Jombang – Warga Kabupaten Jombang, Jawa Timur punya cara unik untuk menyambut bulan suci Ramadan, yakni Gerebek Apem. Di tradisi ini, warga memperebutkan 21 gunungan kue apem yang dipercaya sebagai simbol permohonan ampun kepada Allah SWT.
Gerebek Apem diawali dengan kirab gunungan dari GOR Merdeka Jombang menuju Ringin Contong di Jalan Gus Dur pada Jumat (26/7/2017). Sedikitnya 21 gunungan dari kue apem diarak membelah ribuan warga yang memadati jalan.
Namun, gunungan yang sedianya dibagikan di Ringin Contong, ludes diserbu warga di sepanjang Jalan Gus Dur. Tak hanya para pria dewasa, anak-anak hingga ibu rumah tangga tak mau ketinggalan memperebutkan kue apem. Bahkan, tak sedikit warga yang membawa kantong plastik untuk mengantongi kue tradisional tersebut.
Seperti yang dilakukan Ifin Fauziati (27), ibu rumah tangga asal Desa Candimulyo, Kecamatan Jombang Kota.
“Ini wujud suka cita kami karena setahun sekali pas menyambut awal Ramadan,” kata Ifin sembari menenteng satu kantong plastik berisi kue apem hasil rebutan.
Hal serupa dilakukan Syahroni (25), warga Pulorejo, Kecamatan Jombang Kota. Dia rela berdesakan dengan ratusan warga lainnya untuk mendapatkan kue tradisional dari tepung beras itu.
“Kalau Ramadan tak makan kue apem, rasanya kurang sempurna. Ini mau saya bawa pulang untuk dimakan sama keluarga,” ujarnya.
Sementara Wakil Bupati Jombang, Munjidah Wahab yang menuturkan, Gerebek Apem sebagai tradisi warga Jombang sejak puluhan tahun silam untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Menurut dia, kue apem mempunyai filosofi yang harus selalu menjadi pegangan warga kota santri.
“Apem dalam bahasa arab adalah afwan, artinya meminta pengampunan dari Allah SWT,” ungkapnya.
Berupaya merintis kembali eksistensi kesenian ludruk yang mulai memudar di Malang, sekelompok komedian mendirikan komunitas bernama Mlumah.
Merdeka.com, Malang – Berupaya merintis kembali eksistensi kesenian ludruk yang mulai memudar di Malang, sekelompok komedian ini mendirikan sebuah komunitas lawak yang dinamakan Malang Lucu Mahasiswa (Mlumah). Berdiri sejak Oktober 2014 lalu, Mlumah berusaha menghadirkan konsep lawak lawas dengan wajah baru untuk menghibur masyarakat di tanah air, khususnya di Malang.
Rian Fauzi, salah satu penggagas berdirinya Mlumah berbagi cerita, terkait perjalanan Mlumah selama tiga tahun belakangan ini. Grup lawak yang digawangi Rian, Efri dan Ipul ini bahkan sempat mampir dalam sebuah ajang pencarian bakat pelawak di salah satu stasiun televisi nasional. Pengalaman ini, kata Rian, menjadi salah satu pelajaran penting bagi dirinya dan kawan-kawan Mlumah untuk membangkitkan gairah grup lawak, khususnya Ludruk di Malang.
Mlumah, bermula dari kumpul-kumpul bersama sekawanan orang yang sempat bertemu di sebuah manajemen artis di Malang. Setelah ‘lulus’ dari manajemen tersebut, mereka tetap menjalin komunikasi yang baik. Memiliki hobi yang serupa di dunia lawak, akhirnya mereka mencetuskan ide untuk mendirikan sebuah komunitas lawak di Malang.
“Akhirnya, saat kumpul-kumpul itu, kita kepikiran bikin grup-grupan. Pas kita mau launching, kita kepikiran buat ludruk. Terus kita tercetus buat Mlumah itu. awalnya namanya itu Malang Ludruk Mahasiswa,” cerita Rian, saat ditemui merdeka.com dalam acara Satu Jam Bersama Mlumah di Coffee Kayoe Malang.
