Jombang (beritajatim.com) – Ratusan santri dan mahasiswa di Jombang sangat tertarik untuk menjajaki dan mengembangkan gagasan industri kreatif. Antusiasme yang cukup tinggi itu tampak dalam dialog bersama Ketua Pokja Industri Kreatif Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Irfan Wahid, yang berlangsung di Pesantren Tebuireng, Ahad (19/3/2017) sore.
Ahmad Dika Maulana (17), misalnya, menceritakan pengalamannya mengembangkan komunitas fotografer santri di lingkungan Pesantren Tebuireng. “Saya dan teman-teman juga bekerjasama dengan santri dari pesantren lain di Jombang,” ujarnya.
Kepada Irfan Wahid, siswa Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah (MASS) Tebuireng itu meminta saran dan masukan untuk pengembangan komunitas fotografer yang dipimpinnya. Dia berharap, komunitas tersebut dapat berkembang lebih lanjut menjadi fotografer profesional.
Lain lagi dengan Azmil (21), mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng itu berniat mengembangkan usaha yang dibutuhkan mahasiswa. Tapi, ia bingung harus membuka usaha apa. “Kira-kira usaha apa yang pas untuk mahasiswa?” tanya dia.
Pertanyaan lain dilontarkan oleh Zulfia Ulfa (19). Dia punya ide mengembangkan usaha kuliner pisang cokelat. Tapi, dia bingung produk tersebut harus diberi nama apa.
“Saya ingin produk saya nanti menembus pasar ekspor. Tapi takut nama yang saya pilih nanti sulit diucapkan konsumen di luar negeri,” ungkapnya dengan percaya diri.
Gus Ipang –sapaan akrab Irfan Wahid– kemudian membagikan tips berwirausaha kepada para santri. “Kuncinya, niat bisa dan pilih sesuatu yang berbeda, yang unik dan membuat orang memilih produk kita. Juga, buka wawasan serta harus tekun dan jangan menyerah,” pesan pria yang dikenal luas sebagai konsultan branding ini.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Ipang juga mengkritik kaum muda yang senang mencari jalan pintas dan cenderung malas belajar. “Banyak orang menyerah sebelum melalukan. Ciri khas anak sekarang, mau enaknya doang. Maunya, sedikit-sedikit minta shortcut (menu pintas),” kritiknya.
Di era teknologi informasi, pemanfaatan aplikasi online untuk memasarkan sebuah produk, tidak bisa dihindarkan. Dengan sentuhan kreativitas, produk yang sama bisa berbeda nilai jualnya. “Dengan bantuan aplikasi, produk kuliner, jasa laundry, hingga jasa mengajar privat pun dapat lebih menarik pelanggan,” saran putra sulung KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) ini.
Irfan juga mengapresiasi komunitas fotografer santri yang sudah menjalin kerjasama dengan komunitas lain. “Semakin besar komunitas, akan membuat Anda lebih dikenal dan tahu potensi diri,” sarannya.
Anggota KEIN ini menuturkan, pihaknya ingin mendorong kalangan santri agar menjadi wirausahawan dan memasuki sektor industri kreatif. Pasalnya, sektor ini semakin banyak menyerap tenaga kerja dan menjadi tren perekonomian global.
“Dari tiga subsektor saja (kuliner, fashion dan kriya), industri kreatif telah mampu menyerap 14,9 juta tenaga kerja pada 2015. Angka ini terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” tuturnya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Irfan mengatakan, pertumbuhan industri kreatif masih sangat menjanjikan. Di bidang animasi, misalnya, saat ini baru terpenuhi sekitar seratus animator. Padahal, kebutuhannya lebih dari 1.000 animator per tahun. “Pada 2015, nilai ekspor kuliner, fashion dan kriya mencapai 19,3 juta dolar,” ungkapnya.
