• info@njombangan.com

Monthly ArchiveJuly 2017

Kisah Nenek Penjual Tahu, Nabung Hingga Puluhan Tahun Untuk Berhaji

KABARJOMBANG.COM – Demi berangkat haji ke tanah suci, Chumaijah, perempuan berusia 95 tahun ini, rela menyimpan hasil jualan tahunya hingga puluhan tahun. Bahkan menurutnya, uang tabungannya itu, sudah dikumpulkan semenjak dirinya berjualan tahu pada tahun 1965. Sehingga kini, ia dijadwalkan bisa berangkat pada tahun ini.

Saat ditemui di kediamannya, di Dusun Bapang, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto Kabupaten Jombang, ia bercerita tentang keinginannya untuk bisa berangkat haji. Menurutnya, tabungan dari hasil penjualan tahu, ia simpan sedikit demi sedikit untuk membayar pendaftaran haji selama 50 tahun. Dan saat ini, dirinya direncanakan berangkat haji tahun ini pada Kloter 77.

“Sejak tahun 1965, saya sudah mengumpulkan uang untuk pergi ke tanah suci. Saat itu, saya bersama suami saya masih berjualan tahu bersama-sama,” cerita nenek yang menjadi jamaah haji tertua di Kabupaten Jombang ini.

Namun saat ini, ia harus berangkat haji sendirian. Sebab, suaminya sudah terlebih dahulu meninggal dunia. Dirinya mulai mendaftarkan menjadi Calon Jamaah Haji tahun 2012. Ia berencana akan berangkat bersama anak ketiganya, yang saat ini mengurusi kesiapannya untuk berangkat haji Agustus mendatang.

Dalam kesehariannya, ia hanya berteman dengan hewan peliharaannya. Sebab, ia tak mau merepotkan anaknya yang kini meneruskan usahanya menjadi pembuat dan penjual tahu. “Saya akan berangkat haji dengan anak saya nomor 3. Sebab ia yang meneruskan usaha saya menjadi pedagang dan pembuat tahu. Semua biaya sudah kita lunasi pada tahap pelunasan yang terakhir,” katanya.

Demi menjaga kesehatannya, nenek yang lahir pada 6 Juli 1922 ini, hampir setiap hari mengkonsumsi jamu tradisional buatannya sendiri. Bahkan tak jarang, saat pagi menyapa, ia menyempatkan dirinya untuk berjalan memutar kampung untuk terus menjaga kesehatannya jelang keberangkatan haji.

“Hampir setiap hari nenek saya beraktivitas. Bahkan, dia juga aktif di kebun, hingga jalan-jalan keliling kampung,” terang Khusnul Khuluk (19), salah satu cucu Chumaijah.

Bahkan, hingga saat ini, nenek yang mempunyai 5 anak dengan 15 cucu dan 5 cicit ini masih tampak sehat. Ia pun hanya berdoa agar dirinya bisa melaksakan ibadah haji tahun ini. “Saat ini saya hanya berdoa agar bisa berangkat haji dengan selamat. Sebab ini merupakan cita-cita saya bersama suami dahulu,” jelasnya.

Sekedar diketahui, pada tahun 2017 jumlah Calon Jamaah Haji (CJH) di Kabupaten Jombang, yang akan berangkat haji pada 23 Agustus mendatang, mencapai 1.283 orang. Jika dirinci, pada kelompok terbang (kloter) 75 ada 445 CJH. Di Kelompok terbang 76 ada 445 CJH. Dan pada kloter 77 sebanyak 395 CJH. (aan/kj)

 

Penulis: Aan
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Jawapos.com

Warga Saling Cambuk dengan Rotan, Menyambut Musim Panen Padi

KABARJOMBANG.COM – Hanya untuk mempertahankan kesenian asli Kabupaten Jombang, puluhan warga adu kekuatan dengan saling menyambuk dengan menggunakan kayu rotan dengan berukuran 1 meter.

