• info@njombangan.com

Daily ArchiveMarch 7, 2017

Bangun Sanggar untuk Lestarikan Ludruk

SURYA.co.id | SURABAYA – Kesenian Ludruk kini tak banyak diminati generasi muda. Padahal ludruk adalah produk kesenian khas Provinsi Jawa Timur.

Tak ingin kesenian ludruk ini punah, keluarga Mohammad Rosyid (54) di Kecamatan Sambikerep punya cara tersendiri untuk melestarikan ludruk.

Mereka mendirikan sanggar untuk bisa melatih anak-anak muda di Sambikerep yang minat dan mau bergabung dalam pementasan ludruk. Ini karena keluarga Rosyid memiliki keunggulan tersendiri.

Semua anggota keluarga, mulai istri, anak dan menantu Rosyid juga adalah pemain ludruk.

“Kesenian ludruk ini sudah saya geluti sejak tahun 1986. Meski tidak ada bakat dari orang tua, saya belajar otodidak. Mulai sering pentas ke sana kemari, hingga akhirnya istri saya, Sulian, juga sering ikut kalau pentas,” ucap Rosyid saat ditemui SURYA.co.id, Minggu (5/3/2017).

Begitu juga anaknya, Rosa Dwi Chrisanti, yang sering melihat kedua orang tuanya pentas ludruk akhirnya tertarik dan mulai melakonkan peran.

Jika ayah dan ibunya biasa jadi pemain utama seperti protagonis dan antagonis dalam cerita ludruk, maka Rosa kebagian yang melantunkan campursari.

“Lalu seperti Tuhan sudah menakdirkan, dapat menantu ternyata juga punya turunan pemain ludruk. Akhirnya jadilah, istri, anak dan menantu ikut mainkan ludruk. Untuk sampingan saja, sebab mereka juga punya kerjaan kalau pagi, baru malamnya kalau ada undangan pentas ya pentas,” ucap Rosyid.

Ia menyebutkan, memang belum banyak anak muda Sambikerepyang mau bergabung dan belatih ludruk ke tempatnya.

Baru sekitar lima hingga delapan anak yang biasa latihan ke sanggar kelompok ludruk milik Rosyid, Kharisma Baru.

“Anak-anak yang kesini yang paling muda itu sekitar usia 20 an. Yang memang masih baru kita latihan dari awal memerankan cerita pakem maupun cerita fantasi. Namun ada pula yang sudah bagus latihannya kadang malah nggak perlu latihan langsung spontan,” ujarnya.

Dijelaskan Rosyid untuk bisa mementaskan ludruk, butuh banyak personel.

Mulai tim gamelan, campursari, remo, pelawakan, warokan hingga yang bertugas pelengkap pemain. Satu kali pementasan bisa membutuhkan 40 orang.

Kalau personel dari Sabikerep tidak mencukupi Rosyid terpaksa harus memanggil pemain dari luar daerah. Biasanya dari Mojokerto dan Sidoarjo.

“Akan lebih bagus kalau semua dari Sambikerep. Tapi karena masih sedikit yang mau bermain ludruk akhirnya ya manggil dari luar kota juga. Makanya kita sering ajak anak-anak muda Sambikerep untuk berlatih, supaya budaya ludruk ini tidak punah,” ucap Rosyid.

Begitu juga dengan unsur cerita yang dipentaskan. Ada dua jenis cerita yang dimainkan.

Pertama adalah cerita pakem yang menceritakan tentang sejarah seperti Sawunggaling.

Lalu ada cceita fantasi yang alur ceritanya diciptakan sendiri oleh sutradara kelompok ludruk sendiri.

Pementasan ludruk biasa ditampilkan di sejumlah acara-acata tertentu. Seperti nikahan, sedekah bumi, dan juga sejumlah acara pembukaan acara resmi di pemerintahan.

Prospek untuk menambah pendapatan juga cukup lumayan. Setiap pentas bisa ditarif Rp 15 juta.

“Untuk anak-anak yang pentas dari Kharisma Baru Sambikerepsaya menyediakan semua propertinya. Kostum dan peralatan tambahan untuk pentas sudah disiapkan,” ucapnyya. Mereka yang berlatih di tempatnya tidak dipungut biaya sama sekali.

Ia berharap ke depan akan banyak anak-anak muda Surabayayang mau tertarik untuk melestarikan ludruk, kesenian asli Jawa Timur ini.

 

Penulis: –

Article courtesy: Surya.co.id

Photo courtesy: Surya.co.id