“Keinginan Presiden Jokowi agar pesantren dapat menjadi penopang ekonomi nasional begitu tinggi. Sebagai Ketua Pokja Industri Kreatif, saya mencoba mendorong hal itu melalui sektor industri kreatif dan wirausaha santri,” pungkasnya. [suf]
Minggu malam (26/02) lahan parkir dan taman di depan gedung Pringgodani, THR (Taman Hiburan Rakyat) Surabaya lebih ramai daripada biasanya. Suasana gelap dan suram sedikit terusir dengan hadirnya beberapa orang yang terlihat lalu lalang atau sekedar duduk-duduk menunggu dimulainya pertunjukan berjudul ‘Sampek Engtay’ garapan grup ludruk Luntas. Luntas sendiri merupakan akronim dari Ludruk Nom-noman Tjap Arek Soeroboio. ‘Sampek Engtay’ merupakan produksi ke IX selama usia Luntas yang baru saja menginjak satu tahun. Produktivitas mereka dalam menghasilkan seni pertunjukkan memang tak dapat disangkal.
‘Sampek Engtay’ gaya Suroboyo
Sekitar pukul 20.00 pertunjukkan yang ditunggu-tunggu digelar. Tari Remo menjadi suguhan pembuka. Selanjutnya, lawakan dari Cak Robert dan Cak Ipul mengawali lakon ‘Sampek Engtay’ malam itu. Urut-urutan tampilan yang demikian nampaknya memang lazim untuk sebuah pertunjukan Ludruk. Lakon ‘Sampek Engtay’ dibuka dengan konflik Engtay, seorang perempuan muda yang ingin sekolah. Kala itu di Tiongkok hanya laki-laki yang diperbolehkan bersekolah. Engtay bersikeras mau menyamar menjadi laki-laki agar bisa bersekolah. Orang tuanya tak dapat mengelak, akhirnya mereka memberikan izin pada Engtay untuk pergi asalkan didampingi oleh pembantu perempuannya yang juga harus menyamar menjadi laki-laki.
Jangan membayangkan para pemain akan berbahasa ke-Tiongkok-tiongkok-an dalam melafalkan dialognya. Luntas tak melakukannya sama sekali, kecuali satu dua tokoh yang sesekali memberikan sengau untuk memberi efek bahasa Tiongkok yang hasilnya justru akan membuat penonton geli. Luntas mengadaptasi dialog sepenuhnya dalam bahasa Indonesia dan Jawa gaya Suroboyoan. Tidak hanya dialog yang mereka sesuaikan dengan konteks Suroboyo, tapi juga alur cerita dan musik. Alur cerita ‘Sampek Engtay’ digarap sebagaimana sebuah pertunjukan ludruk yang menyisipkan dagelan-dagelan di tengah alur cerita yang semestinya. Juga musik yang menjadi latar cerita digarap dengan cara memadukan antara karawitan dan rekaman lagu-lagu pop kekinian.
‘Sampek Engtay’ ala Luntas: Dongeng Lawas yang Menarik Perhatian Anak Muda
Lakon ‘Sampek Engtay’ memang bukan lakon baru dalam dunia seni pertunjukkan di Indonesia. Begitu banyak grup yang menggarapnya, sebut saja salah satu kelompok bernama Teater Koma yang di tahun 2015 telah menampilkan lakon ‘Sampek Engtay’ sebanyak 101 kali.[1] Tentu tak mudah memainkan lakon yang sudah banyak dimainkan oleh grup lain. Banyak orang pun sebenarnya sudah mengetahui jalan cerita ‘Sampek Engtay’. Engtay yang menyamar menjadi laki-laki lama kelamaan jatuh cinta pada kawan seperguruannya bernama Sampek. Sampek pun tak sengaja pada suatu saat mengetahui bahwa Engtay adalah perempuan. Mereka berdua jatuh cinta. Namun malangnya, lamaran dari Sampek ditolak mentah-mentah oleh orang tua Engtay. Engtay kemudian dijodohkan dengan putra dari tokoh terkemuka dan Sampek mati dalam kesedihannya. Engtay kemudian berpura-pura mau dinikahkan tapi di tengah arak-arakan pernikahan ia justru sengaja terjun ke makam Sampek. Keduanya bersatu dan menjelma menjadi kupu-kupu.
