• info@njombangan.com

Yearly Archive2017

Mencari Tempat untuk Kursus Tari Remo Gratis

Tim Njombangan saat ini sedang mencari tempat yang tepat untuk melaksanakan program pertamanya, ya program yang pertama kali akan dilakukan sejak inisiatif ini dibuat yakni program les tari ngremo gratis. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang les tari ini, silahkan klik di sini.

 

Tempat yang kami cari adalah sebagai berikut:

  1. Letaknya strategis
  2. Berada di fasilitas desa atau kelurahan misalnya balai desa/ kelurahan, gedung serba guna atau semacamnya
  3. Pemerintah desa/ kelurahan setempat terbuka untuk kerjasama dengan Njombangan. Sebagai informasi bahwa kami akan menanggung seluruh biaya les kursus tari ini termasuk biaya pelatih. Kostum tari juga akan kami pinjamkan. Namun kami tidak menanggung biaya misalnya listrik karena adanya pemakaian selama les berlangsung. Kerjasama diharapkan nanti dalam bentuk tertulis dan berlangsung untuk jangka waktu satu tahun
  4. Penduduk sekitar, terutama orang tua dan anak-anak, mendukung dan tertarik akan program ini. Karena memang sasaran peserta adalah diutamakan penduduk sekitar

 

 

Pihak Njombangan tidak menarik uang atau biaya non uang dalam bentuk apapun karena program ini memang murni untuk kewajiban sosial dalam melestarikan seni dan budaya.

 

Jika teman-teman memiliki usulan tempat, mohon untuk:

  1. Menginformasikan kepada pengurus desa/ kelurahan setempat
  2. Mengontak tim kami melalui e-mail di njombangan@gmail.com dan info@njombangan.com serta sambungan whatsapp di +62-878787 24050
  3. Tim kami akan menghubungi kami lebih lanjut untuk bertemu dengan pihak desa/ kelurahan setempat

 

Sebagai permulaan, kami akan mencari satu tempat les saja. Jika nantinya program ini ke depannya dirasa sukses dan mendapatkan dukungan oleh lebih banyak pihak, maka kemungkinan kami akan menambah tempat les tari gratis ini.

Oedjoeng Galoeh, Hadiah Ulang Tahun Surabaya dari Grup Ludruk Luntas

Generasi anyar ludruk Surabaya ini tak henti-hentinya tampil dengan naskah-naskah yang segar. Termasuk mementaskan sejarah Ujung Galuh yang dalam salah satu versi menjadi cikal bakal Surabaya. Nama kelompok itu adalah Ludrukan Nom-noman Tjap Suroboio (Luntas).

 

Kesibukan terasa di belakang panggung Gedung Pringgodani, Taman Hiburan Rakyat, Sabtu (27/5). Belasan orang tampak berlalu-lalang kian kemari. Mereka memoleskan riasan wajah, mengepaskan kostum di badan, hingga mengecek kesiapan sebelum naik ke pentas.

Persiapan itu rampung sekitar pukul 21.00. Telat setengah jam dari jadwal yang seharusnya. Tapi, penonton no problem. Tetap setia menunggu hingga pertunjukan dimulai.

Sebagaimana pakem ludruk, adegan bedhayan membuka pementasan lakon Oedjoeng Galoeh. Itu adalah semacam adegan selamat datang. Yang membawakan tujuh lelaki. Tapi, banci. Memakai baju putri. Sesuai tradisi.

Nah, malam itu, ada tujuh lelaki yang melakonkan bedhayan tersebut. Mereka berkebaya. Melihat bentuk para banci itu, tawa penonton kembali terpingkal-pingkal. Perut semakin terkocok saat para lelaki tersebut menari. Entah tarian, entah gerakan orang ’’kumat’’. Sebab, mereka bergoyang sesuka hati. Tidak ada aturan gerakan yang pasti. Makin kocak.

Ledakan tawa itu seolah menjadi bom saat jarit (kain) yang mereka kenakan tiba-tiba melorot begitu saja di atas panggung. Lagu gamelan yang awalnya mengiringi tiba-tiba bersalin rupa menjadi lagu upbeat. Para penari berjingkrak-jingkrak kian heboh. Bak cheerleader lengkap dengan pompomnya.

