• info@njombangan.com

Monthly ArchiveFebruary 2019

Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi, Sang Mursyid Thariqat Shiddiqiyyah

Jombang – Minggu ini, rubrik Tokoh Jawa Pos Radar Jombang akan membahas tentang sosok salah satu mursyid Thariqat yang lahir dan besar di Jombang. Kiprahnya dalam dunia tasawuf tak diragukan lagi dengan kini berkembangnya thariqat yang diasuhnya secara nasional bahkan Internasional.

Ia adalah Kiai Muchammad Muchtar Mu’thi, tokoh agama yang juga mursyid Thariqah Shiddiqiyyah ini adalah sosok yag cukup disegani. Serta sangat berpengruh mengingat pengikutnya yang di klaim kini telah mencapai lebih dari lima juta orang.

Kiai Muctar, atau banyak juga masyarakat awam menyebutnya kiai Tar, adalah putra dari seorang tokoh agama di wilayah Ploso yang bernama H Abdul Mu’thi, yang merupakan putra dari kiai Ahmad Syuhada, pendiri Pesantren Kedungturi.

Lahir Minggu Kliwon 14 Oktober 1928 atau 28 Rabiul Awal 1347 H di Desa Losari kecamatan Ploso Jombang, kiai Muchtar adalah anak ke 6 dari H Achmad Mu’thi dari perkawinan keduanya dengan Nyai Nasichah atau anak ke 12 dari total 17 anak H Mu’thi dari dua perkawinannya.

Karena berasal dari keluarga yang beragama taat, sejak kecil kiai Muchtar telah akrab dengan berbagai pelajaran dan ilmu agama. Termasuk ilmu kepesantrenan yang awalnya memang berasal dari didikan ayahandanya. Bahkan, mengutip dari buku Sepenggal perjalanan hidup Sang Mursyid karya A. Munjin Nasih, dirinya menulis “Bahkan saat bersekolah di MI Ngelo, di usia 8 tahun beliau telah menghafal 6 Juz Alquran,” tulisnya.

Darah Pesantren yang mengalir deras di dalam darahnya, serta dukungan orang tuanya membuatnya meneruskan  pendidikannya berlanjut ke dua pesantren besar di Jombang yakni Pesantren Darul Ulum Rejoso, serta Pesantren Bahrul ulum Tambakberas Jombang, saat usianya remaja.

Meskipun dua kali masuk keluar di dua pesatren tersebut juga tak mulus. Yakni hanya selama 6 bulan di Pesantren Rejoso selanjutnya 8 bulan di Tambakberas. Hal ini dikarenakan beberapa insiden mewarnai proses belajarnya. Kembali dikutip dari buku yang sama, selama di Pesantren Rejoso, dirinya dikenal sebagai santri yang nakal, beberapa masalah kerap dilakukannya baik berupa pembangkangan maupun provokasi hingga berujung pada dikeluarkannya dia dari pesantren tersebut.

“Meski sebelum sempat dijatuhkan hukuman kepadanya, kiai Muchtar memutuskan untuk keluar dengan sindirinya dari pesantren tersebut sehari sebelumnya,” kembali Nasih menulis.

Keluar dari Pesantren Rejoso, kiai Muchtar melanjutkan nyantri-nya ke Pesantren Tambakberas, di Pesantren ini dirinya menghabiskan waktu hingga 8 bulan. Meski kebiasannya nakal sempat terulang kembali, namun di Tambakberas dirinya tercatat menempuh pendidikan lebih lama serta sempat menjadi santri kesayangan kiai Hamid.

Sejumlah kitab juga dirinya pelajari, sebut saja Kitab Taqrib, Nahwu dan Sharaf, Tafsir Jalalain dibawah pengasuhan kiai Hamid, kitab Hadits Shahih Bukhari diasuh kiai Fattah, juga Kitab Fathul Mu’in dibawah asuhan kiai Masduqi.

Hingga ahirnya memutuskan untuk keluar dari pesantren Tambakberas karena ketebatasan ekonomi yang melanda keluarganya. Meski demikian, selama belajar di pesantren, kiai Muchtar lebih aktif menghafal Alquran. Tercatat 12 juz Alquran mampu dirinya hafalkan selama nyantri, hingga jika ditotal dengan hafalan yang telah ia lakukan sebelumnya jumlahnya adalah 18 juz. Pasca keluarnya dari Pesantren Tambakberas inilah dirinya memulai kehidupanya sebagai tulang punggung keluarga.

Terlebih tak lama setalah keluarnya ia dari Tambakberas, ayahanda tercintanya H Mu’thi harus menghadap sang khaliq untuk selama-lamanya. Perjuangannya dalam menghidupi keluarga dengan berbagai cara hingga dirinya memutuskan jalan tasawuf dari hasil renungannya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Monumen Perjuangan Pasukan Wanara, Cerita Gugurnya Lima Anggota TNI

Jombang – Wana wisata Sumberboto di Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno selain dikenal dengan sumber airnya juga terdapat monumen perjuangan perjuangan Pasukan Wanara. Lokasinya di samping kolam renang, tempat gugurnya lima anggota pasukan akibat kena bom.