Sudah seringnya dongeng ‘Sampek Engtay’ ini diperdengarkan atau dipentaskan tidak membuat sejumlah orang enggan datang ke gedung pertunjukkan malam itu. Mereka memenuhi bangku-bangku tua Gedung Pringgodani. Ini merupakan fenomena yang mengherankan sebab dapat dikatakan 90% dari bangku penonton terisi dan sebagian besar dari penonton adalah anak muda. Pertunjukan seni tradisi di era modern tak lagi banyak digemari. Gedung-gedung di THR pun sudah sangat lama tak menjadi idaman masyarakat. Namun, Luntas membawa nafas baru ke dalam seni tradisi dan gedung pertunjukkan di THR. Mereka menjadi jembatan antara dunia anak muda di luar THR dengan dunia seni tradisi. Bentuk-bentuk sajian Luntas ternyata mampu mengundang kembali anak muda untuk menapakkan kakinya ke THR yang mulai ditinggalkan. Orang-orang muda dari berbagai latar belakang dan profesi seperti mahasiswa/siswa, pekerja swasta, pendidik, ibu muda rumah tangga, dll terlibat, baik untuk menonton maupun menjadi aktor/aktris dalam pertunjukkan ini. Lebih hebatnya lagi, semua pemain tidak menarik keuntungan finansial atas aksi-aksinya. Mereka berkarya berdasarkan ke-sukarela-an. Uang tiket yang dihargai Rp 15.000,00/orang hanya digunakan untuk mengganti uang produksi, tak lebih dari itu.
Perlunya Berbagai Pihak Bergandeng-Tangan
Usaha Luntas untuk menghidupkan dan memperbarui seni tradisi sembari mengenalkannya pada kaum muda memang pantas diapresiasi. Memang tidak sedikit juga catatan baik dari segi teknis maupun isi pertunjukkan yang perlu diperbaiki, seperti: mengisi banyolan-banyolan agar tidak sekedar menghibur tetapi juga membawa penonton pada kepekaan terhadap kondisi sosial politik (sebagai catatan: ludruk pada masa kolonial digunakan untuk menumbuhkan kesadaran sosial di kalangan rakyat); ketrampilan keaktoran yang perlu terus ditingkatkan; kesesuaian artistik dengan tema; dan pengaturan suara serta musik agar dialog tetap terdengar.
Luntas tidak sendiri dalam memperbaiki kekurangan-kekurangan ini. Banyak pihak seperti sekolah kesenian, tokoh-tokoh gaek dalam bidang seni tradisi, Pemkot, orang-orang muda dan masyarakat pada umumnya dapat bergandeng-tangan untuk sama-sama menghidupi budaya khas Suroboyo ini.
Penulis: –
Article courtesy: idenera.com
Photo courtesy: idenera.com
TEMPO.CO, Jakarta – Berkembangnya budaya pop kian menggeser kepopuleran budaya tradisional. Tak heran, kebanyakan generasi muda Indonesia, khususnya anak-anak yang tinggal di kota besar, tidak mengenal budaya tradisional, seperti ludruk. Meski demikian, psikolog anak, Seto Mulyadi, mengatakan kesenian ludruk bisa diperkenalkan dengan mudah kepada anak-anak jika bahasa pentasnya diganti.
Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto ini, saat ini, banyak kegiatan berbau seni drama di sekolah-sekolah. “Anak-anak juga suka main sandiwara atau teater. Kenapa tidak kita perkenalkan ludruk, drama tradisional asli Jawa Timur?” kata Seto saat ditemui di Auditorium Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kebayoran, Jakarta Selatan, Minggu, 12 Maret 2017.
“Salah satu upaya mengenalkannya bisa dengan menampilkan seni ludruk menggunakan bahasa Indonesia,” kata pria kelahiran Klaten, 28 Agustus 1951 ini. Sejauh ini, ludruk, yang merupakan kesenian asli Jawa Timur, memang murni menggunakan bahasa Jawa dengan logat Jawa Timuran. Tak heran, orang-orang yang dapat menikmati pentas tersebut adalah yang mengerti bahasa Jawa.
