• info@njombangan.com

Monthly ArchiveNovember 2017

Mengintip Aktivitas Quran Village di Jombang

Jombang – Banyak cara dilakukan pondok pesantren untuk mengenalkan ajaran Islam ke masyarakat dunia. Salah satunya Ponpes Hamalatul Quran yang membuat Quran Village. Di tempat ini, para santri mengkaji kitab suci umat Islam itu menggunakan Bahasa Inggris.

Quran Village ini terletak di Desa Bandung, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Fasilitas yang satu ini menjadi bagian dari Ponpes Hamalatul Quran yang mencetak santri hafal Alquran. Pesantren yang sebagian areanya berdiri di Desa/Kecamatan Jogoroto ini, kini mempunyai sekitar 800 santri dari berbagai daerah di tanah air.

Namun, hanya santri yang telah hafal 30 juz Alquran yang bisa melajutkan pendidikan di Quran Village. Di tempat ini, para santri ditempa kemampuan untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, menerjemahkan isi kitab suci dalam Bahasa Inggris, berdiskusi kandungan Alquran dengan Bahasa Inggris hingga belajar berpidato dalam Bahasa Inggris.

Salah seorang santri Muhammad Hikam mengaku tertarik mengikuti pendidikan di Quran Village untuk mengikuti era globalisasi. “Kita tahu Bahasa Inggris menjadi bahasa internasional sehingga untuk berkomunikasi dengan bangsa lain kita harus menggunakan Bahasa Inggris. Sementara Alquran sendiri menjadi pegangan hidup kita,” kata Hikam di lokasi, Rabu (22/11/2017).

Sementara Pengasuh Ponpes Hamalatul Quran KH Ainul Yaqin mengatakan, pendirian Quran Village didorong kondisi SDM pesantren yang masih kalah bersaing dengan bangsa lain. Itu terjadi salah satunya akibat keterbatasan penguasaan Bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional saat ini.

Saat ini, lanjut Ainul, terdapat 40 santri penghafal Alquran yang menjalani pendidikan khusus di Quran Village. “Mentornya kami datangkan langsung dari Pare-Kediri (Kampung Inggris), kami ada kerjasama,” terangnya.

Ainul berharap, para santri lulusan Quran Village bisa menjadi penyebar ajaran Islam ke negara lain. “Agar ke depan para santri kami bisa mengajarkan Islam ke bangsa barat, agar Islam tak selalu dinilai ajaran keras,” tandasnya.
(fat/fat)

 

Penulis: –
Article courtesy: detik.com
Photo courtesy: detik.com

Perpusda Jombang Raih Penghargaan Perpustakaan Terbaik Nasional

JOMBANG, FaktualNews.co – Perpustakaan Umum Daerah (Perpusda) dibawah naungan Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Jombang, Jawa Timur, baru baru ini mendapatkan Penghargaan sebagai salah satu Perpustakaan Terbaik secara Nasional.

Penghargaan tersebut diberikan oleh Coca Cola Foundation Indonesia (CFI) dalam ajang Perpuseru Award 2017. Berdasarkan penilaian CFI, Perpusda Jombang berhasil meraih penghargaan karena berhasil membina dan menularkan Program PerpuSeru kepada Perpustakaan binaannya.

Pembinaan dan penularan Program PerpuSeru tersebut akhirnya berdampak positif kepada masyarakat. Banyak masyarakat yang mendapatkan manfaat nyata dari layanan perpustakaan yang membantu meningkatkan kualitas hidup mereka.

Agus Purnomo, Plt Kepala Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Jombang Pada, pada Jumat (17/11/17) lalu mengungkapkan, Perwakilan dari CFI menyerahkan Penghargaan tersebut kepada Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko.

Dalam penghargaan tersebut Coca cola foundation Indonesia menyampaikan terima kasih atas komitmen dan kerjasama dari kantor perpustakaan dan kearsipan Kabupaten Jombang dalam mengembangkan perpustakaan menjadi pusat belajar masyarakat berbasis teknologi informasi melalui program perpuseru.

Terpilihnya Perpusda Jombang menjadi yang terbaik secara nasional oleh CFI bukan tanpa sebab. Hal ini karena setelah bergabung dengan Program PerpuSeru sejak tahun 2016, Perpusda Jombang melalui kegiatan yang dilakukan mampu membuat prestasi secara nasional diantaranya,
Penghargaan Advokasi Perpustakaan dalam pengembangan program perpuseru melalui sinergitas semua stakeholders.

