• info@njombangan.com

Yearly Archive2015

Tuhan pun Dipentaskan: Ludruk di Masa Soekarno

Pada masa kemerdekaan atau pada periode kepemimpinan rezim Soekarno (1945-1965), ludruk menjadi kekuatan kultural untuk menyuarakan “perjuangan revolusioner yang belum selesai”. Penggunaan bahasa keseharian masyarakat Arek yang cenderung terbuka—atau bahkan vulgar—menjadikan pesan-pesan perjuangan di masa-masa awal kemerdekaan dengan mudah bisa ditangkap oleh rakyat kebanyakan. Selain itu, penggunaan dialek Arek yang tidak mengenal tingkatan bahasa juga memiliki implikasi politis bagi menguatnya keegaliteran dan memperlemah kembalinya politik feodalisme yang memberikan keuntungan bagi kalangan ningrat Jawa. Hal itu semakin diperkuat dengan ketiadaan lakon-lakon yang berlatar istana/kerajaan/keraton. Eko Edy Susanto, pimpinan Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, menuturkan:

“Penggunaan bahasa Jawa dialek Arek dalam pertunjukan ludruk, sejak masa awal perkembangannya, bukan hanya karena kesenian ini lahir dan berkembang di masyarakat Arek. Lebih dari itu, penggunaan dialek ini menegaskan semangat wong cilik yang mengedepankan kesamaan dan kesetaraan hubungan sosial. Kan dialek Arek itu tidak mengandung unggah-ugguh bahasa yang terlalu ketat, sehingga semua pemain bisa ngomong secara tebuka, tanpa tedheng aling-aling, tidak ada ewuh-pakewuh, seperti bahasa Kulonan (Mataraman, pen). Selain itu, pilihan lakon yang meminimalisasi tema keraton/kerajaan, semakin menegaskan keberpihakan ludruk terhadap kehidupan wong cilik, sekaligus menggugat kemapanan tradisi ningrat Jawa yang sangat feodal dengan beragam aturan dalam percakapannya.” (Wawancara, 16 Agustus 2014)

Keegaliteran dalam pertunjukan ludruk merupakan modal pertama bagi kesenian ini untuk digemari rakyat dari masa kolonial hingga pascakolonial. Artinya, para seniman ludruk, pada dasarnya, memiliki kekuatan politiko-kultural untuk terlibat secara langsung dalam perluasan dan penguatan semangat anti-kolonialisme yang menjadi tugas utama para elit politik dan aktor kultural di masa awal kepemimpinan Soekarno. Sementara para sastrawan, akademisi, dan pemikir budaya menawarkan bermacam ramuan nasionalisme yang sesuai untuk Indonesia pascakolonial di awal kemerdekaan melalui bermacam produk karya sastra, kritik sastra, dan pemikiran budaya dalam beragam terbita, para seniman ludruk tetap setia dengan kidungan, jula-juli, dan lakon cerita yang menawarkan keterikatan langsung dengan permasalahan sehari-hari. Sementara masih banyak aktor kultural di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang membayangkan-kembali kejayaan masa lalu yang dipenuhi feodalisme, para seniman ludruk menggugat kembalinya keningratan Jawa melalui penggunaan bahasa Arek dan lakon non-istana. Usaha untuk ‘mematikan’ keningratan Jawa melalui pertunjukan ludruk, bisa dibaca sebagai keberanian dan kecerdasan intelektual para seniman ludruk sekaligus sebagai bentuk kontribusi terhadap penyuburan nasionalisme modern yang diidealisasi keluar dari bingkai feodalisme yang hanya akan mengembalikan bangsa ini ke dalam lingkaran setan kekuasaan ningrat.

Populeritas ludruk di daerah Mojokerto, Jombang, Malang, Surabaya, dan sekitarnya, serta kedekatan narasi pertunjukan dengan kehidupan masyarakat kebanyakan, banyak partai politik yang menginginkan kelompok ludruk sebagai institusi underbow-nya, khususnya melalui lembaga kebudayaan masing-masing partai. Senyatanya, nilai-nilai kerakyatan yang diyakini para seniman ludruk, menjadikan sebagian besar dari mereka atau kelompok ludruk lebih dekat atau berafiliasi ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang secara ideologis lebih dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu kelompok ludruk berhaluan kiri yang cukup terkenal adalah Ludruk Marhaen. Ludruk Marhaen pernah menggelar pertunjukan di Istana negara sampai 16 kali. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para tentara yang akan merebut-kembali Papua, TRIKORA II B, dan memperoleh penghargaan dari Panglima Mandala Soeharto. Realitas ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini.[1]

Terdapat relasi resiprokal yang ditandai dengan negosiasi dari masing-masing pihak; seniman ludruk dan aparatus negara. Melalui pertunjukan di depan para penggede Republik yang masih berusia belia ini, para seniman ludruk, selain mendapatkan keuntungan finansial, juga mendapatkan nama baik yang akan berimplikasi kepada ketenaran mereka di mata masyarakat. Ketenaran itu pula yang akan mendatangkan job pertunjukan bagi kelompok ludruk. Sementara, bagi rezim negara, pertunjukan ludruk bisa digunakan untuk menghibur para abdi negara sekaligus memobilisasi kesadaran nasional mereka melalui lakon-lakon yang sudah disesuaikan untuk kepentingan propaganda. Meskipun banyak kelompok kesenian yang berafiliasi ke partai politik non-komunis, pilihan untuk menghadirkan kelompok ludruk yang berafiliasi ke partai politik komunis menegaskan kesadaran rezim negara terhadap potensi estetik dan diskursif ludruk untuk memobilisasi dan mendidik aparat, termasuk tentara, agar mereka terus menjaga api revolusi yang belum selesai.

