Kemiskinan bukan takdir yang datang begitu saja tanpa bisa diajak bicara. Para seniman seni tradisional ludruk mencoba untuk terus menantang kemiskinan itu di atas panggung pertunjukan. Dari jalanan, mereka berteriak menertawakan nasib dan perilaku tak wajar dari nalar manusia.
Piring biyen tipis-tipis, piring saiki saka porselen. Maling biyen nggawa linggis, maling saiki nggawa pulpen (piring dahulu tipis-tipis, piring sekarang dari porselen. Pencuri dahulu pakai linggis, pencuri sekarang pakai pena).
Kidungan Jula-Juli Guyon Parikenodagelan Ludruk Irama Budaya masih menghiasi langit. Menceritakan kondisi negeri ini yang semakin banyak koruptor dalam guyonan rakyat, menempel erat dan membekas di hati rakyat kecil. Kidungan itu tertulis di selasela dinding. Menerobos ruang waktu yang terus menjadikan ludruk sebagai seni tradisional yang belum usang.
Mengenal Surabaya yang keras dan heroik harus mengenal ludruk yang terus dinamis dalam perjalanan waktu yang panjang dan melelahkan. Siang belum juga berlalu. Tiga pria masih mondar-mandir di depan kamar. Dua lainnya duduk termenung di atas kursi plastik tepat di depan serambi gedung pertunjukan.
Dalam kegelisahan itu, otak mereka harus memikirkan angka-angka uang yang harus didapat sebelum malam Minggu saat pertunjukan ludruk. Hanya pohon-pohon pole yang tumbuh subur di depan penampungan seniman ludruk yang memberikan ketenangan siang itu. Dalam hitungan hari, mereka harus bisa mengumpulkan uang minimal Rp400.000 untuk membeli bedak, alat rias, perkakas, dan beberapa kain.
Anggota ludruk Irama Budaya belum semuanya kumpul. Total ada 50 seniman ludruk yang tetap setia di jalur kebudayaan tradisional. Mereka masih berkutat mencari nafkah di luar jalur ludruk. Ada yang menjual koran, berdagang asongan di stasiun, juru parkir di Pasar Wonokromo, sampai tukang batu di pinggiran Surabaya. Menjelang senja, mendung sudah menyelimuti langit Surabaya.
Deden Irawan yang tadinya tenang mulai gelisah. Matanya terus memberikan tatapan kosong pada orang yang melintas di depan gedung pertunjukan ludruk di Taman Remaja Surabaya. Sejak pagi, dia belum merasakan sesuap nasi lewat di lambungnya. Demikian juga dengan istri dan anaknya yang memilih tiduran di kamar.
Kehidupan baginya seperti peruntungan. Nasib baik terkadang datang dengan tak terduga. Tapi yang pasti, setiap bulan penghasilannya dari ludruk hanya Rp40.000. Tiap tampil, dia mendapat feeRp10.000. “Kalau tak punya uang itu sudah biasa, tapi kesedihan kami akan terus terjadi kalau pertunjukan gagal dilakukan,” ujar Deden yang juga Ketua Ludruk Irama Budaya.
Setiap hari, Deden bersama istrinya menjalani hidup apa adanya. Periuk nasi yang ada di bagian ujung kamar dengan cat warna hitam itu belum juga ada isinya. Ruangan 3×4 meter itu menjadi singgahan baru bagi seniman ludruk Irama Budaya setelah bertahun-tahun bermukim di kawasan Pulo Wonokromo yang legendaris.
Perjalanan mereka pun sudah 27 tahun berada di jalan dan panggung kesenian sejak 10 November 1987. Di kamar yang sempit itu, Deden banyak berpikir tentang pola kehidupan dan gerak perubahan zaman. Hanya ada kasur yang menempel di lantai serta radio butut yang jadi teman setia dalam menghabiskan hari.
Kehidupan yang dijalani seperti lakon ludruk yang tiap malam Minggu selalu dilakukan. Nasib rakyat yang getir, sengsara, dan selalu kalah. Tiap selesai pertunjukan, para seniman ludruk memang menerima bayaran Rp10.000. Uang itu didapat dari karcis penonton yang ditarif Rp5.000 per orang. Gaji yang diterima seminggu sekali itu tentu tak cukup untuk membeli beras 1 kg.