Suasana wisata alam Sumberboto saat ini juga lebih banyak sepi pengunjung. Yang ada beberapa petugas tengah sibuk membersihkan area kolam renang. Sementara petugas lainnya  duduk-duduk santai di area parkir depan.

Di area kolam juga demikian, yang ada hanya tiga  anak setempat tengah bermain air. “Ramai saat liburan saja. Kalau nggak begitu ya pas ada yang kemah,” Surono salah seorang petugas.

Tepat di samping kolam renang terdapat monumen yang sudah puluhan tahun berdiri. Yakni monumen perjuangan Pasukan Wanara (Komando Pasukan Gerilya Kehutanan). “Dibangun tahun 1970, waktu itu diresmikan Dirjen Kehutanan. Itu di prasastinya ada,” kata dia sembari menunjuk monumen.

Menurutnya, didirikan monumen, lantaran dulunya lokasi ini menjadi tempat gugurnya lima anggota Pasukan Wanara. Mereka gugur ledakan bom  500 kilogram peninggalan jaman Jepang yang berusaha dijinakkan. “Tiga orang dimakamkan di Jombang,” sebut dia.

Di area monumen itu sudah ditulis komplet siapa saja yang gugur saat berusaha menjinakkan bom itu. Meski untuk saat ini sudah tak ada sisa-sisa ledakkan menurut dia, dulu terdapat semacam peluru b di dekat monumen. “Bentuknya seperti peluru kendali, tapi sudah hilang tidak tahu kemana. Sekitar 1999-an, bentuk ujungnya lincip ada di dekat tiang bendera,” tutur salah seorang warga Dusun Sedah ini.

Sementara itu, Arif Bijaksana, Humas Perum Perhutani KPH Jombang mengakui selain wana wisata alam, di lokasi itu terdapat monumen perjuangan. “Jadi di sana (monumen) sekitar April 1948 itu bomnya meledak. Dulu kan di sana tempat merakit dari bom menjadi amunisi seperti peluru dan geranat,” kata Arif dikonfirmasi.

Meski begitu, untuk saat ini yang ada hanya monumen itu. Sementara sisa meledaknya bom itu sebagian ditempel di area monumen.  “Sisanya ditempel, itu saja kalau yang lain sudah tidak ada lagi,” sambung dia.

Di awal pendirian monumen, ada beberapa sisa serpihan bom, peluru dan granat yang ditaruh di monumen. Dalam perjalanannya, sisa-sisa itu pun kini hilang. “Memang benar dulu banyak di situ, nggak tahu disimpan dimana tidak jelas. Kita sendiri kepinginnya menggali lagi dan dihimpun lagi, akan tetapi sudah sulit untuk melacaknya,” pungkas Arif. (*)

(jo/fid/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Ada Sejak 1960, Ketan Merdeka Jadi Kuliner Legendaris di Jombang

Jombang – Khetan Merdeka. Ya, warung ketan ini sengaja ditulis Khetan yang sudah terkenal itu sudah ada sejak puluhan tahun silam. Warungnya berada di Jombang kota yakni di Jalan KH Abdurrahman Wahid  (Jalan Merdeka).

Sri Utami pemilik warung Ketan Merdeka menceritakan, dia merupakan generasi ketiga penerus dari kuliner itu. “Jadi sebelum ketan ini dulunya  sudah jualan getuk, perintisnya Mbah Warni, kemudian Mbah Wage baru saya,” kata Utami kemarin (24/2).

Dia sendiri tak begitu hafal tahun berapa warung yang berada di  jalan protokol itu mulai berdiri. Seingat dia, generasi kedua (Wage) yang merintis panganan ketan itu. “Kalau jualan ketan full itu Mbah Wage sekitar 1960-an. Sekarang sudah meninggal,” imbuh dia.

Singkat cerita, seiring berjalannya waktu, warung ketan itu pun semakin populer hingga sekarang dengan sebutan Ketan Merdeka. Bukanya pun sampai sekarang masih tetap sama, yakni selepas salat Subuh.

Menurut wanita usia 62 tahun ini, tidak ada batasan pukul berapa warung itu buka. “Pokoknya setelah turun dari salat Subuh sudah buka, nggak ngerti jam berapa. Sampai pukul berapa juga tidak dibatasi. Pokoknya mau habis sudah nggak melayani lagi, kita sudah tahu ancer-ancernya,” imbuh dia.

Saking ramainya, hampir setiap hari dalam hitungan jam Ketan Merdeka itu habis terjual. Bahkan pukul 05.30 WIB saja beberapa pelanggan harus kembali dengan tangan hampa. “Sehari itu biasanya habis 20-30 kilogram ketan. Baik ketan hitam maupun putih, kalau ditambahi saya yang nggak kuat,” sebut dia diiringi dengan tawa.