Ditemui di tempat yang sama, Koordinator Paguyuban Konco Dhewe Bram Kushardjanto mengatakan mengganti bahasa Jawa Timuran ke bahasa Indonesia dalam pentas ludruk bisa ditoleransi. “Bagaimanapun juga, banyak orang yang memang tidak mengerti bahasa Jawa. Saya sendiri orang Jawa Timur asli hanya fasih mendengar, kalau urusan ngomong, saya pasif,” ujar Bram.
Namun Bram mengatakan tentu seniman tradisional juga ingin mendekatkan penonton dengan kebudayaan mereka. “Bahasa itu masing-masing punya simfoni. Memiliki irama dan memiliki keindahan sastra. Kalau misalnya saya nonton seni Sunda, ya, saya akan sangat apresiatif karena mereka masih menggunakan tone Sunda. Aku nonton enggak ketawa, enggak apa-apa, itu memang ciri khas mereka,” kata Bram.
Meski masih ditoleransi, Bram mengungkapkan, jika semuanya diganti menjadi bahasa Indonesia murni, tak ada unsur budaya Jawa Timur yang diperkenalkan. “Kalau semua di-bahasa-Indonesia-kan, ya, enggak bagus juga. Jadi harus seimbang, lah. Toh, kita nonton Don Giovanni dan Mozart pakai bahasa Italia, tapi kita tetap suka,” kata Bram.
Penulis: Dinii Teja
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO , Jakarta – Bagi penggemar seni drama tradisional Ludruk, nama Cak Kartolo mungkin tak asing lagi. Namanya kian memuncak ketika ia dan kawan-kawannya mendirikan sebuah grup lawak bernama Grup Ludruk Kartolo CS sejak 1960-an.
Baca: Baca: Cak Kartolo Meriahkan Pentas Ludruk Dalang Gersang
Namun sudah lebih dari 3 dekade, pria kelahiran Pasuruan, 2 Juli 1945 ini berhenti dari panggung yang telah membesarkan namanya tersebut. Lalu apa yang dilakukan Cak Kartolo saat ini?
“Sudah sejak tahun 80-an saya sudah tidak ngeludruk, hanya lawak. Tapi kadang diundang oleh anak-anak untuk gabungan ludruk, wayang kulit, ketoprak dan orkes,” katanya saat ditemui di Auditorium Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan, Ahad, 12/03.
Terakhir, Cak kartolo diajak main ludruk dalam lakon Dalang Gersang bersama Paguyuban Konco Dhewe di Auditorium Pendopo, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Ahad, itu.
Ia mengaku dalam sebulan, ia bisa mendatangi 4 kali undangan. “Tapi kadang juga kosong. Memang setelah teman-teman meninggal, undangan yang didapat jauh berkurang,” ujar pria berusia 71 tahun ini. “Paling banyak, kalau mantenan sebulan bisa sampai 7 kali saja,” lanjutnya.
Selain di Jawa Timur, Cak Kartolo juga mengaku pernah beberapa kali diundang ke beberapa daerah. “Sejak berhenti saya juga pernah ke Gorontalo, Balikpapan, Batam dan Lombok. Tapi itu lawak saja, bukan ludruk,” katanya.
Sementara itu, jika tak ada undangan, Cak Kartolo mengaku lebih senang tinggal di rumah dan mengurus cucu. “Kegiatan sehari-hari sekarang paling antar jemput cucu sekolah,” katanya sambil tersenyum.
Penulis: Dini Teja
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Layar panggung berwarna merah dinaikkan. Dari baliknya, berdiri sosok penari waria mementaskan tari remo, tari pembuka lakon ludruk. Kakinya ke lantai hingga membikin gelang kaki bergemerincing, menari luwes di tengah tabuhan musik gamelan pengiring. Sekitar 20 menit tari remo dimainkan, sang penari kembali ke ruang rias bergabung dengan belasan waria lainnya yang sedang bersolek.
