• info@njombangan.com

Daily ArchiveMarch 18, 2013

Kesenian Ludruk di Bumi Majapahit Nyaris Hilang

“Dulu, banyak kelompok ludruk di Bumi Majapahit (Mojokerto, Jawa Timur), jumlahnya belasan, tapi sekarang di wilayah Kota Mojokerto hanya tinggal tiga kelompok,” ucap ketua kelompok ludruk Baru Budi, Isbandi Wibowo.

Ya, kesenian ludruk Mojokerto kini nyaris hilang, karena terpinggirkan dalam dunia hiburan modern di televisi, sehingga tinggal tiga kelompok yang tersisa, yakni Baru Budi di Empunala, Putra Madya di Bancang dan Sekar Budaya di Balong Cangkring.

“Hilangnya ludruk juga disebabkan karena perhatian pemerintah yang sangat kurang dalam upaya melestarikan kesenian asli Surabaya itu,” tutur pria paruh baya yang akrab disapa Cak Bowo itu, 7 Maret.

Melengkapi penjelasan Cak Bowo, ketua kelompok ludruk Putra Madya, Ibnu Sulkan mengatakan nasib ludruk Mojokerto sangat memprihatinkan.

“Ada dua kendala yang harus dihadapi oleh seniman ludruk,” ujar pensiunan Satpol PP itu sambil menunjukkan foto-foto pentasnya.

Kendala internal yaitu tuntutan ekonomi yang tidak bisa dipenuhi dari penghasilan ludruk, sehingga banyak seniman ludruk terpaksa berhenti dan memilih pekerjaan lain.

Sementara kendala eksternal yaitu bahasa ludruk yang tidak dimengerti anak muda, sehingga tidak ada generasi yang berminat meneruskan.

Apalagi, penampilan pemain ludruk yang dianggap kuno dan tidak menarik dan rendahnya SDM seniman yang tidak membuatnya mampu mengelola organisasi dengan baik.

“Kendala eksternal yang juga fatal adalah tidak adanya perhatian pemerintah. Selama pemerintahan dipegang oleh orang yang tidak memiliki ’basic’ seni, maka akan sangat sulit mengembangkan kesenian di suatu daerah,” ungkapnya.

Untuk jumlah pementasan, kedua seniman ludruk tersebut kompak mengatakan rata-rata mendapat satu kali panggilan pentas per bulan dengan patokan harga antara Rp9 juta hingga Rp15 juta, tergantung dari jaraknya.

“Honor itu dibagi dengan semua anggota menurut peran masing-masing. Dengan penghasilan sekecil itu, kami harus mencari usaha lain untuk memenuhi kebutuhan hidup,” timpalnya.

Usaha lain itu antara lain kelompok ludruk mereka bekerja sama dengan rumah produksi di Surabaya untuk memasarkan ludruk mereka dalam bentuk CD. “Untuk dua keping CD berdurasi 60 menit, kami mendapat bayaran Rp15 juta,” papar Cak Bowo.

Lain halnya dengan Sulkan. Ia mencari tambahan penghasilan dengan menjadi “Master of Ceremony” (MC) di pesta-pesta pernikahan adat Jawa dengan honor Rp1 juta per acara.

Cak Bowo maupun Sulkan mengaku tidak ingin berhenti menekuni profesi sebagai seniman ludruk, karena rasa cinta dan bangga terhadap budaya Jawa Timur itu.

Cak Durasim
Meskipun tak sebanyak dulu, agaknya masih ada beberapa orang di Mojokerto yang bertahan melestarikan ludruk sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Timur.

Rasa cinta dan bangga membuat para pelaku seni ludruk ini memilih untuk tetap setia menjalani profesinya.

“Sedih rasanya melihat tak ada generasi muda yang tertarik untuk meneruskan perjuangan kami dalam mempertahankan ludruk di Mojokerto dan saya yakin para seniman ludruk di kota lain pun merasakan hal yang sama,” ujar seniman ludruk dari Bancang, Mojokerto, Ibnu Sulkan.

Hal senada juga diungkapkan oleh seniman ludruk lainnya, Isbandi Wibowo. Baginya sangat sulit menumbuhkan minat generasi muda untuk melestarikan kesenian ini, karena perkembangan budaya telah menggeser selera masyarakat dari budaya tradisional ke budaya modern yang didukung dengan segala kemudahan iptek.

“Awalnya, ludruk berasal dari kesenian lerok di Jombang yaitu ’tandak lanang macak wedok lerak-lerok’ yang artinya penari laki-laki berdandan menor mirip perempuan. Lerok dibawakan oleh para pengamen yang berkeliling desa,” kupas Cak Bowo.