Itu pun kadang harus tekor karena biaya pertunjukan lebih besar daripada penonton yang datang. Kalau lagi ramai, penonton yang datang bisa mencapai 200 orang. Tapi kalau lagi sepi bisa ditonton hanya lima orang saja. “Berapa pun orang yang datang, kami harus tetap tampil. Karena itu, banyak tekornya daripada untung,” katanya.
Murahnya tiket itu tentu tak membantu perekonomian para seniman ludruk, mereka masih tetap hidup apa adanya. Kerja serabutan pun dilakukan untuk menutupi celah kekurangan hidup. “Kalau mau kaya yajadi koruptor saja. Cepat kaya, cepat juga masuk penjaranya,” ucap pria yang sehari-hari mengadu nasib sebagai kuli bangunan itu.
Setiap pertunjukan ludruk, tak pernah membuat orang bosan. Mereka selalu menyajikan cerita rakyat dan masa kekinian yang dibungkus dalam setiap adegan. Kesenian rakyat selalu mempunyai cara untuk ”menusuk” lakon sosial politik dengan guyon Parikeno, candaan satiris yang membuat orang tertawa di tengah kepahitan panggung kehidupan yang nyata.
Ludruk juga bisa menjadi ruang untuk meluapkan kemarahan, kesedihan, dan tentu kegembiraan. Tak ada yang ditutupi dalam memberikan kritik maupun kisah keburukan. Ludruk tetap orisinal, pertunjukan jalanan yang terus melontarkan teladan, kisah perjuangan, keseimbangan hidup, dan kejujuran. Ia melanjutkan, perjalanan ludruk begitu panjang.
Saat fajar terjadi ketika penonton ludruk yang merupakan kesenian asli Jawa Timur sejak 1960–- 1980 sangat digandrungi masyarakat dan berbagai kalangan, termasuk orang kantor yang necis. Namun sejak tahun 90-an sampai sekarang kondisinya berubah, sudah masuk masa senja yang redup.
Penonton banyak datang dari menengah ke bawah seperti buruh pabrik, asongan, tambal ban, tukang parkir, kuli bangunan, tukang becak, pedagang kaki lima, dan tukang sol sepatu. Dalam lakon panggung, cerita perjuangan seperti Branjang Kawat, Si Pitung, Sawunggaling, Sarip Tambakoso, dan Sakerah masih menjadi idola. Kegigihan perjuangan rakyat Indonesia saat melawan penjajah dengan semangat perjuangan memberikan teladan bagi banyak orang.
Egaliter dan Milik Rakyat Jelata
Kupat aja digawe bubur, nek gak bubur rasane sepa. Dadi pejabat kudu sing jujur, nek gak jujur dadi intipe neraka(ketupat jangan dibuat menjadi bubur, kalau dibuat bubur rasanya hambar. Menjadi pejabat harus jujur, kalau tak jujur jadi keraknya neraka). Ludruk tak pernah menjadi penjilat.
Kesenian itu kini hadir dalam dinamika masyarakat yang bosan dengan korupsi. Melalui panggung rakyat, ludruk ingin menyampaikan kegelisahan dan kebosanan rakyat pada penguasa yang korup. Karena itu, ludruk memiliki penonton fanatik. Mereka selalu hadir dan setia menunggu sampai larut malam untuk mengikuti rangkaian pertunjukan.
Duduk tertawa dan sesekali memberikan sahutan pada tokoh yang digemari. Mereka bergembira dan lupa terhadap nasib buruk hari ini yang dialami. Purwito, tukang becak asli Jombang duduk di kursi paling depan saat ludruk Irama Budaya mulai tampil. Ia tak pernah absen untuk datang ke pertunjukan ludruk yang digelar seminggu sekali.
Kocek Rp5.000 dikeluarkan dari kantong celananya. Meskipun hari ini pendapatannya tak banyak, ia masih rela mengeluarkan uang untuk menenangkan hatinya setelah seharian mengayuh becak di kawasan Kapas Krampung. “Sepi, nggakada yang diangkut (penumpang). Nanti setelah nontonludruk juga lupa kalau hari ini nggakdapat uang,” katanya sambil tersenyum.