Ada dua varian ketan, yakni ketan hitam dan putih. Yang menjadikan beda yakni adanya pelengkap berupa sambal atau bumbu yang terasa gurih. Sehingga perpaduan antara ketan dengan bumbu itu bercampur jadi satu, antara gurih dan sedikit manis.

“Khasnya mungkin ada di bumbunya, ada bumbu kedelai dan kelapa. Ditambahi parutan kelapa,” beber istri Sujali ini. Menuru Utami, untuk membuat bumbu itu memang agak sulit. Terutama pada bumbu kelapa.

“Yang susah itu sambal kelapa, miniml lima sampai enam butir untuk sehari, itu buatnya harus telaten. Gorengnya minimal tiga jam, kemudian ditumbuk soalnya kalau digiling nggak bisa,” urai dia.

Ketan yang dipakai juga tidak ada jenis ketan tertentu. Menurut dia, yang terpenting dia bisa menjaga mutu dan kualitas. “Kalau bisa, berusaha meningkat,” tutur dia. Harganya juga terbilang masih ramah di kantong, sebab bila campur jadi satu antara ketan hitam dan putih dibandrol 5000. Bisa dibungkus atau dimakan di warung. (*)

(jo/fid/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Tangan Kreatif Nuril Fadilah Dian Membuat Bunga Hias Berbahan Stocking

JOMBANG – Bunga hias yang terbuat dari bahan dasar kain stocking masih jarang ditemui di Jombang. Nuril Fadilah Dian, salah satu warga Dusun/Desa Palrejo Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang adalah salah satu perajin bunga unik ini.

Sesuai dengan bahan dasarnya, bunga ini diberi nama bunga stocking. Terbuat dari bahan dasar kain stocking yang tipis dan melar. Yang dibentuk sedemikian rupa sehingga  menjadi hiasan yang laku dijual.

“Iseng-iseng bikin bunga stocking, referensi sepenuhnya dari internet, karena di Jombang masih belum ada yang bikin bunga stocking,” kata Dian, sapaan akrabnya.

Dian memang memiliki hobi berkreasi membentuk bunga. Hobi itu mulai muncul sekitar tahun 2007 dimana saat itu sedang banyak orang yang menggandrungi bunga yang terbuat dari sedotan.

Bunga sedotan disulut menggunakan jarum panas, dan dirangkai untuk hiasan dinding atau bunga hias di meja ruang tamu. Namun itu tidak bertahan lama, karena seiring berjalannya waktu, musim bunga sedotan kemudian berganti pada bunga dengan bahan dasar lain.

Ia juga pernah membuat bunga dari manik-manik, ia susun menggunakan kawat dan tangkai yang juga terbuat dari kawat. Bunga ini memang sudah banyak dibuat perajin bunga hias yang lain sehingga ia kemudian belajar lagi membuat bunga dengan bahan dasar lain.

“Lantas buka-buka mbah google ada bunga stocking, saya penasaran dengan cara pembuatannya, karena membentuk stocking-nya dulu, bukan langsung dirangkai seperti manik-manik,” tambah ibu satu anak ini.

Untuk mengobati rasa penasarannya, ia tidak membuat bunga. Awalnya membuat bros dari bahan dasar kain stocking, bahkan saat itu pertama kali ia coba ia menggunakan kaos kaki stockingnya. Sayangnya, usaha pertamanya gagal, karena kain kaos kaki stocking yang ia punya masih terlalu tebal dan kurang melar.

“Korban satu kaos kaki dulu, meskipun gagal tidak masalah, karena sudah mengobati rasa penasaran saya dulu,” imbuhnya. Kemudian ia mencari kain stocking yang betul-betul pas. Sayangnya, untuk mencari kain stocking ini tidak semudah mencari kain flanel atau jenis kain yang lain. Tidak semua toko kain menjual. Yang menjual jenis kain ini hanya di Kediri dan  Blitar.

“Di Jatim hanya di situ, selain itu tidak ada, sepertinya ini langsung didatangkan dari Cina, bentuknya seperti kain perca, tapi ini stocking, jadi memang sudah potongan sekitar setengah meteran,” jelasnya sembari menunjukkan stok kain stocking yang masih tersisa di rumahnya.

Ya, benar, bentuknya memang seperti kain perca yang tidak terpakai, satu helai kain panjangnya sekitar 50 sentimeter, dan terdiri dari berbagai macam warna. Satu helai harganya sekitar Rp 3.500 saja.

Menggunakan kain itu, ia mulai berhasil membuat bros. Bros yang ia pasarkan laris manis karena masih jarang ada di Jombang, peminat pertamanya adalah guru-guru di tempatnya mengajar, yang kemudian ia pasarkan melalui media online dan bazar-bazar kecil.