Kesenian itu, sering disebut warga dengan Seni Ujung. Dimana, kesenian yang ditampilkan pada perayaan besar warga di desa lereng Gunung Anjasmoro yang berada di Kecamatan Wonosalam dan Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang.

Dalam penampilannya, warga dibebaskan untuk maju menjadi aktor dalam pertarungan adu cambuk. Meski begitu, sejumlah aturan diterapkan demi menjaga sportifitas kesenian yang diketahui sudah ada sejak jama Kerajaan Majapahit ini.

“Warga yang ingin beradu cambuk dipersilahkan untuk memilih lawan tandingnya. Mereka diberikan kesempatan 3 kali menyambuk dan dicambuk,” kata Samiaji (40) salah satu penggagas kesenian asal Desa/Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang, Kamis (27/7/2017).

Setelah itu, juri akan menilai berapa luka yang diderita masing-masing peserta. Nah, untuk peserta yang memiliki jumlah luka sedikit daripada lawanya, maka peserta tersebut berhak mendapatkan sejumlah uang yang sudah disiapkan panitia penyelengara Seni Ujung.

“Untuk hadiahnya variatif, semua tergantung dari kesepakatan panitia. Ada yang dihadiahi dengan uang sebesar Rp 65 ribu hingga Rp 70 ribu dalam satu kali penampilan,” jelasnya.

Penonton tak hanya disuguhi dengan penampilan saling cambuk. Sebab, dalam kesenian yang sudah turun temurun itu juga disuguhkan musik gamelan yang dimainkan untuk mengiringi para peserta saat bertarung dalam panggung.

Musik itu, dimaksudkan untuk memberikan semangat kepada peserta saat bertarung. Sehingga, mereka juga diwajibkan menari jika cambukannya mengenai lawan.

“Sedikit tarian, memang diwajibkan kepada peserta. Ini merupakan simbol, bahwa kesenian ini murni untuk adu kekuatan. Sehingga meski saling melukai tidak akan muncul dendam kepada sesama peserta,” beber pria yang akrab disapa Mijek ini.

Seni Ujung, sering digunakan warga sekitar Kecamatan Wonosalam dan Kecamatan Bareng untuk memperingati perayaan-perayaan besar bagi mereka. Seperti ritual meminta hujan, menyambut panen padi, hingga keperluan hajatan warga.

Namun sayang, hingga saat ini kesenian yang sudah lazim dilakukan warga di sekitar Gunung Anjasmoro ini belum dilirik Pemerintah Kabupaten (Prmkab) Jombang sebagai seni yang patut untuk dilestarikan secara profesional. Pasalnya, hingga tahun demi tahun berganti belum ada kegiatan untuk bisa mempopulerkan seni ujung pada masyarakat luas.

“Memang saat ini belum ada respon dari pemerintah daerah untuk melestarikan kesenian ini sebagai ikon Kota Santri. Namun, kita tetap akan melestarikan dengan cara-cara seperti ini. Termasuk kita akan memantenkan, kesenian ini sebagai kesenian asli Kabupaten Jombang,” pungkasnya. (aan/kj)

 

Penulis: Aan
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Youtube.com

Ludruk, Kesenian Tradisional Yang Mati Suri

Sifatnya yang membumi membuat ludruk disukai banyak orang. Sayang, kesenian tradisional yang sempat populer pada 1960-an hingga 1980-an itu kini telah mati suri.

Saking populernya ludruk pada era tersebut membuat sejumlah orang tertarik melakukan penelitian mengenai ludruk. Salah satunya ialah antropolog James Peacock yang melakukan riset pada 1963 hingga 1964.

Berdasarkan hasil risetnya, ludruk telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Saat itu, masyarakat mengenal yang namanya ludruk lyrok dan ludruk bondan. Pada abad ke-20, muncul pula ludruk Besut yang menampilkan pemain dagelan bernama Besut serta seorang waria yang menari. Di tahun 1920, dua pemain ludruk bisa memainkan tiga peran dalam sebuah cerita. Kemudian ada pula ludruk Besep yang melibatkan empat pemain.

