Kesenian ludruk kini makin terpuruk. Ludruk masih populer di kalangan orang tua, namun tidak di kalangan anak muda. Pengemasan ludruk yang cenderung monoton menurunkan tingkat apresiasi penggemarnya.
Hal itu mengemuka dalam acara diskusi dan pelatihan ludruk dengan tema Peningkatan Profesionalisme Seniman Ludruk di Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali, Surabaya, Kamis (24/2).
Menurut Ags Arya Dipayana, ludruk awalnya bertumpu pada kecerdasan para pemain, wawasan yang memadai, serta kepekaan terhadap realita sosial. “Ludruk kehilangan seniman yang seperti itu. Fungsi sebagai kontrol sosial seharusnya tetap dipertahankan,” katanya. “Ludruk sudah hilang keludrukannya.”
Sementara menurut Djujuk Prabowo, seniman ludruk perlu asupan gizi, seperti zaman dulu. “Keludrukan saat ini luntur. Tidak punya pamor. Kropos. Orang-orang yang peduli ludruk tidak hanya menyenangi saja, tetapi harus meresapi dan mempratikkan” katanya. Djujuk mengibaratkan ludruk ini seperti pakaian. “Ludruk harus dipelihara, dieman, lalu dipakai,” sambungnya.
Sumarsono, seniman ludruk dari Malang, mengku mulai senang ludruk sejak kecil. Tahun 2000 mulai masuk grup ludruk dan ikut berbagai pelatihan tentang profesionalisme ludruk.
Agung, seniman ludruk dari Surabaya, mengkhawatirkan regenerasi kesenian ludruk. “Ludruk remaja dibina dinas pendidikan. Tapi setelah itu terus bagaimana kelanjutannya,” katanya.
Jamil, seniman ludruk dari Malang menyatakan, saat ini yang memegang peranan adalah juragan ludruk. Seniman hanya tukang. “Juragan kadang memaksakan keinginan karena memang dia yang punya uang dan kuasa. Juragan ikut mengurusi isi cerita panggung. Kami ini pun digaji di bawah upah minimum regional,” tuturnya. (Susi Ivvaty)
(Alex Pangestu)
Penulis:Alex Pangestu
Article courtesy: nationalgeographic.co.id
Photo courtesy: bintangtimoer.com