Setelah usahanya membuat bros berhasil, ia kemudian membuat bunga hias. Ternyata bunga hias yang baru ia buat beberapa bulan ini juga memiliki banyak peminat. Apalagi adanya momen hari ibu, hari guru dan hari valentine beberapa waktu lalu membuat bunga buatannya laku keras.

“Yang paling banyak dicari di momen-momen seperti itu biasanya bunga yang satu tangkai atau dua tangkai saja, yang pot buat hiasan rumah,” tambahnya.

Pembuatan bunga hias memang lebih njlimet, pembuatannya dimulai dari pembentukan pola bunga atau daun menggunakan kawat tipis yang lentur. Kemudian baru memasukkan kawat ke dalam kain stocking sesuai warna yang akan dibuat. Kain stocking ditumpuk dua sampai tiga kali agar tidak mudah robek.

Kain stocking mudah dibentuk sesuai pola, karena langsung mengikuti pola yang ada, bahkan jika pemilik bosan dengan bentuk bulat misalnya, bisa diganti sendiri menjadi bentuk oval atau yang lain sesuai keinginan. Hanya tinggal membentuk ulang kawatnya, otomatis, bunga akan terbentuk seperti pola yang dibuat.

Untuk tangkainya ia juga menggunakan kawat, tapi yang ukurannya lebih besar. Kawat  dibungkus dengan solatip khusus tangkai bunga berwarna warni sesuai permintaan, baru dirangkai.

Satu hari ia bisa menyelesaikan satu pot bunga, tergantung besar kecil yang diinginkan pemesan. Satu pot bunga biasa dijual dengan harga Rp 25 ribu. Yang paling besar ia pernah membuat setinggi kurang lebih satu meter untuk bunga sakura dan terjual Rp 280 ribu.

Mahal atau murahnya harga bunga hias stocking yang ia buat tergantung dari besar kecilnya, dan kerumitan serta bahan yang digunakan. Pemasaran ia lakukan secara online melalui media sosial yang ia punya. Melalui online menurutnya lebih luas jangkauannya.

Ia bahkan sudah menjual di seluruh kota di Jatim. Surabaya, Malang, Sidoarjo hingga Depok Jawa Barat. “Memang kebanyakan tau dari online, karena jangkauannya luas, kadang saya juga ikut bazar-bazar yang ada di Jombang,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Tak Cuma di Kediri, Produksi Getuk Berbahan Pisang Juga Ada di Jombang

JOMBANG – Lebih dikenal sebagai jajanan khas Kediri, getuk pisang ternyata juga banyak diproduksi di Jombang. Salah satunya, di Dusun Dempok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Megaluh. Bahan pisang yang digunakan selalu raja nangka.

“Sebenarnya semua pisang bisa digunakan getuk, tapi hanya pisang raja nangka yang warnanya sangat pas bisa cokelat keunguan. Jika menggunakan pisang lain, harus menggunakan pewarna makanan dan itu kurang efektif,” kata Muhammad Atiq, salah satu pembuat getuk pisang di Sidomulyo.

Setiap pagi, ia selalu sibuk di dapur untuk memproduksi ratusan bungkus getuk pisang. Musim atau tidak musim hajatan, Atiq selalu ramai pesanan karena tidak hanya untuk hajatan, tapi juga dijual di pasar-pasar.

Getuk pisang ini memang menjadi salah satu jajanan primadona ala hajatan. Itu dikarenakan rasanya khas dan bentuknya yang unik. Tak heran, getuk pisang ini laris diburu masyarakat. Apalagi dibuat dari pisang murni tanpa campuran bahan kimia, getuk ini dinilai sehat dan aman dikonsumsi.

Berbeda dengan getuk pisang yang dijual pedagang asongan dengan ukuran besar. Atiq justru membuat getuk pisang dengan ukuran mini. Jenis ukuran kecil ini sesuai dengan ukuran yang paling banyak diminati masyarakat, sebagai hidangan acara hajatan.

Harganya murah, hanya Rp 1.000 perbiji. Dengan bentuk kecil dan harga cukup terjangkau, makanan ini sering  dipesan untuk  bingkisan  atau hanya sekedar oleh-oleh. Harga Rp 1.000 itu hanya varian, tidak semua dijual dengan harga Rp1.000. Bergantung ukuran dari pemesannya.

Jika menginginkan ukuran lebih besar otomatis harganya juga lebih mahal, paling mahal bisa sampai Rp 10.000 per biji. “Dulu saya malah jual 500, tapi menurut saya terlalu kecil. Jadi yang 500 sudah tidak membuat lagi, paling murah 1000 yang paling mahal 10.000. Karena yang 500 bungkusnya lama, isinya sedikit, butuh daun banyak,” katanya.

Ia menyebut, pisang raja nangka menjadi salah satu pisang yang pas untuk bahan utama getuk. Khusus untuk berbagi tips membuat getuk, pisang tidak diperkenankan harus matang sempurna.