Nama Ludruk sendiri diambil dari konsep utama jenis lawak yang dibawakan. Hanya saja, kata Rian, kekurangan sumber daya manusia membuat grup lawak yang beranggotakan 17 orang ini, tak mampu menghadirkan konsep Ludruk secara utuh. Sehingga, nama Ludruk dalam Mlumah diubah menjadi Lucu dan hingga kini dikenal dengan Malang Lucu Mahasiswa.
“Ketika kita kepingin menghidupkan Ludruk ini, kita kesulitan pada musik gamelannya. Karena kurang SDM-nya. Akhirnya Ludruknya kita hilangin dulu waktu itu. Jadi kita ubah namanya jadi Malang Lucu Mahasiswa,” terangnya.
Ingin menghidupkan kembali kesenian Ludruk yang mulai memudar di Malang, Rian bersama Mlumah mencoba menggali ilmu seputar kesenian tradisional asal Jawa Timur itu. Di Malang sendiri, Rian mengaku masih kesulitan menggandeng mentor untuk memperdalam seni lawak tersebut. Justru, ia mendapatkannya dari kota lain, seperi Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.
“Kita (Mlumah) berguru kemana-mana. Kita ke Surabaya, kita berguru sama orang Surabaya. Kita ke Yogya, terus kita ke Jakarta. Kita mencari mentor, belajar,” tuturnya.
Menyadari pentingnya regenerasi anggota, Rian mengaku seringkali berburu talenta di beberapa kelompok kesenian Mahasiswa, khususnya di Malang. Kendati demikian, Rian menyadari bahwa dirinya harus memperkuat akar Mlumah untuk mendatangkan anggota baru.
Terkait hal itu, Mlumah mempertahankan eksistensinya dengan terus berkarya di dunia lawak. Acara demi acara mereka datangi untuk melakukan pentas, untuk melatih kemampuan seni lawak sekaligus mempertahankan eksistensi Mlumah, sebagai wajah anyar pentas Ludruk di Malang.
“Intinya, kita ingin menjaga performa. Jadi kita taktiknya dulu pertama itu, satu minggu minimal harus main satu kali, dibayar atau tidak dibayar. Kita terus nyari job (pentas), dan akhirnya keturutan. Kita tetep manggung satu minggu satu kali,” pungkasnya.
Penulis: –
Article courtesy: Merdeka.com
Photo courtesy: Merdeka.com
CB, Mojokerto – Kabar membanggakan datang dari dunia seni pelajar Kota Mojokerto. Ludruk Pelajar Kota Mojokerto, Sabtu (20/5/2017) mampu meraih Juara 1 penyaji terbaik tingkat nasional mewakili Kota Mojokerto dan Provinsi Jawa Timur. Gelaran seni bergengsi ini diselenggarakan di Panggung Candi Bentar, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Dibina langsung oleh Dinas Pendidikan Kota Mojokerto, grup ludruk Kota Mojokerto yang dominan berasal dari pelajar SMPN 1, SMPN 3 dan SMA Taman Siswa Kota Mojokerto ini mewakili Jawa Timur bersaing dengan 7 peserta terbaik se-Indonesia.
Pada gelaran Parade Teater Seni Tradisi ke-6 di Jakarta ini ludruk pelajar dikoordinatori oleh Ganesh Pressiatantra Khresnawan Kasi Pendidikan Non Formal pada Dinas Pendidikan dan pembina oleh Novi Rahardjo Kepala Dinas Pendidikan Kota Mojokerto.
“Kami meraih empat kategori penghargaan dari lima kategori yang ada. Ini semua berkat kegigihan dari adik-adik pelajar dan kerja sama yang baik dari semua pihak,” tutur Novi Rahardjo. Keempat penghargaan tersebut antara lain pemeran putra terbaik, penulis skenario terbaik, sutradara terbaik dan yang paling bergengsi adalah penghargaan penyaji terbaik.