Itu memang keriangan khas Ludrukan Nom-noman Tjap Soeroboio (Luntas).
 Ada pakem yang dijaga. Tapi, dimodifikasi sesuai segmentasi zaman dan penonton.

Nah, malam itu, mereka memainkan Oedjoeng Galoeh. Dalam salah satu versi, kisah tersebut menggambarkan asal-usul Surabaya yang tumbuh sekitar tujuh abad silam. Inti cerita malam itu adalah kedatangan pasukan Tartar dari Mongolia yang ingin menguasai tanah Jawa. Kisah sejarah yang cukup serius, sejatinya. Tapi, Luntas tetap membawakannya dengan gaya kocak.

”Yang penting, inti ceritanya bisa tersampaikan. Tapi, kan yang namanya ludruk itu ya tetap harus menghibur,” tutur Robert Bayoned, sutradara. Robert mengaku tidak mengalami kesulitan saat membikin naskah. Sebab, lelaki yang bermain ludruk sejak 1993 tersebut memang suka sejarah sejak dahulu. Berbagai buku sejarah dilahapnya untuk menentukan versi cerita yang akan diadaptasi menjadi bahasa panggung.

Lakon Oedjoeng Galoeh digarap selama tiga pekan. Mereka memilih versi sejarah Ujung Galuh berdasar penelitian Pemkot Surabaya. ’’Karena kita di Surabaya,’’ ucap Robert.

Nah, naskah ludruk itu tidak berwujud buku tebal bak naskah film. Wujudnya adalah lembaran-lembaran kertas untuk menata alur. Untuk mengawal cerita.

’’Inti ludruk adalah improvisasi. Jadi, pemain hanya mendapat penjelasan dari sutradara, lalu dikembangkan masing-masing,’’ kata lelaki yang pernah membikin grup lawak Bayoned tersebut. Nah, naskah malam itu adalah penjaga benang merah yang harus disampaikan kepada penonton.

Sebagai seniman ludruk generasi anyar, Luntas memang rutin pentas. Tapi, penampilan malam itu didedikasikan sebagai kado ulang tahun Surabaya yang jatuh pada 31 Mei.

Meski membawakan kisah zaman kerajaan, tidak semua setting panggung dan kostum jadul. Sejumlah kesan modern tetap ditampilkan di atas panggung. Sebagai penanda bahwa Luntas memang berbeda. Mulai backdrop, kostum yang semi-cosplay, hingga sejumlah karakter yang diberi sentuhan modernisasi.

Tengok saja kemunculan tukang parkir kapal yang setia menunggu di pelabuhan. Atau tukang asongan yang tiba-tiba muncul saat para pemain beradegan serius. Kemunculan mereka tentu langsung bikin gerrr…

Saat kedatangan pasukan Tartar yang bengis di pelabuhan, si tukang parkir tetap menagih ongkos parkir kapal yang berlabuh. ’’Mbok pikir gratis? Gak ngrasakno rasane ditagih dishub, dikongkon mbayar karcis (Kamu pikir gratis? Kamu nggak merasakan ditagih dishub untuk bayar karcis, Red). Malah plonga-plongo,’’ sembur sang tukang parkir sambil mendorong kepala panglima pasukan Tartar.

Tentu, perut penonton terus dikocok. Apalagi, omelan sang tukang parkir dibalas omelan sang panglima yang memakai bahasa dari antah berantah.

Boleh dibilang, pertunjukan malam itu sukses. Baik dari sisi apresiasi penonton, penampilan, maupun eksistensi Luntas. Tapi, para pemain tidak mau langsung puas. Terlebih, mereka merasa adegan di atas panggung kurang maksimal. ’’Baru benar-benar latihan empat hari,’’ kata Saiful Irwanto, pembina Luntas. Sebelumnya, Luntas berfokus pada pertunjukan lain. Bahkan, setelah latihan intensif pun, para pemain tidak sepenuhnya komplet.