Bisa dikatakan, kelompok ludruk yang berada di bawah pengaruh Lekra menggelar pertunjukan yang isinya bersifat agitatif dan propaganda. Menurut, Ibnu Sulkan, 61 tahun, salah satu tokoh ludruk Mojokerto, menjelaskan kalau pesan-pesan ideologi komunis disebarkan melalui parikan-parikan pada saat jula-juli maupun lawakan (Ishommudin, 2013). Sementara, menurut Ali Markasa, 71 tahun, salah satu maestro tari remo Mojokerto, ludruk-ludruk binaan Lekra seringkali mementaskan lakon tentang Kahar Muzakar (DI/TII), Aidit, Gerwani, dan lain-lain (Ishommudin, 2013). Bahkan, isu-isu sensitif seperti persoalan agama juga diangkat.

Di Jombang, yang merupakan basis massa NU, Lekra juga berani manggung dengan lakon ludruk Gusti Allah Ngunduh Mantu (Tuhan Mengambil Menantu). Lakon ini dimainkan oleh grup ludruk paling terkenal di Jombang waktu itu, Arum Dalu. Allah yang bagi orang Islam hanya satu atau tunggal dipersepsikan punya anak dan menantu. Ada lagi cerita Kawine Malaikat Jibril…Sepanjang 1965 itu, grup ludruk dan ketoprak di Jawa Timur semakin berani dan kritis. Lakon-lakon provokatif, seperti Gusti Allah Dadi Manten dan Malaikat Kimpoi (Malaikat Bersetubuh), sering dipentaskan. Pentas hampir merata di semua daerah yang memiliki basis kesenian binaan Lekra…Rakyat Jawa Timur, yang lebih ekspresif dan terbuka kulturnya, memainkan ludruk dengan lakon Malaikat Kipo. Kata “kipo” mempunyai arti pipa, yang berfungsi sebagai penyalur. Lakon itu mengisahkan perlawanan rakyat terhadap para pemilik tanah dalam program landreform. Para kyai adalah simbol masyarakat kelas menengah atas (priyayi) yang menguasai banyak tanah. Malaikat pun menjadi pembela rakyat untuk mendapatkan hak atas tanahnya. (Majalah Tempo, edisi 30 September 2013.hlm.98-99)

Meskipun menyinggung perasaan dan ketentraman banyak pihak—dari tentara, musuh politik PKI, hingga tokoh agama, pilihan untuk menggelar lakon yang bernada kritis-povokatif-agitatif tidak bisa dilepaskan dari orientasi ideologis Lekra yang memang berusaha melawan musuh-musuh Manipol Usdek yang diarahkan oleh rezim Soekarno. Para kyai dan tuan tanah merupakan representasi kekuatan feodal (bagian dari “tujuh setan desa”) yang menjadi sasaran dari perlawanan PKI. Meskipun secara legal-formal Lekra tidak pernah menjadi bagian dari PKI, tetapi para pengurusnya memang secara ideologis sangat dekat dengan partai tersebut. Menjadi wajar kalau kelompok ludruk yang berafiliasi ke Lekra lebih senang menggelar pertunjukan yang secara ideologis menguntungkan perjuangan lembaga kebudayaan dan partai tersebut. Selain itu, kepentingan ideologis-kultural para seniman ludruk untuk memanggungkan permasalahan hidup dan menyampaikan pesan-pesan pencerahan bagi masyarakat semakin memperkuat keterlibatan mereka dengan ideologi komunis. Dalam konteks menuju masyarakat dan bangsa maju di masa kemerdekaan, pilihan untuk menggugat kemapanan kuasa feodal berbasis agama merupakan lompatan paradigmatik yang ditawarkan para seniman ludruk. Mengapa? Karena melalui narasi dan wacana terkait kekuatan dan keberpihakan terhadap rakyat kebanyakan, ludruk berusaha memberikan kesadaran kepada para penontonnya betapa tugas-tugas revolusioner tidak bisa dan tidak boleh dibatasi oleh para tokoh agama yang hanya akan menenggelamkan alam pikiran masyarakat ke dalam kekuasaan berbasis dalil-dalil suci.

Kemampuan propaganda dan agitasi para anggota Lekra—yang dalam pedoman lembaganya bertujuan untuk memajukan kesenian dan kebudayaan rakyat serta mensejahterakan para seniman—menjadikan para seniman ludruk mau menarasikan pesan-pesan ideologis dari lembaga tersebut. Dalam pengaruh diskursif Lekra inilah, pertunjukan ludruk benar-benar mampu menjadi pertunjukan rakyat, dalam artian pertunjukannya dimainkan oleh para seniman rakyat dan mengangkat cerita serta kritik tentang kehidupan rakyat kecil. Menurut Eko Edy Susanto (2012) ludruk mendapatkan tempat di hati masyarakat karena dalam pementasan selalu menyuguhkan kritik-kritik segar kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Melalui kritik-kritik tersebut, masyarakat terpuaskan karena merasa terwakili unek-uneknya telah tersampaikan. Artinya, para seniman dan kelompok ludruk yang berafiliasi ke Lekra mampu menemukan formula untuk menginkorporasi kegelisahan dan penderitaan rakyat jelata sebagai lakon yang dikembalikan ke mereka, sehingga simpati kepada PKI semakin menguat.

