• info@njombangan.com

Monthly ArchiveApril 2017

Perjuangan Guru di Jombang, Lewati Bukit dan 3 Kali Seberangi Sungai untuk Sampai Sekolah

TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG – Kabut dari perbukitan belum sepenuhnya hilang.

Satu per satu guru SD Negeri Pojokklitih 3, Kecamatan Plandaan, Jombang, tiba di sebuah rumah warga di pinggir desa, Kamis (23/3/2017).

Tak lama, enam guru bersiap menuju tempat mengajar. Jaraknya memang hanya 3,5 kilometer. Namun, mereka harus melewati bukit, pematang sawah, kebun, dan tiga kali menyeberang sungai selebar 20 meter.

Hal itu dilakukan agar 17 murid mereka bisa mendapat pendidikan. Warga setempat menyebut sungai yang mereka seberangi sebagai Kali Beng. Beng diambil dari bahasa Jawa mubeng yang artinya berputar. Sungai musiman itu hanya dialiri air saat musim hujan.

Di musim kemarau, guru-guru bisa melintasi dengan sepeda motor.

Setelah memastikan semua guru tiba, Purwandi (46), kepala sekolah, mencopot sepatu lalu melipat celana panjang sampai lutut, diikuti rekan guru lain, Agus Subekti (55), Trisno (54), dan Sucipto (36). Sementara dua guru perempuan, Laila Maulida (35) dan Nurmala Sari (26), mengganti rok dengan celana panjang.

Pada musim hujan, sepatu kerja tak banyak membantu untuk melintasi jalanan licin berlumpur.

Demikian pula sandal jepit.

Akhirnya, para guru lebih memilih berjalan telanjang kaki.

“Kami harus berangkat bersama-sama di musim hujan. Saat melewati sungai, harus ada teman yang mengecek pijakan yang akan dilewati. Selain arus deras, kedalaman sungai berbeda-beda,” kata Agus di awal perjalanan.

Purwandi menceritakan pengalamannya tercebur di sungai, “Waktu itu saya mengenakan jas hujan, tidak mengikuti langkah teman di depan. Ada bagian sungai yang terlihat dangkal, namun saat saya injak ternyata dalam. Saya tercebur dan hampir tenggelam karena kesulitan berenang. Setelah jas hujan dibuka baru saya bisa berenang ke bagian dangkal.”

Dalam perjalanan, Agus rajin mengingatkan teman-temannya untuk menghindari rerumputan di pinggir jalan setapak.

“Jangan ke pinggir, lho ya, banyak durinya,” ujar Agus sambil menunjuk rumpun putri malu.

Meski cukup menguras tenaga dan harus waspada, suasana perjalanan riang gembira. Banyak lelucon terlontar di antara mereka.

Setelah melewati beberapa petak sawah dan kebun, perjalanan mereka sampai di tepi sungai pertama.

 

Tampak riak air, tanda sungai berbatu dan berarus deras.

“Untung sudah surut. Dua hari lalu ketinggian mencapai 120 cm,” kata Agus sambil menempelkan sisi tangan ke dada merujuk ketinggian air saat itu.

Dengan cekatan ia memimpin rombongan melewati sungai. Agus paham betul mana bagian sungai yang dangkal. Namun, bukan perkara mudah melewati bebatuan berselimut lumut. Beberapa guru hampir terpeleset akibat salah injak batu.

Sambil mencermati dasar sungai, Agus sampai ke ujung sungai disusul Sucipto, Nurmalasari, Purwandi, Laila Maulida, dan Trisno.

 

Bahagia

Laila lantas mengeluarkan tongkat narsis dan mengajak berswafoto.

“Perjalanan memang susah, tapi jangan lupa bahagia,” ujarnya.

Menurut Laila, foto akan dibagikan di grup Whatsapp guru. Bukan untuk memperlihatkan kesusahan, melainkan kegembiraan mengajar.

“Senyum ya, satu, dua, tiga,” ujar Sucipto yang didaulat mengoperasikan telepon seluler. “Wah gelap. Ayo ulang! Ulang!” kata Sucipto. Mereka pun ambil posisi berswafoto dengan kaki terendam air sungai.

Perjalanan menuju sekolah dilanjutkan melewati pematang sawah. Beberapa saat kemudian bertemu dengan sungai kedua.

Tidak seperti sungai pertama yang didominasi bebatuan, sungai kedua berisi bebatuan dan pasir.

Selain menjaga agar tidak terpeleset, langkah kaki menjadi berat oleh arus air dan pasir.

