• info@njombangan.com

Monthly ArchiveFebruary 2017

Setetes Air Mata di Ludruk Pertama dan Seribu Senyum di Ludruk Kedua

“MENAWI Ludruk nggih kedah melas amargi nasibe nggih pancen melas tenanan. Sing paling melas sambate konco-konco Ludruk utamane konco-konco Ludruk dugi Jombang. Ludruk komunitase paling akeh nduk Jombang. Lahire yo jarene teko Jombang, tapine konco-konco rumongso pun akeh sing mboten kopen.

Kapan onok program workshop Ludruk? Kapan onok pembinaan Ludruk? Kapan onok bantuan alat-alat Ludruk? Kapan onok pentas periodik Ludruk? Terus, kenek opo yoan tahun wingi ndungareni gak onok acara Festival Ludruk? Opo Festival Ludruk ape sengojo diilangi, disebul, fuh, ben mati?

Lha nek wis ngoten punopo mboten cures, Mas? Mugi-mugi ae wonten tiyang sing saget dadi jembatan konco-konco Ludruk kalian wong pemerintah,” kata Si Abah Edy Karya, pentolane Ludruk Karya Budaya Mojokerto, ngudar rasa, makili pegiat Kesenian Ludruk di Jawa Timur sing minurut kabar burung nasibe Ludruk kian hari tambah kian… Hahaha. Mbuh!

MEMBACA sekilas status atau komentar —entah itu candaan, kritik, atau ngudar rasa di jejaring online beberapa minggu lalu hati saya langsung terenyuh, meleleh, termehek-mehek. Sebuah komentar atau candaan di sepertiga malam yang secara pragmatis saya meyakini konteksnya serius, kontemplatif, dan sarat makna jika mau ditelaah secara saksama di dalamnya.

Seketika, saklar imajinasi saya langsung hidup. On. Menyala. Mikir. Mikir ihwal Kesenian Ludruk, terkhususnya Kesenian Ludruk di wilayah Jombang, Mojokerto, dan sekitarnya yang barangkali saja nasibnya kian hari kian…? Silakan diteruskan sendiri kalimatnya.

Oleh karena, saya yakin, setiap personal pastinya mempunyai pandangan, mempunyai amatan, mempunyai timbangan, mempunyai pemikiran-pemikiran, atau pun mempunyai jawaban-jawaban yang berbeda-beda. Jawaban-jawaban yang suceng nan subjektif.

Sebelumnya mohon maaf. Ini hanya tulisan sederhana, —semacam celoteh— yang memang pada dasarnya sengaja saya tulis dengan pemikiran yang sedikit agak terkesan makul, sensible, logis, nan analitis. Dan, saya mohon bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak, dan adik-adik pembaca yang budiman bisa menanggapi tulisan ini dengan kepala-kepala yang dingin.

Mohon sekiranya ditanggapi dengan bijak dan sana. Bukan maksud saya merasa sok metis, sok ujug-ujug, atau barangkali makbedunduk (Jawa: muncul) menjadi Si Pendekar Ludruk Dadakan (SPLD) dari goa hantu. Bukan maksud saya sok merasa ingin menjadi komunikator, mediator, provokator, atau tor tor tor yang lain sebagainya. Oleh karena, bukan kapasitas saya membicarakan yang muluk-muluk tentang Ludruk adanya.

Sekiranya, tulisan ini mohon dianggaplah saja sebagai sepucuk surat cinta dari saya, —semacam tanggapan yang barangkali saja semoga bisa menyalurkan energi-energi yang positif, yang afirmatif, yang konklusif, dan tentunya: tidak bertendensi. Atau, anggap saja tulisan ini sebagai sebuah apresiasi kecil saya terhadap komentar —atau entah candaan— Si Abah di atas dan iktirad saya tentang reklame Festival Ludruk Jawa Timur yang dulu pernah saya baca dan saya potret dengan kamera ponsel di sekitaran jomplangan kereta samping stasiun Kota Santri tahun 2015 lalu.