Penghargaan diberikan langsung oleh Direktur Taman Mini Indonesia Indah kepada masing-masing pemenang. Dengan diraihnya Kota Mojokerto sebagai penyaji terbaik juara pertama, artinya Kota Mojokerto akan mewakili Indonesia pada lomba pekan seni tradisi Internasional di Brunei dalam waktu dekat.
Ludruk yang berjudul “Bantengan Geger” dibawakan secara apik dan merebut perhatian penonton selama lebih dari 30 menit. Grup ludruk yang terdiri dari 35 orang ini juga membuat juri yang terdiri dari aktor, budayawan dan akademisi berdecak kagum. Pasalnya, dari pemain karawitan, kidungan hingga pamain ludruk didominasi pelajar dan bermain secara profesional serta sangat menghibur.
Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus mengaku bersyukur dengan raihan prestasi tersebut. “Ini adalah prestasi yang membanggakan. Karena seni pelajar kita bisa berbicara di tingkat Nasional bahkan akan mewakili Indonesia di tingkat Internasional,” tuturnya bangga.
Menurut Wali Kota, prestasi tingkat nasional ini juga merupakan kado indah di hari jadi Kota Mojokerto ke-99. “Inilah perwujudan semangat hari jadi Kota Mojokerto yang mempunyai tema; ayo berkreasi, berinovasi dan berprestasi untuk Mojokerto service city. Pelajar kita telah membuktikan semangat ini dengan baik,” jelasnya. (Duta Josant)
Article: Duta Josant
Article courtesy: cahayabaru.id
Photo courtesy: cahayabaru.id
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Pelawak kondang asal Surabaya, Kartolo Cs turut memeriahkan acara J-Mags (Jazz Mangrove Surabaya) yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Namun tak tampil seperti biasa, Kartolo tampil bernyanyi dengan diiringi musik jazz yang dibawakan oleh Fussion Jazz Community.
Mengenakan batik kemeja biru bermotif, Kartolo dan band jazz tersebut sukses menghibur penonton.
Meski tak lagi jaya seperti beberapa waktu silam, penampilan Kartolo berhasil membuat penonton rata-rata anak muda tersebut tertawa terbahak-bahak.
Berulang kali, Kartolo membuat tertawa penonton karena mic nya yang berulangkali mati.
“Mungkin ini karena saya belum mandi,” ujarnya yang langsung disambut tawa penonton, Sabtu (20/5/17).
Kartolo menyanyikan satu lagu berjudul Jula Juli.
Meski diiringi alat-alat musik jazz seperti terompet, gitar, dan drum, alat musik tradisional seperti saron dan gendang masih turut ikut mengiringi.
Cak Kartolo mengatakan, ia sudah empat kali berkolaborasi dengan musik jazz.
“Ini sudah yang keempat, sering juga tampil di kampus-kampus kok,” ujarnya pada TribunJatim.com usai manggung.
Melihat antusiasme anak muda Kartolo merasa senang.
“Ya senang karena ternyata masih menghibur, kan saya keturunan Justin Beiber,” tuturnya lalu tertawa.
Tak hanya penampilan Kartolo Cs, acara ini juga dimeriahkan oleh beberapa penampilan lain seperti Surabaya All Star, Kasta, Komunitas Jazz Fussion, Komunitas Tari – Teater dan penyanyi hits papan atas Tulus.
Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
Inisiatif Njombangan yang secara hukum berada di bawah payung Yayasan Salasika Indonesia, saat ini sedang melakukan penggalangan dana. Dana ini nantinya akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan program Njombangan ini. Penggalangan dana ini berlangsung secara online dan menggunakan platform Kitabisa.com
Adapun keperluan dana digunakan untuk beberapa sebagai berikut:
Jika kamu ingin ikut berdonasi, silahkan klik di sini.
Seluruh donasi akan digunakan secara transparan dan akuntabel dan akan dilaporkan melalui website ini.
Terima kasih terus mendukung inisiatif Njombangan. Salam!
TRIBUNJOGJA.COM – Perupa Moelyono akan menggelar pameran tunggal bertajuk Amok Tanah Jawa.