“Sing ngremo iki mesti telat, mangkane rodok molor (yang menari remo ini selalu telat, makanya agak terlambat),” kata penjaga tiket masuk pementasan Ludruk Irama Budaya, Deden Irawan, lalu terkekeh sembari meladeni wawancara Tempo, Sabtu malam, 11 Maret 2017.
Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB. Sedikit demi sedikit, penonton berdatangan. Jumlahnya tak banyak, namun 75 persen kursi hampir semuanya terisi. Tak menunggu lama, gantian 12 lelaki berbusana kebaya berlenggak-lenggok menampilkan tarian bedayan. Sekitar 30 menit, perempuan-perempuan ludruk yang semuanya laki-laki itu menyisipkan lagu campur sari di akhir tarian.
Usai tarian bedayan, pementasan Ludruk Irama Budaya berlanjut dengan parikan yang disisipi lawakan, baru kemudian masuk ke inti cerita. Malam itu, lakon berjudul Sarip Tambak Oso.
Deden sebenarnya bukan penjaga tiket biasa. Ia memimpin kelompok ludruk tersebut sepeninggal ayah angkatnya pada tahun 2012. Kelompok Ludruk Irama Budaya dibesarkan oleh mendiang seniman waria bernama Sakiyah Sunaryo.
Ludruk Irama Budaya berdiri pertama kali pada 10 November 1987. Awalnya bernama Waria Jaya, namun dua tahun kemudian diganti. “Kami ganti nama lagi menjadi Ikabra Jaya. Tahun 1990-an kami baru menggunakan nama Ludruk Irama Budaya,” kata Deden.
Pemuda berusia 36 tahun ini menjelaskan, Irama Budaya adalah ludruk tobong. Tobong artinya ialah selalu pentas menetap di sebuah gedung. Namun, gedung Taman Hiburan Remaja (THR) yang kini ditempati, bukanlah yang pertama. Sebelum tahun 2010, mereka nobong di Jalan Pulo Wonokromo. “Kami nobong tidak pernah keluar dari Surabaya,” kata Deden.
Berpentas di Pulo Wonokromo itulah masa kejayaan Ludruk Irama Budaya, antara tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an. Penonton membeludak terutama jika pentas digelar Sabtu malam. “Dari kapasitas 250-an kursi, yang datang bisa lebih dari 300. Penontonnya banyak yang berdiri,” kata Deden mengenang.
Mereka pun pentas setiap hari. Namun seiring perkembangan zaman, kesenian ludruk kian ditinggalkan masyarakat. Penonton semakin berkurang, kalah populer seiring beragamnya jenis hiburan seperti program-program televisi maupun internet. Meski pentas digelar pada malam Ahad, kursinya banyak yang kosong. Kelompok Ludruk Irama Budaya tak mampu lagi membayar biaya sewa. “Terakhir sewa gedung di sana (Pulo Wonokromo) harganya Rp 8 juta per tahun, belum termasuk bayar listrik Rp 400 ribu,” kata Deden.
Tahun 2010, Deden memutuskan berpindah ke kawasan THR Surabaya berkat fasilitas dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Mereka diberi tempat di sebuah gedung yang mangkrak di THR tanpa terbebani biaya sewa maupun listrik. “Kami hanya diminta untuk merawat gedungnya saja,” kata Deden.
Mereka pun melanjutkan pentas rutin walau hanya seminggu sekali, bukan setiap hari seperti dulu. Jumlah penonton juga tak seramai di Pulo Wonokromo yang lokasinya strategis di tengah kota. “Sekarang manggung setiap Sabtu malam, ya penontonnya paling banter 50 orang.”
Dengan penonton yang tak banyak dan tiket masuk yang dibanderol Rp 10 ribu, praktis para anggota kelompok ludruk tak bisa mengandalkan penghidupan pada kesenian ini saja. Sekali pentas, Deden membawa sekitar 40 orang mulai pemain karawitan, pelawak, sinden, sampai penari. “Ya tentu ini cuma sampingan. Di luar, aku kerja salon dan desain kebaya,” kata salah satu sinden merangkap pemain, Kasiyanto, 47 tahun. Waria asal Kediri itu sudah ikut Ludruk Irama Budaya sejak tahun 1999, saat ia berusia 17 tahun.