Kelahiran ludruk di Jawa Timur dianggap sebagai perlawanan terhadap seni pertunjukan ala keraton seperti wayang dan ketoprak lahir serta berkembang di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika seni pertunjukan ala keraton bertema elite dan menggunakan bahasa halus, ludruk justru mengangkat kisah sehari-hari dan menggunakan bahasa yang lebih kasar. Hal ini seirama dengan karakter Surabaya yang merupakan ibu kota Jawa Timur. Surabaya merupakan pusat perdagangan, industri dan politik yang masyarakatnya kurang menekankan pada titel dan adat istiadat.

Derasnya perputaran arus ekonomi dan politik di Surabaya berdampak pula pada pola kebudayaan di Surabaya yang cenderung terbuka, heterogen, egaliter, bahkan tak jarang “kasar”. Ludruk dianalogikan sebagai sebuah “ritus modernisasi” yang membantu gerak peralihan dari hal-hal berbau tradisional ke modern.

Ludruk biasanya dipentaskan mulai pukul 10 malam hingga pagi sehingga para pemain dituntut memiliki stamina tinggi. Tak heran bila ludruk biasanya hanya dipentaskan kaum pria atau waria. Pementasan ludruk biasanya dimulai dengan atraksi tari Remo, lalu Bedayan yang merupakan joget ringan. Setelah itu dilanjutkan dengan dagelan yang menyuguhkan sebuah kidung. Kemudian barulah masuk ke lakon yang merupakan inti pementasan.

Popularitas menurun

Seni pertunjukan Jawa Timur ini mencapai popularitasnya pada 1963-1964, terlihat dari banyak grup ludruk yang mencapai 594. Sayang, sejak 1980-an popularitasnya terus menurun. Bahkan, Kartolo, seniman ludruk terkenal pun mulai meninggalkan dunia ludruk pada 1985. Hingga kini, belum ada seniman lain yang mampu menyamai kemampuannya.

Saat ini ludruk juga telah mati suri akibat ditinggalkan para penggemarnya. Seniman-seniman ludruk di Surabaya pun satu persatu meninggalkan dunia ludruk. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya, Widodo Suryantoro, mengatakan seniman ludruk yang masih eksis kebanyakan berasal dari luar Surabaya.

“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil. Tapi sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” ungkap Widodo.

Padahal Pemerintah Kota Surabaya telah menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung pelestarian ludruk, termasuk di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR). Namun, pertunjukan ludruk di THR selalu sepi penonton. Untuk membangkitkan kembali popularitas ludruk, masyarakat pun kini dimintai pendapatnya.

Anda punya saran untuk membangunkan ludruk dari mati suri? (*)

 

Penulis: Lince Eppang

Article courtesy: Antaranews.com

Photo courtesy: Detik.com

Seperti Ini Kolaborasi Tari Yosakaoi Jepang dengan Tari Remo Surabaya

SURYA.co.id | SURABAYA – Ratusan anak usia pelajar dan warga Surabaya memadati Taman Surya depan Balai Kota Surabaya, Minggu (9/7/2017) Mereka menyaksikan Festival Tari Remo dan Yosakoi.

Tarian khas Kota Surabaya dan tarian kebanggaan Kota Kochi Jepang bertemu dalam satu festival budaya.

Ini adalah bagian dari pekan Surabaya Cross Culture Festival International Folk Art 2017.

Pertukaran budaya ini berlangsung hingga 20 Juli 2017.

“Tidak hanya Jepang, Amerika, Tiongkok dan banyak negara yang menjalin sister city dengan Surabaya. Mereka menggelar pertukaran budaya,” kata Humas Pemkot Surabaya, Fikser.

Pukul tadi festival pagelaran budaya dua kota dari dua negara ini dibuka.

Wali Kota Kochi Okazaki Seiya hadir langsung bersama ketua DPRD kota ini.

Begitu juga Konjen Jepang di Surabaya juga hadir dalam pembukaan Festival Tari Remo dan Yosakoi.

