• info@njombangan.com

Yearly Archive2017

Seperti Ini Kolaborasi Tari Yosakaoi Jepang dengan Tari Remo Surabaya

SURYA.co.id | SURABAYA – Ratusan anak usia pelajar dan warga Surabaya memadati Taman Surya depan Balai Kota Surabaya, Minggu (9/7/2017) Mereka menyaksikan Festival Tari Remo dan Yosakoi.

Tarian khas Kota Surabaya dan tarian kebanggaan Kota Kochi Jepang bertemu dalam satu festival budaya.

Ini adalah bagian dari pekan Surabaya Cross Culture Festival International Folk Art 2017.

Pertukaran budaya ini berlangsung hingga 20 Juli 2017.

“Tidak hanya Jepang, Amerika, Tiongkok dan banyak negara yang menjalin sister city dengan Surabaya. Mereka menggelar pertukaran budaya,” kata Humas Pemkot Surabaya, Fikser.

Pukul tadi festival pagelaran budaya dua kota dari dua negara ini dibuka.

Wali Kota Kochi Okazaki Seiya hadir langsung bersama ketua DPRD kota ini.

Begitu juga Konjen Jepang di Surabaya juga hadir dalam pembukaan Festival Tari Remo dan Yosakoi.

Dari Surabaya hadir Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan seluruh pimpinan DPRD Surabaya.

Begitu dibuka, dua kota ini menampilkan tari khas mereka.

Sekitar seratus anak tampil menari remo dengan iringan dominan gong.

Sementara kelompok remaja Kochi membawakan tari khas Jepang, Yosakoi.

Tari khas ini dengan ciri khas kedua tangan membawa naruko (alat bunyi dari kayu).

“Saya bangga tari Yosakoi disaksikan ratusan orang di Surabaya,” kata Okazaki saat memberi sambutan.

 

Penulis: –

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Tribunnews.com

Kesenian Ludruk Sulit Dilestarikan, Ini Alasannya

Pertunjukan ludruk selalu sepi penonton dan beberapa pemainnya sudah beralih profesi untuk menopanng kebutuhan hidup

JAKARTA-KABARE.CO : Kesenian ludruk asal Surabaya sulit dilestarikan. Hal ini disebabkan karena kebanyakan pemain ludruk tersebut berasal dari luar kota Surabaya. Selain itu beberapa  pemainnya beralih profesi.

“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil tapi sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Widodo Suryantoro, seperti dikutip Antara.

Menurutnya, pemerintah kota sebenarnya sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung pelestarian ludruk, termasuk di antaranya yang ada di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR).

Wali Kota Surabaya, ia menjelaskan, juga sudah meminta petugas memindahkan gamelan di Balai Pemuda, yang sekarang sedang dibangun, ke THR untuk mendukung acara pertunjukan ludruk di sana.

Namun pertunjukan ludruk di THR selalu sepi penonton. “Akhirnya kami harus memaksa orang untuk menonton. Tapi kalau memaksa menonton kan ya tidak mungkin,” ujarnya.

Padahal, Widodo mengatakan, ludruk seharusnya bisa tetap digandrungi para penonton sampai kapan pun asal grup ludruk terus berkreasi di setiap pertunjukan.

Dengan kondisi kesenian ludruk yang demikian, ia melanjutkan, akhirnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk menyampaikan materi edukasi kesenian tradisional kepada murid sekolah di Kota Pahlawan.

“Paling tidak para siswa mengetahui kalau ada kesenian tradisional Ludruk yang pernah populer di Surabaya,” ujarnya.

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Masduki Toha sebelumnya menyatakan siap mengawal keinginan warga untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional Ludruk yang dulu sempat berjaya di THR Surabaya.

“Saya menilai, selama ini pemkot kurang ada niatan menumbuh kembangkan kesenian di THR,” katanya.

Masduki mengatakan sudah saatnya budaya tradisional diberi ruang dan anggaran cukup supaya bisa tetap lestari.

