaran, tidak hanya di wilayah Jombang, namun juga hingga Kediri, Malang dan Mojokerto. Terhitung sekarang ini usahanya sudah bertahan sekitar 20 tahun, dan jumlah permintaan terus bertambah.

”Sekarang pesanan juga masih lancar, kalau omzet dirata-rata sekitar 25 jutaan per bulan,” bebernya. Tidak hanya melayani penjual eceran, namun Usman juga melayani permintaan sejumlah toko-toko besar di beberapa daerah.

”Jadi produk tape ketan bisa bertahan sekitar enam hari. Per bungkus dijual dengan harga eceran 500 sampai 1.000,” terangnya. Dirinya pun merasa bersyukur sekali dengan pencapaiannya saat ini.

”Sekarang anak-anak saya sudah mentas semua. Saya pun punya penghasilan, jadi tidak bingung lagi cari kerja ke sana kemari,” singkat Usman. Ditanya pengalamannya jatuh bangun menekuni usaha pembuatan tape ketan, dirinya menarangkan dari faktor fluktuasi harga bahan dasar.

”Saya pernah hampir kolaps, 2017 lalu terkena lonjakan harga ketan, biasanya per kilo sekitar 11 ribu, waktu itu naik sampai 23 ribu per kilonya. Alhamdulillah sekarang sudah normal lagi,” terangnya.

Disinggung adakah selama ini dirinya mendapat pembinaan dari Pemkab Jombang, menurutnya tidak pernah. ”Belum pernah ada pembinaan, didata saja ingat saya belum,” pungkasnya. (*)

(jo/naz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Pengurangan Angka Pernikahan Dini di Jombang

Peace, justice and strong institutions

Oleh Fantia Yusnita Ayu

 

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Pernikahan merupakan hal yang sangat sakral. banyak orang yang menginginkan suatu pernikahan sekali dalam seumur hidup dan juga banyak yang melakukan sebuah perceraian. Pada zaman modern ini banyak para remaja yang melakukan pernikahan dalam usia dini. Umur 20 tahun ke bawah dapat dikategorikan pernikahan dalam usia dini (Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974). Dengan adanya pernikahan dalam usia dini dapat memperburu masa yang akan datang.

 

Jombang dikenal dengan sebutan kota santri. Tetapi banyak para pemuda yang merusak masa depannya dengan melakukan pernikahan muda. Pernikahan muda sangat tidak baik dilakukan karena akan merusak masa depan bangsa dan diri sendiri. Tingkat menikah muda di Jombang sangatlah memprihatinkan. Di Provinsi Jawa Timur saja pernikahan dini dapat mencapai 35 persen dan itu adalah paling tinggi dari pada provinsi yang lain. Apalagi dengan Kota Jombang yang pasti banyak anak putus sekolah untuk melakukan sebuah penikahan dalam usia dini. Tingkat kegagalan dalam pernikahan usia dini sangatlah miris. Banyak para remaja yang melakukan pernikahan dini yang menuju sebuah kegagalan atau sebuah perceraian. Pernikahan dalam usia dini sangatlah memprihatikan bagi masa depan bangsa dan yang terutama dalam diri sendiri. Dalam suatu pernikahan pasti adanya dengan memenuhi sebuah kebutuhan. Apabila seseorang melakukan pernikahan dalam usia dini dan putus sekolah yang pastinya akan berpengaruh di masa yang akan datang yaitu sulit untuk mencari suatu pekerjaan. Dengan sulitnya mencari pekerjaan akan menimbulkan banyaknya pengangguran. Banyaknya pengangguran dapat munculnya sebuah kriminalitas yang merajalela.

 

Pernikan dini juga tidak baik untuk psikologi anak. Pernikahan dini dampaknya sangatlah mengkhawatirkan bagi masing masing individual. Banyak para remaja yang emosinya masih labil dengan melakukan sebuah pernikahan. Apabila tidak dapat menahan suatu emosi dapat terjerumus sebuah perceraian. Dengan adanya pernikahan dini dapat menyebabkan terhambatnya pendidikan yang menjadikan minimnya pengetahuan. Pernikahan dalam usia dini tidak hanya menghambat perekonomian dan pendidikan, tapi juga bisa memicu kekerasan dalam rumah tangga. Banyak orang yang melakukan pernikahan dan terjerumus dengan kekerasan dalam rumah tangga. Sangat tinggi kekerasan dalam rumah tangga yang dijalani oleh para pemuda yang melakukan pernikahan dini dibandingkan dengan pernikahan pada seseorang yang sudah dewasa. Apabila seorang anak yang melakukan pernikahan di bawah 18 tahun akan meningkatkan resiko terkena gejala ganguan mental pada remaja. Selain itu, wanita yang melakukan pernikahan dini atau melakukan pernikahan di bawah umur 20 tahun akan menimbulkan penyakit kangker leher rahim yang disebabkan sel-sel leher belum matang dan juga apabila seorang ibu melahirkan anak di umur 20 tahun akan menyebabkan tingkat kematian anak. Banyak di Kota Jombang seorang ibu yang melahirkan anak di usianya yang sangat muda dan meninggal di saat melahirkan. Banyak anak yang dibuang atau ditelantarkan oleh orang tuanya karena tidak sanggup untuk membiayai kehidupannya. Kebanyakan yang melakukan hal tersebut adalah para remaja yang melakukan pernikahan dini. Pernikahan dini sangatlah merusak masa depan masing-masing individual dan bangsa.