Selain itu, perkembangan ludruk di masa Soekarno yang cukup menarik adalah kesadaran para seniman untuk menjadikan kelompok sebagai organisasi formal di mana masing-masing anggota dan pengurus memiliki tanggung jawab untuk membesarkan kelompok. Hal ini berbeda jauh dengan model juragan di mana hidup dan mati sebuah kelompok dan pertunjukan-pertunjukannya sangat bergantung kepada pimpinan. Melalui bentuk organisasi semua anggota dan pengurus memikul tanggung jawab kolektif untuk menemukan formula dan lakon yang bisa menjadikan sebuah kelompok laris di tengah-tengah masyarakat. Henricus Supriyanto, seorang guru besar dan pakar ludruk, menerangkan:

“Diakui atau tidak, dalam arahan Lekra, kelompok ludruk di Jawa Timur berkembang dalam model organisasi modern. Berbeda dengan model juragan yang berkembang pesat pada masa Orde Baru, manajemen modern dalam kelompok ludruk, memungkinkan masing-masing anggota dan pengurus untuk memberikan masukan terkait pengembangan ludruk. Dalam model ini, memungkinkan berlangsungnya terobosan dalam hal lakon yang dekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga para seniman ludruk memiliki kebebasan untuk membuat lakon yang kontekstual. Dengan pengelolaan organisasi yang baik, para seniman ludruk bisa melakukan pelatihan-pelatihan dramatik yang tidak selalu mengandalkan lakon-lakon yang sudah umum di masyarakat. Setelah dibekukan dan ‘dihidupkan-kembali’ oleh rezim negara Orde Baru, manajemen ludruk dikendalikan oleh juragan dan para penerus dari pihak keluarga.”(Wawancara, 8 Agustus 2014)

Berkembangnya organisasi ludruk dengan manajemen modern dalam arahan Lekra, pada dasarnya, sudah memiliki fondasi sejak era Cak Durasim, yakni dengan didirikannya LO. Terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan terobosan dalam hal naskah lakon maupun pengembangan estetika pertunjukan yang mengarah kepada representasi kehidupan dan permasalahan rakyat kebanyakan, sehingga pertunjukan ludruk tetap digemari. Meskipun bersifat eskapis, dalam artian memberikan kanal-kanal katarsis bagi permasalahan kalangan buruh dan tani yang tidak bisa diselesaikan secara langsung dan cepat dalam kehidupan nyata, cerita ludruk bisa memperkuat solidaritas dan memberikan pendidikan tentang kekuatan komunal rakyat dalam menghadapi kembalinya kekuatan-kekuatan asing, sisa-sisa feodalisme, dan nilai-nilai individual dalam kehidupan masyarakat.

 

Penulis: –

Article courtesy: matatimoer.com

Photo courtesy: budaya-indonesia.org

Ludruk Tuban Buktikan Mampu Eksis di Ajang Festival Ludruk Jatim

TUBAN (Realita) – Tuban memang bukan “sarang-nya” ludruk. Seni pertunjukkan asli Jawa Timur itu memang lebih kental ke-Surabaya-annya, baik bahasa maupun ceritanya. Karena itu seni pertunjukkan ini lebih akrab di daerah yang kulturnya sangat dekat dengan kultur Surabaya-an, seperti Sidoarjo, Gresik, Jombang, Pasuruan, Mojokerto dan Malang.

Tuban yang secara kultur lebih dekat dengan kultur Mataraman tentu tidak terlalu akrab dengan seni asli Jawa Timur ini. Ludruk Tuban pun dipandang sebagai pinggiran di lingkaran seni pertunjukkan ini. Tapi pandangan itu tak sepenuhnya benar. Dua kali ludruk made in Bumi-nya Wali ini mengikuti Festival Ludruk Jawa Timur, dua kali pula membawa pulang penghargaan sebagai penyaji terbaik.

” Festival Ludruk ke VII di Jombang barusan, kita dapat tambahan satu penghargaan lagi yaitu Pengidung Terbaik,” kata Karsiati alias Kartika Sari, Pimpinan Ludruk Armada Jaya, Compreng, Kecamatan Widang, ketika bertemu di ruang Bagian Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Dinas Perekonomian dan Pariwisata (Disperpar) Tuban, Senin (12/10/2015).

Ludruk Armada Jaya ini memang yang didaulat menjadi “duta” Tuban dalam Festival Ludruk di Jombang tersebut. Di Tuban sendiri tidak banyak grup seni pertunjukkan ini. Tiga grup Ludruk yang masuk ke catatan Disperpar sampai hari ini. Namun dari tiga grup itu, hanya Armada Jaya yang masih eksis. Dua grup lagi hidup tidak matipun tidak.

Karsiati sendiri mengaku awalnya sangat minder. Ia dan rombongannya bahkan tak bermimpi bisa mendapat penghargaan di festival itu. Sebab di festival tersebut hadir para pelaku seni pertunjukan ludruk yang sudah kesohor seperti Ludruk RRI Surabaya, Kartolo Cs, dan sejumlah nama lagi yang sudah sangat mapan di jagad ludruk.

“Ternyata kami yang pinggiran ini mampu tampil bagus juga,” sela Karsiati tersenyum bangga.

Dalam even itu, Armada Jaya menampilkan lakon Sarip Tambak Oso. Lakon yang sudah sangat populer itu jelas tak mudah disesuaikan oleh Karsiati dan kawan-kawannya. Cerita yang diangkat dari kisah seorang tokoh masyarakat di Gedangan, Sidoarjo itu jelas kental dengan logat dan dialog Suroboyoan.