“Mohon masukan agar temen-temen komisi D DPRD Surabaya bisa mengimplementasikan dalam anggaran selanjutnya,” ujarnya. (ant/al)

 

Penulis: –

Article courtesy: Kabare.co

Photo courtesy: Kabare.co

Pemkot Surabaya Akui Kesulitan Lestarikan Kesenian Ludruk

Metrotvnews.com, Surabaya: Pemerintah Kota Surabaya mengakui, kesulitan melestarikan kesenian tradisonal Ludruk yang kini mati suri karena ditinggalkan para penggemarnya. Selama ini, kebanyakan pemain Ludruk yang masih ada berasal dari luar Kota Surabaya.

“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil. Tapi, sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Widodo Suryantoro di Surabaya, Sabtu 8 Juli 2017.

Menurut Widodo, pihaknya sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk melestarikan Ludruk, seperti yang ada di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR). Bahkan, Wali Kota Surabaya meminta alat musik gamelan yang selama ini ada di Balai Pemuda untuk dipakai di THR.

Pemindahan alat musik gamelan itu dilakukan karena di Balai Pemuda saat ini masih ada pembangunan. Hanya saja, setiap pertunjukan Ludruk di THR selalu sepi, tidak ada yang menonton.

“Akhirnya kami harus memaksa orang untuk menonton. Tapi kalau memaksa menonton kan ya tidak mungkin,” ujarnya.

Widodo mengatakan, Ludruk tetap bisa digandrungi penonton sampai kapan pun itu karena kepiawaian grup Ludruk yang terus berkreasi di setiap pertunjukan. Meski demikian, pihaknya tetap melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan Surabaya agar ada edukasi kepada siswa didik di tiap-tiap sekolah di Kota Pahlawan.

“Paling tidak, para siswa mengetahui kalau ada kesenian tradisional Ludruk yang pernah pernah populis di Surabaya,” ujarnya.

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Masduki Toha sebelumnya menyatakan siap mengawal keinginan warga untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional Ludruk yang dulu sempat berjaya di THR Surabaya. “Saya menilai, selama ini pemkot kurang ada niatan menumbuh kembangkan kesenian di THR,” katanya.

Masduki mengatakan, sudah saatnya budaya tradisional diberikan ruang dan anggaran yang cukup. Hal ini merupakan bagian dari upaya menyelematkan generasi muda dari ketidakpedulian terhadap kesenian tradisional.

“Mohon masukan agar temen-temen komisi D DPRD Surabaya bisa mengimplementasikan dalam anggaran selanjutnya,” ujarnya.

(NIN)

 

Penulis: –

Article courtesy: Metrotvnews.com

Photo courtesy: Metrotvnews.com

Gawat, Seni Ludruk Terancam Punah

INFONAWACITA.COM – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengaku kesulitan melestarikan kesenian tradisonal Ludruk, yang kini mati suri karena ditinggalkan para penggemarnya.

Salah satu indikatornya kebanyakan pemain Ludruk yang masih ada berasal dari luar Kota Surabaya.

Hal ini dikatakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Widodo Suryantoro di Surabaya, Sabtu (8/7).

“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil tapi sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” katanya.

Menurut dia, untuk melestarikan Ludruk sebetulnya pihaknya sudah menyediakan sarana dan prasarana seperti yang ada di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR).

Bahkan, lanjut dia, Wali Kota Surabaya meminta alat musik gamelan yang selama ini ada di Balai Pemuda untuk dipakai di THR. Itu dilakukan dikarenakan di Balai Pemuda saat ini masih ada pembangunan.

Hanya saja setiap pertunjukan Ludruk di THR selalu sepi tidak ada yang menonton. “Akhirnya kami harus memaksa orang untuk menonton. Tapi kalau memaksa menonton kan ya tidak mungkin,” ujarnya.

Widodo mengatakan Ludruk tetap bisa digandrungi para penonton sampai kapanpun itu karena kepiawaian grup Ludruk yang terus berkreasi di setiap pertunjukan.

Meski demikian, lanjut dia, pihaknya tetap melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan Surabaya agar ada edukasi kepada siswa didik di tiap-tiap sekolah di Kota Pahlawan.

“Paling tidak para siswa mengetahui kalau ada kesenian tradisional Ludurk yang pernah pernah populis di Surabaya,” ujarnya.

DPRD Siap Awasi

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Masduki Toha sebelumnya menyatakan siap mengawal keinginan warga untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional Ludruk yang dulu sempat berjaya di THR Surabaya.