Sebuah reklame Festival Ludruk Jawa Timur yang tampak meger-meger (Jawa: gagah), yang bisa saya katakan kok tumben sekali ya acara Festival Ludruk Jawa Timur Tahun 2015 dulu di-handellangsung oleh Pemerintah Provinsi.

Tidak seperti acara Festival-Festival Ludruk di tahun-tahun sebelumnya. Menariknya, di reklame yang saya potret tersebut tertulis secara gamblang bahwa Festival Ludruk Jawa Timur Tahun 2015 lalu digelar sebagai Acara Hari Ulang Tahun Jawa Timur Ke-70.

Kesenian Ludruk yang notabene-nya banyak sebagian pengamat yang mengatakan lahir atau tumbuh dan berkembangnya di Jombang, kelompoknya banyak di Jombang, dan para pegiatnya juga banyak dari Jombang podho akeh sing ngudar rasa. Banyak yang rasan-rasan, banyak yang merasai, mengerang, dan menarik napas panjang. Mengeluh.

“Kapan yo kiro-kiro ono Program Workshop Seni Ludruk? Kapan yo kiro-kiro ono Pembinaan Kelompok Kesenian Ludruk? Kapan tho yo kiro-kiro ono Program Bantuan Alat-alat Ludruk? Oalah kapan yo kiro-kiro ono agenda Pentas Periodik Ludruk, sing sifat’e ajeg, jejeg, sing tentune… berkembang. Nambah. Alias, tidak malah tambah dikurangi jatah pentase? Oalah kenek opo tho yo yo Festival Ludruk tahun rongewulimolas mbiyen di-handle langsung karo Pemprov? Dan, yang lebih mencenangkan lagi: Kenek opo yo kok tahun wingi nang Jawa Timur gak ono acara Festival Ludruk koyok tahun-tahun sak durunge? Opo kiro-kiro, acara Festival Ludruk Tahunane atene sengojo digusep, disebul, fuhhh, dipateni, ben Ludruk-Ludruk’e ndang cepet bongko. Subhanolloh”.

Coba, mari kita berpikir sejenak pakek otak. Oh, maaf, kita bayangkan saja, biar kesannya tidak berat. Bayangkan saja, faktanya ada sekitar duapuluh delapanan –bahkan bisa lebih– kelompok-kelompok Kesenian Ludruk yang ada di Jombang dan tersebar luas di tiap-tiap wilayah Kecamatan di Kabupaten Jombang.

Hal ini bisa dibuktikan dari usaha penelusuran kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang pernah dilakukan oleh seorang kawan alm. Fahrudin Nasrulloh, yang pernah singgah atau beravontur di tiap-tiap desa di dua puluh satu kecamatan guna menelusuri dan mengartikulasikan tiap-tiap cerita kelompok kesenian Ludruk ke dalam sebuah karya buku.

Sebuah buku berjudul “Melacak Ludruk Jombang” –yang dulu pernah diterbitkan oleh BAPPEDA Kabupaten Jombang tahun 2011. Sebuah karya buku yang sangat berharga, akan tetapi sangat disayangkan oleh karena buku tersebut hingga saat ini tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya.

Oleh karena, barangkali, buku tersebut tidak atau belum terdistribusikan dengan baik agar bisa dibaca dan diapresiasi publik. Terkhususnya, dibaca masyarakat Kabupaten Jombang dan lebih luas lagi dibaca masyarakat Jawa Timur pada umumnya.

Dengan demikian, dari duapuluh delapan hingga lebih kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang ada di Kabupaten Jombang tersebut akan disayangkan jika tidak diperhatikan secara saksama keberadaannya. Akan sangat mengecewakan jika tidak ditata atau dikelola dengan baik keseluruhannya.

Akan sangat disayangkan jika kurang diapresiasi, kurang dihadirkan ke publik, dan lain sebagainya. Maaf, saya hanya bisa memberi sampel atau sekelumit tentang jumlah dan keberadaan kelompok-kelompok Ludruk di kawasan Kabupaten Jombang saja. Pertanyaan, “Bagaimana dengan kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang juga banyak tersebar di kawasan sekitar Jawa Timur yang lainnya? Renungkan!”