Saiful Irwanto alias Ipoel berperan sebagai penerjemah panglima Tartar. Dia juga menjadi leader di atas panggung. Jika ada pemain yang akan keluar jalur, dia meluruskan. Dengan kode dan dialog tertentu. ’’Kayak tadi si panglima. Improvisasi lawakannya kan banyak banget. Jadi, seharusnya ceritanya bisa sampai, tapi ketutup oleh tawa penonton duluan,’’ kata Ipoel.

Meski begitu, tetap ada rasa lega dalam batin para pemain. Inti kisah tetap tersampaikan dengan baik. ”Meski waktu latihan sempit, karena mereka sudah punya jam terbang tinggi, hasilnya tidak terlalu mengecewakan,” tutur Ipoel.

Hal serupa diakui pemain lainnya, Yudha Purnawan. ”Kesulitan dialog,’’ kata Yudha soal perannya sebagai raja Majapahit. Tak heran, dia hanya punya sedikit waktu untuk berlatih. Adi Sutakrib yang berperan sebagai panglima Tartar juga merasakan itu. ’’Gampang-gampang susah. Apalagi ini ngomongnya pakai bahasa tumbuhan,” katanya, lantas tertawa.


Malam itu, tingkah kocak Adi kerap membikin penonton terpingkal-pingkal. Dia memang sering mendapat peran untuk adegan-adegan konyol. Itu jugalah yang berhasil menutupi beberapa kesalahan kecil yang dibuatnya di atas panggung. ”Itu ekspresi dari hati. Kalau disuruh mengulang, pasti nggak bisa,” ucap ayah dua anak tersebut.


Kisah itu dipungkasi persekutuan pasukan Tartar dengan Majapahit untuk menghancurkan Kerajaan Daha. Dalam sejarah, itu adalah momen perseteruan Raden Wijaya dari Majapahit melawan Jayakatwang dari Daha (Kediri). Perang pun akhirnya pecah dengan kemenangan berada di tangan Majapahit dan Tartar. Pertunjukan berakhir dengan pesta kemenangan besar-besaran di pelabuhan. Saat pasukan Tartar terlena, Majapahit menyerang hingga banyak yang tewas, termasuk sang panglima yang tetap bertingkah kocak meski sudah terbaring mati.


Rupanya, meski mau bersekutu, raja Majapahit hanya ingin memanfaatkan Tartar untuk membalaskan dendamnya ke Kerajaan Daha. Dengan kemenangan itu, Arya Lembu Sora pun mengumumkan bahwa nama pelabuhan tersebut adalah Churabhaya. Chura berarti berani dan bhaya bermakna bahaya. Surabaya. (*/c6/dos)

 

Penulis: Suryo Eko Prasetyo

Article courtesy: Jawapos.com

Photo courtesy: Jawapos.com

Tradisi Gerebek Apem, Cara Warga Jombang Sambut Ramadhan

Jombang – Warga Kabupaten Jombang, Jawa Timur punya cara unik untuk menyambut bulan suci Ramadan, yakni Gerebek Apem. Di tradisi ini, warga memperebutkan 21 gunungan kue apem yang dipercaya sebagai simbol permohonan ampun kepada Allah SWT.

Gerebek Apem diawali dengan kirab gunungan dari GOR Merdeka Jombang menuju Ringin Contong di Jalan Gus Dur pada Jumat (26/7/2017). Sedikitnya 21 gunungan dari kue apem diarak membelah ribuan warga yang memadati jalan.

Namun, gunungan yang sedianya dibagikan di Ringin Contong, ludes diserbu warga di sepanjang Jalan Gus Dur. Tak hanya para pria dewasa, anak-anak hingga ibu rumah tangga tak mau ketinggalan memperebutkan kue apem. Bahkan, tak sedikit warga yang membawa kantong plastik untuk mengantongi kue tradisional tersebut.

Seperti yang dilakukan Ifin Fauziati (27), ibu rumah tangga asal Desa Candimulyo, Kecamatan Jombang Kota.

“Ini wujud suka cita kami karena setahun sekali pas menyambut awal Ramadan,” kata Ifin sembari menenteng satu kantong plastik berisi kue apem hasil rebutan.

Hal serupa dilakukan Syahroni (25), warga Pulorejo, Kecamatan Jombang Kota. Dia rela berdesakan dengan ratusan warga lainnya untuk mendapatkan kue tradisional dari tepung beras itu.