Pameran akan digelar mulai 20 Mei sampai dengan Juli 2017, di Langgeng Art Galeri, Jalan Suryodiningratan 37 Yogyakarta.
Acara pembukaan, Sabtu (20/5/2017) pukul 19.00 WIB, oleh Dirjen Kebudayaan RI, Hilmar Farid.
Pembukaan bakal dimeriahkan oleh grup Ludruk “Budhi Wijaya” dari Desa Gempolkerep, Jombang, Jatim, yang mementaskan lakon Geger Pabrik Gula.
Menurut rilis yang diperoleh TribunSolo.com, Kamis (11/5/2017), pameran itu akan menampilkan serangkaian karya lukis dan instalasi maupun performans.
Adapun Moelyono (60), perupa kelahiran Tulungagung, Jatim, pada perkembangan seni rupa di Indonesia tahun 1980-an selalu dikaitkan dengan gerakan seni aksi dan aktivitasnya yang berbeda pada zamannya.
Dia selalu melibatkan isu-isu sosial dalam kehidupan masyarakat marjinal, antar alain persoalan petani, buruh dan aspek pendidikan
Sampai kini Moelyono tinggal di daerah kelahirannya.
Moelyono memilih terlibat langsung dengan masyarakat di sekitarnya.
Pengalaman artistik, berpameran tunggal maupun mengembangkan diri, membentang selama puluhan tahun, setidaknya empat dekade terakhir, di dalam maupun luar negeri.
Terakhir ia menjadi konseptor gerakan seni rupa untuk difabel.
Ia adalah fasilitator Kelompok Perspektif Yogyakarta yang anggotanya adalah anak-anak difabel, dengan kegiatan utama bersenirupa.
Sejak beberapa tahun belakangan, Moelyono mulai tertarik kepada bentuk-bentuk kesenian tradisional di Jawa yang peminatnya semakin sedikit dan mengancam keberlangsungan kehidupan kesenian para pelakunya.
Adapun padap ameran ini Moelyono menampilkan serangkaian lukisan, performans atau pertunjukan kesenia tradisional ludruk dan instalasi serta arsip-arsip.
Empat lukisan mengadaptasi adegan lukisan maestro seperti lukisan Raden Saleh “Penangkapan Diponegoro” , lukisan-lukisan karya maestro seni lukis modern S.Sudjojono, Hendra Gunawa, “Pengantin Revolusi”.
Penggambaran dari ludruk sesuai dengan tujuan dari sujyek yang hendak ia ungkapkan tentang ketidak-adilan sosial terhadap masyarakat di pedesaan yang seringkali harus kalah dalam menghadapi kemajuan. (*/junianto setyadi)
Penulis: Junianto Setyadi
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Alunan musik jazz yang lembut dan merdu lamat-lamat terdengar dari tengah perkampungan Jawa di Dusun Gondang, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Sabtu (6/5/2017) malam lalu.
Sejumlah musisi jazz ternama tanah air silih berganti tampil di panggung Amphitheater.
Ada Indra Lesmana, Syaharani, Monita Tahalea, Nita Aartsen, Pramono Abdi, dan sejumlah musisi jazz lainnya.
Beberapa dari musisi jazz tersebut ditemani grup band-nya saat membawakan lagu-lagu andalannya. Misalnya, Indra Lesmana bersama Keytar Trio, Syaharani & Queenfirework (ESQI:EF), dan Pramono Abdi dengan Quartetnya.
Mereka silih berganti tampil, dengan masing-masing membawakan lima lagu. Penampilannya benar-benar menyihir ratusan penonton yang hadir.
Tanpa terasa, waktu menunjuk pukul 23.00 WIB. Menjelang tengah malam pertunjukan bertajuk ‘Jazz Kampoeng Djawi’ yang dimulai sejak pukul 14.00 WIB tersebut usai digelar.
Sekitar 250 orang penonton, mayoritas para penggemar musik jazz dari berbagai komunitas di tanah air benar-benar larut dalam suasana masa lampau dengan balutan warisan tradisi yang disajikan Kampoeng Djawi.
