Jombang – Minggu ini, rubrik Tokoh Jawa Pos Radar Jombang akan membahas tentang sosok salah satu mursyid Thariqat yang lahir dan besar di Jombang. Kiprahnya dalam dunia tasawuf tak diragukan lagi dengan kini berkembangnya thariqat yang diasuhnya secara nasional bahkan Internasional.
Ia adalah Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi, tokoh agama yang juga mursyid Thariqah Shiddiqiyyah ini adalah sosok yag cukup disegani. Serta sangat berpengruh mengingat pengikutnya yang di klaim kini telah mencapai lebih dari lima juta orang.
Kiai Muctar, atau banyak juga masyarakat awam menyebutnya kiai Tar, adalah putra dari seorang tokoh agama di wilayah Ploso yang bernama H Abdul Mu’thi, yang merupakan putra dari kiai Ahmad Syuhada, pendiri Pesantren Kedungturi.
Lahir Minggu Kliwon 14 Oktober 1928 atau 28 Rabiul Awal 1347 H di Desa Losari kecamatan Ploso Jombang, kiai Muchtar adalah anak ke 6 dari H Achmad Mu’thi dari perkawinan keduanya dengan Nyai Nasichah atau anak ke 12 dari total 17 anak H Mu’thi dari dua perkawinannya.
Karena berasal dari keluarga yang beragama taat, sejak kecil kiai Muchtar telah akrab dengan berbagai pelajaran dan ilmu agama. Termasuk ilmu kepesantrenan yang awalnya memang berasal dari didikan ayahandanya. Bahkan, mengutip dari buku Sepenggal perjalanan hidup Sang Mursyid karya A. Munjin Nasih, dirinya menulis “Bahkan saat bersekolah di MI Ngelo, di usia 8 tahun beliau telah menghafal 6 Juz Alquran,” tulisnya.
Darah Pesantren yang mengalir deras di dalam darahnya, serta dukungan orang tuanya membuatnya meneruskan pendidikannya berlanjut ke dua pesantren besar di Jombang yakni Pesantren Darul Ulum Rejoso, serta Pesantren Bahrul ulum Tambakberas Jombang, saat usianya remaja.
Meskipun dua kali masuk keluar di dua pesatren tersebut juga tak mulus. Yakni hanya selama 6 bulan di Pesantren Rejoso selanjutnya 8 bulan di Tambakberas. Hal ini dikarenakan beberapa insiden mewarnai proses belajarnya. Kembali dikutip dari buku yang sama, selama di Pesantren Rejoso, dirinya dikenal sebagai santri yang nakal, beberapa masalah kerap dilakukannya baik berupa pembangkangan maupun provokasi hingga berujung pada dikeluarkannya dia dari pesantren tersebut.
“Meski sebelum sempat dijatuhkan hukuman kepadanya, kiai Muchtar memutuskan untuk keluar dengan sindirinya dari pesantren tersebut sehari sebelumnya,” kembali Nasih menulis.
Keluar dari Pesantren Rejoso, kiai Muchtar melanjutkan nyantri-nya ke Pesantren Tambakberas, di Pesantren ini dirinya menghabiskan waktu hingga 8 bulan. Meski kebiasannya nakal sempat terulang kembali, namun di Tambakberas dirinya tercatat menempuh pendidikan lebih lama serta sempat menjadi santri kesayangan kiai Hamid.
Sejumlah kitab juga dirinya pelajari, sebut saja Kitab Taqrib, Nahwu dan Sharaf, Tafsir Jalalain dibawah pengasuhan kiai Hamid, kitab Hadits Shahih Bukhari diasuh kiai Fattah, juga Kitab Fathul Mu’in dibawah asuhan kiai Masduqi.
Hingga ahirnya memutuskan untuk keluar dari pesantren Tambakberas karena ketebatasan ekonomi yang melanda keluarganya. Meski demikian, selama belajar di pesantren, kiai Muchtar lebih aktif menghafal Alquran. Tercatat 12 juz Alquran mampu dirinya hafalkan selama nyantri, hingga jika ditotal dengan hafalan yang telah ia lakukan sebelumnya jumlahnya adalah 18 juz. Pasca keluarnya dari Pesantren Tambakberas inilah dirinya memulai kehidupanya sebagai tulang punggung keluarga.
Terlebih tak lama setalah keluarnya ia dari Tambakberas, ayahanda tercintanya H Mu’thi harus menghadap sang khaliq untuk selama-lamanya. Perjuangannya dalam menghidupi keluarga dengan berbagai cara hingga dirinya memutuskan jalan tasawuf dari hasil renungannya. (*)
(jo/riz/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Jombang – Wana wisata Sumberboto di Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno selain dikenal dengan sumber airnya juga terdapat monumen perjuangan perjuangan Pasukan Wanara. Lokasinya di samping kolam renang, tempat gugurnya lima anggota pasukan akibat kena bom.
Suasana wisata alam Sumberboto saat ini juga lebih banyak sepi pengunjung. Yang ada beberapa petugas tengah sibuk membersihkan area kolam renang. Sementara petugas lainnya duduk-duduk santai di area parkir depan.
Di area kolam juga demikian, yang ada hanya tiga anak setempat tengah bermain air. “Ramai saat liburan saja. Kalau nggak begitu ya pas ada yang kemah,” Surono salah seorang petugas.
Tepat di samping kolam renang terdapat monumen yang sudah puluhan tahun berdiri. Yakni monumen perjuangan Pasukan Wanara (Komando Pasukan Gerilya Kehutanan). “Dibangun tahun 1970, waktu itu diresmikan Dirjen Kehutanan. Itu di prasastinya ada,” kata dia sembari menunjuk monumen.
Menurutnya, didirikan monumen, lantaran dulunya lokasi ini menjadi tempat gugurnya lima anggota Pasukan Wanara. Mereka gugur ledakan bom 500 kilogram peninggalan jaman Jepang yang berusaha dijinakkan. “Tiga orang dimakamkan di Jombang,” sebut dia.
Di area monumen itu sudah ditulis komplet siapa saja yang gugur saat berusaha menjinakkan bom itu. Meski untuk saat ini sudah tak ada sisa-sisa ledakkan menurut dia, dulu terdapat semacam peluru b di dekat monumen. “Bentuknya seperti peluru kendali, tapi sudah hilang tidak tahu kemana. Sekitar 1999-an, bentuk ujungnya lincip ada di dekat tiang bendera,” tutur salah seorang warga Dusun Sedah ini.
Sementara itu, Arif Bijaksana, Humas Perum Perhutani KPH Jombang mengakui selain wana wisata alam, di lokasi itu terdapat monumen perjuangan. “Jadi di sana (monumen) sekitar April 1948 itu bomnya meledak. Dulu kan di sana tempat merakit dari bom menjadi amunisi seperti peluru dan geranat,” kata Arif dikonfirmasi.
Meski begitu, untuk saat ini yang ada hanya monumen itu. Sementara sisa meledaknya bom itu sebagian ditempel di area monumen. “Sisanya ditempel, itu saja kalau yang lain sudah tidak ada lagi,” sambung dia.
Di awal pendirian monumen, ada beberapa sisa serpihan bom, peluru dan granat yang ditaruh di monumen. Dalam perjalanannya, sisa-sisa itu pun kini hilang. “Memang benar dulu banyak di situ, nggak tahu disimpan dimana tidak jelas. Kita sendiri kepinginnya menggali lagi dan dihimpun lagi, akan tetapi sudah sulit untuk melacaknya,” pungkas Arif. (*)
(jo/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com