• info@njombangan.com

Monthly ArchiveNovember 2016

Potret Seniman Realis Jalanan di Jombang

JOMBANG, (kabarjombang.com) – Di kabupaten Jombang, tak banyak kita menemukan seniman lukis dengan teknik realis. Bukan karena sepinya minat pemesan, tetapi teknik melukis seperti ini bisa dibilang cukup sulit dan dibutuhkan ketelatenan.

Apalagi di era digital ini, orang banyak menghias dinding rumahnya dengan lukisan yang dibuat dengan bantuan aplikasi digital komputer atau android. Disamping praktis, juga tak menguras kantong.

Namun, bagi Wiwid Priyanto (34), seorang pelukis realis jalanan di Kota Santri ini, masih tetap bertahan menjadi pelukis wajah. Dia masih meyakini, karya orisinalitasnya bersama pensil, kertas, kuasnya, masih banyak digandrungi peminat seni.

Seniman asal Desa Lengkong, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk ini mengatakan, karya seni realis bukanlah sebuah pasar. Seni ini merupakan seni obyek dua dimensi yang menggambarkan seperti bidang aslinya. Dia mengaku senang melakoni pekerjaan seninya. Sebab, menghasilkan sebuah karya lukis realis tidak hanya dibutuhkan kejelihan, melainkan juga ketelatenan. Disitulah, dia tertantang dan menikmatinya.

“Mengerjakan lukisan realis harus telaten, dalam mengamati setiap lekuk dan guratan yang ada pada obyek. Saya senang melakoni ini, karena ada kepuasan tersendiri, yakni menghasilkan karya untuk orang lain,” katanya, Sabtu (26/11/2016) yang saat itu dia mangkal di trotoar Jalan Dr Soetomo, barat Kebonrojo, Jombang.

Benar saja, saat KabarJombang.com melihat pria ini mulai melukis 3 wajah pesanan seseorang. Pelukis itupun memulai men-sketsa foto milik pemesan yang dipegangnya. Lalu dia pun mengambil pensil, selembar kertas kanson (kertas khusus sketsa), dan penyangga. Tak lama kemudian, sketsa wajah pun jadi.

Setelah proses sketsa wajah usai, Wid –begitu pelukis realis ini biasa disapa- melanjutkan tugasnya dengan proses arsir dan pewarnaan tipis, menggunakan serbuk konte, atau pensil warna. Sambil sesekali mengamati terus menerus setiap detail wajah yang menjadi obyek. “Untuk hitam putih, cukup dengan serbuk konte. Jika diberi warna, dengan pensil warna,” ujarnya.

Saat beraksi melukis, Wid tampak penuh konsentrasi dan telaten, tanpa merasa terganggu apa yang terjadi di sekitarnya. Dengan kondisi jalan yang bising dan lalu-lalang orang, tak ada rasa gugup sama sekali. Ia terlihat sangat menikmati dan larut bergulat dengan obyek yang dipegangnya. Goresan demi goresan melekat tanpa ragu.

Menurutnya, untuk menyelesaikan obyek, dia hanya butuh 1 hingga 2 jam. “Itu sudah finishing. Tapi juga tergantung tingkat kerumitan dan mud,” akunya.

Pelukis realis ini mengaku, awal memiliki bakat seperti ini muncul secara otodidak. Dalam artian tidak melalui jalan pendidikan di bidang seni lukis. “Namun, saya sempat mengembangkan hobi dan bakat ini di Yogyakarta selama 3 tahun, mulai 2009 hingga 2012,” aku Wid, yang sudah menggeluti seni lukis realis jalanan di Jombang sejak tahun 2013-an.

Disinggung soal penghasilan yang diperoleh dari melukis realis, dia mengaku tiap harinya tak menentu. Namun, Wid tak ingin mengeluh. Ia tetap bersyukur. Komitmen dan kecintaannya terhadap pekerjaan seninya, membuatnya selalu bangkit, meski ia penah mengalami tidak ada pesanan selembar pun dalam sehari.

