Bisnis.com, JAKARTA — Setia mengabdikan diri sebagai seniman teater tradisional bukanlah hal mudah. Di era modern seperti saat ini semakin sulit menemukan audiens yang benar-benar tertarik dan bisa mengapresiasi pertunjukan seni peran tradisional.
Permasalahan regenerasi menjadi momok banyak sekali sanggar seni teater tradisional di berbagai penjuru daerah. Hal itu dirasakan pula oleh Ludruk Irama Budaya, yang bermarkas di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.
Seiring pesatnya perkembangan zaman, kesenian ludruk—yang dulu sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Timur—mulai ditinggalkan. Bangku-bangku penonton tidak lagi penuh dijejali masyarakat yang antusias melihat pertunjukan ludruk.
Lantas, bagaimana upaya Ludruk Irama Budaya untuk bisa tetap eksis di tengah gelombang modernisasi? Berikut penuturan pimpinan Ludruk Irama Budaya, Deden Irawan:
Sejak kapan berdiri? Bagaimana sejarah atau awal mulanya?
Ludruk Irama Budaya beridiri pada 1987. Pendirinya bernama Sunaryo atau yang di dunia ludruk lebih dikenal dengan nama Sakiyah. Saya adalah generasi kedua yang memimpin Irama Budaya.
Saat ini ada berapa anggotanya? Paling banyak dari usia berapa?
Anggota kami bedakan menjadi dua, yaitu; senior dan junior. Saat ini anggota senior berjumlah 40 orang, dan juniornya 25 orang. Anggota senior adalah para seniman ludruk asli yang sudah lama bergabung dengan Irama Budaya.
Sementara itu, anggota junior adalah rekrutan baru yang tergabung di dalam kelas pelatihan kami. Memang, selama 4 bulan terakhir kami membuka kelas pelatihan secara gratis. Usia pesertanya tidak dibatasi, mulai dari SD, SMP, hingga dewasa.
Materi apa saja yang diajarkan?
Kami mengajarkan materi ludruk secara lengkap. Sebab, kesenian ludruk mengandung bermacam aspek, mulai dari gamelan, tari remo, bedayan,lawakan jula juli, cerita akting, artistik, hingga penataan cahaya.
Tidak ada persyaratan khusus bila hendak bergabung dengan kami. Nantinya, para anak didik akan diarahkan ke bidang-bidang yang spesifik sesuai dengan keinginan, bakat, atau ketertarikan mereka.
Banyak sanggar seni teater tradisional di Indonesia yang mengalami krisis regenerasi. Apa strategi yang dilakukan untuk menjaring minat generasi muda?
Strategi kami mulai dengan melakukan introspeksi dan pembenahan ke dalam. Sekarang ini kami digandeng oleh salah satu donatur yang memang peduli tentang dunia ludruk. Itu [mendapatkan donatur] adalah hal yang sudah lama kami idam-idamkan.
Dengan adanya donatur tersebut, kami akan melakukan pembaruan menyeluruh dari segi manajemen. Dulunya, kebanyakan sanggar ludruk dikelola dengan sistem manajemen ala juragan. Dalam arti, kepemimpinan hanya ditumpukan ke satu orang saja.
Ke depannya, kami akan membuat sistem manajemen menjadi sebuah organisasi. Kami akan mendaftarkan organisasi melalui notaris, dan mengantongi izin resmi dari Dinas Pariwisata [Jawa Timur].
Selain itu, kami akan melakukan renovasi gedung pertunjukan. Sebab, fasilitas yang ada sekarang kurang layak dan propertinya kurang mumpuni. Merenovasi sarana dan prasarana pertunjukan adalah salah satu cara untuk menggaet penonton.
Untuk menarik minat generasi muda, kami membentuk tim promosi khusus. Ke depannya, kami akan membagi skema pementasan ludruk di sanggar kami menjadi dua kelompok, yaitu; ludruk senior dengan lakon-lakon cerita klasik dan ludruk junior yang alur ceritanya lebih kekinian.
Biasanya pentas di mana? Bagaimana mendapatkan job pentas?
Sebagai latar belakang, di Surabaya terdapat 35 kelompok ludruk yang dibagi ke dalam dua golongan, yaitu; ludruk tobongan yang memiliki gedung pertunjukan sendiri dan jadwal pentas rutin, dan ludruk tanggapan yang baru pentas kalau ada panggilan atau permintaan.
Nah, kami termasuk yang ludruk tobongan. Jadi, ada atau tidak ada permintaan tampil, kami tetap melakukan pentas setiap Sabtu; sebulan empat kali. Markas tetap kami ada di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) di Jalan Kusuma Bangsa Surabaya.