“Kalau Ramadan tak makan kue apem, rasanya kurang sempurna. Ini mau saya bawa pulang untuk dimakan sama keluarga,” ujarnya.

Sementara Wakil Bupati Jombang, Munjidah Wahab yang menuturkan, Gerebek Apem sebagai tradisi warga Jombang sejak puluhan tahun silam untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Menurut dia, kue apem mempunyai filosofi yang harus selalu menjadi pegangan warga kota santri.

“Apem dalam bahasa arab adalah afwan, artinya meminta pengampunan dari Allah SWT,” ungkapnya.

 

Penulis: –
Article courtesy: Detik.com
Photo courtesy: Detik.com

Mlumah, Usaha Merintis Kembali Seni Ludruk di Malang yang Memudar

Berupaya merintis kembali eksistensi kesenian ludruk yang mulai memudar di Malang, sekelompok komedian mendirikan komunitas bernama Mlumah.

Merdeka.com, Malang – Berupaya merintis kembali eksistensi kesenian ludruk yang mulai memudar di Malang, sekelompok komedian ini mendirikan sebuah komunitas lawak yang dinamakan Malang Lucu Mahasiswa (Mlumah). Berdiri sejak Oktober 2014 lalu, Mlumah berusaha menghadirkan konsep lawak lawas dengan wajah baru untuk menghibur masyarakat di tanah air, khususnya di Malang.

Rian Fauzi, salah satu penggagas berdirinya Mlumah berbagi cerita, terkait perjalanan Mlumah selama tiga tahun belakangan ini. Grup lawak yang digawangi Rian, Efri dan Ipul ini bahkan sempat mampir dalam sebuah ajang pencarian bakat pelawak di salah satu stasiun televisi nasional. Pengalaman ini, kata Rian, menjadi salah satu pelajaran penting bagi dirinya dan kawan-kawan Mlumah untuk membangkitkan gairah grup lawak, khususnya Ludruk di Malang.

Mlumah, bermula dari kumpul-kumpul bersama sekawanan orang yang sempat bertemu di sebuah manajemen artis di Malang. Setelah ‘lulus’ dari manajemen tersebut, mereka tetap menjalin komunikasi yang baik. Memiliki hobi yang serupa di dunia lawak, akhirnya mereka mencetuskan ide untuk mendirikan sebuah komunitas lawak di Malang.

“Akhirnya, saat kumpul-kumpul itu, kita kepikiran bikin grup-grupan. Pas kita mau launching, kita kepikiran buat ludruk. Terus kita tercetus buat Mlumah itu. awalnya namanya itu Malang Ludruk Mahasiswa,” cerita Rian, saat ditemui merdeka.com dalam acara Satu Jam Bersama Mlumah di Coffee Kayoe Malang.

Nama Ludruk sendiri diambil dari konsep utama jenis lawak yang dibawakan. Hanya saja, kata Rian, kekurangan sumber daya manusia membuat grup lawak yang beranggotakan 17 orang ini, tak mampu menghadirkan konsep Ludruk secara utuh. Sehingga, nama Ludruk dalam Mlumah diubah menjadi Lucu dan hingga kini dikenal dengan Malang Lucu Mahasiswa.

“Ketika kita kepingin menghidupkan Ludruk ini, kita kesulitan pada musik gamelannya. Karena kurang SDM-nya. Akhirnya Ludruknya kita hilangin dulu waktu itu. Jadi kita ubah namanya jadi Malang Lucu Mahasiswa,” terangnya.

Ingin menghidupkan kembali kesenian Ludruk yang mulai memudar di Malang, Rian bersama Mlumah mencoba menggali ilmu seputar kesenian tradisional asal Jawa Timur itu. Di Malang sendiri, Rian mengaku masih kesulitan menggandeng mentor untuk memperdalam seni lawak tersebut. Justru, ia mendapatkannya dari kota lain, seperi Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.

“Kita (Mlumah) berguru kemana-mana. Kita ke Surabaya, kita berguru sama orang Surabaya. Kita ke Yogya, terus kita ke Jakarta. Kita mencari mentor, belajar,” tuturnya.