Sebuah Iktirad; Setetes Air Mata di Ludruk Pertama

Melihat Kabupaten Jombang, Mojokerto, dan kabupaten-kabupaten maupun kota-kota lain yang ada di wilayah Jawa Timur yang kian hari kian asri. Yang kian hari kian tertata rapi. Yang barangkali juga kian hari kian guyup dan riuh masyarakat pendukungnya.

Terkhususnya, masyarakat yang saat ini lagi gila atau lagi haus menyerbu hiburan-hiburan di area umum dan ruang publik, saya rasa masih kurang ces dan plong jikamana masih ada sambatan-sambatan atau sesalan dari kelompok-kelompok penghibur massa.

Terkhususnya, ihwal kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang bisa saya katakan kian hari kian menepi, kian termarginalkan, dan kian berjarak dengan masyarakat pendukungnya. Terlebih, kesenian Ludruk yang secara historis asli lahir di tanah Jawa Timur ini masih kurang bisa terperhatikan, kurang bisa ditata atau dikelola rapi, kurang bisa dimaksimalkan kebermanfaatannya, kurang bisa dibanggakan keberadaannya, kurang bisa dilestarikan atau dipopulerkan, kurang bisa dijunjung tinggi derajatnya, dan lain sebagainya.

Bukti konkritnya, banyak sekian di antaranya kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang jarang manggung atau tanggapan (Jawa: tampil). Banyak kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang secara perlahan tapi pasti mulai gulung tikar, punah, mati suri, dan mati generasi. Pertanyaannya:

“Kenapa bisa jadi sedemikian? Apakah ada yang salah dengan cara berpikir masyarakatnya? Apakah ada yang salah dengan sistem atau kebijakan pemerintah daerahnya? Apakah ada yang salah dengan orang-orang atau kelompok Ludruknya?” Mari, biar tidak mis, kita merapatkan barisan, kita rapatkan rapat-rapat dalam pikiran, kita pikirkan secara krisis, logis, kritis, dan sistematis.

Kita cari dan telusuri akar masalahnya. Lalu, kita pecahkan bersama agar kesenian tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat Jawa Timur ini tidak semakin berlalu bersama angin. Tidak semakin tumpur dan mumur.

Mari kita sikapi bersama, agar salah satu kesenian purba ini bisa senantiasa tetap bertahan, tetap eksis, tetap progresif, tetap bisa melantas, serta nantinya kesenian tradisi ini bisa menjadikan sebuah citra, alias bisa melatamkan Jawa Timur di tingkat Nasional hingga Internasional. Semoga. Aamiin.

 Sebuah Tepukan; Seribu Senyum di Ludruk Kedua

Perbedaan istilah Ludruk Pertama dan Ludruk Kedua sangat sederhana. Ludruk Pertama adalah pertunjukan atau pementasan Ludruk. Sedangkan, Ludruk Kedua adalah sebuah bagian dari peristiwa kedua (setelah) menonton Ludruk. Sebuah laporan hasil baca.

Oleh karena, pada dasarnya, para penonton-penonton pementasan Ludruk yang meludruk, yang membicang atau mengobrolkan Ludruk, yang menuliskan Ludruk, dan yang lain sebagainya setelah menonton Ludruk Pertama, bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa Ludruk Kedua.

Dalam artian sederhana, Si Dadang Ari Murtono (sebagai penonton Ludruk, pendengar cerita-cerita tentang Ludruk, pembaca tulisan Ludruk, dan lain sebagainya) telah berhasil meludruk kedua melalui kegiatan ciptasastra. Mengartikulasikan Ludruk-Ludruk Pertama menjadi sebuah buku.

Buku sepilihan sajak yang diberi judul “Ludruk Kedua”. Menariknya, buku ini adalah buku yang ditulis pada saat si penulis —dalam hal ini Si Dadang Ari Murtono, sedang (merasa) ada yang gruwung (Jawa: berlubang) dalam dirinya setiap kali memikirkan tentang kenapa harus diberi nama Ludruk Kedua.