 

Pernikahan dini dapat disebabkan karena sebuah perjodohan atau lebih parah yaitu hamil di luar nikah dan ada yang hanya nafsu semata. Adapun pernikahan dini atas keinginannya individu tetapi sangatlah jarang. adapun juga di berbagai tempat pernikahan dini dijadikan suatu tradisi. Suatu pernikahan dijadikan setiap orang sesuatu yang sakral yang pernikahan sebaiknya dilakukan dengan pasangan siap psikologis, finansial, dan fisik. Apabila dalam hal tersebut tidak siap maka akan menghancurkan diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan masa depan bangsa.

 

Seharusnya para pemuda dan pemudi menjadi penerus bangsa namun sebagai besar terjebak dalam hal yang buruk. Padahal banyak para remaja yang melakukan pernikahan dini hanya nafsu semata. Dengan adanya kebanyakan negatif dari pernikahan dini sebaiknya pemerintah lebih menegakkan hukum dan sanksi-sanksi yang keras dan mensosialisasikan agar tidak adanya lagi pernikahan anak di usia dini. Tidak hanya pemerintah tetapi masyarakat juga sangatlah berperan penting dengan cara membuka suatu lembaga untuk mensosialisasikan dampak-dampak yang akan muncul akibat dari penikahan di usia dini. Para remaja yang belum terjerumus dalam sebuah perbuatan melewati batas atau hamil di luar nikah kita dapat menanamkan nilai-nilai agar menjauhi hal tersebut. Dengan melakukan hal tersebut sedikit demi sedikit mindset mereka akan berubah dan tidak melakukan suatu pernikahan dalam usia dini atau hamil di luar nikah dan tidak ada para remaja yang terjerumus dalam kegelapan atau perbuatan yang merusak masa depan diri sendiri dan masa depan bangsa.

Perlu adanya kesadaran dari banyak pihak serta komitmen mereka untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya pernikahan yang sehat dan resiko akan pernikahan dini. Hal ini dapat disosialisasikan melalui kanal-kanal informasi yang sudah ada baik secara online maupun offline di lapangan dengan pendekatan komunitas, organisasi atau orang per orang. Dengan demikian, diharapkan angka pernikahan dini di Jombang dapat ditekan atau dikurangi.

Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi, Sang Mursyid Thariqat Shiddiqiyyah

Jombang – Minggu ini, rubrik Tokoh Jawa Pos Radar Jombang akan membahas tentang sosok salah satu mursyid Thariqat yang lahir dan besar di Jombang. Kiprahnya dalam dunia tasawuf tak diragukan lagi dengan kini berkembangnya thariqat yang diasuhnya secara nasional bahkan Internasional.

Ia adalah Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi, tokoh agama yang juga mursyid Thariqah Shiddiqiyyah ini adalah sosok yag cukup disegani. Serta sangat berpengruh mengingat pengikutnya yang di klaim kini telah mencapai lebih dari lima juta orang.

Kiai Muctar, atau banyak juga masyarakat awam menyebutnya kiai Tar, adalah putra dari seorang tokoh agama di wilayah Ploso yang bernama H Abdul Mu’thi, yang merupakan putra dari kiai Ahmad Syuhada, pendiri Pesantren Kedungturi.

Lahir Minggu Kliwon 14 Oktober 1928 atau 28 Rabiul Awal 1347 H di Desa Losari kecamatan Ploso Jombang, kiai Muchtar adalah anak ke 6 dari H Achmad Mu’thi dari perkawinan keduanya dengan Nyai Nasichah atau anak ke 12 dari total 17 anak H Mu’thi dari dua perkawinannya.

