• info@njombangan.com

Daily ArchiveMarch 13, 2017

Ludruk Irama Budaya Bertahan

TEMPO.CO, Jakarta – Layar panggung berwarna merah dinaikkan. Dari baliknya, berdiri sosok penari waria mementaskan tari remo, tari pembuka lakon ludruk. Kakinya ke lantai hingga membikin gelang kaki bergemerincing, menari luwes di tengah tabuhan musik gamelan pengiring. Sekitar 20 menit tari remo dimainkan, sang penari kembali ke ruang rias bergabung dengan belasan waria lainnya yang sedang bersolek.
“Sing ngremo iki mesti telat, mangkane rodok molor (yang menari remo ini selalu telat, makanya agak terlambat),” kata penjaga tiket masuk pementasan Ludruk Irama Budaya, Deden Irawan, lalu terkekeh sembari meladeni wawancara Tempo, Sabtu malam, 11 Maret 2017.

Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB. Sedikit demi sedikit, penonton berdatangan. Jumlahnya tak banyak, namun 75 persen kursi hampir semuanya terisi. Tak menunggu lama, gantian 12 lelaki berbusana kebaya berlenggak-lenggok menampilkan tarian bedayan. Sekitar 30 menit, perempuan-perempuan ludruk yang semuanya laki-laki itu menyisipkan lagu campur sari di akhir tarian.

Usai tarian bedayan, pementasan Ludruk Irama Budaya berlanjut dengan parikan yang disisipi lawakan, baru kemudian masuk ke inti cerita. Malam itu, lakon berjudul Sarip Tambak Oso.

Deden sebenarnya bukan penjaga tiket biasa. Ia memimpin kelompok ludruk tersebut sepeninggal ayah angkatnya pada tahun 2012. Kelompok Ludruk Irama Budaya dibesarkan oleh mendiang seniman waria bernama Sakiyah Sunaryo.

Ludruk Irama Budaya berdiri pertama kali pada 10 November 1987. Awalnya bernama Waria Jaya, namun dua tahun kemudian diganti. “Kami ganti nama lagi menjadi Ikabra Jaya. Tahun 1990-an kami baru menggunakan nama Ludruk Irama Budaya,” kata Deden.

Pemuda berusia 36 tahun ini menjelaskan, Irama Budaya adalah ludruk tobong. Tobong artinya ialah selalu pentas menetap di sebuah gedung. Namun, gedung Taman Hiburan Remaja (THR) yang kini ditempati, bukanlah yang pertama. Sebelum tahun 2010, mereka nobong di Jalan Pulo Wonokromo. “Kami nobong tidak pernah keluar dari Surabaya,” kata Deden.

Berpentas di Pulo Wonokromo itulah masa kejayaan Ludruk Irama Budaya, antara tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an. Penonton membeludak terutama jika pentas digelar Sabtu malam. “Dari kapasitas 250-an kursi, yang datang bisa lebih dari 300. Penontonnya banyak yang berdiri,” kata Deden mengenang.

Mereka pun pentas setiap hari. Namun seiring perkembangan zaman, kesenian ludruk kian ditinggalkan masyarakat. Penonton semakin berkurang, kalah populer seiring beragamnya jenis hiburan seperti program-program televisi maupun internet. Meski pentas digelar pada malam Ahad, kursinya banyak yang kosong. Kelompok Ludruk Irama Budaya tak mampu lagi membayar biaya sewa. “Terakhir sewa gedung di sana (Pulo Wonokromo) harganya Rp 8 juta per tahun, belum termasuk bayar listrik Rp 400 ribu,” kata Deden.

Tahun 2010, Deden memutuskan berpindah ke kawasan THR Surabaya berkat fasilitas dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Mereka diberi tempat di sebuah gedung yang mangkrak di THR tanpa terbebani biaya sewa maupun listrik. “Kami hanya diminta untuk merawat gedungnya saja,” kata Deden.

Mereka pun melanjutkan pentas rutin walau hanya seminggu sekali, bukan setiap hari seperti dulu.  Jumlah penonton juga tak seramai di Pulo Wonokromo yang lokasinya strategis di tengah kota. “Sekarang manggung setiap Sabtu malam, ya penontonnya paling banter 50 orang.”

Dengan penonton yang tak banyak dan tiket masuk yang dibanderol Rp 10 ribu, praktis para anggota kelompok ludruk tak bisa mengandalkan penghidupan pada kesenian ini saja. Sekali pentas, Deden membawa sekitar 40 orang mulai pemain karawitan, pelawak, sinden, sampai penari.  “Ya tentu ini cuma sampingan. Di luar, aku kerja salon dan desain kebaya,” kata salah satu sinden merangkap pemain, Kasiyanto, 47 tahun. Waria asal Kediri itu sudah ikut Ludruk Irama Budaya sejak tahun 1999, saat ia berusia 17 tahun.

Yang lain, kata Deden, bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Ada yang menjadi kuli bangunan, membuka usaha salon, termasuk menerima job sebagai pesinden campursari, jika ada tetangga yang menggelar hajatan.

Namun, Deden dan kawan-kawannya tak patah arang. Bak lakon-lakon legenda Jawa yang tak pernah mati dalam kesenian ludruk, mereka optimistis ludruk bakal tetap eksis di tengah himpitan pesatnya hiburan di era serba instan sekarang.

Sembari berupaya meregenerasi para pemainnya, Ludruk Irama Budaya pelan tapi pasti mengembangkan jalan cerita lakonnya. Ia dan tim berani menyisipkan lawakan yang disesuaikan dengan isu-isu kekinian, misalnya politik dan media sosial. “Yang penting tidak menghilangkan pakem ludruk; tetap ada gamelan, jula-juli, remo, dan bedayan. Pakem itu tidak boleh dihilangkan,” kata Deden tegas.

Malam semakin larut. Sarip ‘Tambak Oso” memekik keras, tak terima ibunya disakiti oleh penagih pajak suruhan Tuan Tanah yang sangat pro Belanda. Lantaran si pesuruh seorang tua yang gagap, penonton tetap tertawa terpingkal-pingkal. “Saya sudah lama nggak ke sini. Kangen nonton ludruk,” kata Sri Rahayu, 45 tahun, warga Krembangan. Ia datang bersama suami dan putrinya yang berusia 2 tahun. Ia bilang, mau menonton ludruk sampai habis. *

 

Penulis: Artika Rachmi Farmita

Article courtesy: Tempo.co

Photo courtesy: Tempo.co