Saat mereka berlima akan turun ke air, dari kejauhan tampak seorang remaja menyeberang sungai menghampiri mereka dan mencium tangan.

“Tadi itu Roihan, mantan murid. Saat berangkat mengajar tidak jarang kita bertemu dengan mantan murid,” kata Sucipto.

Kali ini mereka menyeberang menyerong, mengikuti bagian sungai yang lebih dangkal.

Kemudian naik ke bukit penuh bebatuan berlumut dan licin.

Setelah melewati hutan jati yang lebat, mereka kembali menyeberang sungai lagi sebelum tiba di sekolah.

Total perjalanan satu setengah jam berjalan kaki.

Waktu menunjukkan pukul 08.00.

Para siswa telah menunggu guru mereka di ujung jalan dusun.

“Gurunya datang, gurunya datang!” siswa berteriak kegirangan.

Mereka pun berhamburan menyambut kedatangan guru yang masih basah akibat perjalanan panjang dan bolak balik menyeberang sungai.

Mereka menyapa dengan tos dan cium tangan.

“Ini yang membuat semua rasa lelah hilang, disambut oleh para siswa di ujung jalan. Kedatangan kami benar-benar diharapkan oleh mereka,” kata Sucipto setiba di sekolah.

Sucipto berstatus guru honorer sejak 2004.

Ia menyatakan, tantangan dalam perjalanan mengajar bukan hal yang berat.

“Kondisi saya sudah berat sejak kecil. Saya bekerja untuk membantu ekonomi keluarga sehingga terbiasa saat harus mengajar dengan medan yang berat,” kata Sucipto.

Sementara itu, Agus Subekti yang baru pindah mengajar sejak 2012 di sekolah itu menuturkan, perjuangan menuju sekolah adalah salah satu bentuk pengabdiannya.

Letak rumah Agus paling jauh, yakni di Mojowarno, Jombang.

Ia harus berangkat pukul 05.00 setiap hari.

Guru yang menerima surat keputusan pengangkatan pada 1 Januari 1982 itu ingat betul klausul surat pengangkatan, yakni siap ditempatkan di seluruh Indonesia.

“Saya jalankan dengan ikhlas di mana pun saya mengajar,” ujarnya.

Jumlah 17 siswa mungkin dianggap sedikit bagi satu sekolah.

Namun, mereka adalah bagian dari jutaan anak yang perlu diperjuangkan pendidikannya.

Kedatangan guru menandai hari bagi mereka mendapat ilmu. (Kompas/Bahana Patria Gupta)

 

Penulis: Bahana Patria Gupta
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tribunnews.com

Ludruk, Terimpit di Antara Kursi Kosong

Bisnis.com, JAKARTA — Setia mengabdikan diri sebagai seniman teater tradisional bukanlah hal mudah. Di era modern seperti saat ini semakin sulit menemukan audiens yang benar-benar tertarik dan bisa mengapresiasi pertunjukan seni peran tradisional.

Permasalahan regenerasi menjadi momok banyak sekali sanggar seni teater tradisional di berbagai penjuru daerah. Hal itu dirasakan pula oleh Ludruk Irama Budaya, yang bermarkas di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.

Seiring pesatnya perkembangan zaman, kesenian ludruk—yang dulu sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Timur—mulai ditinggalkan. Bangku-bangku penonton tidak lagi penuh dijejali masyarakat yang antusias melihat pertunjukan ludruk.

Lantas, bagaimana upaya Ludruk Irama Budaya untuk bisa tetap eksis di tengah gelombang modernisasi? Berikut penuturan pimpinan Ludruk Irama Budaya, Deden Irawan:

Sejak kapan berdiri? Bagaimana sejarah atau awal mulanya?

Ludruk Irama Budaya beridiri pada 1987. Pendirinya bernama Sunaryo atau yang di dunia ludruk lebih dikenal dengan nama Sakiyah. Saya adalah generasi kedua yang memimpin Irama Budaya.

Saat ini ada berapa anggotanya? Paling banyak dari usia berapa?

Anggota kami bedakan menjadi dua, yaitu; senior dan junior. Saat ini anggota senior berjumlah 40 orang, dan juniornya 25 orang. Anggota senior adalah para seniman ludruk asli yang sudah lama bergabung dengan Irama Budaya.

Sementara itu, anggota junior adalah rekrutan baru yang tergabung di dalam kelas pelatihan kami. Memang, selama 4 bulan terakhir kami membuka kelas pelatihan secara gratis. Usia pesertanya tidak dibatasi, mulai dari SD, SMP, hingga dewasa.

Materi apa saja yang diajarkan?