Karena berasal dari keluarga yang beragama taat, sejak kecil kiai Muchtar telah akrab dengan berbagai pelajaran dan ilmu agama. Termasuk ilmu kepesantrenan yang awalnya memang berasal dari didikan ayahandanya. Bahkan, mengutip dari buku Sepenggal perjalanan hidup Sang Mursyid karya A. Munjin Nasih, dirinya menulis “Bahkan saat bersekolah di MI Ngelo, di usia 8 tahun beliau telah menghafal 6 Juz Alquran,” tulisnya.

Darah Pesantren yang mengalir deras di dalam darahnya, serta dukungan orang tuanya membuatnya meneruskan  pendidikannya berlanjut ke dua pesantren besar di Jombang yakni Pesantren Darul Ulum Rejoso, serta Pesantren Bahrul ulum Tambakberas Jombang, saat usianya remaja.

Meskipun dua kali masuk keluar di dua pesatren tersebut juga tak mulus. Yakni hanya selama 6 bulan di Pesantren Rejoso selanjutnya 8 bulan di Tambakberas. Hal ini dikarenakan beberapa insiden mewarnai proses belajarnya. Kembali dikutip dari buku yang sama, selama di Pesantren Rejoso, dirinya dikenal sebagai santri yang nakal, beberapa masalah kerap dilakukannya baik berupa pembangkangan maupun provokasi hingga berujung pada dikeluarkannya dia dari pesantren tersebut.

“Meski sebelum sempat dijatuhkan hukuman kepadanya, kiai Muchtar memutuskan untuk keluar dengan sindirinya dari pesantren tersebut sehari sebelumnya,” kembali Nasih menulis.

Keluar dari Pesantren Rejoso, kiai Muchtar melanjutkan nyantri-nya ke Pesantren Tambakberas, di Pesantren ini dirinya menghabiskan waktu hingga 8 bulan. Meski kebiasannya nakal sempat terulang kembali, namun di Tambakberas dirinya tercatat menempuh pendidikan lebih lama serta sempat menjadi santri kesayangan kiai Hamid.

Sejumlah kitab juga dirinya pelajari, sebut saja Kitab Taqrib, Nahwu dan Sharaf, Tafsir Jalalain dibawah pengasuhan kiai Hamid, kitab Hadits Shahih Bukhari diasuh kiai Fattah, juga Kitab Fathul Mu’in dibawah asuhan kiai Masduqi.

Hingga ahirnya memutuskan untuk keluar dari pesantren Tambakberas karena ketebatasan ekonomi yang melanda keluarganya. Meski demikian, selama belajar di pesantren, kiai Muchtar lebih aktif menghafal Alquran. Tercatat 12 juz Alquran mampu dirinya hafalkan selama nyantri, hingga jika ditotal dengan hafalan yang telah ia lakukan sebelumnya jumlahnya adalah 18 juz. Pasca keluarnya dari Pesantren Tambakberas inilah dirinya memulai kehidupanya sebagai tulang punggung keluarga.

Terlebih tak lama setalah keluarnya ia dari Tambakberas, ayahanda tercintanya H Mu’thi harus menghadap sang khaliq untuk selama-lamanya. Perjuangannya dalam menghidupi keluarga dengan berbagai cara hingga dirinya memutuskan jalan tasawuf dari hasil renungannya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Clorotan, Tradisi Petani Bareng Jelang Turun Sawah yang Masih Terjaga

JOMBANG – Tradisi clorotan masih tetap dilakukan warga Dusun Kedungwinong, Desa/Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang. Kemarin (1/2) warga berbondong bondong mengikuti tradisi colorotan sebagai bentuk rasa syukur menjelang musim turun sawah.

Sejak pukul 07.00 WIB, warga berjalan menyisir sawah menuju makam Mbah Kudus, yang diyakini sebagai tokoh pertama kali mbabat alas. Warga membawa asahan (berkat) jajanan tradisional, termasuk tiga jajanan khas clorotan yakni kue clorot, brondong dan pasung. Sebelumnya, mereka berziarah ke makam anggota keluarga.

Lewi, 75, tokoh masyarakat setempat menyampaikan tradisi clorotan merupakan peninggalan nenek moyang yang dipercaya bisa menghindarkan petani dari ancaman petir dan guntur, kala musim hujan saat dan petani mulai menanam padi.

Untuk terhindar dari petir, halilintar atau geledak, petani harus berdoa kepada Tuhan sembari membuat tiga jajanan tersebut sebagai bentuk rasa syukur jelang tanam.

”Pertama kue clorot terbuat dari tepung beras dicampur gulapasir bisa juga gula kelapa, kemudian dibungkus janur, atau daun kelapa muda. Bentuknya memanjang hampir menyerupai terompet,” ujarnya.