Kerinduan pada ludruk memang tak bisa dipisahkan. Baginya, bagian yang paling disukai adalah pertunjukan yang tetap merakyat dan tak berlagak elit seperti orang kebanyakan saat ini. Karena itu, Purwito hanya bisa terdiam dan larut dalam buaian ketika kidungan yang menampilkan karakter egalitarian dan blak-blakan arek Suroboyo tak pernah mengajarkan kebiasaan mbendhol mburi(bersiasat menyembunyikan isi hati).
Lain halnya dengan Tarji. Tukang tambal ban yang biasanya beroperasi di Gubeng itu merasa ludruk sebagai keluarga. Banyak contoh dan cerita tentang kehidupan yang bisa didapat. Contoh tentang kesabaran, keberanian, kepemimpinan, sampai sifat amanah ada pada berbagai adegan dan dialog ludruk. “Nontontelevisi berbeda dengan ludruk. Nilainya tak terbatas dan banyak makna yang bisa dipetik,” katanya.
Kemajuan teknologi perlahan mulai menggeser peranan ludruk. Sebelumnya, banyak kisah sosial yang diangkat dari panggung ludruk untuk masyarakat. Sehingga butuh gerakan sosial yang menyeluruh untuk mengembalikan kejayaan ludruk di pentas nasional.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Jarianto mengatakan, saat ini perlu gerakan sosial untuk mengembangkan kesenian tradisional, termasuk ludruk. Karena itu, harus ada kebersamaan dari banyak pihak untuk mengembangkan ludruk. “Minimal tiap tahun harus ada festival ludruk yang bisa menampung semua kreativitas masyarakat. Generasi muda juga perlu untuk ikut berkembang dan mengenal lebih dalam,” katanya.
Selain itu, lakon ludruk juga harus bisa dikenal anak-anak. Karena itu ada perubahan tafsir baru lakon Sarip Tambak Oso atau Sakerah. Banyaknya program pementasan diharapkan bisa mendongkrak ludruk untuk bisa digemari oleh anak muda.
Penulis: Aan Haryono
Article courtesy: Sindonews.com
Photo courtesy: Sindonews.com
Pasuruan – Seni ludruk sempat memiliki masa kejayaan. Pertunjukan seni budaya rakyat asli Jawa Timur ini pada era 1965-an mendapatkan perhatian dan menyedot penonton cukup tinggi dari masyarakat. Sayang, seiring berkembangnya jaman, seni ludruk lambat laun mulai ditinggalkan.
Maraknya tontotonan seperti Sinetron, film bioskop dan kemudahan teknologi lainnya untuk bisa menyaksikan berbagai macam hiburan secara cepat dan mudah membuat kesenian seperti ludruk dilupakan dan tak mudah didapatkan oleh remaja sebagai generasi masa datang.
Beruntung, meski tak sejaya seperti masa silam, Kesenian tradisional ini masih tetap ada dan masih bisa kita nikmati di era saat ini. Tak tahu nasibnya nanti.
Di Pasuruan, tingkat animo masyarakat untuk menjadikan seni ludruk sebagai hiburan rakyat masih bisa diandalkan. Warga masih acapkali mendatangkan kelompok seniman ludruk untuk tampil dalam acara hajatan pernikahan, agustusan maupun perayaan dan slametan desa.
Keberadaan ludruk, khususnya di Kabupaten Pasuruan, masih tetap eksis. Bahkan, diakuinya terdapat sejumlah grup ludruk yang mengalami perkembangan, antara lainnya Ludruk Mahkota Budaya serta Ludruk Perdana asal Pasuruan.
“Kalau di Pasuruan, seni ludruk masih eksis,” kata Ki Bagong Sabdo Sinukerto, penggagas Paguyuban Seniman Ludruk Pasuruan (PSLP) awal pekan lalu.
Perkembangan itu bukan terjadi secara alami. Sebelumnya, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi seni ludruk di Pasuruan sempat mengalami keterpurukan. Banyak seniman ludruk yang terkesan dianggurkan atau tidak mendapat perhatian maksimal dari pihak terkait.