Dari Surabaya hadir Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan seluruh pimpinan DPRD Surabaya.

Begitu dibuka, dua kota ini menampilkan tari khas mereka.

Sekitar seratus anak tampil menari remo dengan iringan dominan gong.

Sementara kelompok remaja Kochi membawakan tari khas Jepang, Yosakoi.

Tari khas ini dengan ciri khas kedua tangan membawa naruko (alat bunyi dari kayu).

“Saya bangga tari Yosakoi disaksikan ratusan orang di Surabaya,” kata Okazaki saat memberi sambutan.

 

Penulis: –

Article courtesy: Tribunnews.com

Photo courtesy: Tribunnews.com

Kesenian Ludruk Sulit Dilestarikan, Ini Alasannya

Pertunjukan ludruk selalu sepi penonton dan beberapa pemainnya sudah beralih profesi untuk menopanng kebutuhan hidup

JAKARTA-KABARE.CO : Kesenian ludruk asal Surabaya sulit dilestarikan. Hal ini disebabkan karena kebanyakan pemain ludruk tersebut berasal dari luar kota Surabaya. Selain itu beberapa  pemainnya beralih profesi.

“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil tapi sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Widodo Suryantoro, seperti dikutip Antara.

Menurutnya, pemerintah kota sebenarnya sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung pelestarian ludruk, termasuk di antaranya yang ada di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR).

Wali Kota Surabaya, ia menjelaskan, juga sudah meminta petugas memindahkan gamelan di Balai Pemuda, yang sekarang sedang dibangun, ke THR untuk mendukung acara pertunjukan ludruk di sana.

Namun pertunjukan ludruk di THR selalu sepi penonton. “Akhirnya kami harus memaksa orang untuk menonton. Tapi kalau memaksa menonton kan ya tidak mungkin,” ujarnya.

Padahal, Widodo mengatakan, ludruk seharusnya bisa tetap digandrungi para penonton sampai kapan pun asal grup ludruk terus berkreasi di setiap pertunjukan.

Dengan kondisi kesenian ludruk yang demikian, ia melanjutkan, akhirnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk menyampaikan materi edukasi kesenian tradisional kepada murid sekolah di Kota Pahlawan.

“Paling tidak para siswa mengetahui kalau ada kesenian tradisional Ludruk yang pernah populer di Surabaya,” ujarnya.

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Masduki Toha sebelumnya menyatakan siap mengawal keinginan warga untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional Ludruk yang dulu sempat berjaya di THR Surabaya.

“Saya menilai, selama ini pemkot kurang ada niatan menumbuh kembangkan kesenian di THR,” katanya.

Masduki mengatakan sudah saatnya budaya tradisional diberi ruang dan anggaran cukup supaya bisa tetap lestari.

“Mohon masukan agar temen-temen komisi D DPRD Surabaya bisa mengimplementasikan dalam anggaran selanjutnya,” ujarnya. (ant/al)

 

Penulis: –

Article courtesy: Kabare.co

Photo courtesy: Kabare.co

Pemkot Surabaya Akui Kesulitan Lestarikan Kesenian Ludruk

Metrotvnews.com, Surabaya: Pemerintah Kota Surabaya mengakui, kesulitan melestarikan kesenian tradisonal Ludruk yang kini mati suri karena ditinggalkan para penggemarnya. Selama ini, kebanyakan pemain Ludruk yang masih ada berasal dari luar Kota Surabaya.

“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil. Tapi, sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Widodo Suryantoro di Surabaya, Sabtu 8 Juli 2017.

Menurut Widodo, pihaknya sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk melestarikan Ludruk, seperti yang ada di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR). Bahkan, Wali Kota Surabaya meminta alat musik gamelan yang selama ini ada di Balai Pemuda untuk dipakai di THR.

Pemindahan alat musik gamelan itu dilakukan karena di Balai Pemuda saat ini masih ada pembangunan. Hanya saja, setiap pertunjukan Ludruk di THR selalu sepi, tidak ada yang menonton.