Menyadari pentingnya regenerasi anggota, Rian mengaku seringkali berburu talenta di beberapa kelompok kesenian Mahasiswa, khususnya di Malang. Kendati demikian, Rian menyadari bahwa dirinya harus memperkuat akar Mlumah untuk mendatangkan anggota baru.

Terkait hal itu, Mlumah mempertahankan eksistensinya dengan terus berkarya di dunia lawak. Acara demi acara mereka datangi untuk melakukan pentas, untuk melatih kemampuan seni lawak sekaligus mempertahankan eksistensi Mlumah, sebagai wajah anyar pentas Ludruk di Malang.

“Intinya, kita ingin menjaga performa. Jadi kita taktiknya dulu pertama itu, satu minggu minimal harus main satu kali, dibayar atau tidak dibayar. Kita terus nyari job (pentas), dan akhirnya keturutan. Kita tetep manggung satu minggu satu kali,” pungkasnya.

 

Penulis: –

Article courtesy: Merdeka.com

Photo courtesy: Merdeka.com

Ludruk Pelajar Kota Mojokerto “Raih” Juara 1 Penyaji Terbaik Nasional”

CB, Mojokerto – Kabar membanggakan datang dari dunia seni pelajar Kota Mojokerto. Ludruk Pelajar Kota Mojokerto, Sabtu (20/5/2017) mampu meraih Juara 1 penyaji terbaik tingkat nasional mewakili Kota Mojokerto dan Provinsi Jawa Timur. Gelaran seni bergengsi ini diselenggarakan di Panggung Candi Bentar, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Dibina langsung oleh Dinas Pendidikan Kota Mojokerto, grup ludruk Kota Mojokerto yang dominan berasal dari pelajar SMPN 1, SMPN 3 dan SMA Taman Siswa Kota Mojokerto ini mewakili Jawa Timur bersaing dengan 7 peserta terbaik se-Indonesia.

Pada gelaran Parade Teater Seni Tradisi ke-6 di Jakarta ini ludruk pelajar dikoordinatori oleh Ganesh Pressiatantra Khresnawan Kasi Pendidikan Non Formal pada Dinas Pendidikan dan pembina oleh Novi Rahardjo Kepala Dinas Pendidikan Kota Mojokerto.

Kami meraih empat kategori penghargaan dari lima kategori yang ada. Ini semua berkat kegigihan dari adik-adik pelajar dan kerja sama yang baik dari semua pihak,” tutur Novi Rahardjo. Keempat penghargaan tersebut antara lain pemeran putra terbaik, penulis skenario terbaik, sutradara terbaik dan yang paling bergengsi adalah penghargaan penyaji terbaik.

Penghargaan diberikan langsung oleh Direktur Taman Mini Indonesia Indah kepada masing-masing pemenang. Dengan diraihnya Kota Mojokerto sebagai penyaji terbaik juara pertama, artinya Kota Mojokerto akan mewakili Indonesia pada lomba pekan seni tradisi Internasional di Brunei dalam waktu dekat.

Ludruk yang berjudul “Bantengan Geger” dibawakan secara apik dan merebut perhatian penonton selama lebih dari 30 menit. Grup ludruk yang terdiri dari 35 orang ini juga membuat juri yang terdiri dari aktor, budayawan dan akademisi berdecak kagum. Pasalnya, dari pemain karawitan, kidungan hingga pamain ludruk didominasi pelajar dan bermain secara profesional serta sangat menghibur.

Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus mengaku bersyukur dengan raihan prestasi tersebut. “Ini adalah prestasi yang membanggakan. Karena seni pelajar kita bisa berbicara di tingkat Nasional bahkan akan mewakili Indonesia di tingkat Internasional,” tuturnya bangga.

Menurut Wali Kota, prestasi tingkat nasional ini juga merupakan kado indah di hari jadi Kota Mojokerto ke-99. “Inilah perwujudan semangat hari jadi Kota Mojokerto yang mempunyai tema; ayo berkreasi, berinovasi dan berprestasi untuk Mojokerto service city. Pelajar kita telah membuktikan semangat ini dengan baik,” jelasnya. (Duta Josant)

 

Article: Duta Josant

Article courtesy: cahayabaru.id

Photo courtesy: cahayabaru.id

Bikin Ngakak Sekaligus Asik, Grup Ludruk Surabaya Ini Kolaborasi dengan Musik Jazz

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Pelawak kondang asal Surabaya, Kartolo Cs turut memeriahkan acara J-Mags (Jazz Mangrove Surabaya) yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Namun tak tampil seperti biasa, Kartolo tampil bernyanyi dengan diiringi musik jazz yang dibawakan oleh Fussion Jazz Community.