Di kampung ini, kita akan dibuat kagum dengan kentalnya budaya Jawa. Mulai dari musik tradisional yang disajikan dan dikombinasi dengan aransemen jazz, ornamen panggung, hingga makanan dan jajanan yang disajikan, semuanya khas Jawa.
Jadi, malam itu, irama musik jazz yang easy listening benar-benar membawa ratusan orang yang hadir menikmati dan mengembara ke kampung Jawa kuno.
Rudi Ermawan Founder Jazz Kampoeng Djawi, Selasa (9/5/2017) mengatakan, Jazz Kampoeng Djawi merupakan event yang rutin digelar setiap tahun. Hasil kerjasama antara Kampoeng Djawi dengan Komunitas Jazz Jombang.
“Tahun ini adalah kali ketiga kita gelar sejak event tersebut digelar pertama pada 2015 lalu,” ujarnya, kepada Tribunjatim.com.
Keberadaan ‘Jazz Kampoeng Djawi’ yang dipadu dengan pemberian workshop dari para musisi jazz ternyata dapat menarik minat para penggemar dan komunitas musik jazz Indonesia.
Apalagi komunitas juga diberi kesempatan untuk tampil, dan Sabtu kemarin, ada setidaknya tujuh komunitas jazz lokal yang diberi panggung untuk unjuk kebolehan.
Makin banyaknya jumlah pengunjung menegaskan hal itu. Jika saat pertama kali digelar pada 2015, hanya 150 orang yang menonton. Pada 2016 naik jadi 200 orang, dan tahun ini penonton naik menjadi 250. Meski mereka harus membayar cukup mahal, Rp 300 ribu.
“Tapi, event ini tak pakai sponspor lho ya. Murni swadaya dari pecinta musik jazz,” ucap Rudi Ermawan.
Mereka, kata pria asal Lamongan ini rela merogok kocek yang tidak sedikit semata-mata hanya agar ada tempat berkesenian untuk musik jazz, khususnya di Jombang.
Untuk itu, ke depan, pihaknya, kata Rudi akan terus menggelar event ‘Jazz Kampoeng Djawi’. Apalagi event yang telah ditunggu-tunggu oleh pecinta dan komunitas jazz ini merupakan rangkaian dari tradisi Kenduren di Wonosalam, Jombang. Yakni, makan duren gratis saat panen raya.
“Makanya Jazz Kampoeng Djawi akan terus kita pertahankan,” tegasnya.
Jumlah peserta yang diundang juga akan terus diperluas. Jika tahun ini, dari 250 orang yang hadir masih berasal dari Jawa Timur, dan sejumlah kota lain di Jawa dan Bali, seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, dan Denpasar.
Tahun depan, Rudi ingin komunitas jazz dari seluruh Indonesia bisa hadir di Kampoeng Djawi yang dibangunnya. Untuk menyaksikan dan menikmati musik jazz dengan balutan tradisi serta budaya Jawa tempo dulu. (Tribunjatim.com/Mujib Anwar)
Ludruk merupakan kesenian drama tradisional khas Surabaya yang biasanya diiringi oleh lawakan, lantunan musik gamelan, tarian dan nyanyian Jawa Timur. Grup ludruk Surabaya “Irama Budaya” berupaya melakukab regenerasi untuk melestarikan kesenian daerah ini dengan membentuk “Ludruk Irama Budaya Junior”.
Irama Budaya Junior beranggotakan beberapa aktor baru. Di antaranya anak-anak usia TK/SD, remaja dan dewasa dari berbagai kalangan profesi dan latar belakang.
Keseriusan Grup Irama Budaya membimbing para juniornya terbukti melalui penampilan perdana mereka yang sukses digelar pada Sabtu (6/5/2017) lalu. Penampilan bertajuk “Mentang-Mentang dari New York” pun berhasil memukau penonton lewat aksi panggung dimainkan sekitar 15 pemain junior dan beberapa senior.