“Saya menilai, selama ini pemkot kurang ada niatan menumbuh kembangkan kesenian di THR,” katanya.

Masduki mengatakan sudah saatnya budaya tradisional diberikan ruang dan anggaran yang cukup. Hal ini merupakan bagian dari upaya menyelematkan generasi muda dari ketidakpedulian terhadap kesenian tradisional.

“Mohon masukan agar temen-temen komisi D DPRD Surabaya bisa mengimplementasikan dalam anggaran selanjutnya,” ujarnya.

 

Penulis: –

Article courtesy: infonawacita.com

Photo courtesy: infonawacita.com

Tari Remo Jadi Andalan di Event CCI 2017

SURABAYA – Tari Remo masih menjadi andalan Pemkot Surabaya dalam Cross Culture International (CCI) 2017. Kegiatan ini akan berlangsung dalam dua sesi pada Minggu, 9 Juli dan Minggu 16 Juli – Kamis 20 Juli 2017. Tarian yang mengisahkan perjuangan seorang pangeran di medan laga ini diyakini akan memukau delegasi serta peserta event tahunan tersebut.

Kepala Dinas Pariwisata Pemkot Surabaya Widodo Suryantoro menyampaikan, Tari Remo awalnya merupakan tarian yang digunakan sebagai pengantar pertunjukan ludruk. Namun, pada perkembangannya tarian ini sering ditarikan secara terpisah sebagai sambutan atas tamu kenegaraan, ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam festival kesenian daerah.

“Banyak wisatawan mancanegara yang gandrung dengan tarian ini sehingga jenis tarian ini kami pilih. Meski begitu, banyak tarian lain yang akan kami tampilkan selama penyelenggaraan CCI 2017 nanti,” kata Widodo kepada wartawan, Jumat (7/7/2017).

CCI 2017 kali ini akan mengangkat tema Folk Art Festival dengan peserta berjumlah 1.260 orang. CCI akan dibuka dengan Tari Remo remaja 12 grup yang terdiri dari anak usia 5 tahun hingga 16 tahun. Setelah itu, disambung Tari Yosakoi yang diikuti 40 grup yang terdiri dari sekitar 1.000 orang. Jepang menjadi satu-satunya negara yang bakal menampilkan Tari Yosakoi di Taman Surya karena Negeri Sakura tersebut telah menjalin hubungan kerja sama kota kembar atau biasa disebut sister city dengan Surabaya. “Biar muatan lokal kedua negara seimbang,” imbuhnya.

Lewat CCI ini, Widodo berharap warga Surabaya bisa mengetahui macam tarian dari negara-negara mancanegara. Begitu pula dengan negara asing mengetahui jenis tarian Surabaya, yakni Tari Remo. Para penampil berasal dari sejumlah kota, di antaranya Surabaya, Yogyakarta, Bali, dan Aceh. Sementara dari luar negeri akan hadir tujuh negara yaitu, China, Rusia, Slovakia, Kanada, Polandia, Thailand, dan Lithuania. “Jumlah peserta luar dan dalam negeri yang akan mengisi acara CCI belum resmi, nanti akan bertambah,” imbuh Widodo.

Nantinya, festival CCI bakal digelar di beberapa lokasi. Di antaranya, Taman Surya, Gedung Balai Pemuda, Gedung Balai Kota, Gedung eks-Siola, Balai Budaya Surabaya, Taman Bungkul, G-Walk Citraraya Surabaya, Ciputra World dan Royal Plaza. Sementara pada acara yang berlangsung tanggal 16-20 Juli 2017, seluruh peserta lintas budaya yang berasal dari perwakilan dalam negeri dan luar akan memparadekan budaya mereka. Peserta akan berjalan sepanjang 4,8 km dari Taman Bungkul ke Monumen Bambu Runcing.

Seniman Kota Suraya Heri Lento menyampaikan, kegiatan cross culture internationalselalu ditunggu banyak orang, terutama wisatawan. Sebab, selain hiburan, banyak hal baru dari suguhan acara tersebut. “Banyak wisatawan datang jauh-jauh datang ke Surabaya hanya untuk menyaksikan acara ini. Mereka menjadi tahu jenis kesenian tradisional dari berbagai negara,” tuturnya.