Kami mengajarkan materi ludruk secara lengkap. Sebab, kesenian ludruk mengandung bermacam aspek, mulai dari gamelan, tari remo, bedayan,lawakan jula juli, cerita akting, artistik, hingga penataan cahaya.

Tidak ada persyaratan khusus bila hendak bergabung dengan kami. Nantinya, para anak didik akan diarahkan ke bidang-bidang yang spesifik sesuai dengan keinginan, bakat, atau ketertarikan mereka.

Banyak sanggar seni teater tradisional di Indonesia yang mengalami krisis regenerasi. Apa strategi yang dilakukan untuk menjaring minat generasi muda?

Strategi kami mulai dengan melakukan introspeksi dan pembenahan ke dalam. Sekarang ini kami digandeng oleh salah satu donatur yang memang peduli tentang dunia ludruk. Itu [mendapatkan donatur] adalah hal yang sudah lama kami idam-idamkan.

Dengan adanya donatur tersebut, kami akan melakukan pembaruan menyeluruh dari segi manajemen. Dulunya, kebanyakan sanggar ludruk dikelola dengan sistem manajemen ala juragan. Dalam arti, kepemimpinan hanya ditumpukan ke satu orang saja.

Ke depannya, kami akan membuat sistem manajemen menjadi sebuah organisasi. Kami akan mendaftarkan organisasi melalui notaris, dan mengantongi izin resmi dari Dinas Pariwisata [Jawa Timur].

Selain itu, kami akan melakukan renovasi gedung pertunjukan. Sebab, fasilitas yang ada sekarang kurang layak dan propertinya kurang mumpuni. Merenovasi sarana dan prasarana pertunjukan adalah salah satu cara untuk menggaet penonton.

Untuk menarik minat generasi muda, kami membentuk tim promosi khusus. Ke depannya, kami akan membagi skema pementasan ludruk di sanggar kami menjadi dua kelompok, yaitu; ludruk senior dengan lakon-lakon cerita klasik dan ludruk junior yang alur ceritanya lebih kekinian.

Biasanya pentas di mana? Bagaimana mendapatkan job pentas?

Sebagai latar belakang, di Surabaya terdapat 35 kelompok ludruk yang dibagi ke dalam dua golongan, yaitu; ludruk tobongan yang memiliki gedung pertunjukan sendiri dan jadwal pentas rutin, dan ludruk tanggapan yang baru pentas kalau ada panggilan atau permintaan.

Nah, kami termasuk yang ludruk tobongan. Jadi, ada atau tidak ada permintaan tampil, kami tetap melakukan pentas setiap Sabtu; sebulan empat kali. Markas tetap kami ada di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) di Jalan Kusuma Bangsa Surabaya.

Karena kami ini adalah ludruk tobongan, maka kami lebih fokus melakukan pementasan di THR. Jarang sekali kami menanggapi atau mendapatkan permintaan untuk pentas di luar gedung. Tahun ini saja permintaan pentas dari luar hanya sekitar 5 kali.

Bagaimana dengan animo penoton belakangan ini?

Terus terang jumlah penonton ludruk akhir-akhir ini semakin berkurang. Itulah mengapa kami mau mengadakan perubahan total dari dalam. Kami bertanya pada penonton, apa yang kurang dari pertunjukan ludruk sekarang ini.

Ternyata banyak penonton yang kecewa karena sekarang ini pemain-pemain ludruk sudah tidak seperti dulu. Dulu, misalnya, pemeran laki-lakinya muda dan tampan, sedangkan sekarang sudah tua semua. Itu yang nantinya akan kami coba cari solusinya.

Sekarang ini, rata-rata penonton di setiap pertunjukan tanpa sponsor paling-paling hanya 50 orang. Kalau ada sponsor, penontonnya bisa lebih dari itu. Padahal, sepuluh tahun lalu jumlah penontonnya bisa lebih dari 100 orang. Penontonn 100 orang saja itu sebenarnya sudah sepi.

Berapa tarif sewa ludruk Irama Budaya saat ini?

Sekarang tarifnya Rp15 juta untuk pementasan ludruk standar. Kalau ingin pentasnya lebih besar atau ada bintang tamunya, tarifnya bisa lebih tinggi lagi.

Dengan semakin sempitnya pasar ludruk di Jawa Timur, bagaimana persaingan antarsanggar ludruk yang masih tersisa?

Masing-masing sanggar, baik tobongan maupun tanggapan, memiliki lahannya sendiri-sendiri. Justru, persaingan yang lebih ketat adalah antarsanggar ludurk tanggapan. Semakin banyak komunitas yang mendirikan ludruk tanggapan.

