• info@njombangan.com

Daily ArchiveMarch 15, 2017

Seto Mulyadi Usulkan Ludruk Berbahasa Indonesia

TEMPO.CO, Jakarta – Berkembangnya budaya pop kian menggeser kepopuleran budaya tradisional. Tak heran, kebanyakan generasi muda Indonesia, khususnya anak-anak yang tinggal di kota besar, tidak mengenal budaya tradisional, seperti ludruk. Meski demikian, psikolog anak, Seto Mulyadi, mengatakan kesenian ludruk bisa diperkenalkan dengan mudah kepada anak-anak jika bahasa pentasnya diganti.

Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto ini, saat ini, banyak kegiatan berbau seni drama di sekolah-sekolah. “Anak-anak juga suka main sandiwara atau teater. Kenapa tidak kita perkenalkan ludruk, drama tradisional asli Jawa Timur?” kata Seto saat ditemui di Auditorium Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kebayoran, Jakarta Selatan, Minggu, 12 Maret 2017.

“Salah satu upaya mengenalkannya bisa dengan menampilkan seni ludruk menggunakan bahasa Indonesia,” kata pria kelahiran Klaten, 28 Agustus 1951 ini. Sejauh ini, ludruk, yang merupakan kesenian asli Jawa Timur, memang murni menggunakan bahasa Jawa dengan logat Jawa Timuran. Tak heran, orang-orang yang dapat menikmati pentas tersebut adalah yang mengerti bahasa Jawa.

Ditemui di tempat yang sama, Koordinator Paguyuban Konco Dhewe Bram Kushardjanto mengatakan mengganti bahasa Jawa Timuran ke bahasa Indonesia dalam pentas ludruk bisa ditoleransi. “Bagaimanapun juga, banyak orang yang memang tidak mengerti bahasa Jawa. Saya sendiri orang Jawa Timur asli hanya fasih mendengar, kalau urusan ngomong, saya pasif,” ujar Bram.

Namun Bram mengatakan tentu seniman tradisional juga ingin mendekatkan penonton dengan kebudayaan mereka. “Bahasa itu masing-masing punya simfoni. Memiliki irama dan memiliki keindahan sastra. Kalau misalnya saya nonton seni Sunda, ya, saya akan sangat apresiatif karena mereka masih menggunakan tone Sunda. Aku nonton enggak ketawa, enggak apa-apa, itu memang ciri khas mereka,” kata Bram.

Meski masih ditoleransi, Bram mengungkapkan, jika semuanya diganti menjadi bahasa Indonesia murni, tak ada unsur budaya Jawa Timur yang diperkenalkan. “Kalau semua di-bahasa-Indonesia-kan, ya, enggak bagus juga. Jadi harus seimbang, lah. Toh, kita nonton Don Giovanni dan Mozart pakai bahasa Italia, tapi kita tetap suka,” kata Bram.

 

Penulis: Dinii Teja

Article courtesy: Tempo.co

Photo courtesy: Tempo.co