 

Penulis: Ihya’ Ulumuddin

Article courtesy: Sindonews.com

Photo courtesy: Sindonews.com

Rayakan Lebaran Ketupat, Warga Jombang Terbangkan Balon Udara

KABARJOMBANG.COM – Puluhan warga Desa Bandung, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, terlihat asyik menyiapkan balon udara, Minggu (2/7/2017) pagi. Beberapa balon yang berada di lokasi, sengaja diterbangkan warga sebagai tanda datangnya lebaran ketupat, yang tradisinya dirayakan 7 hari setelah lebaran.

Seperti diketahui, ada beberapa kegiatan unik yang sudah mentradisi dilakukan warga di Kota Santri untuk menyambut lebaran ketupat. Seperti di desa tersebut, dengan diawali membawa tumpeng (makanan), warga berbondong-bondong mendatangi musholla yang menjadi lokasi penerbangan balon.

Tak ayal, warga yang siap melihat dan menyambut lebaran ketupat, terlihat berjubel di musholla setempat, untuk menyantap tumpengan lontong dan ketupat, hasil karya dari warga sekitar. “Sebelum menerbangkan balon udara, memang didahului tumpengan ketupat dulu,” kata Masruri (47) warga sekitar.

Tak lama kemudian, sejumlah peralatan untuk menerbangkan balon disiapkan panitia. Dengan menggunakan kayu serta tong, warga memulai penerbangan balon udara yang menggunakan tenaga asap. Meski sempat menunggu, warga sekitar akhirnya bisa merasakan sensasi melihat balon udara mulai naik ke atas langit.

“Ini merupakan salah satu tradisi warga sini untuk menyambut lebaran ketupat yang jatuh pada H plus 7 usai lebaran Idul Fitri. Untuk pembiayaanya, warga sengaja patungan untuk bisa membuat balon yang terbuat dari kertas. Kegiatan ini demi menjaga tradisi lokal yaitu balon udara ini,” terang Jatmiko (35) warga lain. (aan/kj)

 

Penulis: Aan
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Detik.com

Gambaran Keberanian Seorang Pangeran Pada Tari Remo

Tari Remo merupakan tarian tradisional Jawa Timur. Tarian ini menggambarkan keberanian seorang pangeran di medan perang. Pada kesenian Ludruk, tari Remo biasa ditampilkan sebagai pengantar pertunjukkan atau sebagai tarian penyambutan tamu besar.

Menurut sejarah, tari ini diciptakan para seniman jalanan yang ingin menggambarkan seorang pangeran yang pemberani. Dengan mengamen, tarian ini diperkanalkan oleh para seniman jalanan. Seiring berjalannya waktu, Tari Remo semakin dikenal dalam pertunjukkan Ludruk, dan sering terlihat pada acara penyambutan tamu penting.

Secara umum, tari ini dibawakan oleh kaum pria, karena ingin memperlihatkan sosok pangeran. Akan tetapi, sekarang ini tari Remo juga dibawakan oleh kaum wanita. Maka, muncul juga Tari Remo Putri.

Gerakan kaki yang dinamis, akan sering terlihat pada gerakan tari ini. Terdengar juga suara lonceng kecil yang berbunyi ketika para penari melakukan gerakan kaki itu, lantaran mereka mengenakan gelang lonceng pada kaki mereka. Selain itu, para penari juga melakukan gerakan selendang dan kepala.

Tak hanya itu, para penari juga harus bisa menyamakan iringan musik dengan gerakan kaki yang pas. Jika tidak, suara lonceng tidak akan pas dengan suara iringan musik tersebut. Tari ini diiringi dengan musik gamelan.

Berbicara soal kostum, para penari menggunakan lengan panjang dan ikat kepala warna merah. Celana yang digunakan sepanjang lutut, dan ada kain batik pesisiran yang di ikat pada pinggang. Tidak lupa ada atribut berupa keris yang diselipkan di belakang pinggang penari.

Hingga hari ini, Tari Remo masih dijaga keberadaanya. Nilai seni dan sejarah pada tari ini tetap terlestarikan oleh masyarakat Jawa Timur. Bahkan, pada acara festival, tari ini juga kerap ditampilkan.