“Saya adalah seorang pribadi yang sedang tercabik-cabik dan sedang merasa tak utuh. Ada suatu masa yang hilang dan saya seakan-akan tidak akan merasa puas sebelum bisa menemukannya,” kata Si Dadang, malu-malu kucing dalam kata pengantar bukunya.

“Ludruk Kedua” adalah sebuah buku karya Dadang Ari Murtono, sastrawan muda yang masih bujang dan berprestasi Jawa Timur asal Pacet Mojokerto. Sebuah karya buku sepilihan sajak tentang Kesenian Ludruk yang di dalamnya berisi sebanyak empat puluh dua judul. Menariknya, buku sepilihan sajak ini berisi persoalan yang berkaitan erat dengan persoalan kesenian Ludruk.

Mulai dari tentang Dunia yang Dilupakan, tentang Lerok, tentang Ludruk, tentang Tranvesti, tentang Ketika Maling Caluring Memaling, tentang Cak Markeso, tentang Cak Durasim, hingga tentang persoalan Menonton Ludruk dari Balik Cerita Sewaktu Gerimis.

Buku ini saya katakan menarik untuk dibaca dan diapresiasi. Oleh karena, “Ludruk Kedua” adalah salah satu karya yang merekam secara padat tapi berisi semua persoalan yang berkaitan erat tentang kesenian Ludruk; mulai dari persoalan sejarah kesenian Ludruk, tokoh-tokoh pejuang kesenian Ludruk, sisi menarik dari pertunjukan kesenian Ludruk, sisi menarik dari kerja kelompok-kelompok Ludruk, sisi menarik dari penonton-penonton pementasan Ludruk, sisi menarik para pemain-pemain kesenian Ludruk di belakang layar (prapentas), sisi menarik kehidupan para pegiat dan pelaku kesenian Ludruk, sisi menarik lakon-lakon yang diusung dalam kelompok kesenian Ludruk, dan lain sisi-sisi lain sebagainya.

Sebuah Refleksi Tentang Ludruk Pertama dan Kedua

Mohon maaf. Sedikit saya ingin menyinggung tentang sejarah lama. Lebih khususnya sejarah tentang kesenian Ludruk. Singkat cerita, pada dasarnya, presiden pertama yang memimpin negeri kita, Soekarno, yang notabene-nya asli lahir dan dibesarkan di Jawa Timur saya katakan sangat apresiatif dalam menjunjung tinggi semua kesenian daerah-daerahnya.

Sebagai petinggi Negara nomor satu di NKRI, Presiden Soekarno pernah mengundang kelompok kesenian Ludruk ke Istana Presiden pada tahun 1958-an dan menggelar acara pementasan kesenian Ludruk selama kurun waktu tujuh belas harian.

Begitu juga putrinya, Presiden Megawati, pada saat menjabat sebagai petinggi Negara di Indonesia juga pernah mengundang kelompok keseneian Ludruk pada tahun 2002. Sebuah upaya yang konkret; mengenalkan, menempatkan, menjunjung, atau memosisikan bahwa kesenian daerah yang sudah mendarah daging di tanah air, lebih khususnya di tanah kelahirannya patut serta layak untuk dijunjung tinggi derajatnya dan harus diapresiasi. (Mohon maaf, perihal sumber foto pementasan, poster, undangan, dan lain sebagainya belum saya unggah atau saya lengkapi di tulisan ini).

Bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak, dan adik-adik pembaca yang budiman. Di era yang serba digital dan serba instan ini mari kita bayangkan dan kita pikirkan sejenak, kira-kira bagaimana kultur masyarakat Jawa Timur lebih khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya 3, 5, hingga 10 tahun ke depan.

Lebih khususnya tantangan pemerintah daerah dalam kaitannya dalam merespons local genius dan local wisdom. Dalam hal ini, bagaimana upaya pemerintah daerah dalam melestarikan budaya-budaya lokal baik dalam mengenalkan, mewariskan nilai-nilai leluhur, serta menumbuhkembangkan jiwa cinta dan bangga masyarakat pendukungnya terhadap salah satu dari sekian banyak kesenian di daerahnya.