Yang lain, kata Deden, bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Ada yang menjadi kuli bangunan, membuka usaha salon, termasuk menerima job sebagai pesinden campursari, jika ada tetangga yang menggelar hajatan.
Namun, Deden dan kawan-kawannya tak patah arang. Bak lakon-lakon legenda Jawa yang tak pernah mati dalam kesenian ludruk, mereka optimistis ludruk bakal tetap eksis di tengah himpitan pesatnya hiburan di era serba instan sekarang.
Sembari berupaya meregenerasi para pemainnya, Ludruk Irama Budaya pelan tapi pasti mengembangkan jalan cerita lakonnya. Ia dan tim berani menyisipkan lawakan yang disesuaikan dengan isu-isu kekinian, misalnya politik dan media sosial. “Yang penting tidak menghilangkan pakem ludruk; tetap ada gamelan, jula-juli, remo, dan bedayan. Pakem itu tidak boleh dihilangkan,” kata Deden tegas.
Malam semakin larut. Sarip ‘Tambak Oso” memekik keras, tak terima ibunya disakiti oleh penagih pajak suruhan Tuan Tanah yang sangat pro Belanda. Lantaran si pesuruh seorang tua yang gagap, penonton tetap tertawa terpingkal-pingkal. “Saya sudah lama nggak ke sini. Kangen nonton ludruk,” kata Sri Rahayu, 45 tahun, warga Krembangan. Ia datang bersama suami dan putrinya yang berusia 2 tahun. Ia bilang, mau menonton ludruk sampai habis. *
Penulis: Artika Rachmi Farmita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Perkembangan kesenian ludruk menurun dibandingkan beberapa kurun lalu, karena kalah bersaing dengan hiburan lain melalui televisi. Faktor lain, adanya sebagian kalangan agamis yang berpandangan ludruk itu tontonan maksiat, karena itu bermain ludruk haram. Hal itu diungkapkan pimpinan salah satu grup seni Ludruk Karya Budaya Mojokerto, Eko Edi Susanto, kepada Tempo, Sabtu, 11 Maret 2017.
Menurut Edi, ada kalangan pemuka agama yang melarang masyarakat untuk tidak bermain ludruk, karena haram dan mengandung unsur maksiat. Akhirnya, semakin lama penggemar ludruk tidak berani untuk menanggap ludruk, bahkan mereka yang awalnya bergabung untuk nguri–uri budaya tradisional itu tidak mau ikut berlatih, karena takut dianggap berdosa.
“Jangan lihat ludruk, itu maksiat, itu dosa. Banyak sekali yang ngomong gitu. Apa alasannya, saya juga enggak tahu. Bahkan di pengajian juga disampaikan,” kata Edi.
Untuk mengantisipasi semakin luasnya penyebaran isu tersebut, Kelompok Ludruk Karya Budaya juga sempat berkonsultasi dan meminta nasihat seorang kiai. Selain itu, dalam setiap pementasan, mereka mengatakan ludruk bukan kesenian yang haram seperti yang diutarakan beberapa kalangan agamis. “Ini kan hanya nguri-uri, melestarikan budaya tradisi. Kami juga kerja sama dengan seorang kiai, dan dia juga tidak menyalahkan ludruk dan wayang,” kata Edi.
Edi mengatakan seni ludruk sudah selayaknya dijaga, karena termasuk kesenian nasional. Ia juga turun langsung ke sekolah-sekolah dengan bekerja sama dengan Direktorat Bagian Budaya di Sekolah Menengah Atas di Mojokerto untuk dapat mengajarkan kesenian ludruk di sekolah-sekolah mereka. “Saya bahkan ngajar ekstrakurikuler di beberapa sekolah. Jadi ada seniman masuk sekolah. Kami dibayar oleh direktorat,” tutur Edi.