“Akhirnya kami harus memaksa orang untuk menonton. Tapi kalau memaksa menonton kan ya tidak mungkin,” ujarnya.

Widodo mengatakan, Ludruk tetap bisa digandrungi penonton sampai kapan pun itu karena kepiawaian grup Ludruk yang terus berkreasi di setiap pertunjukan. Meski demikian, pihaknya tetap melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan Surabaya agar ada edukasi kepada siswa didik di tiap-tiap sekolah di Kota Pahlawan.

“Paling tidak, para siswa mengetahui kalau ada kesenian tradisional Ludruk yang pernah pernah populis di Surabaya,” ujarnya.

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Masduki Toha sebelumnya menyatakan siap mengawal keinginan warga untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional Ludruk yang dulu sempat berjaya di THR Surabaya. “Saya menilai, selama ini pemkot kurang ada niatan menumbuh kembangkan kesenian di THR,” katanya.

Masduki mengatakan, sudah saatnya budaya tradisional diberikan ruang dan anggaran yang cukup. Hal ini merupakan bagian dari upaya menyelematkan generasi muda dari ketidakpedulian terhadap kesenian tradisional.

“Mohon masukan agar temen-temen komisi D DPRD Surabaya bisa mengimplementasikan dalam anggaran selanjutnya,” ujarnya.

(NIN)

 

Penulis: –

Article courtesy: Metrotvnews.com

Photo courtesy: Metrotvnews.com

Gawat, Seni Ludruk Terancam Punah

INFONAWACITA.COM – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengaku kesulitan melestarikan kesenian tradisonal Ludruk, yang kini mati suri karena ditinggalkan para penggemarnya.

Salah satu indikatornya kebanyakan pemain Ludruk yang masih ada berasal dari luar Kota Surabaya.

Hal ini dikatakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Widodo Suryantoro di Surabaya, Sabtu (8/7).

“Dulu di Surabaya ada Cak Markeso, Cak Markuat, Cak Kancil tapi sekarang tidak ada penerusnya. Kebanyakan penerusnya alih profesi,” katanya.

Menurut dia, untuk melestarikan Ludruk sebetulnya pihaknya sudah menyediakan sarana dan prasarana seperti yang ada di Balai Pemuda dan Tempat Hiburan Rakyat (THR).

Bahkan, lanjut dia, Wali Kota Surabaya meminta alat musik gamelan yang selama ini ada di Balai Pemuda untuk dipakai di THR. Itu dilakukan dikarenakan di Balai Pemuda saat ini masih ada pembangunan.

Hanya saja setiap pertunjukan Ludruk di THR selalu sepi tidak ada yang menonton. “Akhirnya kami harus memaksa orang untuk menonton. Tapi kalau memaksa menonton kan ya tidak mungkin,” ujarnya.

Widodo mengatakan Ludruk tetap bisa digandrungi para penonton sampai kapanpun itu karena kepiawaian grup Ludruk yang terus berkreasi di setiap pertunjukan.

Meski demikian, lanjut dia, pihaknya tetap melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan Surabaya agar ada edukasi kepada siswa didik di tiap-tiap sekolah di Kota Pahlawan.

“Paling tidak para siswa mengetahui kalau ada kesenian tradisional Ludurk yang pernah pernah populis di Surabaya,” ujarnya.

DPRD Siap Awasi

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Masduki Toha sebelumnya menyatakan siap mengawal keinginan warga untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional Ludruk yang dulu sempat berjaya di THR Surabaya.

“Saya menilai, selama ini pemkot kurang ada niatan menumbuh kembangkan kesenian di THR,” katanya.

Masduki mengatakan sudah saatnya budaya tradisional diberikan ruang dan anggaran yang cukup. Hal ini merupakan bagian dari upaya menyelematkan generasi muda dari ketidakpedulian terhadap kesenian tradisional.

“Mohon masukan agar temen-temen komisi D DPRD Surabaya bisa mengimplementasikan dalam anggaran selanjutnya,” ujarnya.