” Alhamdulillah, kami bisa memainkannya dengan sempurna. Meski sehari-hari kami tidak terbiasa berbicara dengan dialog dan logat medok Suroboyoan, kami mampu memerankan Sarip dan semua tokoh di panggung dengan baik,” sambung Sa’i, pemeran Sarip yang mendampingi Karsiati.

Kepala Bidang Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Disperpar Tuban, Sunaryo, jelas tak bisa menutupi rasa harunya. Menurutnya, Armada Jaya telah memberi bukti bahwa potensi seni di Tuban Bumi-nya Wali ini memang luar biasa.

” Ini menjadi inspirasi dan semangat kita semua untuk menghidupkan dan mengembangkan Ludruk di Tuban. Selama ini Ludruk selalu identik dengan Surabaya, ke depan mungkin akan mulai bergeser,” tanggap Sunaryo.

Tambah Sunaryo, ia dan jajarannya akan terus melakukan upaya pengembangan ludruk di Bumi-nya Wali ini. Salah satunya adalah dengan memasukkan unsur-unsur lokal Tuban dalam Ludruk. ” Selama ini cerita Ludruk selalu Surabaya, Madura dan sekitarnya. Besok kita akan bikin cerita yang diambil dari Tuban,” pungkas Sunaryo. bek

 

Penulis: –

Article courtesy: realita.co

Photo courtesy: budaya-indonesia.org

Ludruk Ndeso Banggakan Lamongan

JATIMTIMES, LAMONGAN – Ludruk Dhika Indra asal Desa Mendogo, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan yang menjadi wakil Jawa Timur (Jatim) di ajang nasional-Festival Pertunjukan Rakyat (Pertura) di Kota Surabaya pada 25-27 November 2015, patut dibanggakan.

“Merupakan kebanggan Kabupaten Lamongan dapat mewakili Provinsi Jawa Timur dalam Festival Pertura Tingkat Nasional,” ujar dia.

Wahid menyebut Kabupaten Lamongan yang sudah dikenal sebagai lumbung padi, lumbung ikan, lumbung industri, akan lebih lengkap ditambah dengan adanya seni.

Menurut Wahid, seni menjadikan Lamongan lebih indah. Warga Lamongan, katanya akan semakin hidup. “Jika kita sudah mau maju maka kita harus menang (di Pertura Nasional),” sambung Wahid.

Selain Kesenian Ludruk Dhika Indra yang memenangkan Juara I, S. Jianto P.J juga menyabet sebagai sutradara terbaik dan Rizky FA sebagai Pemeran Wanita terbaik dalam Festival Pertura tingkat Jatim di Nganjuk.

Dalam acara tersebut disajikan kesenian Ludruk Dhika Indra dengan judul Kutuk Marani Sunduk. Kesenian tersebut disajikan di depan Kepala Diskominfo dan perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jatim bersama Tim Penilai.

“Mereka memberikan masukan, kritik dan saran untuk persiapan festival tingkat nasional mendatang,” bebernya. Pematangan itu untuk pementasan November mendatang.

Lakon Kutuk Marani Sunduk menceritakan tokoh utama Ki Suro sebagai sesepuh desa, yang meski berperawakan seram, namun memiliki hati yang tulus dan  mulia.

Sehingga ketika masyarakat desanya diresahkan oleh tingkah polah Lurah Barjo dan perangkat desanya yang sewenang-wenang dan tidak mengayomi masyarakat, Ki Suro tergerak berjuang menegakkan kebenaran. (*)

 

Penulis: Ardiyanto

Article courtesy: Jatimtimes.com

Photo courtesy: Jatimtimes.com

Ludruk di Ujung Tanduk

VIVA.co.id – Pria itu tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Wajahnya terlihat kuyu dengan sejumlah kerutan di dahinya. Tatapannya kosong, menerawang jauh.

Asap rokok terus mengepul dari mulutnya, dengan bibir yang menghitam. Sesekali, ia menarik napas panjang, seolah hendak menelan sejuta rasa yang menekan. Badannya yang tinggi dan langsing hanya dibungkus celana pendek dan kaus oblong yang sudah pudar warnanya.

Malam itu, Deden Irawan (35) memang terlihat gundah. Aktor sekaligus pengelola grup ludruk Irama Budaya ini mengeluhkan nasib seni ludruk yang kondisinya nyaris menemui ajal.

“Semakin hari, minat penonton semakin sedikit. Meski digratiskan, penonton tidak sebanyak dulu,” ujarnya kepada VIVA.co.id yang menyambanginya di Kampung Seni Taman Hiburan Rakyat (THR), Jalan Kusuma Bangsa, Surabaya, Jawa Timur, Rabu, 1 Juli 2015.

Deden mengatakan, ia sudah 17 tahun menggeluti ludruk. Ia merupakan anak angkat dari Sunaryo atau yang lebih dikenal Mak Sakiyah, pendiri grup ludruk Irama Budaya. Grup ludruk yang sudah berdiri sejak 1975 ini sudah kenyang manggung di mana-mana.

Grup ini sudah keliling Surabaya dan Jawa Timur untuk manggung, baik di gedung maupun di lapangan terbuka. “Irama Budaya berkeliling di Surabaya. Saat itu masih ramai. Kami pentas atau main setiap hari,” ujarnya mengenang.

Irama Budaya tak hanya pentas di gedung atau lapangan terbuka. Mereka juga sering melayani pentas di rumah warga yang sedang hajatan. Irama Budaya kemudian menetap di Wonokromo dan manggung setiap hari. “Sebelumnya, sempat tiga kali pindah tempat, dan terakhir kembali menetap di Wonokromo,” ujar ayah satu anak ini.