Mengenakan batik kemeja biru bermotif, Kartolo dan band jazz tersebut sukses menghibur penonton.

Meski tak lagi jaya seperti beberapa waktu silam, penampilan Kartolo berhasil membuat penonton rata-rata anak muda tersebut tertawa terbahak-bahak.

Berulang kali, Kartolo membuat tertawa penonton karena mic nya yang berulangkali mati.

“Mungkin ini karena saya belum mandi,” ujarnya yang langsung disambut tawa penonton, Sabtu (20/5/17).

Kartolo menyanyikan satu lagu berjudul Jula Juli.

Meski diiringi alat-alat musik jazz seperti terompet, gitar, dan drum, alat musik tradisional seperti saron dan gendang masih turut ikut mengiringi.

Cak Kartolo mengatakan, ia sudah empat kali berkolaborasi dengan musik jazz.

“Ini sudah yang keempat, sering juga tampil di kampus-kampus kok,” ujarnya pada TribunJatim.com usai manggung.

Melihat antusiasme anak muda Kartolo merasa senang.

“Ya senang karena ternyata masih menghibur, kan saya keturunan Justin Beiber,” tuturnya lalu tertawa.

Tak hanya penampilan Kartolo Cs, acara ini juga dimeriahkan oleh beberapa penampilan lain seperti Surabaya All Star, Kasta, Komunitas Jazz Fussion, Komunitas Tari – Teater dan penyanyi hits papan atas Tulus.

 

Penulis: –

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Tribunnews.com

Penggalangan Dana untuk Inisiatif Njombangan

 Inisiatif Njombangan yang secara hukum berada di bawah payung Yayasan Salasika Indonesia, saat ini sedang melakukan penggalangan dana. Dana ini nantinya akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan program Njombangan ini. Penggalangan dana ini berlangsung secara online dan menggunakan platform Kitabisa.com

 

Adapun keperluan dana digunakan untuk beberapa sebagai berikut:

  1. Pembelian peralatan penunjang kegiatan
  2. Pembayaran guru tari
  3. Keperluan promosi
  4. Dan keperluan lainnya

 

Jika kamu ingin ikut berdonasi, silahkan klik di sini.

Seluruh donasi akan digunakan secara transparan dan akuntabel dan akan dilaporkan melalui website ini.

 

Terima kasih terus mendukung inisiatif Njombangan. Salam!

Pameran Tunggal ‘Amok Tanah Jawa’

TRIBUNJOGJA.COM – Perupa Moelyono akan menggelar pameran tunggal bertajuk Amok Tanah Jawa.

Pameran akan digelar mulai 20 Mei sampai dengan Juli 2017, di Langgeng Art Galeri, Jalan Suryodiningratan 37 Yogyakarta.

Acara pembukaan, Sabtu (20/5/2017) pukul 19.00 WIB, oleh Dirjen Kebudayaan RI, Hilmar Farid.

Pembukaan bakal dimeriahkan oleh grup Ludruk “Budhi Wijaya” dari Desa Gempolkerep, Jombang, Jatim, yang mementaskan lakon Geger Pabrik Gula.

Menurut rilis yang diperoleh TribunSolo.com, Kamis (11/5/2017), pameran itu akan menampilkan serangkaian karya lukis dan instalasi maupun performans.

Adapun Moelyono (60), perupa kelahiran Tulungagung, Jatim, pada perkembangan seni rupa di Indonesia tahun 1980-an selalu dikaitkan dengan gerakan seni aksi dan aktivitasnya yang berbeda pada zamannya.

Dia selalu melibatkan isu-isu sosial dalam kehidupan masyarakat marjinal, antar alain persoalan petani, buruh dan aspek pendidikan

Sampai kini Moelyono tinggal di daerah kelahirannya.