 

Penulis: Ikhsan Digdo

Article courtesy: Merahputih.com

Photo courtesy: Antara.com

Industri Cor Kuningan Jombang Masih Terkendala Modal

Jombang, HarianForum.com – Setahun belakangan, pamor industri kerajinan cor kuningan mulai tampak bersinar. Produk andalan Kabupaten Jombang ini, sempat lesu di tingkat produksi dan penjualan. Kondisi tersebut seperti diungkapkan Salim (51), salah satu pemilik industri kerajinan cor kuningan yang tinggal di Dusun Sanan Selatan, Desa Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang.

Menurutnya, merosotnya pamor industri kerajinan turun-temurun ini terjadi, lantaran melonjaknya harga bahan baku. Selain itu, harga jual hasil kerajinan cor tersebut kurang bagus. Sehingga, beberapa pengrajin terpaksa gulung tikar. Mereka pun memilih beralih profesi.

“Kebanyakan para pemilik usaha kerajinan cor kuningan menghentikan produksi, karena tak mampu membeli bahan baku yang harganya terus naik. Padahal, hasil kerajinan cor kuningan ini, sudah merambah ke manca negara,” kata pemilik galeri cor kuningan bernama Shiwa ini.

Meski mulai ada geliat bangkit dari kelesuan, lanjut Salim, bukan berarti industri tersebut tak ada hambatan yang dihadapinya. “Kendala terbesar yang kita hadapi, tetap pada permodalan. Sebab, dengan perputaran modal yang kecil, tentu berakibat tidak cepatnya pemenuhan order. Saat ini, kita hanya bisa menunggu pemesan lebih dulu membayar, baru kita menyelesaikannya,” papar pria yang menekuni usaha ini sejak tahun 1993 silam.

Salim berharap, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang bisa memfasilitasi permodalan demi peningkatan usaha yang diproduksi pengrajin. “Ini demi industri andalan Jombang kembali bangkit dan moncer di pasar lokal dan dunia,” paparnya.

Dia juga mengungkapkan, selain melayani pasal lokal Indonesia, diantaranya Jakarta dan Bali, hasil produknya juga sudah mampu menembus pasar manca negara seperti Korea dan Belanda. “Pesanannya berupa macam-macam. Diantaranya patung orang, hewan, dan kerajinan lain sebagai pajangan ruangan. Mulai ukuran kecil seberat 1 kwintal, hingga yang besar seberat 2 kwintal lebih,” jelasnya.

Soal pasar, masih kata Salim, industri kerajinan cor kuningannya tidak stagnan. Dibantu seorang tenaga ahli dan 7 pekerja, dirinya selalu membuat inovasi dalam produknya, agar mampu meningkatkan minat pasar. “Tentu, soal kualitas tak perlu diragukan lagi. Karena, industri kerajinan ini juga menyangkut nama Jombang,” ungkap Salim yang juga mengaku omset dari usahanya ini mencapai Rp 250 juta per tahun. (snk)

 