“Dijalanin saja. Tak pernah ada target berapa banyak pesanan. Toh, rezeki sudah ada yang mengatur. Yang pasti, saya berusaha maksimal dulu. Untuk kepuasan pemesan, sebelum finishing, saya pasti meminta kepada pemesan terlebih dulu, apakah ada komplain atau tidak,” ujarnya.

Untuk satu hasil karya, ia membandrol Rp 100 ribu untuk hitam putih. Sementara untuk warna hanya Rp 150 ribu. “Itu minimalis. Paling mahalnya relatif, tergantung tingkat kesulitan,” tuturnya.

Dia juga mengatakan, sebelum mangkal di Jalan Dr Soetomo setiap Sabtu dan Minggu. Dia biasa mangkal di trotoar Jalan Pattimura saban hari. “Karena trotoarnya dibenahi, saya pindah kesini. Tiap Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya, saya kerjakan di rumah, di Lengkong. Untuk lamanya mangkal juga tak menentu. Dapat 1 atau 2 pesanan saja, biasanya terus pulang,” kata pelukis yang sudah tak terhitung hasil karya lukis realisnya ini.

Meski melalui proses yang tampak sederhana, karya lukis realisnya terbilang tahan lama. Sekitar 20 hasil karya yang dibawa dan dipajangnya saat itu, adalah hasil karya beberapa tahun silam. “Semua karya sudah melalui tahap anti gores. Jadi awet dan tahan cuaca,” katanya sambil menunjukkan karya gambar sejumlah tokoh yang dipajangnya. (rief)

 

Penulis: Rief
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Harnas.co

Desainer asal Jombang dan Solo Boyong Busana Muslim ke Tokyo Modest Fashion Week

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Sebanyak 12 busana muslim rancangan desainer busana kenamaan Jawa Timur, Lia Afif bakal melenggang di panggung Tokyo Modest Fashion Week.

Acara yang berlangsung selama sepekan mulai Selasa (22/11/2016) ini akan dimanfaatkan Lia untuk lebih mengenalkan busana dengan bahan tradisional khas Tanah Air.

“Ini sebagai upaya untuk membuat Indonesia menjadi kiblat fashion dunia,” tegas pemilik nama Lia Kusumaningdiah ini, Jumat (18/11/2016).

Keberanian Lia mengusung busana muslim di pentas fashion dunia ini karena acara tersebut mengangkat tema Japan Halal Expo. “Jadi busana muslim tentu ada peluang untuk dilirik oleh penikmat fashion dunia,” paparnya.

Untuk acara di Jepang nanti, Lia khusus membuat rancangan dengan bahan Tenun Gedok Tuban yang dipadu dengan kain cifon silk, taffeta, dan seruti. Lia juga memasukkan unsur batu-batuan dan bahan mirip kuningan sebagai aksesoris.

Batuan ini dipasang Lia pada bagian tengah busana sedangkan untuk kuningan melengkapi potongan garis tegas yang kerap ditampilkannya. Batuan dan kuningan ini jika dilihat dari jauh memberi kesan gemerlap.

Batuan ini tak hanya menghiasi busana, Lia juga menempatkan bebatuan dan bahan kuningan ini pada hijab.

“Ini untuk membuat tampilan lebih manis,” tutur Lia yang sebelumnya sempat memamerkan kreasinya di sejumlah negara Asia Tenggara macam Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunai Darussalam.

Busana kreasi Lia yang diboyong ke Jepang nanti dinominasi warna-warna alam, seperti cokelat, abu-abu, kopi susu, dan hitam.

“Saya sesuaikan dengan tenun yang juga warna-warna tanah. Selain itu, juga menyesuaikan selera masyarakat Jepang yang suka seni berbau alam,” ungkapnya.

Selain 12 rancangan dalam bentuk busana paket ready to wear, Lia juga menghadirkan kreasi yang bertema glamour. Ada sekitar 40 busana rancangannya dalam berbagai bentuk potongan seperti gaya celana palaso yang mirip kulot, gamis dan jumpsuit yang terkesan elegan.

Wanita kelahiran Jombang, 9 November 1974 ini mengaku kesempatan memajang rancangan di panggung Tokyo Modest Fashion Week ini berkat peran Kementerian Koperasi.