Dengan demikian, kalau mau kita berkata jujur, sebagai warga asli Jawa Timur, pastinya kita akan memunculkan beragam pertanyaan yang semestinya bisa kita jawab dengan tepat guna: Apakah perihal kelompok-kelompok kesenian Ludruk sudah tidak dianggap penting keberadaannya? Apa kelompok-kelompok kesenian Ludruk tidak pernah membanggakan kita sebagai warga asli pendukungnya? Sebagai warga asli Jawa Timur pada khususnya?

Apakah kelompok-kelompok kesenian Ludruk tidak bisa dijadikan salah satu media shock teraphy, sebagai wahana rekreasi edukasi, dan lain sebagainya. Tentunya, cara pandang kita dalam menjawab atau menanggapi akan pastilah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan semua, tergantung dari yang di atas sana. Tergantung atasannya!*)

 

Penulis: Anton Wahyudi

Article courtesy: Factualnews.co

Photo courtesy: Factualnews.co

Kadam, Seniman Ludruk Harus Kreatif`

Perawakan tak terlalu tinggi. Rambutnya yang putih, menutupi sebagian kepala yang agak botak itu seolah memberi tanda sang seniman gaek asal Dusun Karangsuko, Kelurahan Tasikmadu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang ini memang sudah tak muda lagi. Hanya suaranya yang kecil, tinggi dan kuat itu yang tersisa membangkitkan kenangan di masa kejayaannya dimana setiap penonton dibuat terpukau oleh gregelnya yang khas.

Ya, Kadam (68 tahun) adalah pemilik gleger atau suara cengkok yang meliuk tinggi di ujung lirik kidung yang dinyanyikannya. Berkat kemampuan yang dahsyat itu dirinya dikenal sebagai tandhak ludruk yang kerap mengundang decak kagum dan tepuk meriah penonton. “Kata orang gregel saya itu masih murni, seperti emas, ya tidak dicampuri besi, apalagi kuningan,” ujar pria pemilik nama asli Radi ini.

