TEMPO.CO, Jakarta – Perkembangan kesenian ludruk menurun dibandingkan beberapa kurun lalu, karena kalah bersaing dengan hiburan lain melalui televisi. Faktor lain, adanya sebagian kalangan agamis yang berpandangan ludruk itu tontonan maksiat, karena itu bermain ludruk haram. Hal itu diungkapkan pimpinan salah satu grup seni Ludruk Karya Budaya Mojokerto, Eko Edi Susanto, kepada Tempo, Sabtu, 11 Maret 2017.
Menurut Edi, ada kalangan pemuka agama yang melarang masyarakat untuk tidak bermain ludruk, karena haram dan mengandung unsur maksiat. Akhirnya, semakin lama penggemar ludruk tidak berani untuk menanggap ludruk, bahkan mereka yang awalnya bergabung untuk nguri–uri budaya tradisional itu tidak mau ikut berlatih, karena takut dianggap berdosa.
“Jangan lihat ludruk, itu maksiat, itu dosa. Banyak sekali yang ngomong gitu. Apa alasannya, saya juga enggak tahu. Bahkan di pengajian juga disampaikan,” kata Edi.
Untuk mengantisipasi semakin luasnya penyebaran isu tersebut, Kelompok Ludruk Karya Budaya juga sempat berkonsultasi dan meminta nasihat seorang kiai. Selain itu, dalam setiap pementasan, mereka mengatakan ludruk bukan kesenian yang haram seperti yang diutarakan beberapa kalangan agamis. “Ini kan hanya nguri-uri, melestarikan budaya tradisi. Kami juga kerja sama dengan seorang kiai, dan dia juga tidak menyalahkan ludruk dan wayang,” kata Edi.
Edi mengatakan seni ludruk sudah selayaknya dijaga, karena termasuk kesenian nasional. Ia juga turun langsung ke sekolah-sekolah dengan bekerja sama dengan Direktorat Bagian Budaya di Sekolah Menengah Atas di Mojokerto untuk dapat mengajarkan kesenian ludruk di sekolah-sekolah mereka. “Saya bahkan ngajar ekstrakurikuler di beberapa sekolah. Jadi ada seniman masuk sekolah. Kami dibayar oleh direktorat,” tutur Edi.
Rencananya, pada 9 April nanti, Edi akan menghadiri pentas kesenian ludruk di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Adapun dalam pentas tersebut mereka melibatkan generasi muda, dengan pemain senior hanya empat orang. Adapun pentas dapat disaksikan secara gratis oleh pengunjung. Dengan cara ini, Edi meyakini kesenian ludruk dapat terus dikenal dari generasi ke generasi, meski peminat dan jumlah grup pemain ludruk kian berkurang tergilas zaman.
“Di Jombang ada 40 pemain ludruk. Yang laris itu lima kelompok ludruk. Biasanya mereka bersaing. Siapa yang bagus nanti akan banyak yang nanggap. Makanya kita bersaing untuk bisa menyajikan yang lebih bagus,” kata Edi. *
Penulis: Destrianita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co