Penulis:
Article courtesy: Harianforum.com
Photo courtesy: Kompasiana.com

Taman ASEAN Pertama, Jombang Catat Sejarah

Segenap unsur masyarakat dan pemerintah Kabupaten Jombang yang hadir pada upacara peresmian Taman ASEAN di Jombang, Jawa Timur menjadi saksi sejarah. “Jombang didapuk sebagai daerah pertama di Indonesia yang memiliki Taman ASEAN”, ungkap Isman Pasha, Kasubdit Kerja Sama Pembangunan Sosial, Direktorat Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN, Kementerian Luar Negeri di sambutannya pada acara peresmian Taman ASEAN dan pengibaran bendera ASEAN di Jombang, Jawa Timur (2/6).
“Kita tahu tokoh bangsa dan pendiri Nahdlatul Ulama juga lahir dan ada di Jombang. Untuk itu, tepat kiranya jika kami memperkenalkan kekuatan toleransi yang digagas para tokoh dari Jombang itu kepada para pemuda ASEAN,” jelas Bupati Jombang, Drs. Nyono Suharli Wihandoko yang hadir dan menandatangani prasasti peresmian Taman ASEAN tersebut.
“Jombang punya sejarah panjang yang menjunjung tinggi dan menghormati keberagaman. Jombang menjadi laboratorium sekaligus contoh yang layak untuk diperlihatkan kepada masyarakat internasional sebagai pengejewantahan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,” sambung Isman.
Peresmian Taman ASEAN tersebut diharapkan tidak berhenti hanya pada tataran seremoni. Kerja sama lebih nyata dari kerja sama dalam ruang lingkup ASEAN kiranya dapat lebih diarusutamakan oleh daerah-daerah di Indonesia, termasuk Jombang.
Dengan potensi jumlah tenaga kerja industri lebih dari 63 ribu jiwa, Jombang diharapkan mampu bersuara lebih di kancah ASEAN yang kini sudah tidak lagi bersekat. Calon bidan dan perawat yang digembleng di 6 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan setempat kiranya dapat menjadi salah satu kunci masuk Jombang menuju pasar ASEAN. Untuk itu, dibutuhkan pembekalan lebih, seperti kemampuan Bahasa Asing guna meningkatkan daya saing tenaga kerja setempat
Acara pengibaran bendera dan peresmian Taman ASEAN tersebut dihadiri oleh, diantaranya, jajaran pemerintah daerah, perwakilan DPRD Jombang, pihak kepolisian, TNI, pemuka agama, forum kerukunan umat beragama dan mahasiswa Jombang juga dari lintas agama. Kegiatan ini merupakan rangkaian pembuka menuju (road to) ASEAN Youth Interfaith Camp 2017 (AYIC 2017) atau Kemah Lintas Kepercayaan Pemuda ASEAN yang akan diselenggarakan bulan Oktober 2017 di Jombang, Jawa Timur.
Dengan mengambil tema “Tolerance in Diversity for a World Harmony”, AYIC 2017 akan mengundang perwakilan pemuda dari negara anggota ASEAN dan mitra. Inisiatif ini merupakan kerja sama Kementerian Luar Negeri dengan Pemerintah Kabupaten Jombang dan Pusat Studi ASEAN Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (PSA UNIPDU) Jombang Jawa Timur. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50 ASEAN yang jatuh pada tanggal 8 Agustus 2017
 
(Sumber: Direktorat Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN).
Penulis: –
Article courtesy: Kumparan.com
Photo courtesy: Adakita.com

Ludruk, Kesenian Tradisional yang Dicintai Bupati Malang Rendra Kresna

MALANGTIMES – “Seni tidak abadi. Ia bisa hancur kapan saja. Tapi ia akan tetap ada karena kita menjaganya. Dan kita menjaganya karena ia memang pantas untuk dijaga”. Begitulah ungkapan seorang Bupati Malang Dr Rendra Kresna atas kecintaannya terhadap kesenian tradisional yang terus hidup di Kabupaten Malang.

Kecintaannya berbasis sejarah atas jejak-jejak kesenian tradisional, baik di zaman para wali, masa perjuangan kemerdekaan, sampai pada masa kini. Ludruk adalah salah satu kesenian tradisional yang dia jaga keberadaannya di dalam himpitan budaya luar yang begitu masif membombardir kecintaan generasi muda dalam berkesenian.

“Saat panggung-panggung kesenian tradisional seperti ludruk ditinggalkan penontonnya dan pemerintah hanya berpangku tangan, maka jangan salahkan negara lain yang akan mengambil dan memiliki khazanah kekayaan Nusantara ini,” kata Rendra Kresna yang mencontohkan berbagai bentuk kesenian dan budaya Indonesia sudah diklaim milik beberapa negara lain, Senin (06/06) kepada MALANGTIMES.

Bagi Rendra yang tidak antipati terhadap bentuk kebudayaan dan kesenian luar (barat), kondisi ini sangatlah memprihatinkan. Saat generasi muda sudah tidak mengenal ludruk, misalnya, maka lambat laun kesenian yang memiliki sejarah panjang dan khas Jawa Timuran ini akan hilang. “Saya memahami setiap generasi tumbuh dengan selera yang berbeda-beda. Tapi seni tradisional ini saya yakin akan selalu berada dalam jiwa seluruh generasi yang berbeda selera itu,” ujarnya.

Untuk merestorasi kecintaan terhadap kesenian tradisional seperti ludruk inilah, Pemerintah Kabupaten Malang melalui Rendra Kresna hadir. Berbagai acara pemerintahan diisi hiburannya dengan kesenian ludruk untuk masyarakat. Berbagai komunitas ludruk diajak kembali dan dirangkul untuk menghidupi kembali habitatnya.

