• info@njombangan.com

Daily ArchiveFebruary 17, 2019

Tak Cuma di Kediri, Produksi Getuk Berbahan Pisang Juga Ada di Jombang

JOMBANG – Lebih dikenal sebagai jajanan khas Kediri, getuk pisang ternyata juga banyak diproduksi di Jombang. Salah satunya, di Dusun Dempok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Megaluh. Bahan pisang yang digunakan selalu raja nangka.

“Sebenarnya semua pisang bisa digunakan getuk, tapi hanya pisang raja nangka yang warnanya sangat pas bisa cokelat keunguan. Jika menggunakan pisang lain, harus menggunakan pewarna makanan dan itu kurang efektif,” kata Muhammad Atiq, salah satu pembuat getuk pisang di Sidomulyo.

Setiap pagi, ia selalu sibuk di dapur untuk memproduksi ratusan bungkus getuk pisang. Musim atau tidak musim hajatan, Atiq selalu ramai pesanan karena tidak hanya untuk hajatan, tapi juga dijual di pasar-pasar.

Getuk pisang ini memang menjadi salah satu jajanan primadona ala hajatan. Itu dikarenakan rasanya khas dan bentuknya yang unik. Tak heran, getuk pisang ini laris diburu masyarakat. Apalagi dibuat dari pisang murni tanpa campuran bahan kimia, getuk ini dinilai sehat dan aman dikonsumsi.

Berbeda dengan getuk pisang yang dijual pedagang asongan dengan ukuran besar. Atiq justru membuat getuk pisang dengan ukuran mini. Jenis ukuran kecil ini sesuai dengan ukuran yang paling banyak diminati masyarakat, sebagai hidangan acara hajatan.

Harganya murah, hanya Rp 1.000 perbiji. Dengan bentuk kecil dan harga cukup terjangkau, makanan ini sering  dipesan untuk  bingkisan  atau hanya sekedar oleh-oleh. Harga Rp 1.000 itu hanya varian, tidak semua dijual dengan harga Rp1.000. Bergantung ukuran dari pemesannya.

Jika menginginkan ukuran lebih besar otomatis harganya juga lebih mahal, paling mahal bisa sampai Rp 10.000 per biji. “Dulu saya malah jual 500, tapi menurut saya terlalu kecil. Jadi yang 500 sudah tidak membuat lagi, paling murah 1000 yang paling mahal 10.000. Karena yang 500 bungkusnya lama, isinya sedikit, butuh daun banyak,” katanya.

Ia menyebut, pisang raja nangka menjadi salah satu pisang yang pas untuk bahan utama getuk. Khusus untuk berbagi tips membuat getuk, pisang tidak diperkenankan harus matang sempurna.

Cukup setengah matang saja sudah bisa dipakai dan justru lebih bagus setengah matang. Kalau kurang matang rasanya akan sedikit masam, jika terlalu matang maka tidak bisa padat setelah digulung.

Pisang setengah matang raja nangka, lanjutnya, dikupas kemudian dikukus 4 sampai 5 jam. Setelah matang, baru dihaluskan menggunakan mixer, dan dicampur dengan vanili, gula dan garam. Sebetulnya rasa manis sudah didapatkan dari buah pisang itu sendiri.

Namun, untuk lebih menyempurnakan rasa, maka perlu ditambah sedikit gula dan sedikit garam. Setelah di mixer dalam keadaan panas pisang halus langsung di bungkus. Pembungkusan harus dalam keadaan panas, jika terlalu lama dibiarkan hingga dingin maka tidak akan bisa dibentuk lagi setelah digulung, barulah diberi label dan siap untuk dipasarkan.

“Daunnya ditumpuk dua karena semakin tebal daun maka keawetan getuk akan semakin lama,” tambahnya. Pembuatan getuk pisang bisa juga menggunakan jenis pisang yang lain. Seperti pisang saba, pisang candi, pisang byar dan pisang-pisang yang lain. Hanya saja warna yang dikeluarkan tidak coklat seperti pisang raja nangka. Selain itu harga pisang yang lain juga cukup mahal.

Untuk satu tandan pisang raja nangka, lanjut dia, bisa jadi 250 hingga 300 biji getuk pisang ukuran mini Rp 1.000 per biji, bergantung pada besar kecilnya ukuran pisang. Sementara harga jual antara Rp 30 ribu sampai Rp 110 ribu tergantung musim dan besar kecilnya pisang.

“Selain raja nangka harganya bisa dua kali lipat lebih mahal, maka dari itu kita pakai pisang raja nangka paling bagus dan terjangkau,” tambahnya. Menurutnya, pisang itu ia dapat dari pasar, dan tidak langsung membeli dari petani karena kualitasnya yang belum mumpuni.

Pisang raja nangka di Jombang tidak sebagus pisang raja nangka yang berasal dari Trenggalek dan Malang. Kadar air pisang raja nangka di Jombang lebih banyak, sehingga dikhawatirkan jika dibungkus akan menjadi sangat lembek.

Satu-satunya daerah yang menghasilkan pisang raja nangka bagus di Jombang adalah wilayah Wonosalam. “Tapi saya tidak pernah mencari kesana, langsung beli di pasar. Di pasar langsung beli dari Trenggalek dan Malang karena hasilnya lebih bagus,” jelasnya.

Produksi getuk pisang ini sudah mulai ditekuni Atiq sejak 2006 lalu. Saat ia masih mondok, diajarkan salah satu orang tua temannya yang berasal dari Kediri. Hasil dari pengalamannya belajar kemudian ia aplikasikan sendiri di rumah.

Ia mengaku, awal getuk pisang berhasil cukup bagus, tapi pemasaran tidak semudah yang dibayangkan. Ia masih sulit memasarkan getuk pisang lantaran belum familiar untuk acara hajatan.

Bulan yang paling ramai selain Idul Fitri, Maulid Nabi, Tahun baru Islam, dam Rajab. Tahun ajaran baru ia banjir order karena getuk pisang dijadikan oleh-oleh. Apalagi getuk pisang terbilang awet selama dua hari lebih. Daun yang tebal membuat getuk lebih awet bahkan ada yang pernah bawa ke luar negeri dan ke luar pulau.

“Tapi sebelumnya harus bilang dulu untuk menebalkan daun agar sampai tujuan tidak basi, kalau untuk hajatan biasa cukup dua lapis daun untuk dua hari, biasanya seminggu sebelum lebaran rame pesenan lagi,” pungkas dia. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Sate Kampret, Salah Satu Destinasi Kuliner Malam Legendaris di Jombang

JOMBANG – Di kalangan pecinta kuliner malam di Jombang, nama ‘Kampret’ tak asing di telinga. Ternyata, kampret merupakan suku kata kedua dari Jumain Kampret, pendiri warung yang berada di Jalan Seroja ini. Yang unik, Jumain Kampret adalah nama yang sesuai dengan KTP.

Bersama istrinya yang bernama Yulianah, Jumain Kampret mendirikan sebuah warung di sisi barat stasiun lama Pasar Legi, sekitar 25 tahun silam. Menu yang dijual di warung adalah nasi pecel, dengan lauknya yaitu sate sapi. Warung Jumain Kampret ini juga menjual nasi kare ayam dan nasi lodeh.

Namun yang menjadi unggulan di warung Jumain Kampret adalah menu sate sapi. Rasa pedas pada sate sapi buatan Jumain Kampret, menjadi ciri khas utama. Pedasnya tidak tanggung-tanggung, siapapun yang memakannya dijamin akan mandi keringat.

Namun sayang, pembeli tidak akan bisa lagi bertemu dengan Jumain Kampret. Ia telah meninggal  tiga tahun lalu. Kepergian Jumain Kampret diikuti Yulianah, istrinya, pada dua tahun lalu. Warung yang berada di Pasar Legi kini dikelola Sri Wahyuni, anak dari pasangan Jumain Kampret dan Yulianah.

Kepada Jawa Pos Radar Jombang, Sri bercerita tentang usaha warung makan yang ia kelola. “Warung ini memang buka malam hari, pukul sembilan malam pas baru melayani. Tutupnya ya sampai makanan habis,” katanya.

Sri mengaku tak banyak mengganti resep dan bumbu sate sapi warisan dari orang tuanya. Hanya saja ia menyebut untuk saat ini, satenya lebih pedas dari sebelumnya.

“Dulu waktu yang berjualan bapak, pedasnya biasa saja. Itu karena bumbu yang dicampurkan dengan daging pada saat dibakar, hanya satu kali. Kalau sekarang saya buat dua kali,” imbuhnya.

Selama 25 tahun warung berdiri, Sri mengatakan tak pernah juga mengurangi porsi bahan baku cabai meski harga cabai sedang melonjak. “Setiap hari habis cabai lima kilo,” lanjutnya.

Ia lebih memilih mengurangi keuntungan, daripada membuat kecewa pelanggan. “Kalau cabai dikurangi, pedasnya juga akan berkurang. Lebih baik baik keuntungannya yang turun sedikit,” tambahnya.

Hal ini menurutnya pernah terjadi dua tahun lalu, saat harga cabai tembus di angka Rp 100 ribu per kilo. “Meski harga cabai naik, harga sate juga tidak berubah,” ujarnya.

Per 10 tusuk sate sapi, dijual Sri dengan harga Rp 40 ribu. Harga akan disesuaikan lagi jika pembeli yang datang meminta sate sapi di bawah 10 tusuk. “Kalau dimakan dengan nasi pecel atau lodeh, harganya juga beda lagi,” ucap Sri.

Rata-rata warung sate sapi ini tutup pada pukul 02.00 WIB. “Banyak pelanggan dari luar kota, bahkan sampai Jawa Tengah. Terkenal dengan nama sate kampret karena memang didirikan Pak Kampret,” pungkasnya. (*)

(jo/mar/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com