Penulis: –
Article courtesy: wartabromo.com
Photo courtesy: idenera.com
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur khususnya Surabaya, Jombang dan Malang. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang dipergelarkan di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Dialog dan monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa. Bahasa yang digunakan di ludruk yaitu bahasa yang lugas sehingga menjadikan kesenian ini disukai oleh masyarakat berbagai kalangan, mulai dari tukang becak, sopir angkutan umum, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Penggunaan bahasa intelek dalam kesenian ludruk hanya sedikit sekali, itupun hanya sebagai pelengkap kegiatan melawak.
Ludruk sebagai drama tradisional memiliki ciri khas, antara lain:
Struktur pementasan kesenian ludruk adalah sebagai berikut:
Sejarah ludruk di Malang terlahir dari embrio perlawanan di masa perjuangan, oleh karena itu tokoh lakon, cerita dan perlengkapan yang dimainkan selalu mengacu pada kehidupan sehari-hari era perjuangan. Sekitar tahun 1930 di Malang berdiri ludruk Ojo Dumeh didirikan oleh Abdul Madjid. Pada tahun-tahun selanjutnya bermunculan berbagai kelompok ludruk, antara lain Ludruk Djoko Muljo pimpinan Nadjiran di Embong Brantas (1936), Margo Utomo pimpinan Asnan atau Parto Gembos (sekitar 1936-1940), Sido Dadi Slamet pimpinan Temas tahun 1940-an, kemudian ludruk gerakan gerilya misalnya Ludruk SAGRI (Sandiwara Angkatan Gerilya Republik Indonesia, 1947-1948) pimpinan Said Djajadi. Sedangkan kelompok yang berorientasi hiburan antara lain Ludruk Aliran Baru tahun 1949.
Tahun 1950-an ludruk menjadi hiburan utama di Malang. Pada masa ini berdiri kelompok ludruk-ludruk baru yang sering disebut dengan Ludruk Bladjaran. Perkumpulan Ludruk Bond Malang Selatan pimpinan Kaprawi berdiri tahun 1952, salah satu anggotanya adalah Ludruk Bintang Malang Selatan. Tahun 1950-1960 berdiri beberapa kelompok ludruk yang berada di bawah organisasi massa dan organisasi sosial politik antara lain Ludruk Juli Warna pimpinan Markasan, Ludruk Taruna pimpinan dr. Safril dan Gatot, Ludruk Bintang Massa (LKN) pimpinan Samsuri, Ludruk Melati (Lekra) pimpinan Darmo tahun 1960.
Pasca tahun 1965 beberapa ludruk yang ada di Malang digabungkan, di antaranya Ludruk Putra Bhakti menjadi Ludruk Anoraga yang dibina oleh Yonif 513 Brigif 2 Dam VIII Brawijaya. Pada tahun 1970-an kelompok ludruk berada di bawah binaan ABRI. Ludruk Anoraga dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II Inmindam VIII Brawijaya, Ludruk Sinar Budaya dibina oleh Brimob Kompi A Yon 412, Ludruk Karya Sakti dibina oleh Kodim 0818 Malang, Ludruk Perkasa Alam dibina AURI Malang.
Sekarang di Kota Malang hanya tersisa beberapa kumpulan ludruk dengan pemain yang tersebar dari berbagai wilayah di Malang Selatan dan Batu. Upaya untuk melestarikan Ludruk Malang banyak terkendala oleh pemain yang sekarang beralih profesi, tempat pementasan yang minim dan perhatian banyak pihak yang melihat ludruk sebagai kesenian berkonotasi negatif. Padahal nilai-nilai budaya yang tersirat dalam pementasan ludruk sangat relevan dengan jiwa sekarang yang selalu membutuhkan gerak sosial yang dinamis.
Pada tahun 1984, di Malang terdapat organisasi ludruk Paguyuban Organisasi Ludruk Malang (POLMA). Suyono, salah seorang seniman ludruk Malang, adalah salah satu pengurusnya. Pada masa itu, kesenian ludruk masih berkembang. Di Malang sendiri, terdapat sebuah organisasi ludruk yang disebut dengan PALMA atau Paguyuban Ludruk Arek Malang. Namun, paguyuban ludruk Malang yang ada saat ini seakan mati suri.