Jangankan penonton biasa, Soekarno yang mantan presiden pertama RI saja dibuat terkagum-kagum oleh liukan kidung sang tandhak ini. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1960-an saat dirinya masih bergabung dalam group ludruk “Marhaen”, dan ludruk kala itu menjadi salah satu kesenian rakyat yang tak pernah sepi penonton. “Rupanya Pak Karno langsung keki, kok ada ya anak masih muda yang bisa ngidung seperti itu,” kenang Kadam yang kala itu baru berumur 18 tahun. Ia mengakui kelebihannya terletak pada gregel yang ia miliki dan sejak saat itu pula ia sering diundang ke Istana. Bahkan terhitung sekitar 16 kali ia tampil di Istana, salah satunya manggung di Istana Tampak Siring dan Istana Bogor. Tetapi di atas semua, kunci utamanya adalah kepercayaan diri. “Langsung enak gitu saja, wong bapak (Sukarno-red.) kan tidak mengerti ludruk, saya itu kan gitu pokoknya waktu pentas yang nonton itu saya anggap tidak mengerti ludruk,” katanya, sambil menyebut banyak personel ludruk “Marhaen” yang masih sangat rikuh tampil di depan Bung Karno.“Sebagai seniman daerah saya rasa itu sudah cukup,” kata Kadam yang menuturkan sempat bergabung dengan dengan sejumlah group ludruk di Jawa Timur ini mengaku puas. Sebagai seorang seniman yang hidup pas-pasan, Kadam sebelumnya memang pernah malang melintang bersama Ludruk “Warna-Warni Nusantara” Malang dan “Sari Rukun” di Jombang. Baru setelah pecah huru-hara G 30 S 1965, ia terpaksa keluar dari “Marhaen” dan bergabung bersama group “Wijaya Kusuma” Surabaya dan terakhir di group “Persada Malang”.Meski kini usianya sudah tua dan ludruk sudah tak seramai dulu yang kerap tampil di berbagai acara, Kadam belum benar-benar berhenti bermain ludruk. Sambil bekerja memotong dan menjual jahitan pesanan orang di rumahnya, katanya ada saja group ludruk yang memakai jasanya untuk mentas. Belakangan ini misalnya, ludruk “Tonil Baru” Malang mengajak pentas di TMII Jakarta, tepatnya pertangahan 2006 lalu. Pertunjukan ludruk yang belakangan ini makin jarang dan sepi penonton, menurut Kadam, adalah hasil perubahan jaman. Banyak kesenian selain ludruk seperti wayang kulit yang masih menggunakan Jawa Kromo Inggil, lanjutnya, akan tergilas. Ini lantaran bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris lebih disukai dan menjadi bahasa praktek sehari-hari masyarakat generasi sekarang. Untuk bisa bertahan dari badai kepunahan, ludruk harus kreatif. Hal itu, kata Kadam, satu-satunya yang bisa menolong seperti ludruk-ludruk di Mojokerto dan Jombang. Selain karena dukungan kondisi sosio-kultural dan geografis, grup-grup ludruk tersebut terus melakukan inovasi kreatif. Kreativitas yang dimaksudkan Kadam adalah kemampuan sutradara untuk menampilkan hal baru dan menarik dalam bingkai ceritanya. Dan yang tak kalah penting adalah peremajaan. “Kalau ini tidak dilakukan, penonton akan jemu dan bosan,” tandasnya. Selain itu ia juga menyarankan agar sebuah grup ludruk berhati-hati dalam mengelola keuangan. Manajemen keuangan mesti dikelola secara transparan agar kelompok ludruk tersebut bisa maju dan menghidupi para anggotanya. “Dapat duit berapa saja, semua seniman harus tahu,” tegas Kadam mengingatkan, meski dirinya sebenarnya juga mengakui pengelolaan semacam itu makin sulit karena mayoritas ludruk belakangan ini dikelola dengan sistem juraganan. “Kalau di juragan kan nggak transparan, juragan kan sak maunya sendiri apalagi kalau orangnya sendiri, itu seperti tidak ada harganya,” kata Kadam.

Bayaran seniman ludruk memang tak terlalu besar. Rata-rata honor dalam satu kali pentas berkisar antara 75 ribu sampai 150 ribu, jumlah yang amat kecil untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal bagi seniman itu tidak ada kepastian berapa kali mereka akan manggung setiap bulannya. Apalagi kini makin sedikit saja orang yang mengundang kesenian ludruk dalam hajatan keluarga karena dinilai relatif lebih mahal ketimbang jenis kesenian lain.
Tapi bagi Kadam, kenyataan itu tak perlu disesali. “Memang gitulah, ya jangan ngresulo ora payu ya memang jamannya seperti ini,” tutur Kadam. Di sudut matanya tetap saja ia nampak tak bisa menyembunyikan keprihatinannya. Kini ludruk sudah turun kualitas, turun harga, turun segalanya.

 

Penulis: –

Article courtesy: desantara.or.id

Photo courtesy: budaya-indonesia.org

Cara Mudah Melestarikan Seni Budaya Jombang

Kata siapa melestarikan seni budaya itu sangat ribet?

Kata siapa melestarikan seni budaya itu membutuhkan dana yang besar?

Kata siapa melestarikan seni budaya hanya melibatkan kalangan tertentu saja?

Kata siapa melestarikan seni budaya dilakukan nanti-nanti saja?

 

Ya, pelestarian seni dan budaya memang seperti ayam dan telur selalu ada pro kontra, ini dan itu yang akhirnya tidak terwujud dalam bentuk apapun. Banyak orang ilang bahwa pelestarian seni budaya juga membutuhkan banyak uang. Hm, sepertinya ini mungkin ada benarnya namun ada juga salahnya. Seperti makanan paket hemat, ada juga lo paket hemat pelestarian seni budaya. Nah, berikut ini adalah beberapa cara:

 

Yuk didata!

