SURYA Online,SURABAYA – Mati segan hidup tak mau. Peribahasa kuno itu pas untuk menggambarkan nasib terkini sejumlah kesenian rakyat dan kesenian tradisional. Kesenian-kesenian yang mendapat predikat warisan budaya bangsa ini semakin miskin pewaris.
Sebut saja di antaranya, ludruk beserta tari remo, dan karawitan. Lalu ketoprak, gandrung, dan tayub (tandak).
Surya mengambil sebagian kesenian ini sebagai contoh. Kebetulan deretan kesenian rakyat ini pernah menjadi ikon atau setidaknya akrab dengan Jatim.
Dulu, di tahun 1980-an, kesenian-kesenian ini menjadi menu utama panggung hiburan. Tapi putaran zaman menggerus pamor mereka. Di zaman digital sekarang, mereka belum mati. Tetapi panggung atraksi mereka sudah sulit dicari. Para seniman sendiri mengaku ngos-ngosan, mempertahankan warisan yang disebut-sebut sarat dengan nilai-nilai luhur itu.
Ludruk pernah menjadi ikon di Jatim atau setidaknya di Surabaya. Di masa jayanya dulu, seni lakon (drama khas Jawa Timuran ini) tak pernah berhenti melahirkan pesohor. Kini tinggal tiga yang tersisa di Surabaya, Sidiq Wibisono, Kartolo dan Sapari.
Itupun mereka sudah lama tidak menggeluti 100 persen dunia ludruk. Mereka memilih lawakan sebagai jalan mengais rezeki. Tidak ada lagi tobongan atau pentas keliling kota.
Kartolo menceritakan, dari sekitar 20-an grup ludruk yang pernah ada, kini tinggal tiga di Surabaya. Irama Budaya, Arboyo dan RRI. Itupun sudah tidak lengkap. Mereka saling pinjam personel untuk melengkapi penampilan.
Pria 67 tahun itu menyebut, membentuk grup ludruk tidak mudah. Butuh personel hingga puluhan orang. Sebab harus memiliki grup karawitan, penari remo pria dan wanita. Penari remo dalm ludruk mesti juga pintar berjula-juli atau ngidung.
“Yang bisa jula-juli inilah yang sulit sekali dicari,” kata Kartolo.
Belum personel grup musiknya yang juga tidak sedikit. Ada lakon-lakon dalam ludruk. Ada lakon antagonis, ada juga yang protagonis. Dan terakhir, ada banyolan yang dibawakan pelawak. Ludrukan Suroboyo harus menggunakan bahasa khas Suroboyoan. “Kalau ada piye-piyenya, atau ngapak-ngapak (Banyumasan), wah rusak,” kata Kartolo, sembari tertawa ketika diwawancarai Surya di kediamannya di Jalan Kupang Jaya I, Senin (20/1/2014).
(idl/ab/uni)
Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Aris (Eto) Setiawan