“Sebetulnya naskah ini adalah karya penulis luar negeri bernama Marcelino untuk teater. Kemudian saya adaptasi untuk dipentaskan sebagai ludruk,” ucap Meimura, sang sutradara pementasan.
Berperan sebagai pemain utama Ludruk “Mentang-Mentang dari New York” adalah Wahyu sebagai Siti. Diceritakan, Siti yang baru saja pulang dari New York untuk belajar, telah berubah drastis. Dia tidak mengenali teman-teman terdekatnya bahkan kekasihnya. Siti yang telah kehilangan kepribadiannya, membuat kedua orang tuanya shock. Namun suatu kejadian membuat dia menyesali perbuatannya dan kembali menjadi Siti yang dulu.
Antusiasme masyarakat dan kalangan media menonton acara tersebut menjadi bukti Kota Surabaya masih mampu melestarikan kebudayaan tradisionalnya. Selain itu, pertunjukkan ini bertepatan untuk memeriahkan HUT Kota Surabaya ke-724.
Beberapa penampilan lain juga disuguhkan sebagai penghibur tambahan untuk para penonton. Diawali dengan Bedayan sebagai sambutan kepada para penonton, tarian oleh penari remo dan karawitan dari Sanggar Baradha Unesa.
Penulis: –
Article courtesy: eljohnnews.com
Photo courtesy: Tempo.co
KABARJOMBANG.COM -.Banyak terselip keunikan di Kota Santri, Jombang. Seperti yang satu ini. Sebut saja Yuni, perempuan berusia 43 tahun ini sudah mendaki 5 gunung berbahaya di luar negeri.
Meski hanya mengaku sebagai hobi, pendaki yang memiliki nama lengkap Sri Wahyuni itu, berhasil menaklukan gunung-gunung membahayakan di luar negeri.
Dalam ceritanya, Sri mengaku hobi mendaki gunung sejak masih menjadi pelajar SMA. Namun karena keterbatasan ekonomi, Sri harus memendam hobinya untuk menaklukkan gunung. Keadaan tersebut jauh berbeda, saat dirinya bertemu dengan pria asal Canada.
Setelah menjalin kasih dengan pujaan hatinya, hobi pendakian Sri kini mulai tercapai. Sebab, dirinya yang kini mengikuti jejak calon suaminya, membuat hobinya semakin terbuka lebar.
“Calon suami saya pekerjaannya sebagai arsitek, sehingga berpindah-pindah tempat tinggal. Disitulah saya ikut sambil menyalurkan hobi sebagai pendaki gunung,” terang Sri, Sabtu (5/5/2017).
Tak pelak, hingga saat ini, Sri mengaku sudah mendaki 5 gunung di beberapa negara asing. Dalam pendakian yang pertama, ia mengaku melakukan pendakian di gunung yang berada di Hongkong. Kemudian, saat berada di Montreal Canada, dia juga menaklukan 2 gunung di tempat tinggal kekasihnya. Bahkan, saat ini dirinya masih berada di pegunungan Himalaya, yang berada di negara – negara Asia.
Namun, salah satu gunung di Indonesia juga tak luput dari pijakan kaki perempuan asal Desa Jombok Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang ini. Menurutnya, sebelum dirinya melakukan pendakian di luar negeri, dirinya juga pernah menapaki terjalnya Gunung Kelud. “Gunung Kelud juga pernah saya daki,” cerita Sri.
Dirinya mengaku, keindahan alam membuat nyalinya terus terpacu untuk mendaki gunung-gunung yang selama ini menjadi impiannya. Bahkan, saat dihubungi lewat telephone selulernya, kini dirinya masih dalam perjalanan menuju puncak pegunungan Himalaya.
Disini, dirinya mengungkapkan bahwa gunung yang paling sulit ditaklukkan adalah pegunungan Himalaya.
“Karena di pegunungan ini, puncak tertinggi yang akan saya daki. Disini, jurang -jurangnya sangat dalam. Bahkan, dalam trekking dari Lukla ke Namche, saya harus cross 5 jembatan yang bukan terbuat dari betton,” ujarnya saat dihubungi KabarJombang.com. (aan/kj)