Cukup setengah matang saja sudah bisa dipakai dan justru lebih bagus setengah matang. Kalau kurang matang rasanya akan sedikit masam, jika terlalu matang maka tidak bisa padat setelah digulung.

Pisang setengah matang raja nangka, lanjutnya, dikupas kemudian dikukus 4 sampai 5 jam. Setelah matang, baru dihaluskan menggunakan mixer, dan dicampur dengan vanili, gula dan garam. Sebetulnya rasa manis sudah didapatkan dari buah pisang itu sendiri.

Namun, untuk lebih menyempurnakan rasa, maka perlu ditambah sedikit gula dan sedikit garam. Setelah di mixer dalam keadaan panas pisang halus langsung di bungkus. Pembungkusan harus dalam keadaan panas, jika terlalu lama dibiarkan hingga dingin maka tidak akan bisa dibentuk lagi setelah digulung, barulah diberi label dan siap untuk dipasarkan.

“Daunnya ditumpuk dua karena semakin tebal daun maka keawetan getuk akan semakin lama,” tambahnya. Pembuatan getuk pisang bisa juga menggunakan jenis pisang yang lain. Seperti pisang saba, pisang candi, pisang byar dan pisang-pisang yang lain. Hanya saja warna yang dikeluarkan tidak coklat seperti pisang raja nangka. Selain itu harga pisang yang lain juga cukup mahal.

Untuk satu tandan pisang raja nangka, lanjut dia, bisa jadi 250 hingga 300 biji getuk pisang ukuran mini Rp 1.000 per biji, bergantung pada besar kecilnya ukuran pisang. Sementara harga jual antara Rp 30 ribu sampai Rp 110 ribu tergantung musim dan besar kecilnya pisang.

“Selain raja nangka harganya bisa dua kali lipat lebih mahal, maka dari itu kita pakai pisang raja nangka paling bagus dan terjangkau,” tambahnya. Menurutnya, pisang itu ia dapat dari pasar, dan tidak langsung membeli dari petani karena kualitasnya yang belum mumpuni.

Pisang raja nangka di Jombang tidak sebagus pisang raja nangka yang berasal dari Trenggalek dan Malang. Kadar air pisang raja nangka di Jombang lebih banyak, sehingga dikhawatirkan jika dibungkus akan menjadi sangat lembek.

Satu-satunya daerah yang menghasilkan pisang raja nangka bagus di Jombang adalah wilayah Wonosalam. “Tapi saya tidak pernah mencari kesana, langsung beli di pasar. Di pasar langsung beli dari Trenggalek dan Malang karena hasilnya lebih bagus,” jelasnya.

Produksi getuk pisang ini sudah mulai ditekuni Atiq sejak 2006 lalu. Saat ia masih mondok, diajarkan salah satu orang tua temannya yang berasal dari Kediri. Hasil dari pengalamannya belajar kemudian ia aplikasikan sendiri di rumah.

Ia mengaku, awal getuk pisang berhasil cukup bagus, tapi pemasaran tidak semudah yang dibayangkan. Ia masih sulit memasarkan getuk pisang lantaran belum familiar untuk acara hajatan.

Bulan yang paling ramai selain Idul Fitri, Maulid Nabi, Tahun baru Islam, dam Rajab. Tahun ajaran baru ia banjir order karena getuk pisang dijadikan oleh-oleh. Apalagi getuk pisang terbilang awet selama dua hari lebih. Daun yang tebal membuat getuk lebih awet bahkan ada yang pernah bawa ke luar negeri dan ke luar pulau.

“Tapi sebelumnya harus bilang dulu untuk menebalkan daun agar sampai tujuan tidak basi, kalau untuk hajatan biasa cukup dua lapis daun untuk dua hari, biasanya seminggu sebelum lebaran rame pesenan lagi,” pungkas dia. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Sate Kampret, Salah Satu Destinasi Kuliner Malam Legendaris di Jombang

JOMBANG – Di kalangan pecinta kuliner malam di Jombang, nama ‘Kampret’ tak asing di telinga. Ternyata, kampret merupakan suku kata kedua dari Jumain Kampret, pendiri warung yang berada di Jalan Seroja ini. Yang unik, Jumain Kampret adalah nama yang sesuai dengan KTP.

Bersama istrinya yang bernama Yulianah, Jumain Kampret mendirikan sebuah warung di sisi barat stasiun lama Pasar Legi, sekitar 25 tahun silam. Menu yang dijual di warung adalah nasi pecel, dengan lauknya yaitu sate sapi. Warung Jumain Kampret ini juga menjual nasi kare ayam dan nasi lodeh.

Namun yang menjadi unggulan di warung Jumain Kampret adalah menu sate sapi. Rasa pedas pada sate sapi buatan Jumain Kampret, menjadi ciri khas utama. Pedasnya tidak tanggung-tanggung, siapapun yang memakannya dijamin akan mandi keringat.