 

Penulis: –

Article courtesy: infonawacita.com

Photo courtesy: infonawacita.com

Tari Remo Jadi Andalan di Event CCI 2017

SURABAYA – Tari Remo masih menjadi andalan Pemkot Surabaya dalam Cross Culture International (CCI) 2017. Kegiatan ini akan berlangsung dalam dua sesi pada Minggu, 9 Juli dan Minggu 16 Juli – Kamis 20 Juli 2017. Tarian yang mengisahkan perjuangan seorang pangeran di medan laga ini diyakini akan memukau delegasi serta peserta event tahunan tersebut.

Kepala Dinas Pariwisata Pemkot Surabaya Widodo Suryantoro menyampaikan, Tari Remo awalnya merupakan tarian yang digunakan sebagai pengantar pertunjukan ludruk. Namun, pada perkembangannya tarian ini sering ditarikan secara terpisah sebagai sambutan atas tamu kenegaraan, ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam festival kesenian daerah.

“Banyak wisatawan mancanegara yang gandrung dengan tarian ini sehingga jenis tarian ini kami pilih. Meski begitu, banyak tarian lain yang akan kami tampilkan selama penyelenggaraan CCI 2017 nanti,” kata Widodo kepada wartawan, Jumat (7/7/2017).

CCI 2017 kali ini akan mengangkat tema Folk Art Festival dengan peserta berjumlah 1.260 orang. CCI akan dibuka dengan Tari Remo remaja 12 grup yang terdiri dari anak usia 5 tahun hingga 16 tahun. Setelah itu, disambung Tari Yosakoi yang diikuti 40 grup yang terdiri dari sekitar 1.000 orang. Jepang menjadi satu-satunya negara yang bakal menampilkan Tari Yosakoi di Taman Surya karena Negeri Sakura tersebut telah menjalin hubungan kerja sama kota kembar atau biasa disebut sister city dengan Surabaya. “Biar muatan lokal kedua negara seimbang,” imbuhnya.

Lewat CCI ini, Widodo berharap warga Surabaya bisa mengetahui macam tarian dari negara-negara mancanegara. Begitu pula dengan negara asing mengetahui jenis tarian Surabaya, yakni Tari Remo. Para penampil berasal dari sejumlah kota, di antaranya Surabaya, Yogyakarta, Bali, dan Aceh. Sementara dari luar negeri akan hadir tujuh negara yaitu, China, Rusia, Slovakia, Kanada, Polandia, Thailand, dan Lithuania. “Jumlah peserta luar dan dalam negeri yang akan mengisi acara CCI belum resmi, nanti akan bertambah,” imbuh Widodo.

Nantinya, festival CCI bakal digelar di beberapa lokasi. Di antaranya, Taman Surya, Gedung Balai Pemuda, Gedung Balai Kota, Gedung eks-Siola, Balai Budaya Surabaya, Taman Bungkul, G-Walk Citraraya Surabaya, Ciputra World dan Royal Plaza. Sementara pada acara yang berlangsung tanggal 16-20 Juli 2017, seluruh peserta lintas budaya yang berasal dari perwakilan dalam negeri dan luar akan memparadekan budaya mereka. Peserta akan berjalan sepanjang 4,8 km dari Taman Bungkul ke Monumen Bambu Runcing.

Seniman Kota Suraya Heri Lento menyampaikan, kegiatan cross culture internationalselalu ditunggu banyak orang, terutama wisatawan. Sebab, selain hiburan, banyak hal baru dari suguhan acara tersebut. “Banyak wisatawan datang jauh-jauh datang ke Surabaya hanya untuk menyaksikan acara ini. Mereka menjadi tahu jenis kesenian tradisional dari berbagai negara,” tuturnya.

 

Penulis: Ihya’ Ulumuddin

Article courtesy: Sindonews.com

Photo courtesy: Sindonews.com

Rayakan Lebaran Ketupat, Warga Jombang Terbangkan Balon Udara

KABARJOMBANG.COM – Puluhan warga Desa Bandung, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, terlihat asyik menyiapkan balon udara, Minggu (2/7/2017) pagi. Beberapa balon yang berada di lokasi, sengaja diterbangkan warga sebagai tanda datangnya lebaran ketupat, yang tradisinya dirayakan 7 hari setelah lebaran.