Sekitar tahun 1920, nama lerok diganti menjadi besutan, berasal dari kata “besut” yang dalam Bahasa Jawa berarti “bebet sing duwe maksud” atau pakaian yang memiliki arti. Besutan merupakan lawak mini yang terdiri dari 3-4 orang.

Para pelaku seni besutan memakai baju merah dengan selendang putih yang dililitkan di bagian perut atau topi beludru merah dengan kemben putih sebagai simbol munculnya bendera merah putih. Hal ini dilakukan karena tidak berani terang-terangan melawan Belanda.

Pada masa penjajahan Jepang, seorang seniman asli Surabaya, Cak Durasim, memperkenalkan lawak yang mirip dengan besutan ke Surabaya, tepatnya di daerah Genteng Kali. Kesenian itu disebut dengan nama ludruk.

Cak Durasim terkenal dengan “parikan” atau pantunnya yang berani, yaitu “bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro” yang berarti Bekupon adalah rumah burung dara, bangsaku ikut (dijajah) Jepang semakin sengsara.

Pantun inilah yang kemudian dilaporkan oleh seorang penduduk pribumi yang menjadi mata-mata Jepang, sehingga Cak Durasim ditangkap dan dipenjara oleh Jepang di Genteng Kali hingga menemui ajalnya.

Filosofi Kehidupan
Sepeninggal Cak Durasim, generasi penerus ludruk terus bermunculan, bukan hanya di Surabaya tetapi juga di Jombang dan salah satu yang terkenal adalah ludruk Baru Budi Jombang. Ketika itu ludruk menjadi pelipur lara bagi penduduk pribumi yang sedang dijajah.

Pada tahun 1965, terjadi pergolakan partai-partai di Indonesia yang disebut dengan Gestapu. Hal ini menyebabkan ludruk kalang kabut dan banyak yang tidak bisa bertahan karena kondisi ekonomi negara yang tidak stabil.

Namun ada juga beberapa kelompok ludruk yang bernaung di bawah bendera partai, salah satunya Baru Budi yang kemudian berganti nama menjadi Marhen Muda, lalu berganti nama lagi menjadi Nusantara karena ada larangan memakai nama partai.

Awal tahun 1970, Cak Bowo memunculkan nama ludruk Baru Budi di Surabaya dan menjadi satu-satunya kelompok ludruk yang bergerak di industri periklanan.

Kala itu, Baru Budi menangani acara panggung dan produksi kaset-kaset lawak mini untuk radio dan kaset untuk iklan, terutama jamu dan obat.

Setelah meledak di Surabaya pada tahun 1977, awal tahun 1980, Cak Bowo membawa ludruk Baru Budi masuk ke Mojokerto dan mendapat penerimaan yang sangat baik dari masyarakat.

Langkah itu mendorong munculnya belasan kelompok ludruk lain di Mojokerto yang mengikuti kesuksesan Baru Budi.

Ludruk Mojokerto mengalami kejayaan sampai tahun 1995, lalu perlahan-lahan surut, karena munculnya televisi-televisi swasta yang menawarkan hiburan modern.

Keadaan tersebut semakin parah pada tahun 1997 karena terjadinya krisis moneter di Indonesia.

“Sepinya permintaan manggung dan tuntutan ekonomi yang besar membuat seniman ludruk memilih untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan,” paparnya.

Akhirnya, satu per satu kelompok ludruk Mojokerto “gulung tikar” dari belasan kini hanya tinggal tiga kelompok saja yang tersisa.

“Padahal, ada banyak filosofi tentang kehidupan yang terselip dalam cerita-cerita ludruk, seperti sindiran korupsi, pendidikan, masalah kenegaraan, sejarah, dongeng rakyat tentang kebaikan dan keburukan,” tukasnya.

Bahkan, anak muda juga bisa mengetahui perbedaan kisah cinta zaman dulu dan sekarang. “Jadi, anak muda bisa belajar dari sana,” ulasnya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah setempat segera mengambil langkah untuk menyelamatkan ludruk agar tidak hilang seiring dengan perkembangan zaman.

“Misalnya, pemerintah bisa memasukkan ludruk ke dalam ekstra kurikuler di sekolah atau mata pelajaran lokal di Mojokerto, Surabaya, dan Jombang. Juga, pemerintah perlu mengadakan pementasan ludruk secara rutin untuk umum, misalnya pada HUT daerah,” pungkasnya.

 

Penulis: Musyawir

Article courtesy: Kompas.com

Photo courtesy: Indonesiakaya.com