Selain Lia Afif, desainer Indonesia lainnya yang turut gabung di pentas dunia itu adalah Tuti Adis dari Solo.

 

Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Tourist-note.com

Pelukis Ekspresikan Karyanya di Hari Pahlawan

Ada yang Melukis Sosok Bupati Jombang Pertama

JOMBANG, (kabarjombang.com) – Selain para mahasiswa yang melakukan aksi memperingati Hari Pahlawan dengan membentang bendera sepanjang 80 meter, puluhan pelukis juga tak mau kalah.

Di tempat yang sama, para pelukis yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Lukis (KOPI) Jombang, memperingati Hari Pahlawan dengan cara melukis dan menggelar pameran lukisan di lingkungan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kabupaten Jombang.

Pantauan wartawan di lokasi, sejak pagi, sekitar 20 pelukis datang dengan membawa kanvas dan perlengkapan melukis lainnya. Tampak, ada yang melukis wajah Presiden RI pertama Ir Soekarno, Panglima Besar Jenderal Soedirman, KH Hasyim Asy’ari, dan beberapa pahlawan lainnya.

Namun, ada satu pelukis yang menyajikan karya seni berbeda. Ia terlihat melukis sosok Bupati Jombang pertama, yakni Raden Adipati Aria (RAA) Soeroadiningrat, berdampingan dengan sang adik, Raden Jamilun.

“Kurang lebih selama delapan tahun, agenda melukis di Taman Makam Pahlawan ini dilakukan setiap memperingati Hari Pahlawan. Lukisan nantinya dipajang atau dipamerkan di depan pagar TMP. Boleh juga kalau ada yang beli,” kata Lukman Hakim, salah satu pelukis kepada wartawan.

Ditanya mengapa memilih melukis sosok RAA Soeroadiningrat berdampingan dengan sang adik, Raden Jamilun?, Lukman dengan tegas menjawab, jika dirinya ingin memberikan tambahan wawasan kepada masyarakat, bahwa Jombang pernah memiliki Bupati fenomenal yang juga seorang ulama dan pejuang kemerdekaan.

“Saya rasa banyak yang belum tahu mengenai kisah beliau (RAA Soeroadiningrat) begitu juga adiknya Raden Jamilun. Namun, kakak adik ini memiliki cara pemikiran yang berbeda untuk mengabdi ke masyarakat. Saat itu kisaran tahun 1910-1930,” ujarnya.

Lalu mengapa lukisan RAA Soeroadiningrat telihat lebih besar, dan detail daripada sang adik Raden Jamilun?. Pelukis aliran realis itu menjelaskan, jika lukisan karyanya menceritakan cara pandangan berbeda keduanya. RAA Soeroadiningrat lebih menjalin kerjasama dengan Belanda, dimana sisi manfaatnya untuk kepentingan warga. Sedangkan Raden Jamilun terang-terangan melawan Belanda.

“Intinya mereka sama-sama bertindak untuk kepentingan masyarakat. Namun, Raden Jamilun lebih seperti Raden Said sebelum menjadi Sunan. Ia tak segan merampok pejabat Belanda yang hasilnya dibagikan ke masyarakat,” papar pelukis berambut gondorong itu.

Sedangkan pada saat pemerintahan RAA Soeroadiningrat, ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Pendopo Kabupaten Jombang dan penanaman pohon beringin di halaman pendapa serta beringin di lokasi Ringin Contong yang kini menjadi icon Jombang.

Model strategi RAA Soeroadiningrat, yakni mendekati Belanda sebagai media penyambung. Sehingga memudahkan agenda tersembunyinya untuk semaksimal mungkin memakmurkan rakyat.

“Dia (RAA Soeroadiningrat) berprinsip mengikuti arus air, tapi jangan sampai terbawa arus. Artinya mengikuti kemauan Belanda namun tetap berjuang dan bekerja untuk rakyat,” pungkasnya. (aan)

 

Penulis: Aan
Article courtesy: Kabarjombang.com
Photo courtesy: Nu.or.id