Namun sayang, pembeli tidak akan bisa lagi bertemu dengan Jumain Kampret. Ia telah meninggal  tiga tahun lalu. Kepergian Jumain Kampret diikuti Yulianah, istrinya, pada dua tahun lalu. Warung yang berada di Pasar Legi kini dikelola Sri Wahyuni, anak dari pasangan Jumain Kampret dan Yulianah.

Kepada Jawa Pos Radar Jombang, Sri bercerita tentang usaha warung makan yang ia kelola. “Warung ini memang buka malam hari, pukul sembilan malam pas baru melayani. Tutupnya ya sampai makanan habis,” katanya.

Sri mengaku tak banyak mengganti resep dan bumbu sate sapi warisan dari orang tuanya. Hanya saja ia menyebut untuk saat ini, satenya lebih pedas dari sebelumnya.

“Dulu waktu yang berjualan bapak, pedasnya biasa saja. Itu karena bumbu yang dicampurkan dengan daging pada saat dibakar, hanya satu kali. Kalau sekarang saya buat dua kali,” imbuhnya.

Selama 25 tahun warung berdiri, Sri mengatakan tak pernah juga mengurangi porsi bahan baku cabai meski harga cabai sedang melonjak. “Setiap hari habis cabai lima kilo,” lanjutnya.

Ia lebih memilih mengurangi keuntungan, daripada membuat kecewa pelanggan. “Kalau cabai dikurangi, pedasnya juga akan berkurang. Lebih baik baik keuntungannya yang turun sedikit,” tambahnya.

Hal ini menurutnya pernah terjadi dua tahun lalu, saat harga cabai tembus di angka Rp 100 ribu per kilo. “Meski harga cabai naik, harga sate juga tidak berubah,” ujarnya.

Per 10 tusuk sate sapi, dijual Sri dengan harga Rp 40 ribu. Harga akan disesuaikan lagi jika pembeli yang datang meminta sate sapi di bawah 10 tusuk. “Kalau dimakan dengan nasi pecel atau lodeh, harganya juga beda lagi,” ucap Sri.

Rata-rata warung sate sapi ini tutup pada pukul 02.00 WIB. “Banyak pelanggan dari luar kota, bahkan sampai Jawa Tengah. Terkenal dengan nama sate kampret karena memang didirikan Pak Kampret,” pungkasnya. (*)

(jo/mar/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

 

 

Wayang Potehi; Dari Kayu Waru Gunung, Pakaian dari Bahan Khusus

JOMBANG – Keberadaan Wayang Potehi di Museum Potehi Klenteng Hong San Kiong, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang sudah terkenal hingga pelosok nusantara. Namun belum banyak yang tahu bagaimana pembuatan wayang mungil berbagai karakter tersebut.

Biasanya, Wayang Potehi setengah jadi dijajar di halaman museum.  Ada karakter raja, putri, prajurit hingga anak anak dengan wajah lucu. Ratusan Wayang Potehi tersebut dibuat dari kayu warung gunung. Dipilihnya kayu warung gunung karena bahannya empuk, mudah dibentuk dan tidak mudah pecah ketika dipahat.

”Apalagi kayu warung gunung memiliki tekstur warna yang bersih. Sehingga memudahkan pewarnaan,” ujar Alfian, 32 dalang Wayang Potehi. Setelah dipahat, proses selanjutnya adalah pewarnaan. Proses ini sangat krusial karena pemilihan warna menentukan karakter setiap wayang.

Misalnya, karakter raja biasanya diberi paduan warna merah dan hitam. Hal itu tentu berbeda degan pemberian warna untuk karakter ratu maupun anak anak. ”Ada ribuan karakter di Wayang Potehi. Karena setiap cerita beda pula karakter yang dimainkan,” sambung dia.

Pastinya, untuk membuat wayang itu membutuhkan tingkat ketelitian dan kejelian begitu tinggi. Ini setelah setiap karakter wayang memiliki bentuk yang berbeda. “Masing-masing punya karakter tertentu,” tambah Supangat salah seorang pemahat.

Setelah pewarnaan kelar, kemudian wayang potehi dipasangkan baju. Baju tersebut terdiri dari baju dalam, baju utama dan dan topi. Setiap wayang juga diberikan asesoris tambahan seperti senjata dan kipas tergantung dari setiap karakternya. ”Kalau baju dalam itu terbuat dari kain karung, sedangkan baju utama terbuat dari kain santen,” jelas dia memerinci.

Baju baju itu, tidak dibuat di Jombang melainkan didatangkan dari Kabupaten Tulungagung. Karena tidak semua penjahit bisa membuatkan busana untuk Wayang Potehi. ”Kalau di Jombang itu hanya pembuatan wayangnya,” beber dia.

Dalam membuat Wayang Potehi, waktu yang dibutuhkan kadang sampai berminggu-minggu. Karena dalam sekali membuat ada puluhan wayang yang dikerjakan. Sehingga waktu yang dibutuhkan juga lama. 