Pemenang lomba kreasi inovasi desain layanan perpustakaan berbasis TIK, Pemenang lomba Impact Vidio Pepuseru, Pemenang lomba Impact cerita (Tulisan) Perpuseru.

Dalam perkembangan dan perjalanan pada tahun kedua yakni tahun 2017 Perpusda Jombang mampu melakukan replikasi kepada 3 Desa sebagai percontohan dalam mengembangkan Perpustakaan didesa melalui Program Perpuseru Desa. Diantaranya adalah Desa Tondowulan Kecamatan Plandaan dengan Perpusdes Tondomaos, Desa Karanglo Kecamatan Mojowarno Dengan Perpusdes Karanglo dan Desa Podoroto Kecamatan Kesamben dengan Perpusdes Podoroto.

Pada tahun 2017 ini Perpusda Jombang juga meraih sejumlah penghargaan di ajang Perpuseru Award 2017 Pada Event Regional Peer Learning Meeting yang dihadiri dari 9 Provinsi diantaranya delegasi Jawa Timur, NTB, NTT, Bali, Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat dan Papua .

Penghargaan yang di peroleh Perpusda Jombang diantaranya, Perpustakaan Terbaik, Pemenang lomba Cerita Impact, Pemenang Lapak Terbaik dan Best Custume.

Tak hanya itu Perpusdes percontohan binaan Perpusda Jombang diantaranya adalah Desa Tondowulan dengan Perpusdes Tondomaos, Desa Karanglo Dengan Perpusdes Karanglo dan Desa Podoroto dengan Perpusdes Podoroto juga mendapat penghargaan sebagai Perpustakaan terbaik.

Agus Purnomo, Plt Kepala Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Jombang mengungkapkan ada satu kegiatan unggulan di Perpusda Jombang yakni memberikan fasilitasi dan memberikan pendampingan bagi pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk mengembangkan usaha. Caranya yakni dengan memberikan pelatihan pelatihan, menghubungkan dengan pihak pihak terkait semisal Dinas Perindustrian, Dinas UKM Dan Koperasi, Universitas Dan Perbankan.

“Selain itu yang menjadi kekuatan dari Perpusda Jombang adalah kita selalu melakukan monitoring sekaligus pendampingan dalam mendukung pengembangan UKM di Jombang setelah berkegiatan di perpustakaan,” ungkapnya.

Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko berpandangan, inilah bentuk transformasi perpustakaan yang sangat bermanfaat dan sekaligus menghilangkan pandangan umum mengenai perpustakaan yang selama ini hanya sebagai tempat membaca dan meminjam buku.

Selain itu, kata Bupati Nyono menandaskan perpustakaan kini sudah berubah menjadi pusat belajar dan berkegiatan masyarakat berbasis teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui sinergitas seluruh stakeholders dan fasilitasi seluruh kegiatan masyarakat khususnya fokus ekonomi dalam mengembangkan UKM/IKM di Jombang menjadi berdaya saing untuk mencapai Jombang Sejahtera Untuk Semua.

“Pemerintah Kabupaten Jombang akan mendukung seluruh kegiatan yang ada di Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kabupaten Jombang khususnya fasilitasi kegiatan Perpuseru agar kedepan bisa lebih baik lagi, sehingga manfaat (Impact) yang dirasakan masyarakat bisa lebih banyak dan meluas menuju Jombang Sejahtera Untuk Semua,” tandas Bupati Jombang.

 

Penulis: Muhammad Syafi’i
Article courtesy: Faktualnews.co
Photo courtesy: Jombangkab.go.id

Besutan Cikal Bakal Ludruk

Wajah pria itu dilaburi bedak putih. Bedak itu cukup dominan hingga menutup seluruh muka tanpa meninggalkan warna asli kulit. Kupluk berbentuk bulat setengah lingkaran bola menutup bagian atas rambut. Kupluk merah itu tidak hanya polosan tanpa aksesori. Hiasan tali kuncir menyembul dari pucuk kupluk. Kunciran itu terurai bebas tetapi panjangnya tidak sampai melewati tepian bawah kupluk.