Selanjutnya, berondong alias jajanan yang terbuat dari jagung. Berondong jagung dalam hal ini diwujudkan sebagai bentuk geluduk alias halilintar yang gemelegar di langit.

”Saat turun hujan, pasti ada petir dan geluduk, selalu membahayakan petani,” jelasnya. Ketiga kue pasung yang  hampir sama dengan clorotan, terbuat dari tepung beras yang dikukus. Hanya saja, yang membedakan kue ini kemesannya.

Kue pasung dibungkus dengan daun nangka atau daun pisang. ”Kue pasung ibarat pelindung, sebagai bentuk doa kepada Tuhan agar petani diberi keselamatan saat menanam padi,” tandas dia.

Tiga jajanan tradisional itu harus disediakan petani untuk memohon keselamatan. Selama ini petani selalu nurut apa yang dikatakan sesepuh desa. ”Alhamdulilah selama ini tidak pernah terjadi hal yang tidak diinginkan,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Wastafel Batu Buatan Warga Japanan Mojowarno Diekspor ke Luar Negeri

JOMBANG – Batu sungai yang biasa dipakai bahan bangunan, mampu disulap oleh Yakub, perajin asal Desa Japanan Mojowarno menjadi wastafel atau tempat cuci piring. Harganya lebih terjangkau dari wastfael berbahan keramik.

Pagi itu, suara gergaji mesin begitu nyaring. Terasa terngiang ditelinga. Debu bertebaran dimana-mana hingga membuat lingkungan sekitar berdebu. Ya debu dan suara itu berasal dari proses pemotongan batu untuk pembuatan wastafel.

Siapa sangka di Dusun Sedah, Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno ini ada usaha kecil menengah pembuatan beberapa macam kerajinan mulai dari wastafel, lampu taman hingga bak mandi dengan bahan utama batu.

”Kalau untuk lampu taman dan bak mandi hanya membuat jika ada permintaan. Paling banyak kami membuat wastafel,’’ ujar Yakub, 32 perajin wastafel kemarin.

Awal mula Yakub belajar membuat wastafel dan kerajinan berbahan batu lainnya berawal dari coba-coba. Pada 2015 lalu, ia bertekad untuk mendirikan usaha tersebut. ”Ya awalnya saya pernah kerja jadi buruh di Trowulan selama kurang lebih 14 tahun. Lalu saya ingin meneruskan sendiri di rumah,’’ beber dia.

Yakub membutuhkan batu berukuran besar untuk membuat wastafel, sebab ukuran wastafel paling kecil sekitar 100 x 60 sentimeter. ”Ya bahan utama harus batu berukuran besar. Semua jenis batu sama, tapi paling bagus adalah batu ijo dari Pacitan,’’ tambah dia.

Untuk bahan dasar pembuatan wastafel, dia membeli nya dari beberapa pengepul batu. Per truknya, batu tersebut dihargai Rp 3 juta. ”Kita belinya borongan, 3 juta ya dapat besar, kecil, tidak menentu,’’ tandasnya.

Untuk satu wastafel berukuran 100 x 60 sentimeter dia menjual dengan harga bervariatif, mulai dari Rp 150 ribu hingga 180 ribu tergantung dari tingkat kerumitan dan kekerasan batu tersebut. ”Sebab, beberapa batu kali yang memiliki bahan keras membutuhkan beberapa kali proses pemotongan, bahkan harus mendapat perlakuan khusus dari batu-batu lainnya,” jelas dia.

Jika dibandingkan dengan wastafel berbahan keramik, memang wastafel bahan batu lebih murah. Selisihnya bisa Rp 20 ribu sampai 50 ribu. Di beberapa toko, wastafel keramik dijual mulai Rp 200 ribu sampai 250 ribu.

Dalam sebulan, yakub dan 10 pekerjanya bisa membuat 400-an buah wastafel siap kirim. Wastafel yang sudah jadi tersebut dikirim ke beberapa daerah mulai Jateng, Bali hingga Singapura. ”Namun saya lewat perantara di Trowulan sana,’’ pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Kisah Sukses Zulaikah Produksi Telur Asin Meski Sempat Dilarang Suami

JOMBANG – Bermula dari jualan telur eceran keliling, Zulaikah, perlahan sukses menapaki usaha  telur asin. Kini produknya jadi langganan sejumlah rumah makan.

Tak terasa sudah sepuluh tahun berlalu, usaha produksi telur asin yang digelutinya masih bertahan. Jika di awal merintis, dirinya sempat tertatih-tatih, kini ibu tiga anak ini bisa menyambut hari-hari tuanya tanpa harus berkeliling jualan telur.

Pasalnya, omzet yang didapat dari penjualan telur asin sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Ya, itulah sekelumit cerita perjalanan Zulaikah, warga asal Desa Tanjunggunung, Kecamatan Peterongan yang sukses menekuni usaha   telur asin.

“Sekarang sudah tidak melayani warung-warung eceran, Sudah tidak perlu keliling untuk jualan, sebab sudah punya banyak pelanggan,” beber Zulaikah saat ditemui Jawa Pos Radar Jombang di rumahnya beberapa waktu lalu.

Ibu tiga anak ini menuturkan, awal dirinya merintis produksi telur asin sekitar 2010 lalu. Saat itu dirinya tergerak membantu Tabar, 58, suaminya mencari tambahan nafkah. Maklum saja, pendapatan yang didapat suaminya dari berjualan kerupuk keliling dinilai minim.

Tak ingin berdiam diri di rumah, dengan modal seadanya, Zulaikah mulai menggeluti jual beli telur. ”Kalau tidak salah, modal waktu itu Rp 40 ribu. Saya beli telur kampung dari tetangga sekitar, terus saya jual keliling, ya sering ke warga perumahan naik sepeda ontel,” bebernya.

Melihat istrinya berjualan keliling seperti itu, Tabar suaminya pun tidak tega, sehingga melarang Zulaikah berjualan telur keliling, terlebih saat itu Zulaikah berkeliling sambil membonceng anaknya yang masih kecil. ”Waktu itu sama suami dilarang, mungkin kasihan. Tapi saya tidak mau menyerah, sambil naik sepeda ontel saya tetap jualan,” bebernya.

Meski hasilnya tidak seberapa, Zulaikah terus bersemangat berjualan telur keliling. Hingga sekitar 2011, salah satu pelanggannya menyarankan dirinya berjualan telur asin.

Meski belum memiliki pengalaman, Zulaikah mulai berani mencoba memproduksi telur asin. ”Saya cari orang jual telur bebek sampai ke beberapa tempat, ke Kesamben,” bebernya.

Sesampainya di rumah, dirinya pun segera membersihkan telur bebek yang akan dijadikan produk telur asin. ”Waktu awal coba-coba, sekitar lima kilo telur,” bebernya.

Usai telur dibersihkan, langkah selanjutnya   menyiapkan tong berukuran sedang, di dalamnya diisi air dan garam grosok secukupnya. Proses selanjutnya, memasukkan telur bebek ke dalam tong, dan setelahnya menutupnya rapat dan dibiarkan selama beberapa hari. ”Waktu itu saya coba rendam tujuh hari,” bebernya.

Memasuki hari ketujuh, Zulaikah mengeluarkan telur dari tong dan mencucinya kembali dengan air bersih. ”Setelah itu di masak seperti membuat pentol begitu, ditunggu sampai matang,” bebernya.

Sesuai harapan, produk telur asin buatannya dirasa enak. ”Saya jual ke pelanggan saya, katanya enak, akhirnya saya kembangkan sampai sekarang,” bebernya.

Seiring produknya semakin dikenal, Zulaikah pun banyak kebanjiran permintaan, sampai-sampai kuwalahan. ”Akhirnya suami putuskan berhenti jualan kerupuk, dan bantu-bantu saya jualan telur asin ke pasar,” bebernya.

Tidak jarang lanjut Zulaikah, dirinya menerima pesanan dalam jumlah besar. ”Khsususnya mendekati hari raya, atau orang pesan buat hajatan, pernah sehari permintaan sampai seribu lebih telur asin,” imbuhnya.

Uniknya, Zulaikah berhasil mengembangkan kreasinya menciptakan ragam produk telur asin. ”Jadi telur asin rasanya beragam. Ada yang minta asin, atau rasa asin minta sedang juga bisa, tergantung permintaan. Tinggal metode waktu merendam telur dan  takaran garamnya kita otak-atik, nanti menghasilkan rasa berbeda,” imbuhnya.

Jika sebelumnya, dirinya banyak melayani warung-warung eceran. Seiring bertambahnya pelanggan, dia memutuskan berhenti berjualan keliling. ”Sekarang beberapa rumah makan di Jombang ambil telur asinnya dari saya. Terus lagi, langganan di pasar juga banyak,” bebernya.

Untungnya, sekarang ini dirinya tidak perlu lagi kesulitan mencari stok bahan baku telur bebek, sebab dirinya sudah memiliki sejumlah langganan peternak bebek. (*)

(jo/naz/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com