Namun, mereka tidak berani nombong [berubah menjadi ludruk tobongan] karena khawatir akan risiko kerugian yang besar. Bagaimana jika tidak ada penontonnya, padahal harus memenuhi jadwal pentas rutin.

Apa sebenarnya masalah yang harus dituntaskan terlebih dahulu untuk menghidupkan sanggar pentas tradisional seperti ludruk ini?

Regenerasi. Pemain ludruk senior yang tersisa sudah tua-tua. Sangat sulit bagi kami untuk mencari pemain muda. Dengan adanya kelas pelatihan yang baru dibuka ini, mudah-mudahan nantinya akan ada pemain-pemain baru yang bisa dijaring untuk pentas bersama senior.

Karena masalah regenerasi ini pula, jumlah pemain ludruk di Jawa Timur semakin menurun. Padahal, jumlah grup ludruknya banyak. Akibatnya, saat musim permintaan tanggapan [pementasan], banyak teman-teman ludruk yang ‘membajak’ pemain dari grup-grup lain.

Biasanya musim tanggapan ludruk adalah pertengahan tahun. Kalau tahun ini, mulai April sampai dengan sebelum Ramadan. Kalau sudah kebanjiran tawaran manggung begitu, grup-grup ludruk tanggapan sering membajak pemain dari grup lain.

Regenerasi seniman ludruk memang sangat kurang. Makanya, kami gencar membuka kelas dan laboratorium ludruk untuk menarik peminat generasi muda.

Strategi apa yang dipakai untuk menggaet anggota baru?

Dengan melakukan promosi ke sekolah-sekolah. Target kami, setelah pementasan pada 6 Mei nanti, kami akan melakukan promosi ke lebih banyak lagi sekolah-sekolah di Surabaya. Pertunjukan 8 Mei akan menjadi pentas perdana untuk memperkenalkan tim junior kami.

Saat ini kami hanya bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwantika [STKW] Surabaya, Universitas Negeri Surabaya [Unesa], dan SMAN 8 Surabaya.

Seperti apa bentuk dukungan yang diharapkan dari pemerintah?

Selama ini kami sudah difasilitasi dengan gedung secara gratis di THR, yang merupakan aset Dinas Pariwisata. Namun, biaya pemeliharaan dan produksi semua ditanggung oleh kami.

Ke depan, kami para seniman ludruk di Jawa Timur mengharapkan bantuan promosi dari pemerintah. Setidaknya, bisa dipasang banner untuk publikasi, sebab promosi yang ada sekarang sangat kurang sekali.

 

Penulis: Saena

Article courtesy: Bisnis.com

Photo courtesy: Indonesiakaya.com

Peringati Hari Air Bersama Santri Jogo Kali Jombang

ADAKITANEWS, Jombang – Kondisi sungai yang belakangan ini terlihat sangat tidak layak, yang diakibatkan oleh pembuangan sampah rumah tangga dan beberapa limbah dari berbagai perusahaan industri, mendorong Santri Jogo Kali dan beberapa komunitas Non Government Organization (NGO) mengajak elemen masyarakat agar turut peduli lingkungan, Minggu (09/04).

Pada peringatan Hari Air yang jatuh pada tanggal 22 Maret, Santri Jogo Kali Jombang membuat beberapa agenda positif guna meningkatkan kesadaran masyarakat dalam hal pelestarian sungai serta biota yang ada di dalamnya. Acara yang diadakan di bantaran sungai Gude Ploso Dusun Dayu Desa Tunggorono Kecamatan/Kabupaten Jombang ini juga melibatkan sejumlah siswa dari beberapa sekolah di Jombang, mulai dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) serta Perguruan Tinggi yang ada di Jombang.

Fatkhurrohman, Ketua Santri Jogo Kali ketika ditemui Tim Adakitanews.com menerangkan bahwa acara yang dimulai pada pukul 07.00 WIB tersebut diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya di pinggiran sungai.

Berbagai perlombaan pun tak luput dari rangkaian acara guna mendekatkan masyarakat agar lebih dekat dan mencintai sungai serta airnya. Salah satu acara yang terlihat unik, yakni lomba dayung perahu yang terbuat dari pohon pisang.
Sementara untuk hiburan masyarakat, panitia mengajak komunitas pemuda untuk bermain musik di pinggir sungai, salah satunya yang terlihat adalah Ormas Oi yang identik dengan Iwan Fals. “Selain perlombaan juga ada penebaran bibit ikan dan penanaman pohon yang bertujuan untuk membantu dalam pelestarian lingkungan,” jelas Fatkhurrohman.