Semakin mempertegas nuansa merah putih. Tidak hanya riasan wajah putih dan kupluk merah di kepala, nuansa merah-putih juga sangat kuat dari kostum yang dipakai pria itu. Lilitan kain putih itu melilit tubuhnya. Tidak menutup tubuh sepenuhnya. Seperti kemben yang menyisakan bagian atas tubuh sekitar pangkal tangan dan sebagian bagian dada terbuka.

Kain itu juga tidak serta-merta menjadi satu-satunya kain penutup tubuh. Masih terlihat celana hitam komprang yang menyembul dari penghabisan kain putih. Celana itu meneruskan tugas kain putih untuk menutup tubuh. Hitam kompang membelit kaki masing-masing di bagian bawah. Masih ada tali lawe yang diikat melilit di perut.

Itulah karakter besut yang muncul dalam pertunjukan kesenian rakyat yakni besutan. Tidak banyak yang tahu tentang kesenian besutan asal Jombang, Jawa Timur. Jika ditanya tentang adu kepopuleran ludruk dan besutan, jawabannya dapat dipastikan ludruk lebih banyak mengakrabi telinga bila dibandingkan dengan besutan.

Besutan merupakan salah satu kesenian asli Jombang yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Besutan berasal dari nama tokoh utama kesenian ini, yakni Besut, yang dalam bahasa Jawa memiliki arti mbeto maksud atau membawa pesan dalam bahasa Indonesia. Kata pesan merujuk pada isi pertunjukan yang tersirat dalam dalam kidungan, busana, dialog, parikan maupun alur cerita.

Pada setiap pementasan besutan, ada adegan semacam ritual pembuka pentas. Adegan itu juga sebagai lambang perjuangan rakyat Indonesia. Karakter besut berjalan memasuki panggung dengan mata terpejam yang memiliki arti bangsa Indonesia tak boleh terlalu banyak tahu. Mulutnya tersumbat susur atau daun sirih yang melambangkan bahwa rakyat Indonesia dilarang untuk berpendapat.

Ia berjalan dengan merayap mengikuti ke mana obor yang dibawa pemain lain bergerak. Hingga pada satu kesempatan, besut akan melompat dan menyemburkan susur di dalam mulutnya menuju obor hingga obor padam. Setelah obor padam, besut langsung membuka matanya dan mulutnya terbebas dari susur. Ia pun langsung menari dengan sangat bersemangat. Setelah besut selesai menari, ia akan melantunkan kidungan. Setelah itu, baru pementasan besut masuk ke lakon yang diangkat.

Tokoh besut menggunakan kostum yang sangat sederhana, yaitu kain putih yang dililitkan di tubuhnya yang melambangkan kebersihan jiwa dan raga, dan sebuah tali lawe yang melilit perutnya yang melambangkan kesatuan, dan tutup kepala berwarna merah yang melambangkan keberanian.

“Jadi bebet e bebet putih, kupluk e kupluk abang. Jadi merah-putih. Bawa obor, mulutnya susuran, pakai susur. Artinya pada waktu itu mulutnya terbungkam oleh penjajah, tidak boleh bersuara politik,” terang seniman Jawa Timur Cak Bathin.

Selain karakter besut, kesenian besutan punya karakter lain yakni Rusmini, Man Gondo, dan Sumo Gambar. Rusmini mengenakan busana khas yakni kain jarik, kebaya, dan kerudung lepas. Man Gondo menggunakan busana khas Jawa Timuran. Sumo Gambar menggunakan kostum khas masyarakat Madura. “Empat orang itu pakem. Temanya berkembang, tapi ada ciri khasnya. Dialognya dibuat parikan,” ujar seniman pengagas Komunitas Ludruk Jakarta itu.

Bermula dari gatal ulat bulu

Tak berlebihan jika dikata besutan lahir dari pola masyarakat agraris. Kondisi Jawa Timur dahulu ditopang dengan kegiatan pertanian, hampir seluruh wilayah pelosok Jawa Timur penduduknya berpenghasilan dengan bercocok tanam atau bertani. Daerah Jombang rata-rata masyarakat yang ada di pelosok desa berpenghasilan dari bertani, hasil dari bertani terkadang kurang untuk mencukupi hidup sehari-hari.

Sekitar 1907, ada seorang penduduk yang setiap harinya bekerja sebagai petani dari Diwek Jombang yang bernama Pak Santik. Ia adalah seorang buruh tani yang tentunya banyak menghabiskan waktu di sawah untuk bekerja. Suatu ketika, ia terkena ulat bulu. Terang saja kegatalan melanda tubuhnya. Pada zaman itu, masyarakat sekitar mempunyai obat tradisional untuk gatal akibat ulat bulu, yakni dengan tumbukan beras. Tepung beras itu lalu dibedakkan ke bagian tubuh yang gatal.