Sementara di Kabupaten Malang terdapat beberapa paguyuban seni ludruk yang masih bertahan di antaranya yang cukup terkenal yaitu Armada yang berada di Desa Rembun, Kecamatan Dampit. Bahkan ludruk Armada merupakan ludruk percontohan di Kabupaten Malang. Meski banyak tergeser dengan gempuran seni modern, ludruk pimpinan Eros Djarot Mustadjab tetap bertahan untuk menghidupkan kesenian luhur itu. Hampir satu dekade, Armada sempat mengalami masa-masa sulit. Saat ini mulai bangkit kembali.
Berikut daftar paguyuban seni ludruk di Malang:
Penulis: NgalamediaLABS
Article courtesy: ngalam.id
Photo courtesy: oklek-panjilaras.blogspot.co.id
Provinsi Jawa Timur bakal mengusung kesenian asli Jawa Timur berupa “Besutan ” dalam ajang festival Pertunjukan Rakyat (Pertura) tingkat nasional yang bakal digelar di Padang Sumatera Barat, 24-25 Mei 2014. Besutan sendiri merupakan kesenian asli masyarakat Kabupaten Jombang yang konon lebih tua dari kesenian ludruk khas Jawa Timur.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Timur Harjogi melalui Kabid Jaringan Komunikasi Dra Isrowi Farida MSi mengatakan, kesenian besutan dalam istilah bahasa jawa berupa “sanepan”. Sengaja mengusung kesenian ini agar tidak punah dan keberadaannya diketahui masyarakat nasional.
“Mengusung cerita terkait riil kehiduapan masyarakat sehari hari, dan ada pesan luhur untuk masyarakat,” kata Isrowi Farida,” Rabu (7/5).
Dikatakan Isrowi, saat ini persiapan terus dilakukan, salah satunya dengan melakukan penyempurnaan alur cerita dan visi-misi cerita yang disuguhkan. “Nanti sebelum final, tanggal 22 Mei kita adakan pemusatan latian di Kantor Kominfo Jatim,” tambah Isrowi.
Seperti diketahui, Kelompok Pertura Jawa Timur lolos dalam seleksi sembilan besar Pertura se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI.
Sembilan peserta itulah yang nantinya akan dinilai secara langsung dalam pentas di atas panggung GOR Agus Salim Kota Padang untuk dipilih juaranya. Sembilan provinsi yang terpilih berdasarkan rekaman video itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat dan Papua.
Grup Pertura Jawa Timur akan menampilkan seni pertunjukan rakyat besutan yang disutradarai Bambang SP. Grup ini didukung oleh pemain dan pemusik terdiri dari S. Djianto (Lamongan), Yuli (Kediri), Ratih Kumala Dewi (Bangkalan), Cahyono (Kominfo jatim), Rizky (Bojonegoro), Ganefowati (Kediri), Ketut Santoso (Surabaya) dan Totok S (Bangkalan). (fad)
Penulis: –
Article courtesy: Jatimprov.go.id
Photo courtesy: Kabarjoss.com
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kartolo menyebutkan ludruk makin ditinggalkan. Seni teater tradisional dari Jawa Timur ini sudah tidak lagi menarik bagi generasi mudanya. Hal itu disampaikannya ketika diwawancara usai Kartolo tampil dalam pementasan ‘Matinya Sang Maestro’ di Jakarta pada Sabtu (12/4).
Disebutkan pemain ludruk kenamaan ini, perlu kerjasama antara Pemerintah dengan kelompok kesenian ludruk untuk menghidupkan kembali kesenian ini di Jawa Timur. Gedung-gedung pertunjukan yang ada juga perlu disubsidi. Perlu ada lomba pementasan ludruk untuk anak muda, dan ada pelajaran ludruk di sekolah atau dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
Laki-laki kelahiran 1945 di Pasuruan ini mengaku belajar seni ludruk secara otodidak. Dia belajar teater dari bergabung dan mengiringi pertunjukan wayang kulit, ludruk, tayuban, sampai kemudian ngremo di atas panggung. Bahkan pernah melakukan pertunjukan keliling kota di Jawa Timur sampai dengan 15 hari berturut-turut.