Hasilnya, beberapa komunitas ludruk kembali tampil dan hidup kembali. Misalnya Ludruk Semarak yang dipimpin oleh komedian tradisional Muhamad Topan. Ada juga Ludruk Karangpandan, Ludruk Madep Mantep Bangelan, Ludruk Adi Laras dan lainnya.

Kecintaan Rendra terhadap ludruk bukan sekadar karena dalam kesenian tradisional tersebut ditemukan nilai-nilai kemanusian semata, tetapi juga dalam upaya merawat sejarah dari ludruk tersebut. Dari penuturannya, sejarah ludruk di Malang terlahir dari embrio perlawanan di masa perjuangan. Ini bertalian erat dengan masa penjajahan Jepang, ketika ludruk dijadikan medium kritik. “Saat itu muncul parikan terkenal Cak Durasim, yaitu ‘Bekupon omahe doro, melok Nippon soyo sengsoro,’” ujarnya.

Ludruk sebagai medium kritik dan perlawanan terlihat sampai kini dari tokoh lakon, cerita dan perlengkapan yang dimainkan selalu mengacu pada kehidupan sehari-hari era perjuangan. Walaupun di sana-sini sudah mulai adanya modifikasi dalam upaya menyesuaikannya dengan kondisi jaman.

Rendra melanjutkan, sekitar tahun 1930 di Malang berdiri Ludruk Ojo Dumeh didirikan oleh Abdul Madjid. Pada tahun-tahun selanjutnya bermunculan berbagai kelompok ludruk. Antara lain Ludruk Djoko Muljo pimpinan Nadjiran di Embong Brantas (1936), Margo Utomo pimpinan Asnan atau Parto Gembos (sekitar 1936-1940), Sido Dadi Slamet pimpinan Temas tahun 1940-an, kemudian ludruk gerakan gerilya misalnya Ludruk SAGRI (Sandiwara Angkatan Gerilya Republik Indonesia, 1947-1948) pimpinan Said Djajadi.

“Itu di masa perjuangan kemerdekaan. Saat memasuki tahun 1950-an, lahir ludruk Bladjaran atau ludruk-ludruk baru,” ungkap Rendra. Dia menyebutkan pada tahun itu ada perkumpulan Ludruk Bond Malang Selatan pimpinan Kaprawi tahun 1952.

Tahun 1950-1960 berdiri beberapa kelompok ludruk yang berada di bawah organisasi massa dan organisasi sosial politik. Antara lain Ludruk Juli Warna pimpinan Markasan, Ludruk Taruna pimpinan dr. Safril dan Gatot, Ludruk Bintang Massa (LKN) pimpinan Samsuri, dan Ludruk Melati (Lekra) pimpinan Darmo tahun 1960.

Ludruk sebagai medium ekspresi juga pernah mengalami pasang surut dengan imbas politik pada masa itu. “Tahun 1965 dengan adanya peristiwa G 30 S PKI, beberapa ludruk yang berafiliasi kepada Lekra porak- poranda,” terang Rendra yang melanjutkan pasca-tahun tersebut ada kebijakan penggabungan ludruk di Malang. Tahun 1970-an kelompok ludruk berada di bawah binaan ABRI sampai kini. Di antaranya Ludruk Putra Bhakti menjadi Ludruk Anoraga yang dibina oleh Yonif 513 Brigif 2 Dam VIII Brawijaya. Ludruk Anoraga kembali dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II Inmindam VIII Brawijaya; Ludruk Sinar Budaya dibina oleh Brimob Kompi A Yon 412, Ludruk Karya Sakti dibina oleh Kodim 0818 Malang dan Ludruk Perkasa Alam dibina AURI Malang.

“Lepas dari berbagai peristiwa politik, ludruk tetap adalah khazanah kesenian kita yang patut dilestarikan dan dihidupkan kembali,” ucap Rendra yang juga mencontohkan kelompok Ludruk Armada yang berada di Desa Rembun, Kecamatan Dampit yang pernah menjadi ludruk percontohan di Kabupaten Malang.

 

Penulis: Nana

Article courtesy: Malangtimes.com

Photo courtesy: Malangtimes.com