• info@njombangan.com

Daily ArchiveJanuary 15, 2019

Hanya dengan Budidaya Cacing Tanah, Sukartono Raup Omzet Puluhan Juta

Jombang – Sampai kini pun  cacing dianggap hewan yang menjijikan. Namun bagi Sukartono, warga Dusun Rejosari, Desa Gedangan, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, hewan ini sangatlah berharga.

Ia bahkan harus berani membuang jauh jauh rasa jijiknya terhadap cacing. Itu dimulai Sukartono sejak setahun yang lalu tepat ketika dia tertarik budidaya cacing tanah jenis lumbricus rubellus atau sering disebut cacing ekor kuning.

Kini, dengan keuletannya budidaya cacing ada puluhan kotak sebagai tempat penangkaran cacing di depan rumahnya. Sukartono tak butuh tempat khusus untuk membudidayakan cacing, dia bisa memanfaatkan halaman, ruang kosong hingga kandang ayam.

Beberapa cacing dewasa berukuran 10 – 14 cm juga ada yang diletakkan di bawah tanah di sekitar tanaman cabai. Namun terlebih dulu tanah tersebut diberi kotoran ternak yang sudah mengering.

Ditemui di rumahnya kemarin (14/1), bapak tiga anak ini menceritakan bagaimana dia tertarik dengan hewan menggeliat ini. ”Dulu awalnya saya jijik dengan cacing, namun itu perlahan lahan hilang setelah menggeluti hobi atau budidaya cacing ini,” ujar dia.

Cacing tanah asal Eropa ini memang hampir mirip dengan cacing pada umumnya. Namun bedanya, ekor pada cacing ini berbentuk pipih dan berwarna sedikit kekuning-kuningan. Selain itu, cacing ini juga tak bisa hidup di dalam lumpur laiknya cacing tanah cacing sawah. ”Memang hampir mirip, tapi ada perbedaan,” jelas dia.

Awal mula Sukartono budidaya cacing dimulai pada akhir 2017 lalu. Dia mendapatkan informasi bisnis menjanjikan budidaya cacing dari saudaranya, yang kemudian diminta langsung membeli bibit cacing dengan modal Rp 50 ribu. ”Langsung saya coba membeli bibit karena saya pertimbangkan unsur ekonomisnya, beli bibit cuma sekali dan bisa dipanen tiap bulan,” beber pria usia 56 ini.

Lambat laun sembari mempelajari tentang siklus hidup cacing, akhirnya dia mulai mengerti. Apalagi, budidaya cacing tak membutuhkan makanan yang mahal. Sebab, cukup diberi sayuran busuk cacing sudah bisa berkembang dengan maksimal. Namun, karena sayur busuk agak sulit dicari dia hanya memberi makan cacing-cacingnya dengan kotoran hewan.

”Kotoran  ternak terutama sapi dan kambing saya dapatkan gratis. Bahkan orang-orang sangat suka ketika kotoran ternak mereka saya ambil. Kan kandangnya jadi bersih,” beber dia.

Dalam sehari, satu petak tempat pembudidayaan cacing yang berisi sekitar 10 kilogram cacing, hanya diberi makan sekali saja. Yakni pagi hari sekitar pukul 09.00, dia cukup meracik kotoran ternak dengan beberapa serbuk gergaji. ”Ya menggunakan serbuk gergaji agar tanahnya makin lembab. Karena cacing akan mati ketika terkena panas,” pungkasnya. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Perahu Tambang Brantas; Penghasilan yang Tak Sebanding dengan Modal

JOMBANG – Ada dua jenis perahu tambang. Pertama perahu ukuran sedang untuk menyeberangkan kendaraan roda dua. Perahu jenis ini terbuat dari kayu dan umumnya memiliki rata-rata ukuran panjang 14-17 meter dengan lebar sekitar 3 meter.

”Perahu bisa memuat sekitar 15-17 sepeda motor kalau ditata dengan baik dan rapi,” ujar Giyanto, penambang Moroseneng di Kesamben kemarin (2/12). Semua perahu tambang ini menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar. Satu perahu selalu memiliki dua mesin diesel namun hanya satu yang digunakan.

”Satu mesin untuk cadangan, jadi kalau misalnya satu mesin mati, maka pakai diesel satunya,” lontarnya. Penambang menggunakan dayung dan baling-baling perahu untuk mengendalikan perahu. Dalam sehari rata-rata perahu ini dapat menghabiskan sekitar 10 liter solar. 

Sebagian besar penambang  masih menggunakan perahu kayu buatan sendiri. Satu buah perahu jenis ini menghabiskan biaya sekitar Rp 20 juta sampai Rp 25 juta untuk pembuatannya.

Jenis kedua, perahu ukuran besar yang dapat mengangkut kendaraan roda empat. Perahu ini umumnya berukuran panjang 24 meter dengan lebar 7 meter. Dapat mengangkut lima mobil sekaligus, jika hanya roda dua bisa mengangkut hingga 45 sepeda motor. 

Pembuatan satu perahu besar ini menghabiskan sekitar Rp 200 juta. ”Yang mahal itu besi geladaknya ini, kebetulan saya buat sendiri. Jadi tidak beli,” paparnya.

Untuk penghasilan maupun sistem setiap wilayah dan perahu tambang berbeda-beda. Di  Kesamben terdapat tiga shift dalam sehari. Penambang setiap shift setor Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu ke pemilik perahu tambang, sisanya dibagi untuk penambang sendiri. 

Sedangkan di Megaluh, terdapat dua shift pertukaran penambang. ”Hasilnya bervariasi naik turun, kalau ramai ya lumayan. Yang jelas dibagi dua atau tiga tergantung ada berapa yang ikut bantu,” tandasnya. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

 

Kumkum di Sendang Made; Tradisi Para Sinden Sejak Zaman Airlangga

JOMBANG – Sendang Made merupakan salah satu situs cagar budaya di Kabupaten Jombang. Tepatnya berada di Dusun/Desa Made Kecamatan Kudu. Sendang Made ini menjadi salah satu petilasan Raja Airlangga bersama permaisuri dan para dayang saat dalam pelarian.

Mereka dikejar pasukan Prabu Wora-Wari lalu diselamatkan Prabu Narotama hingga akhirnya menyepi beristirahat di Sendang Made. Raja Airlangga berserta permaisuri dan para dayang pun akhirnya menyamar menjadi pengamen.

”Kala itu mereka menyamar menjadi pengamen, nah mandi nya di Sendang Made ini,” lontar Supono, juru pelihara situs Sendang Made. Setelah itu grup pengamennya pun semakin laris. Dari cerita rakyat inilah lahir tradisi wisuda sinden di Sendang Made.

Terdapat enam sendang berdekatan di areal Sendang Made ini, diantaranya Sendang Pomben, Sendang Pengilon, Sendang Condong, Sendang Drajat, Sendang Widodaren dan Sendang Sumber Payung.

”Setiap sendang ini beda ceritanya tapi yang jelas Sendang Drajat ini yang paling banyak dikunjungi. Termasuk kumkum sinden dilakukan di Sendang Drajat,” tuturnya.

Tak hanya budaya, ternyata banyak juga benda bersejarah yang ditemukan di tempat ini, termasuk batu bertulis. Sendang Made ini sebelumnya hanya berupa beberapa sumber air, lokasi ini baru dibangun pada 1924 oleh RM Tjokro Diputro, asisten Wedono Kudu.

Meski demikian, suasana tenang dan teduh Sendang Made ini pun masih tetap dipertahankan hingga kini. Banyak pohon besar berusia ratusan tahun di sekitar Sendang Made. (*)

(jo/ric/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com