Pendataan itu penting sekali. Data yang terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya akan menjadi rujukan atau referensi di masa mendatang. Banyak seni budaya yang hanya hilang begitu saja tanpa ada pendataan. Kemudian ketika generasi saat ini mencarinya, tidak ada data yang bisa digunakan. Para seniman, seniwati dan pegiat seni budaya juga mungkin sudah berusia uzur atau bahkan mungkin sudah berpulang ke Tuhan YME. Data ini penting karena menjadi catatan historis. Dana ini juga harus diverifikasi kebenarannya sehingga nantinya bisa digunakan oleh siapa saja. Data tersebut beranekaragam mulai dari macam-macam seni budaya, profil seniman seniwati sampai profil grup seni budaya. Jika kamu tertarik untuk ikut serta, Njombangan juga suatu saat akan melaksanakan program pendataan ini. Silahkan klik di sini.

 

Yuk dipromosikan!

Nah mempromosikan ini caranya banyak sekali bisa melalui penyeleggaraan event fisik, bisa melalui promosi di dunia maya. Berikut ini ada banyak cara yang bisa dilakukan:

  1. Menyelenggarakan promosi di event yang sudah ada misalnya saat Car Free Day, festival-festival tertentu dan lainnya
  2. Menyelenggarakan event promosi ke berbagai institusi misalnya ke sekolah-sekolah
  3. Menyelenggarakan event via media massa misalnya radio, koran, tv lokal dan lainnya
  4. Menyelenggarakan promosi melalui media sosial dan website

 

Apapun pilihannya, prioritaskan yang tidak berbiaya atau berbiaya minim sehingga promosi dapat dilaksanakan sesering mungkin. Bahkan jika bisa, promosi dapat diduplikasi oleh orang lainnya dengan mudah.

 

Yuk ditonton!

Kadang pertunjukan seni budaya tradisional ini sepi sekali penonton. Hal ini tentu membuat kecewa para seniman dan seniwatinya. Nah dimanapun ada pertunjukan seni dan budaya, terutama yang live/ langsung/ sedang berlangsung, ada baiknya kamu ikut menonton pertunjukan tersebut. Tontonlah dari awal sampai akhir. Jika kamu merasa bosan cobalah untuk betah. Jika masih bosan, coba kamu berpindah posisi atau jajan sebentar kemudian balik menonton lagi.

 

Yuk didokumentasikan!

Didokumentasikan ini dalam hal foto dan video. Sebisa mungkin kamu mendokumentasikan seni dan budaya itu melalui video, film, foto, rekaman suara dan lainnya. Ini adalah data hidup dibandingkan data berupa kata dan angka yang bisa dibaca. Setelah itu, kamu bisa simpan dan bagi melalui media sosial yang kamu miliki.

 

Yuk diapresiasi!

Nah, kamu juga bisa memberi apresiasi kepada seniman dan seniwati ini. Caranya bagaimana, ada banyak sekali seperti di bawah ini:

  1. Kamu bisa menanggap/ menggunakan jasa seni budaya mereka untuk berbagai event dan perayaan. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan pemasukan dan seomga akan terus berkarya.
  2. Memberikan tepuk tangan dan pujian secara langsung ketika mereka tampil. Bahkan tepuk tangan dan pujian ini jauh lebih berharga dari apapun konon katanya.
  3. Kamu bisa ikut belajar seni budaya ini jika bisa langsung bersama mereka.
  4. Kamu kunjungi rumah mereka, dengar cerita mereka dan dengar keluh kesah mereka dalam melestarikan seni dan budaya.
  5. Jika kamu punya rezeki lebih, ketika berkunjung jangan lupa membawa bingkisan. Bingkisan tidak harus mahal yang penting ikhlas.
  6. Kamu juga bisa memberikan bingkisan berupa piagam penghargaan, kolase foto-foto seni budaya dari seniman seniwati tersebut atau lainnya.

 

Nah, demikian ada banyak sekali cara yang mana kita bisa ikut berpartisipasi dalam melestarikan seni dan budaya Njombangan. Yuk melakukannya bersama-sama! Kalau bukan kita, siapa lagi?!

 

Penulis:

Article courtesy:

Photo courtesy: