JOMBANG – Keberadaan Wayang Potehi di Museum Potehi Klenteng Hong San Kiong, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang sudah terkenal hingga pelosok nusantara. Namun belum banyak yang tahu bagaimana pembuatan wayang mungil berbagai karakter tersebut.
Biasanya, Wayang Potehi setengah jadi dijajar di halaman museum. Ada karakter raja, putri, prajurit hingga anak anak dengan wajah lucu. Ratusan Wayang Potehi tersebut dibuat dari kayu warung gunung. Dipilihnya kayu warung gunung karena bahannya empuk, mudah dibentuk dan tidak mudah pecah ketika dipahat.
”Apalagi kayu warung gunung memiliki tekstur warna yang bersih. Sehingga memudahkan pewarnaan,” ujar Alfian, 32 dalang Wayang Potehi. Setelah dipahat, proses selanjutnya adalah pewarnaan. Proses ini sangat krusial karena pemilihan warna menentukan karakter setiap wayang.
Misalnya, karakter raja biasanya diberi paduan warna merah dan hitam. Hal itu tentu berbeda degan pemberian warna untuk karakter ratu maupun anak anak. ”Ada ribuan karakter di Wayang Potehi. Karena setiap cerita beda pula karakter yang dimainkan,” sambung dia.
Pastinya, untuk membuat wayang itu membutuhkan tingkat ketelitian dan kejelian begitu tinggi. Ini setelah setiap karakter wayang memiliki bentuk yang berbeda. “Masing-masing punya karakter tertentu,” tambah Supangat salah seorang pemahat.
Setelah pewarnaan kelar, kemudian wayang potehi dipasangkan baju. Baju tersebut terdiri dari baju dalam, baju utama dan dan topi. Setiap wayang juga diberikan asesoris tambahan seperti senjata dan kipas tergantung dari setiap karakternya. ”Kalau baju dalam itu terbuat dari kain karung, sedangkan baju utama terbuat dari kain santen,” jelas dia memerinci.
Baju baju itu, tidak dibuat di Jombang melainkan didatangkan dari Kabupaten Tulungagung. Karena tidak semua penjahit bisa membuatkan busana untuk Wayang Potehi. ”Kalau di Jombang itu hanya pembuatan wayangnya,” beber dia.
Dalam membuat Wayang Potehi, waktu yang dibutuhkan kadang sampai berminggu-minggu. Karena dalam sekali membuat ada puluhan wayang yang dikerjakan. Sehingga waktu yang dibutuhkan juga lama.
Wayang Potehi terdiri dari tiga kata yakni poo yang berati kain, tee kantong dan hi pertunjukan. Yang berarti, adalah pertunjukan kantong kain. Tujuan utama pertunjukan Wayang Potehi tidak hanya sebagai tontonan, namun juga sebagai tuntunan tentang arti kehidupan, perjalanan hidup maupun kematian.
”Selain itu, tujuan pertunjukan wayang potehi adalah untuk menghibur dewa-dewi yang ada di klenteng,” papar pria asli Sidoarjo ini. Sejarah wayang potehi pertama kali dikenalkan oleh suku hokian, salah satu suku di Cina.
Kemudian meluas hingga ke daratan Cina dan akhirnya sampai ke wilayah Indonesia dan Taiwan ketika dibawa pedagang China. ”Kalau di Jawa Timur itu pusatnya ada di Jombang dan Surabaya. Di daerah lain juga ada tapi tidak membuat,” pungkasnya. (*)
(jo/ang/fid/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com
JOMBANG – Saat bepergian ke Wonosalam, tak ada salahnya mampir sejenak di Masjid Al-Hidayah yang terletak di Dusun Mutersari, Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. Masjid tua berukuran mungil ini berdiri satu pagar dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mutersari selama berpuluh puluh tahun.
Cerita yang dihimpun Jawa Pos Radar Jombang menyebutkan, pendiri masjid itu Miskunadi, salah seorang warga setempat yang dikenal tekun beribadah. Awalnya, ia hanya membangun sebuah langgar alias musala panggung berbahan bambu sekitar 1967 silam. Dia menggunakan tanah pribadinya sebagai tempat berpijak musala tersebut.
Lambat laun berjalan, Miskunadi mengembangkan bangunan untuk dijadikan masjid yang sedikit lebih layak. Diawali dengan bangunan setengah tembok, agar masjid lebih kokoh saat dipakai beribadah umat Islam. ”Sebenarnya kalau masjid dan gereja ini dibangun lebih dulu gereja. Kalau tidak salah, gereja dibangun 1914, dan masjid 1967,” ujar Nuning Wulandai, anak kandung Miskunadi yang ditemui kemarin (7/2).
Kala itu, di dusun tersebut jumlah umat muslim lebih sedikit dibanding umat kristiani. Karena memang umat kristiani lebih lama menetap di Dusun Mutersari. Sedangkan umat muslim merupakan warga pendatang.
Kendati demikian, berpuluh puluh tahun hidup berdampingan baik umat muslim maupun umat kristiani, tidak pernah merasa terusik dengan kegiatan ibadah masing masing. Mereka tetap rukun dan menjaga toleransi umat beragama satu sama lain.
”Sejak puluhan tahun kita tetap menghormati satu sama lain,” jelasnya. Misalnya, saat jemaat GKJW melakukan ibadah kebaktian Sabtu malam minggu. Di waktu bersamaan, umat muslim melakukan bari’an atau pengajian. Mereka tetap menjalankan kegiatan masing masing. ”Ya tetap dijalankan bersama-sama. Kita saling menghargai,” tandas Nuning.
Namun khusus untuk peringatan kegiatan besar, seperti acara unduh-unduh ataupun Hari Raya Idul Fitri tentu ada perbedaan. Salah satu umat harus mengalah dengan menghormati.
”Misalnya disamping ada unduh-unduh ya otomatis kita tidak menggunakan speaker waktu adzan, kita menghormati dengan cara itu. Tapi kita ya tetap menjalankan ibadah salat lima waktu,” tegasnya. (*)
(jo/ang/mar/JPR)
Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com
Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com