Dari 1967 sampai 1980 dia di ludruk. Setelah itu seringnya dalam pertunjukan lawak. Walau kadang-kadang ikut main ludruk juga.
Walaupun hanya tamatan kelas enam Sekolah Rakyat (SR) tetapi dia mampu menghidupkan ludruk dan bergantung kepadanya. Rekaman lawakannya sangat populer hingga 1995. Bahkan, jumlah rekamannya mencapai 95 buah.
Dia tidak melarang generasi muda belajar seni modern. “Tetapi seni daerah juga harus dilestarikan, tidak saja ludruk. Sayang-sayang, kalau sampai ke luar negeri buat belajar ludruk.”
Ludruk sempat mencapai keemasannya dengan gedung pertunjukan teater yang penuh. Tetapi keadaan ini berlangsung sampai dengan munculnya televisi. Sejak makin banyaknya televise, keadaan itu berbalik. Orang enggan pergi gedung pertunjukan menonton ludruk karena banyak hal menarik sudah disediakan di televisi.
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja
Article courtesy: Satuharapan.com
Photo courtesy: Satuharapan.com
SURYA Online,SURABAYA – Mati segan hidup tak mau. Peribahasa kuno itu pas untuk menggambarkan nasib terkini sejumlah kesenian rakyat dan kesenian tradisional. Kesenian-kesenian yang mendapat predikat warisan budaya bangsa ini semakin miskin pewaris.
Sebut saja di antaranya, ludruk beserta tari remo, dan karawitan. Lalu ketoprak, gandrung, dan tayub (tandak).
Surya mengambil sebagian kesenian ini sebagai contoh. Kebetulan deretan kesenian rakyat ini pernah menjadi ikon atau setidaknya akrab dengan Jatim.
Dulu, di tahun 1980-an, kesenian-kesenian ini menjadi menu utama panggung hiburan. Tapi putaran zaman menggerus pamor mereka. Di zaman digital sekarang, mereka belum mati. Tetapi panggung atraksi mereka sudah sulit dicari. Para seniman sendiri mengaku ngos-ngosan, mempertahankan warisan yang disebut-sebut sarat dengan nilai-nilai luhur itu.
Ludruk pernah menjadi ikon di Jatim atau setidaknya di Surabaya. Di masa jayanya dulu, seni lakon (drama khas Jawa Timuran ini) tak pernah berhenti melahirkan pesohor. Kini tinggal tiga yang tersisa di Surabaya, Sidiq Wibisono, Kartolo dan Sapari.
Itupun mereka sudah lama tidak menggeluti 100 persen dunia ludruk. Mereka memilih lawakan sebagai jalan mengais rezeki. Tidak ada lagi tobongan atau pentas keliling kota.
Kartolo menceritakan, dari sekitar 20-an grup ludruk yang pernah ada, kini tinggal tiga di Surabaya. Irama Budaya, Arboyo dan RRI. Itupun sudah tidak lengkap. Mereka saling pinjam personel untuk melengkapi penampilan.
Pria 67 tahun itu menyebut, membentuk grup ludruk tidak mudah. Butuh personel hingga puluhan orang. Sebab harus memiliki grup karawitan, penari remo pria dan wanita. Penari remo dalm ludruk mesti juga pintar berjula-juli atau ngidung.
“Yang bisa jula-juli inilah yang sulit sekali dicari,” kata Kartolo.
Belum personel grup musiknya yang juga tidak sedikit. Ada lakon-lakon dalam ludruk. Ada lakon antagonis, ada juga yang protagonis. Dan terakhir, ada banyolan yang dibawakan pelawak. Ludrukan Suroboyo harus menggunakan bahasa khas Suroboyoan. “Kalau ada piye-piyenya, atau ngapak-ngapak (Banyumasan), wah rusak,” kata Kartolo, sembari tertawa ketika diwawancarai Surya di kediamannya di Jalan Kupang Jaya I, Senin (20/1/2014).
(idl/ab/uni)
Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Aris (Eto) Setiawan