Rencananya, pada 9 April nanti, Edi akan menghadiri pentas kesenian ludruk di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Adapun dalam pentas tersebut mereka melibatkan generasi muda, dengan pemain senior hanya empat orang. Adapun pentas dapat disaksikan secara gratis oleh pengunjung. Dengan cara ini, Edi meyakini kesenian ludruk dapat terus dikenal dari generasi ke generasi, meski peminat dan jumlah grup pemain ludruk kian berkurang tergilas zaman.
“Di Jombang ada 40 pemain ludruk. Yang laris itu lima kelompok ludruk. Biasanya mereka bersaing. Siapa yang bagus nanti akan banyak yang nanggap. Makanya kita bersaing untuk bisa menyajikan yang lebih bagus,” kata Edi. *
Penulis: Destrianita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Perkembangan kesenian ludruk menurun dibandingkan beberapa kurun waktu lalu, saat perkembangan teknologi dan dunia digital belum masif seperti sekarang. Hal itu diungkapkan oleh pimpinan salah satu grup seni Ludruk Karya Budaya Mojokerto, Eko Edi Susanto.
Menurut Eko Edi Susanto, penurunan minat masyarakat untuk menyaksikan ludruk mulai terjadi pada era 1990-an, ketika muncul media elektronik. “Kalau kami lihat sebabnya ya dengan munculnya beberapa media elektronik seperti tv dan sebagainya, dan kelompok ludruk kurang menyikapi sehingga kalah bersaing. Sekarang ada tv, orang dapat hiburan di rumah,” ujar Eko Edi Susanto saat dihubungi Tempo, Sabtu, 11 Maret 2017.
Baca juga: Kak Seto dan Cak Kartolo Akan Main Ludruk di Jakarta
Edi masih ingat, lebih dari satu dekade lalu, pertunjukan ludruk masih dapat disaksikan di panggung pentas dengan cara tobongan, atau menggunakan tiket. Namun saat ini, kesenian ludruk dihadirkan karena adanya tuan rumah yang menyewa atau menanggap mereka melalui hajatan seperti sunatan, pernikahan, acara ulang tahun, dan lain-lain.
“Kalau hajatan itu penontonnya bisa sampai ribuan. Ada sekitar empat kelompok juga yang ditiketkan, harga per tiket Rp 10 ribu. Tapi itu aja untuk biaya operasional nggak cukup, masih nombok,” ujar Edi.
Uang tiket yang tak cukup untuk menutup biaya operasional, belum lagi untuk honor pemain, membuat mayoritas grup Ludruk enggan untuk mengadakan pentas. Mereka memilih untuk menunggu tawaran hajatan, meski pendapatan yang mereka terima tak seberapa.
Edi menuturkan, awalnya grup Ludruk yang ia pimpin dalam satu bulan bisa manggung sekitar 25 kali. Namun saat ini, mereka hanya mendapat tawaran sekitar 9-11 kali, dengan bayaran per kelompok sebanyak Rp 20 juta. Uang itu pun masih harus dikurangi untuk biaya sound system, pencahayaan, tata panggung, sewa pakaian, dan sisanya dibagikan untuk honor pemain. Sedangkan dalam satu grup Ludruk, paling tidak ada sekitar 65 pemain.
“Bersihnya itu sekitar Rp 13 juta, itu dibagi ke teman-teman sekitar Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu. Makanya ini nggak bisa jadi kerjaan tetap, cuma sambilan,” kata Edi. Edi menambahkan, pemain ludruk binaannya memiliki pekerjaan utama bermacam-macam, seperti bertani, membuka salon, usaha warung kecil-kecilan, hingga menjual pakaian secara kredit. “Kalau mengandalkan ludruk aja nggak cukup untuk makan. Bermain ludruk sekadar penyaluran hobi, dan lumayan sebagai tambahan,” kata Edi. *
Penulis: Destrianita
Article courtesy: Tempo.co
Photo courtesy: Tempo.co
SURYA.co.id | SURABAYA – Kesenian Ludruk kini tak banyak diminati generasi muda. Padahal ludruk adalah produk kesenian khas Provinsi Jawa Timur.
Tak ingin kesenian ludruk ini punah, keluarga Mohammad Rosyid (54) di Kecamatan Sambikerep punya cara tersendiri untuk melestarikan ludruk.