Oleh pemerintah daerah, Irama Budaya kemudian dipindah ke Kampung Seni THR. Di sini, mereka hanya pentas sepekan sekali. Namun, setelah ayah angkatnya meninggal tiga tahun silam, Deden mengaku jarang ikut manggung. Dia lebih banyak mengurus tiket dan keperluan kru Irama Budaya.

Di Ujung Tanduk
Lain dulu lain sekarang. Saat ini, menjalani hidup sebagai seorang seniman ludruk sangat sulit. Minat masyarakat terhadap kesenian asli Jawa Timur ini terus menurun. Kondisi ini membuat seniman dan kru ludruk sulit mendapat penghasilan, jika hanya mengandalkan dari pementasan.

“Ya tidak cukup Mas, karcis hanya Rp5.000. Jumlah kursi 50 pun tidak penuh, sering saya tekor. Baik untuk kru atau keperluan lainnya, termasuk dekorasi,” ujar Deden.

Meski demikian, Deden memilih tetap bertahan. Meski bukan orang Jawa, pria kelahiran Bogor ini mengaku tak bisa meninggalkan ludruk. Ia mencintai seni peran yang sudah ia lakoni sejak kecil ini. Guna menutupi kebutuhan anak dan istrinya, Deden kerja serabutan.

“Saya kerja serabutan, jadi kuli bangunan,” ujarnya sambil tersenyum kecut.

Tak hanya Deden. Sekitar 15 kru ludruk lainnya juga melakukan hal serupa. Untuk bertahan hidup, mereka harus kerja serabutan. “Tapi, mereka senang. Meski tidak ada uangnya. Lha, wong bayaran main ludruk hanya Rp15.000 atau Rp20.000, tetap semangat. Mangan nggak mangan pokoke ngumpul (makan tidak makan, pokoknya kumpul),” ujar Deden berseloroh.

Hal itu diamini Sugeng Rogo. Pemain ludruk ini mengatakan, ia harus kerja sampingan agar bisa menyambung hidup. Berbeda dengan Deden yang menjadi kuli bangunan, Rogo memilih membuka tempat penyewaan pakaian khas Jawa, lengkap dengan aksesorinya.

“Saya buka penyewaan pakaian untuk resepsi atau lainnya,” katanya kepada VIVA.co.id, Kamis, 2 Juli 2015.

Selain itu, bersama dengan sejumlah temannya, ia membuat beragam suvenir seperti kalung dan blangkon. Barang-barang itu, ia titipkan ke pedagang di luar THR.

Sutradara Ketoprak dan Wayang Orang, Widayatno, mengatakan, selain minat masyarakat yang terus menurun, regenerasi juga tidak berjalan. Menurut dia, pertunjukan yang digratiskan juga membuat penonton merasa sungkan. Dia kemudian memberi contoh, pernah ada sekeluarga dengan mengendarai mobil masuk ke Kampung Seni THR.

“Orang tersebut heran, pertunjukan sebagus ini kok gratis, dia mengaku sungkan untuk masuk, meski akhirnya juga menonton. Nah, ini yang harus kami pikirkan ulang,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 2 Juli 2015.

Budayawan Henky Kusuma (53) mengakui, kondisi ludruk di Surabaya memang sangat memprihatinkan. Menurut dia, pemainnya habis, sementara regenerasi tidak jalan. “Sampai tahun 1990 ludruk masih di puncak kejayaan, tapi sekarang sudah jatuh. Kalau boleh saya katakan, sekarang ludruk di Surabaya selesai, tamat,” katanya kepada VIVA.co.id, Kamis, 2 Juli 2015.

Dia bercerita, dulu tahun 80-an ada Ludruk Sari Warni. Ke mana pun main, penonton selalu berjubel. Selain itu, sekarang tidak ada gedung ludruk. Padahal, menurut dia, dulu sangat banyak gedung ludruk.

“Di Surabaya dulu, pada tahun 80 sampai tahun 90-an, gedung ludruk sangat banyak, menjamur. Di setiap wilayah kecamatan ada. Sekarang tidak ada. Sekarang, habis,” dia menambahkan.

Minim Inovasi
Henky mengatakan, minat masyarakat terhadap ludruk merosot, karena para seniman ludruk minim inovasi. Selain itu, tak ada regenerasi. “Pemain yang ada, semakin lama semakin tua. Kalau tidak dibarengi regenerasi, habis sudah Ludruk di Surabaya.”

Kondisi itu diperparah dengan hadirnya teknologi multimedia dan televisi. Stasiun televisi makin menjamur dengan berbagai pertunjukan yang terus berkembang. Sementara itu, ludruk jalan di tempat bahkan mandek.

Menurut dia, siapa pun pemain atau sutradaranya, jika tidak ada terobosan lakon yang kontekstual, ludruk akan semakin ditinggalkan. “Masih mempertahankan lakon-lakon lama, tidak diikuti sesuai perkembangan zaman. Penonton semakin jauh, karena tidak menarik.”

Keluhan serupa disampaikan Hanif Nashrullah (38). Penggemar ludruk ini mengaku sudah jarang menonton ludruk. Lakon dan pesan pementasan yang disampaikan hanya itu-itu saja, yakni seputar legenda rakyat yang sudah banyak diketahui masyarakat.

Lakon yang dibawakan selalu sama dengan adegan-adegan sebelumnya. Cerita legenda pernah masyarakat lihat, tidak ada kreasi sesuai perkembangan dan kemajuan zaman.

Selain itu, ludruk semakin merosot, karena sudah tidak ada yang mau mengurus kesenian ini. Menurut dia, dulu ludruk dipakai sebagai sarana atau alat propaganda. Jadi, isinya pesanan. Misalnya di zaman Presiden Soekarno dipakai sebagai sarana atau alat perjuangan melawan kolonial.