Moelyono memilih terlibat langsung dengan masyarakat di sekitarnya.

Pengalaman artistik, berpameran tunggal maupun mengembangkan diri, membentang selama puluhan tahun, setidaknya empat dekade terakhir, di dalam maupun luar negeri.

Terakhir ia menjadi konseptor gerakan seni rupa untuk difabel.

Ia adalah fasilitator Kelompok Perspektif Yogyakarta yang anggotanya adalah anak-anak difabel, dengan kegiatan utama bersenirupa.

Sejak beberapa tahun belakangan, Moelyono mulai tertarik kepada bentuk-bentuk kesenian tradisional di Jawa yang peminatnya semakin sedikit dan mengancam keberlangsungan kehidupan kesenian para pelakunya.

Adapun padap ameran ini Moelyono menampilkan serangkaian lukisan, performans atau pertunjukan kesenia tradisional ludruk dan instalasi serta arsip-arsip.

Empat lukisan mengadaptasi adegan lukisan maestro seperti lukisan Raden Saleh “Penangkapan Diponegoro” , lukisan-lukisan karya maestro seni lukis modern S.Sudjojono, Hendra Gunawa, “Pengantin Revolusi”.

Penggambaran dari ludruk sesuai dengan tujuan dari sujyek yang hendak ia ungkapkan tentang ketidak-adilan sosial terhadap masyarakat di pedesaan yang seringkali harus kalah  dalam menghadapi kemajuan. (*/junianto setyadi)

 

Penulis: Junianto Setyadi

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Tribunnews.com

Menikmati Tradisi Leluhur Lewat Jazz Kampoeng Djawi

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Alunan musik jazz yang lembut dan merdu lamat-lamat terdengar dari tengah perkampungan Jawa di Dusun Gondang, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Sabtu (6/5/2017) malam lalu.

Sejumlah musisi jazz ternama tanah air silih berganti tampil di panggung Amphitheater.

Ada Indra Lesmana, Syaharani, Monita Tahalea, Nita Aartsen, Pramono Abdi, dan sejumlah musisi jazz lainnya.

Beberapa dari musisi jazz tersebut ditemani grup band-nya saat membawakan lagu-lagu andalannya. Misalnya, Indra Lesmana bersama Keytar Trio, Syaharani & Queenfirework (ESQI:EF), dan Pramono Abdi dengan Quartetnya.

Mereka silih berganti tampil, dengan masing-masing membawakan lima lagu. Penampilannya benar-benar menyihir ratusan penonton yang hadir.

Tanpa terasa, waktu menunjuk pukul 23.00 WIB. Menjelang tengah malam pertunjukan bertajuk ‘Jazz Kampoeng Djawi’ yang dimulai sejak pukul 14.00 WIB tersebut usai digelar.

Sekitar 250 orang penonton, mayoritas para penggemar musik jazz dari berbagai komunitas di tanah air benar-benar larut dalam suasana masa lampau dengan balutan warisan tradisi yang disajikan Kampoeng Djawi.

Di kampung ini, kita akan dibuat kagum dengan kentalnya budaya Jawa. Mulai dari musik tradisional yang disajikan dan dikombinasi dengan aransemen jazz, ornamen panggung, hingga makanan dan jajanan yang disajikan, semuanya khas Jawa.

Jadi, malam itu, irama musik jazz yang easy listening benar-benar membawa ratusan orang yang hadir menikmati dan mengembara ke kampung Jawa kuno.

 

Rudi Ermawan Founder Jazz Kampoeng Djawi, Selasa (9/5/2017) mengatakan, Jazz Kampoeng Djawi merupakan event yang rutin digelar setiap tahun. Hasil kerjasama antara Kampoeng Djawi dengan Komunitas Jazz Jombang.

“Tahun ini adalah kali ketiga kita gelar sejak event tersebut digelar pertama pada 2015 lalu,” ujarnya, kepada Tribunjatim.com.

Keberadaan ‘Jazz Kampoeng Djawi’ yang dipadu dengan pemberian workshop dari para musisi jazz ternyata dapat menarik minat para penggemar dan komunitas musik jazz Indonesia.