Mereka mendirikan sanggar untuk bisa melatih anak-anak muda di Sambikerep yang minat dan mau bergabung dalam pementasan ludruk. Ini karena keluarga Rosyid memiliki keunggulan tersendiri.
Semua anggota keluarga, mulai istri, anak dan menantu Rosyid juga adalah pemain ludruk.
“Kesenian ludruk ini sudah saya geluti sejak tahun 1986. Meski tidak ada bakat dari orang tua, saya belajar otodidak. Mulai sering pentas ke sana kemari, hingga akhirnya istri saya, Sulian, juga sering ikut kalau pentas,” ucap Rosyid saat ditemui SURYA.co.id, Minggu (5/3/2017).
Begitu juga anaknya, Rosa Dwi Chrisanti, yang sering melihat kedua orang tuanya pentas ludruk akhirnya tertarik dan mulai melakonkan peran.
Jika ayah dan ibunya biasa jadi pemain utama seperti protagonis dan antagonis dalam cerita ludruk, maka Rosa kebagian yang melantunkan campursari.
“Lalu seperti Tuhan sudah menakdirkan, dapat menantu ternyata juga punya turunan pemain ludruk. Akhirnya jadilah, istri, anak dan menantu ikut mainkan ludruk. Untuk sampingan saja, sebab mereka juga punya kerjaan kalau pagi, baru malamnya kalau ada undangan pentas ya pentas,” ucap Rosyid.
Ia menyebutkan, memang belum banyak anak muda Sambikerepyang mau bergabung dan belatih ludruk ke tempatnya.
Baru sekitar lima hingga delapan anak yang biasa latihan ke sanggar kelompok ludruk milik Rosyid, Kharisma Baru.
“Anak-anak yang kesini yang paling muda itu sekitar usia 20 an. Yang memang masih baru kita latihan dari awal memerankan cerita pakem maupun cerita fantasi. Namun ada pula yang sudah bagus latihannya kadang malah nggak perlu latihan langsung spontan,” ujarnya.
Dijelaskan Rosyid untuk bisa mementaskan ludruk, butuh banyak personel.
Mulai tim gamelan, campursari, remo, pelawakan, warokan hingga yang bertugas pelengkap pemain. Satu kali pementasan bisa membutuhkan 40 orang.
Kalau personel dari Sabikerep tidak mencukupi Rosyid terpaksa harus memanggil pemain dari luar daerah. Biasanya dari Mojokerto dan Sidoarjo.
“Akan lebih bagus kalau semua dari Sambikerep. Tapi karena masih sedikit yang mau bermain ludruk akhirnya ya manggil dari luar kota juga. Makanya kita sering ajak anak-anak muda Sambikerep untuk berlatih, supaya budaya ludruk ini tidak punah,” ucap Rosyid.
Begitu juga dengan unsur cerita yang dipentaskan. Ada dua jenis cerita yang dimainkan.
Pertama adalah cerita pakem yang menceritakan tentang sejarah seperti Sawunggaling.
Lalu ada cceita fantasi yang alur ceritanya diciptakan sendiri oleh sutradara kelompok ludruk sendiri.
Pementasan ludruk biasa ditampilkan di sejumlah acara-acata tertentu. Seperti nikahan, sedekah bumi, dan juga sejumlah acara pembukaan acara resmi di pemerintahan.
Prospek untuk menambah pendapatan juga cukup lumayan. Setiap pentas bisa ditarif Rp 15 juta.
“Untuk anak-anak yang pentas dari Kharisma Baru Sambikerepsaya menyediakan semua propertinya. Kostum dan peralatan tambahan untuk pentas sudah disiapkan,” ucapnyya. Mereka yang berlatih di tempatnya tidak dipungut biaya sama sekali.
Ia berharap ke depan akan banyak anak-anak muda Surabayayang mau tertarik untuk melestarikan ludruk, kesenian asli Jawa Timur ini.
Penulis: –
Article courtesy: Surya.co.id
Photo courtesy: Surya.co.id