Wayang Potehi terdiri dari tiga kata yakni poo yang berati kain, tee kantong dan hi pertunjukan. Yang  berarti, adalah pertunjukan kantong kain. Tujuan utama pertunjukan Wayang Potehi tidak hanya sebagai tontonan, namun juga sebagai tuntunan tentang arti kehidupan, perjalanan hidup maupun kematian.

”Selain itu, tujuan pertunjukan wayang potehi adalah untuk menghibur dewa-dewi yang ada di klenteng,” papar pria asli Sidoarjo ini. Sejarah wayang potehi pertama kali dikenalkan oleh suku hokian, salah satu suku di Cina.

Kemudian meluas hingga ke daratan Cina dan akhirnya sampai ke wilayah Indonesia dan Taiwan ketika dibawa pedagang China. ”Kalau di Jawa Timur itu pusatnya ada di Jombang dan Surabaya. Di daerah lain juga ada tapi tidak membuat,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/fid/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Masjid Al-Hidayah dan GKJW Berdiri Satu Pagar, Toleransi Tetap Terjaga

JOMBANG – Saat bepergian ke Wonosalam, tak ada salahnya mampir sejenak di Masjid Al-Hidayah yang terletak di Dusun Mutersari, Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. Masjid tua berukuran mungil ini berdiri satu pagar dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mutersari selama berpuluh puluh tahun.

Cerita yang dihimpun Jawa Pos Radar Jombang menyebutkan, pendiri masjid itu Miskunadi, salah seorang warga setempat yang dikenal tekun beribadah. Awalnya, ia hanya membangun sebuah langgar alias musala panggung berbahan bambu sekitar 1967 silam. Dia menggunakan tanah pribadinya sebagai tempat berpijak musala tersebut.

Lambat laun berjalan, Miskunadi mengembangkan bangunan untuk dijadikan masjid yang sedikit lebih layak. Diawali dengan bangunan setengah tembok, agar masjid lebih kokoh saat dipakai beribadah umat Islam. ”Sebenarnya kalau masjid dan gereja ini dibangun lebih dulu gereja. Kalau tidak salah, gereja dibangun 1914, dan masjid 1967,” ujar Nuning Wulandai, anak kandung Miskunadi yang ditemui kemarin (7/2).

Kala itu, di dusun tersebut jumlah umat muslim lebih sedikit dibanding umat kristiani. Karena memang umat kristiani lebih lama menetap di Dusun Mutersari. Sedangkan umat muslim merupakan warga pendatang.

Kendati demikian, berpuluh puluh tahun hidup berdampingan baik umat muslim maupun umat kristiani, tidak pernah merasa terusik dengan kegiatan ibadah masing masing. Mereka tetap rukun dan menjaga toleransi umat beragama satu sama lain.

”Sejak puluhan tahun kita tetap menghormati satu sama lain,” jelasnya. Misalnya, saat jemaat GKJW melakukan ibadah kebaktian Sabtu malam minggu. Di waktu bersamaan, umat muslim melakukan bari’an atau pengajian. Mereka tetap menjalankan kegiatan masing masing. ”Ya tetap dijalankan bersama-sama. Kita saling menghargai,” tandas Nuning.

Namun khusus untuk peringatan kegiatan besar, seperti acara unduh-unduh ataupun Hari Raya Idul Fitri tentu ada perbedaan. Salah satu umat harus mengalah dengan menghormati.

”Misalnya disamping ada unduh-unduh ya otomatis kita tidak menggunakan speaker waktu adzan, kita menghormati dengan cara itu. Tapi kita ya tetap menjalankan ibadah salat lima waktu,” tegasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

HUT Ke-7 SMKN Kabuh, Gelar Karnaval Budaya dan Panggung Kesenian Siswa

JOMBANG – SMKN Kabuh sebagai satu-satunya sekolah kejuruan dengan bidang keahlian Teknik Kimia Indsutri dan Farmasi Industri di Kabupaten Jombang, kini berusia tujuh tahun.

Rabu (6/2) kemarin, SMKN Kabuh menggelar sejumlah kegiatan untuk memperingati ulang tahunnya yang ketujuh, mulai dari karnaval budaya, panggung kesenian, dan peragaan busana siswa.

Kepala SMKN Kabuh Panca Sutrisno, S.Pd. M.Si mengatakan, perayaan ulang tahun yang digelar tersebut merupakan yang pertama di SMKN Kabuh.

Tim Paskibra memimpin karnaval budaya memperingati 7 tahun SMKN Kabuh.

Tim Paskibra memimpin karnaval budaya memperingati 7 tahun SMKN Kabuh. (Istimewa)

 

“Selama tujuh tahun berdiri, baru kali ini ada peringatan hari ulang tahun. Kegiatan ini digelar dengan harapan bisa meningkatkan semangat guru, karyawan, dan siswa dalam memajukan sekolah,” katanya.