Apalagi komunitas juga diberi kesempatan untuk tampil, dan Sabtu kemarin, ada setidaknya tujuh komunitas jazz lokal yang diberi panggung untuk unjuk kebolehan.

Makin banyaknya jumlah pengunjung menegaskan hal itu. Jika saat pertama kali digelar pada 2015, hanya 150 orang yang menonton. Pada 2016 naik jadi 200 orang, dan tahun ini penonton naik menjadi 250. Meski mereka harus membayar cukup mahal, Rp 300 ribu.

“Tapi, event ini tak pakai sponspor lho ya. Murni swadaya dari pecinta musik jazz,” ucap Rudi Ermawan.

Mereka, kata pria asal Lamongan ini rela merogok kocek yang tidak sedikit semata-mata hanya agar ada tempat berkesenian untuk musik jazz, khususnya di Jombang.

 

Untuk itu, ke depan, pihaknya, kata Rudi akan terus menggelar event ‘Jazz Kampoeng Djawi’. Apalagi event yang telah ditunggu-tunggu oleh pecinta dan komunitas jazz ini merupakan rangkaian dari tradisi Kenduren di Wonosalam, Jombang. Yakni, makan duren gratis saat panen raya.

“Makanya Jazz Kampoeng Djawi akan terus kita pertahankan,” tegasnya.

Jumlah peserta yang diundang juga akan terus diperluas. Jika tahun ini, dari 250 orang yang hadir masih berasal dari Jawa Timur, dan sejumlah kota lain di Jawa dan Bali, seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, dan Denpasar.

Tahun depan, Rudi ingin komunitas jazz dari seluruh Indonesia bisa hadir di Kampoeng Djawi yang dibangunnya. Untuk menyaksikan dan menikmati musik jazz dengan balutan tradisi serta budaya Jawa tempo dulu. (Tribunjatim.com/Mujib Anwar)

Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Youtube.com

Regenarasi Seniman Ludruk ala Grup Irama Budaya

Ludruk merupakan kesenian drama tradisional khas Surabaya yang biasanya diiringi oleh lawakan, lantunan musik gamelan, tarian dan nyanyian Jawa Timur. Grup ludruk Surabaya “Irama Budaya” berupaya melakukab regenerasi untuk melestarikan kesenian daerah ini dengan membentuk “Ludruk Irama Budaya Junior”.

Irama Budaya Junior beranggotakan beberapa aktor baru.  Di antaranya anak-anak usia TK/SD, remaja dan dewasa dari berbagai kalangan profesi dan latar belakang.

Keseriusan Grup Irama Budaya membimbing para juniornya terbukti melalui penampilan perdana mereka yang sukses digelar pada Sabtu (6/5/2017) lalu. Penampilan bertajuk “Mentang-Mentang dari New York” pun berhasil memukau penonton lewat aksi panggung dimainkan sekitar 15 pemain junior dan beberapa senior.

“Sebetulnya naskah ini adalah karya penulis luar negeri bernama Marcelino untuk teater. Kemudian saya adaptasi untuk dipentaskan sebagai ludruk,” ucap Meimura, sang sutradara pementasan.

Berperan sebagai pemain utama Ludruk “Mentang-Mentang dari New York” adalah Wahyu sebagai Siti. Diceritakan, Siti yang baru saja pulang dari New York untuk belajar, telah berubah drastis. Dia tidak mengenali teman-teman terdekatnya bahkan kekasihnya. Siti yang telah kehilangan kepribadiannya, membuat kedua orang tuanya shock. Namun suatu kejadian membuat dia menyesali perbuatannya dan kembali menjadi Siti yang dulu.
Antusiasme masyarakat dan kalangan media menonton acara tersebut menjadi bukti Kota Surabaya masih mampu melestarikan kebudayaan tradisionalnya. Selain itu, pertunjukkan ini bertepatan untuk memeriahkan HUT Kota Surabaya ke-724.

Beberapa penampilan lain juga disuguhkan sebagai penghibur tambahan untuk para penonton. Diawali dengan Bedayan sebagai sambutan kepada para penonton, tarian oleh penari remo dan karawitan dari Sanggar Baradha Unesa.

 

Penulis: –

Article courtesy: eljohnnews.com

Photo courtesy: Tempo.co