“Ludruk itu aslinya dari Jombang. Ada namanya Pak Santik. Dia itu buruh tani. Kemudian dia ke sawah dirubung sama ulat bulu. Terus gatelen. Zaman dulu supaya sembuh itu pakai bedak beras ditumbuk untuk menyembuhkan gatelnya itu,” terang Cak Bathin.

“Ia lewat. Orang dari pasar ketawa. Anaknya ketawa. Dia percaya diri bahwa dia lucu. Akhirnya dia pakai bedak itu untuk ngamen ke pasar. Itu 1905 sampai 1907, dia ngamen ke pasar. Ketemu sama panjak gendang namanya Pak Pono. Terus ngamen berdua sampai 1915,” tambahnya. Dari ngamen itulah lambat laun seiring dengan perkembangan muncul bentuk besutan, lerok, hingga ludruk yang banyak dikenal kini. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
Article courtesy: Mediaindonesia.com
Photo courtesy: Umm.ac.id

Ini Cara Pengrajin Wayang di Jombang Bertahan di Tengah Modernisasi

Jombang – Seiring kemajuan zaman, kesenian wayang kulit semakin ditinggalkan masyarakat. Pertunjukan kesenian ini hanya muncul di waktu-waktu tertentu, bulan Sura misalnya.

Di tengah terpuruknya kesenian wayang kulit, ternyata masih ada tangan-tangan terampil yang konsisten melestarikan warisan nenek moyang masyarakat Jawa ini. Dia adalah Suparto.

Di usianya yang menginjak angka 72 tahun, dia masih terlihat piawai membuat aneka tokoh pewayangan. Berbeda dengan wayang kulit pada umumnya, wayang buatan Suparto menggunakan bahan karpet talang.

“Awalnya saya perbaiki rumah saya, ada bekas karpet talang daripada dibuang saya bikin wayang,” kata Suparto menjawab pertanyaan wartawan terkait inspirasi yang mendorongnya membuat wayang berbahan karpet talang, Senin (6/11/2017).

Sebelum menjadi pengrajin wayang karpet, Suparto sempat menjadi tukang tambal ban. Namun, kondisi fisiknya yang kian renta, membuatnya beralih profesi. Kini rumahnya di Desa Sukodadi, Kabuh, Jombang disulap jadi bengkel kerja.

Berbekal ketrampilan dan kegemarannya membuat wayang kulit sejak duduk di bangku SD (dulu sekolah rakyat/SR), dia mencoba berinovasi. Menurut dia, karpet talang lebih awet jika dibandingkan kulit sapi atau kerbau.

Pasalnya, wayang yang dia buat untuk hiasan rumah, sehingga membutuhkan keawetan. “Bahan karpet talang tidak mudah rusak. Kalau bahan kulit untuk pajangan, lama kelamaan akan rusak karena keropos,” ujarnya.

Di tangan Suparto, karpet talang yang biasa untuk menahan air di atap rumah, disulap menjadi wayang bernilai tinggi. Tak jarang dia memanfaatkan karpet bekas untuk membuat karyanya.

 

Kendati begitu, wayang buatan Suparto tak kalah indah jika dibandingkan dengan wayang kulit pada umumnya. Dia pun mahir membuat aneka tokoh pewayangan.

Mulai dari tokoh Pandawa Lima yang terdiri dari Yudhistira atau Puntadewa, Bima atau Brotoseno, Arjuna atau Permadi, Nakula dan Sadewa, hingga tokoh Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong dan Togog.

“Harganya kalau tokoh Pandawa Lima Rp 300-500 ribu, kalau bentuk Buto sampai Rp 600 ribu karena ukurannya lebih besar,” terangnya.

Suparto berharap, ada generasi milenial yang tertarik untuk belajar membuat wayang kulit. Di lain sisi, dirinya juga berharap pemerintah peduli untuk melestarikan kesenian wayang agar tak semakin terkikis.

“Harus ada generasi penerus yang mau menekuni kerajinan dan kesenian ini,” tandasnya.
(fat/fat)

 

Penulis: –
Article courtesy: detik.com
Photo courtesy: detik.com