Seperti diketahui, ada beberapa kegiatan unik yang sudah mentradisi dilakukan warga di Kota Santri untuk menyambut lebaran ketupat. Seperti di desa tersebut, dengan diawali membawa tumpeng (makanan), warga berbondong-bondong mendatangi musholla yang menjadi lokasi penerbangan balon.

Tak ayal, warga yang siap melihat dan menyambut lebaran ketupat, terlihat berjubel di musholla setempat, untuk menyantap tumpengan lontong dan ketupat, hasil karya dari warga sekitar. “Sebelum menerbangkan balon udara, memang didahului tumpengan ketupat dulu,” kata Masruri (47) warga sekitar.

Tak lama kemudian, sejumlah peralatan untuk menerbangkan balon disiapkan panitia. Dengan menggunakan kayu serta tong, warga memulai penerbangan balon udara yang menggunakan tenaga asap. Meski sempat menunggu, warga sekitar akhirnya bisa merasakan sensasi melihat balon udara mulai naik ke atas langit.

“Ini merupakan salah satu tradisi warga sini untuk menyambut lebaran ketupat yang jatuh pada H plus 7 usai lebaran Idul Fitri. Untuk pembiayaanya, warga sengaja patungan untuk bisa membuat balon yang terbuat dari kertas. Kegiatan ini demi menjaga tradisi lokal yaitu balon udara ini,” terang Jatmiko (35) warga lain. (aan/kj)

 

Penulis: Aan
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Detik.com

Gambaran Keberanian Seorang Pangeran Pada Tari Remo

Tari Remo merupakan tarian tradisional Jawa Timur. Tarian ini menggambarkan keberanian seorang pangeran di medan perang. Pada kesenian Ludruk, tari Remo biasa ditampilkan sebagai pengantar pertunjukkan atau sebagai tarian penyambutan tamu besar.

Menurut sejarah, tari ini diciptakan para seniman jalanan yang ingin menggambarkan seorang pangeran yang pemberani. Dengan mengamen, tarian ini diperkanalkan oleh para seniman jalanan. Seiring berjalannya waktu, Tari Remo semakin dikenal dalam pertunjukkan Ludruk, dan sering terlihat pada acara penyambutan tamu penting.

Secara umum, tari ini dibawakan oleh kaum pria, karena ingin memperlihatkan sosok pangeran. Akan tetapi, sekarang ini tari Remo juga dibawakan oleh kaum wanita. Maka, muncul juga Tari Remo Putri.

Gerakan kaki yang dinamis, akan sering terlihat pada gerakan tari ini. Terdengar juga suara lonceng kecil yang berbunyi ketika para penari melakukan gerakan kaki itu, lantaran mereka mengenakan gelang lonceng pada kaki mereka. Selain itu, para penari juga melakukan gerakan selendang dan kepala.

Tak hanya itu, para penari juga harus bisa menyamakan iringan musik dengan gerakan kaki yang pas. Jika tidak, suara lonceng tidak akan pas dengan suara iringan musik tersebut. Tari ini diiringi dengan musik gamelan.

Berbicara soal kostum, para penari menggunakan lengan panjang dan ikat kepala warna merah. Celana yang digunakan sepanjang lutut, dan ada kain batik pesisiran yang di ikat pada pinggang. Tidak lupa ada atribut berupa keris yang diselipkan di belakang pinggang penari.

Hingga hari ini, Tari Remo masih dijaga keberadaanya. Nilai seni dan sejarah pada tari ini tetap terlestarikan oleh masyarakat Jawa Timur. Bahkan, pada acara festival, tari ini juga kerap ditampilkan.

 

Penulis: Ikhsan Digdo

Article courtesy: Merahputih.com

Photo courtesy: Antara.com