Di zaman Soeharto dipakai sebagai sarana menyampaikan pesan atau propaganda yang dikehendaki penguasa. “Jadi, di zaman Orde Lama dan Orde Baru, ludruk dipakai sebagai sarana tertentu untuk menyampaikan pesan. Sekarang, karena tidak ada pesanan, peran ludruk ditinggalkan, tidak ada yang mengurusi. Jadinya seperti sekarang ini nasibnya,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 3 Juli 2015.

Ia menambahkan, ludruk dulu dipakai untuk menunjukkan status sosial seseorang. Mereka menanggap ludruk untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Juga untuk menebar pengaruh dan menunjukkan status sosial.

Warga dikumpulkan dengan cara diberi hiburan ludruk. Namun, sekarang kebiasaan seperti ini sudah tak ada lagi.

Pemerintah Setengah Hati
Deden mengakui, pemerintah sudah banyak membantu terkait keberadaan ludruk di Surabaya. Menurut dia, pemerintah sudah menyediakan gedung pertunjukan.

Selain itu, mereka bisa mendiami kompleks THR tanpa dipungut biaya, baik untuk listrik maupun air. Selain itu, tiap kali pertunjukan, pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp5 juta.

Namun, ada yang dirasa kurang oleh Deden, yakni soal promosi dan pembinaan. Deden menuding, salah satu yang membuat masyarakat enggan datang dan menonton ludruk karena lokasi THR tak kelihatan, tertutup bangunan Hitex Mall. Selain itu, tidak ada baliho di dekat pintu masuk THR yang menunjukkan lokasi pementasan ludruk dan beragam kesenian daerah tersebut.

“Harapan saya, selain bentuk bantuan seperti ini (gedung dan sarana lainnya), juga perlu semacam promosi agar masyarakat tergugah lagi menyaksikan ludruk, atau dengan terobosan apa lah. Agar Ludruk tidak punah atau tidak mati.”

Widayatno mengeluhkan hal serupa. Kampung Seni THR yang tak terlihat, membuat masyarakat enggan masuk areal tersebut. Tidak ada promosi lainnya yang dilakukan internal Kampung Seni atau Pemkot Surabaya.

Henky berharap, pemerintah lebih serius menangani ludruk. Kesenian ini sudah menjadi ikon Surabaya. “Pemkot Surabaya selama ini masih setengah hati. Kalau pemerintah menganggap kesenian ludruk sebagai ikon Surabaya, harus ada pembinaan serius,” ujarnya. Selain itu, untuk menyelamatkan ludruk di Surabaya, Hengky mengusulkan ada “Bapak Angkat”.

Harapan serupa disampaikan Hanif Nashrullah. Menurut dia, bantuan subsidi Rp5 juta kepada kelompok ludruk memang sangat membantu. Namun, itu saja tidak cukup.

Menurut dia, harus ada bantuan yang lebih konkret dalam bentuk pembinaan untuk meningkatkan kreativitas dan regenerasi. “Itu yang belum saya lihat, jadi bantuan itu masih setengah hati.”

Sayangnya, Pemerintah Kota Surabaya belum merespons permohonan wawancara VIVA.co.id. Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparta) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati tak merespons pesan singkat yang dikirimkan. Upaya menghubungi lewat sambungan telepon juga tak membuahkan hasil.

Hari beranjak malam. Deden masih bertahan di pelataran THR dengan sisa kopi dan rokok di tangan. Pandangannya masih jauh menerawang. Canda dan tawa sejumlah orang yang menggerombol di gedung THR ini tak mampu mengusik lamunannya.

“Sebagai seniman, saya berharap ludruk tidak punah. Masyarakat harus tetap tahu dan mencintai. Ini warisan budaya yang tidak boleh terlepas dari budaya kita,” ujarnya. (art)

 

Penulis: –

Article courtesy: Viva.co.id

Photo courtesy: Viva.co.id

Legenda Komedi Surabaya Wafat, Ludruk Terancam Lenyap

VIVA.co.id – Dunia seni daerah di Surabaya berduka. Salah satu tokoh ludruk (kesenian drama tradisional Jawa Timur) Surabaya, Sidik Wibisono, meninggal dunia.

Rabu, 27 Mei 2015, sekitar pukul 13.00 WIB, Sidik mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Jalan Ploso Gang IX Nomor 20 A Surabaya. Perintis seniman ludruk dan kidungan khas Surabaya itu wafat di usai 73 setelah sempat opname di rumah sakit dr Soewandhi selama enam hari.

“Bapak sakit jantung koroner, sempat ngamar (opname) di rumah sakit selama enam hari pada April kemarin,” ujar putra pertamanya, Eko Suryanto Wibisono, di rumah duka, Rabu, 27 Mei 2015.

Eko mengaku, kenangan khas yang melekat tentang sosok ayahnya adalah ketika setiap ada reuni keluarga selalu diajari ngidung (syair mengandung pesan yang dinyanyikan). “Setiap ada reuni keluarga, kita anak-anaknya diajari ngidung,” kisahnya.

Di mata anak-anaknya, sosok Sidik merupakan pahlawan. Sidik rela berjuang sebagai seniman panggung untuk menghidupi lima anaknya sampai bergelar sarjana. “Bapak adalah pahlawan bagi kami. Beliau selalu menekankan pentingnya pendidikan kepada kami,” katanya.