Karena kami ini adalah ludruk tobongan, maka kami lebih fokus melakukan pementasan di THR. Jarang sekali kami menanggapi atau mendapatkan permintaan untuk pentas di luar gedung. Tahun ini saja permintaan pentas dari luar hanya sekitar 5 kali.
Bagaimana dengan animo penoton belakangan ini?
Terus terang jumlah penonton ludruk akhir-akhir ini semakin berkurang. Itulah mengapa kami mau mengadakan perubahan total dari dalam. Kami bertanya pada penonton, apa yang kurang dari pertunjukan ludruk sekarang ini.
Ternyata banyak penonton yang kecewa karena sekarang ini pemain-pemain ludruk sudah tidak seperti dulu. Dulu, misalnya, pemeran laki-lakinya muda dan tampan, sedangkan sekarang sudah tua semua. Itu yang nantinya akan kami coba cari solusinya.
Sekarang ini, rata-rata penonton di setiap pertunjukan tanpa sponsor paling-paling hanya 50 orang. Kalau ada sponsor, penontonnya bisa lebih dari itu. Padahal, sepuluh tahun lalu jumlah penontonnya bisa lebih dari 100 orang. Penontonn 100 orang saja itu sebenarnya sudah sepi.
Berapa tarif sewa ludruk Irama Budaya saat ini?
Sekarang tarifnya Rp15 juta untuk pementasan ludruk standar. Kalau ingin pentasnya lebih besar atau ada bintang tamunya, tarifnya bisa lebih tinggi lagi.
Dengan semakin sempitnya pasar ludruk di Jawa Timur, bagaimana persaingan antarsanggar ludruk yang masih tersisa?
Masing-masing sanggar, baik tobongan maupun tanggapan, memiliki lahannya sendiri-sendiri. Justru, persaingan yang lebih ketat adalah antarsanggar ludurk tanggapan. Semakin banyak komunitas yang mendirikan ludruk tanggapan.
Namun, mereka tidak berani nombong [berubah menjadi ludruk tobongan] karena khawatir akan risiko kerugian yang besar. Bagaimana jika tidak ada penontonnya, padahal harus memenuhi jadwal pentas rutin.
Apa sebenarnya masalah yang harus dituntaskan terlebih dahulu untuk menghidupkan sanggar pentas tradisional seperti ludruk ini?
Regenerasi. Pemain ludruk senior yang tersisa sudah tua-tua. Sangat sulit bagi kami untuk mencari pemain muda. Dengan adanya kelas pelatihan yang baru dibuka ini, mudah-mudahan nantinya akan ada pemain-pemain baru yang bisa dijaring untuk pentas bersama senior.
Karena masalah regenerasi ini pula, jumlah pemain ludruk di Jawa Timur semakin menurun. Padahal, jumlah grup ludruknya banyak. Akibatnya, saat musim permintaan tanggapan [pementasan], banyak teman-teman ludruk yang ‘membajak’ pemain dari grup-grup lain.
Biasanya musim tanggapan ludruk adalah pertengahan tahun. Kalau tahun ini, mulai April sampai dengan sebelum Ramadan. Kalau sudah kebanjiran tawaran manggung begitu, grup-grup ludruk tanggapan sering membajak pemain dari grup lain.
Regenerasi seniman ludruk memang sangat kurang. Makanya, kami gencar membuka kelas dan laboratorium ludruk untuk menarik peminat generasi muda.
Strategi apa yang dipakai untuk menggaet anggota baru?
Dengan melakukan promosi ke sekolah-sekolah. Target kami, setelah pementasan pada 6 Mei nanti, kami akan melakukan promosi ke lebih banyak lagi sekolah-sekolah di Surabaya. Pertunjukan 8 Mei akan menjadi pentas perdana untuk memperkenalkan tim junior kami.
Saat ini kami hanya bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwantika [STKW] Surabaya, Universitas Negeri Surabaya [Unesa], dan SMAN 8 Surabaya.
Seperti apa bentuk dukungan yang diharapkan dari pemerintah?
Selama ini kami sudah difasilitasi dengan gedung secara gratis di THR, yang merupakan aset Dinas Pariwisata. Namun, biaya pemeliharaan dan produksi semua ditanggung oleh kami.
Ke depan, kami para seniman ludruk di Jawa Timur mengharapkan bantuan promosi dari pemerintah. Setidaknya, bisa dipasang banner untuk publikasi, sebab promosi yang ada sekarang sangat kurang sekali.
Penulis: Saena
Article courtesy: Bisnis.com
Photo courtesy: Indonesiakaya.com