Fatkhurrohman menambahkan, bahwa acara tersebut juga mendapatkan dukungan penuh dari berbagai lembaga di lingkup Pemerintahan Kabupaten Jombang. Beberapa diantaranya Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Pengairan serta banyak lagi.(jb2)

Keterangan gambar: Peringatan hari air sedunia di Sungai Gude Ploso Tunggorono.(foto: adi rosul)

 

Penulis: –
Article courtesy: Adakitanews.com
Photo courtesy: Adakitanews.com

Sulap Cuilan Kayu Dadap, Jadi Pendapatan Jutaan Rupiah

KABARJOMBANG.COM – Tenggelamnya budaya tradisional di era modernisasi, tak menyurutkan pemuda asal Dusun/Desa Banjarsari Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang, untuk terus melestarikan budaya tradisional Jawa Timuran. Dia adalah Arif Suyanto, pemuda 29 tahun yang memilik jiwa kesenian jawa cukup tinggi.

Pemuda yang aktif dalam kesenian Barongan ini, berhasil melestarikan kerajinan topeng barongan yang diwariskan orang tuanya. Tak tanggung-tanggung, di tangan kreatifnya, kayu dadap berukuran setengah meter bisa berharga jutaan rupiah. Betapa tidak, dengan mengukir kayu dadap menjadi topeng kesenian barongan, pemuda ini bisa menghasilkan Rp 3 juta per satu topeng barongan.

Cukup mahal bukan. Minimnya pengrajin topeng barongan di Kota Santri, membuat keahlihan Arif begitu mahal. Dalam seminggu, Arif bisa menghasilkan satu topeng barongan. Ini disebabkan dirinya masih menggunakan peralatan tradisional. Bukan tanpa alasan, ini dilakukan dirinya untuk menjaga keaslian topeng dari tangan pengrajin.

“Memang sengaja hanya menggunakan alat tradisional berupa tatah dan pisau kecil. Ini agar ukiran dalam topeng tetap terjaga keasliannya,” katanya Sabtu (1/4/2017).

Termasuk penggunaan kayu jenis dadap, karena dianggap lebih ringan dan tidak mudah retak. Asal pengolahannya tepat, lanjutnya, maka hasil yang diperoleh dari pahatan tersebut sangat memuaskan.

“Sebelum diukir atau dibentuk menjadi topeng, tidak boleh kena panas atau kena hujan. Harus tersimpan di ruangan yang lembab,” terang Arif.

Dalam sepekan, dirinya hanya bisa membuat kerajinan topeng barongan 2 buah topeng. Meski begitu, banyaknya minat pemesan dari luar kota, tetap menyibukan dirinya untuk terus memahat kayu dadap di pangkuannya. “Masih banyak yang meminta untuk dibuatkan, termasuk dari Kota Mojokerto dan Kediri,” ungkapnya.

Dengan dibantu enam temannya yang juga bergabung dalam Komunitas Kesenian Barong miliknya, setiap pagi dirinya mengerjakan pesanan dari luar kota. Jika dilihat dari segi harga, memang menurutnya harga Rp 3 hingga Rp 4 juta per topeng bukanlah hal yang mahal. Sebab mahalnya kayu jenis dadap, yang dipilihnya membuat harga topeng semakin tinggi.

“Harga kayu dadap satu potong sudah Rp 500 ribu. Dan jika dilihat dari segi pekerjaannya yang rumit harga itu tidak masalah bagi pelanggan saya,” cetusnya.

Terbukti, hingga saat ini dirinya masih menerima orderan dari sesama pecinta kesenian barongan. Hasilnya, dalam sebulan dirinya bisa mengantongi pund-pundi rupiah dari Rp 7 hingga Rp 8 juta. “Alhmdllah hingga saat ini ada saja pecinta seni yang order disini,” pungkasnya.

Jika tidak ada pembeli yang memesan, alat-alat tersebut tetap dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah. Sebab, dirinya juga menyewakan jasa seni tradisional tari topeng barongan. “Kami juga sering pentas seni topeng barongan, dan itu bisa sampai luar kota,” teranganya.

Tarifnya, dalam satu kali pentas yang hanya berdurasi 4 hingga 5 jam, rata-rata sebesar Rp 2 hingga Rp 3 juta. Tetapi, tarif itu masih harus dibagi dengan 30 pemain pentas seni. “Selain itu, tarif kendaraan juga ikut dalam biaya itu. Tetapi Alhamdulillah satu kali pentas, satu orang bisa mendapatkan Rp 50 ribu,” ungkapnya. (aan/kj)

 

Penulis: Aan
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Satujurnal.com