Sidik merupakan tokoh sekaligus perintis seni budaya ludruk atau lawakan/komedi khas Jawa Timur. Hal itu diungkapkan teman-teman seniman seprofesi. Seniman Kartolo, mengaku banyak terinspirasi semangat tanpa menyerah sosok Sidik yang membawa budaya ludruk hingga terkenal di pentas nasional

“Dalam melawak, Cak Sidik sering dapuk buri (main belakangan). Beliau sering mewarnai lawakan kami saat kami kehabisan bahan,” kata seniman yang memiliki grup Kartolo Cs bersama Sapari dan Basman itu.

Kartolo mengatakan, awal mula karier Sidik di dunia seniman ludruk adalah ketia dia merintis grup ludruk Tri Sakti Surabaya pada 1969. Grup ludruk Tri Sakti Surabaya kala itu boleh dibilang grup ludruk paling terkenal di Kota Surabaya. Hampir setiap hari manggung di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Sidik juga pernah berniat berhenti untuk main ludruk, ketika anak pertamanya masuk bangku sekolah SMP di tahun 1986. Dia berpikir ingin berhenti untuk berkonsentrasi mengurus anak.

“Hampir setiap malam, Cak Sidik naik-turun panggung untuk menghibur penonton,” ujar Kartolo.

Masa keemasan Sidik di dunia ludruk adalah saat ditawari rekaman album jula-juli guyonan khas Surabaya. Waktu itu, tahun 1986, ada sekitar 25 album beredar di tengah penggemar kidungan di Jawa Timur. “Sekitar tahun 1986 namanya moncer sebagai seniman ludruk. Saya pernah main bareng di panggung, tapi tidak pernah rekaman bareng,” katanya.

Kini, dunia ludruk patut berduka. Meninggalnya Sidik seolah juga menjadi pertanda matinya budaya ludruk di Surabaya. Sebab, menurut Kartolo, upaya Pemerintah Kota maupun Provinsi untuk menghidupkan budaya khas daerah ini kurang maksimal. Bahkan, pemerintah sudah mengampanyekan budaya ludruk mulai di tingkatan pelajar, tapi ludruk tetap tak berkembang, bahkan nyaris lenyap dan dilupakan.

“Pemerintah banyak menggelar lomba ludruk tingkat pelajar, tapi ludruk tetap sulit berkembang,” katanya.

Sidik Wibisono (pemimpin kelompok ludruk Sidik Cs) meninggalkan lima anak dari perkawinan dengan istrinya Surya Dewi. Anak-anaknya, yakni Eko Suryanto Wibisono, Dwi Agus Sugiono, Mery Triana Dewi, Vivi Rosiana dan Yeni Erwati Dewi, sudah tuntas semua menjadi sarjana dan berkeluarga.

 

Penulis: –

Article courtesy: viva.co.id

Photo courtesy: Jppn.com

Tetap Cinta Ludruk meski Terima Honor Rp 10 Ribu Sekali Pentas

Kampung Seni THR nyaris terlupakan. Nasib mereka yang konsisten mempertahankan kesenian dan kebudayaan Surabaya kian terpinggir. Bagaimana kabar seniman ludruk, srimulat, wayang orang, dan ketoprak?

KEPUASAN terpancar dari wajah Suryadi, 39. Empat puluhan penonton berusia senja tertawa lepas ketika melihat adegan yang dimainkannya. Uang Rp 10 ribu yang diterimanya atas pementasan selama tiga jam itu tidak sedikit pun memupus kecintaannya pada kesenian ludruk.

Waria yang akrab disapa Mak Sur itu merupakan satu di antara 40 seniman yang masih bertahan di Ludruk Irama Budaya. Tiap Sabtu malam, mereka rutin memainkan seni tradisional khas Surabaya tersebut. Walaupun terkadang jumlah penonton sangat sedikit, mereka tetap menghibur para pencinta setia. Kebanyakan yang hadir berusia senja.

Harga tiket masuk yang hanya Rp 5 ribu mungkin terlalu murah untuk sebuah pergelaran asli Surabaya. Hiburan-hiburan modern dengan harga tiket yang mahal lebih ’’bergengsi’’ bagi masyarakat jika dibandingkan dengan perjuangan mereka mempertahankan seni tradisional kota ini tersebut.

Tetapi, Mak Sur tetap merasa bahagia. Gerusan modernitas yang perlahan melenyapkan seniman, tampaknya, tidak sedikit pun menggoyahkan konsistensinya dalam memainkan ludruk. ’’Rezeki selalu ada untuk seniman seperti saya. Buktinya, kalau dilogika, mana cukup untuk hidup dengan sepuluh ribu perak setiap minggu?’’ tuturnya kepada Jawa Pos saat ditemui di salah satu gedung pertunjukan Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.

Mak Sur bercerita, dirinya bergabung dengan Ludruk Irama Budaya sejak 2003. Pada masa jaya, pementasan ludruk yang didirikan Sunaryo tersebut selalu dipenuhi penonton. Sejak pindah dari kawasan Wonokromo ke THR pada 2010, perlahan penonton setia mereka mulai hilang.

’’Mungkin kalah oleh Hi-tech itu. Kami berlokasi di belakang. Aksesnya gelap dan seram. Seakan tidak terurus. Orang jadi takut datang. Saya yakin masih banyak pencinta Ludruk Irama Budaya yang ingin melihat kami setiap minggu,’’ tegasnya.

’’Bu Risma (wali kota Surabaya, Red) mungkin takut datang ke sini. Buktinya, gak pernah sekali pun beliau datang ke sini nonton ludruk kami,’’ imbuhnya, lantas tersenyum.