Di usianya yang tujuh tahun, kata Panca merupakan usia awal bagi suatu lembaga pendidikan untuk mencapai predikat nama baik dan nama besar.

“Kami akan menjaga, mengatur ritme dan strategi, untuk mempertahankan kepercayaan pemerintah dan masyarakat sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mencetak prestasi dan generasi bangsa yang cerdas, inovatif, tanggung jawab, kreatif, dan ulet,” lanjutnya.

Kegiatan perayaan ulang tahun yang digelar, menurut Panca merupakan bentuk rasa syukur terhadap berdirinya SMKN Kabuh sebagai salah satu penunjang pendidikan di Indonesia.

“Untuk merayakannya kami mencoba memeriahkan hari jadi dengan hal-hal yang bermanfaat kepada siswa,” imbuhnya. Pihaknya berharap, SMKN Kabuh berkembang lebih maju sehingga bisa mengisi pembangunan.

Untuk mewujudkannya, SMKN Kabuh terus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas sekolah.

Saat ini, di SMKN Kabuh sudah tersedia laboratorium kimia industri, laboratorium farmasi industri, laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium biologi, laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan armada antar jemput siswa. “Perlu sinergi dari berbagai pihak untuk bisa mencapai peningkatan mutu dan kualitas pendidikan,” pungkasnya. (*)

(jo/mar/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Kopi ‘Lanang’ Wonosalam, Produk Perkebunan Penambah Stamina Pria

JOMBANG – Selain kopi Jegidik, ada lagi kopi lanang yang menjadi produk perkebunan khas Wonosalam. Kopi lanang memang terdengar awam bagi pecinta kopi, namun bagi masyarakat yang tinggal di lereng Gunung Anjasmoro itu, kopi lanang sudah dikenal sejak dulu.

Imam Choiril, 28, adalah salah satu petani kopi lanang asal Dusun Mendiro, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Aktivitasnya hampir setiap hari full dengan pengolahan kopi lanang.

Setelah dijemur di bawah terik matahari kurang lebih selama tiga minggu, bapak satu anak ini menyortir mana biji kopi lanang dan mana biji kopi biasa. 

Ya, sebutan kopi lanang adalah istilah penamaan kopi ekselsa (asisah) yang ukurannya lebih kecil dari biji kopi pada umumnya. Selain bijinya lebih mungil, rasa dan khasiat kopi jenis ini dipercaya memiliki efek manjur. Misalnya, untuk kekebalan tubuh dan penambah stamina bagi pria. 

”Mungkin istilah kopi lanang kurang begitu populer di masyarakat. Tapi, kopi jenis ini sudah turun temurun bagi masyarakat Wonosalam,” ujar dia. Dijelaskan, kopi lanang tidak hanya bijinya yang kecil. Melainkan jumlah biji pada buah hanya satu saja.

”Sebuah kopi kalau dibuka pasti bijinya ada dua. Tapi kopi lanang ini hanya satu saja,” terangnya. Lebih lanjut dia memerinci, biasanya dalam satu pohon kopi, biji kopi lanang hanya ditemukan sekian dari banyaknya biji kopi. Biji kopi lanang adalah penyebutan pada biji yang tumbuh kurang maksimal.

”Jika biji kopi pada umumnya, itu bentuknya agak lonjong, tapi kalau biji kopi lanang bentuknya cenderung bulat,” papar dia. Lantas bagaimana rasanya? Bagi lidah orang biasa, rasa kopi lanang saat diseduh hampir sama dengan kopi asisah pada umumnya.

Saat Jawa Pos Radar Jombang mencicipi secangkir kopi yang disediakan Iril, sapaan akrabnya, rasanya sama saja, ada campuran asam dan pahit yang menempel di lidah.

”Namun sebenarnya, lebih asam biji kopi lanang, dan ada beberapa keistimewaan diantaranya menambah stamina dan kekebalan tubuh. Tubuh menjadi lebih hangat,” papar dia. 

Sayang, saat ini kopi lanang belum bisa dipasarkan secara meluas. Selain kopinya yang sulit dicari, cara pemilahan kopi ini cukup lama. Karena butuh kejelian saat menyortir kopi asisah biasa dengan kopi lanang.

”Saat ini kami masih kembangkan, karena terus terang kalau dijual dalam jumlah banyak stoknya yang kurang,” tandasnya. Namun, bagi pecinta kopi tidak ada salahnya berburu sendiri ke Wonosalam atau pesan jauh-jauh hari kepada salah satu petani kopi di Wonosalam.

”Ya bisa pesan tapi lama, karena mencari biji kopi ini tidaklah mudah,” papar dia. Harga yang ditawarkan untuk satu kilo biji kopi lanang juga lebih mahal. Karena sulit dicari, harga kopi ini dipasarkan dua kali lipat.

Kurang lebih Rp 70 ribu per kilogram. ”Berbeda dengan kopi asisah biasa yang harganya sekitar 30 sampai 40 ribu per kilogram,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com