Hal senada diungkapkan pemimpin Ludruk Irama Budaya Deden Irawan. Saat ini, Ludruk Irama Budaya selalu rugi setiap minggu. Penonton yang kurang dari 50 orang kadang membuat dirinya harus merogoh kantong sendiri untuk membiayai honor pemain. ’’Gak mentolo, tiap minggu cuman dapet sepuluh ribu tiap orang. Kalau tidak benar-benar cinta ludruk, siapa yang mau hidup seperti itu?’’ ungkapnya.

Deden merupakan generasi kedua dalam kepemimpinan Ludruk Irama Budaya. Bahkan, dia rela keluar dari pekerjaannya sebagai stafsalah satu perusahaan swasta untuk mengurusi ludruk yang didirikan ayah angkatnya tersebut. ’’Ini semua amanah. Kalau seumpama saya nyerah, Surabaya akan kehilangan satu warisan budaya yang sangat berharga,’’ tegasnya.

Berada di titik terendah dalam perjalanan Irama Budaya seperti sekarang membuat Deden dengan berat akan menjual Ludruk Irama Budaya. ’’Saya terpaksa. Mungkin alat-alat musiknya saja yang saya jual. Untuk nama Irama Budaya, saya masih berat melepaskan. Ini warisan dan amanah, harus dipertahankan walau berat,’’ ujar pria yang saat ini bekerja serabutan sebagai tukang bangunan tersebut.

Kondisi yang lebih baik dialami Sugeng Rogo. Pendiri Sanggar Seni Putra Taman Hirra di Kampung Seni THR itu terus bertahan dengan berbagai cara. Salah satunya, mengajarkan seni tradisional kepada anak-anak.

Saat ditemui Jawa Pos Minggu (17/5) di depan pintu masuk utama Gedung Pringgodani, Rogo tampak merapikan tumpukan berbagai kostum dan aksesori. Ada pula beberapa kardus yang juga berisi kostum. ’’Maaf ya, berantakan. Ada yang mau nyewa kostum-kostum ini,’’ jelasnya.

Dia lalu mengambil sebuah kaleng cat. Tidak lama kemudian, dia mulai mengecat sebuah mahkota. Sesekali dia meneliti pekerjaannya sebelum kembali menyapukan cat kuning ke badan mahkota. ’’Ini punya Raden Nakula,’’ jelasnya.

Berbeda dengan seniman lain, kehidupan Rogo dkk bisa dikatakan cukup mapan. ’’Banyak yang bisa nyekolahkan anaknya sampai jadi sarjana,’’ ungkap Rogo.

Jika tidak ada jadwal pentas, mereka mengerjakan hal lain yang tidak jauh-jauh dari dunia seni. Misalnya, menyewakan kostum sampai menjadi MC dalam acara pernikahan.

Bila dirunut ke belakang, Rogo bisa dikatakan tidak sengaja terjun ke dunia seni. ’’Saya jujur aja, dulu Pak Rogo itu preman. Dulu itu saya paling benci dengan ludruk, ketoprak, dan wayang orang,’’ ujarnya.

Temannya, Yadek, meminta dirinya jadi petugas keamanan THR. Karena pemain kurang, Rogo ditawari ikut tampil. Dengan bekal ilmu bela diri yang dikuasainya, lakon pertama Rogo adalah adegan laga tanpa percakapan.

’’Lama-kelamaan, saya kok merasa ada rasa tanggung jawab bahwa kesenian tradisional itu jangan sampai punah,’’ tegasnya.

Dia mengaku tidak pernah berharap menekuni kesenian tradisional selama 35 tahun, bahkan sampai menjadi sutradara pertunjukan seperti sekarang.

Kecintaan pada kesenian tradisional jugalah yang membuatnya mendirikan Sanggar Seni Putra Taman Hirra pada 2012. Di sanggar tersebut, anak-anak diajari cara bermain ludruk, ketoprak, dan seni tradisional lain. Segmentasinya memang dibatasi untuk anak-anak berusia 18 tahun ke bawah. Tujuannya hanya satu: dia menginginkan regenerasi.

Hingga saat ini, ada 92 anak yang bergabung dalam sanggar seni binaan Rogo. Mayoritas berusia lima hingga belasan tahun. Kepada murid-muridnya, Rogo mengajarkan kesenian tradisional asli sesuai dengan pakemnya. Jika ceritanya mengenai sejarah Majapahit, pertunjukan akan benar-benar menceritakan Majapahit kala itu.

Terkait dengan kegiatannya tersebut, Rogo membuat pertunjukan sebulan dua kali yang melibatkan anak-anak. Dia tergolong mandiri karena menjual tiket sendiri tanpa bantuan UPTD THR.

’’Kami berterima kasih kepada dinas pariwisata karena sudah difasilitasi gedung dan asrama untuk tinggal. Bahkan, kami diizinkan membuat pertunjukan sendiri,’’ ucap pria yang sanggar seninya menjadi pemenang favorit dalam Festival Ludruk 2015 itu.

Meski terseok, Rogo menegaskan akan terus berkarya dan meregenerasi kesenian tradisional lewat sanggar seninya. Harapannya hanya satu: budaya bangsa seperti ludruk, srimulat, wayang orang, ketoprak, dan wayang kulit itu tidak sampai hilang tergerus waktu. Sabtu pekan depan (30/5), Rogo menggelar pertunjukan ketoprak anak bertajuk Pemberontakan Rakuti (Sumpah Amukti Palapa) di Gedung Pringgodani. (*/c5/nda)

 

Penulis: Farid S Maulana-Ayu Fitri

Article courtesy: Jawapos.com

Photo courtesy: Indonesiakaya.com