• info@njombangan.com

Yearly Archive2011

Balada Ludruk yang Kian Terpuruk

Kesenian ludruk kini makin terpuruk. Ludruk masih populer di kalangan orang tua, namun tidak di kalangan anak muda. Pengemasan ludruk yang cenderung monoton menurunkan tingkat apresiasi penggemarnya.
Hal itu mengemuka dalam acara diskusi dan pelatihan ludruk dengan tema Peningkatan Profesionalisme Seniman Ludruk di Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali, Surabaya, Kamis (24/2).
Menurut Ags Arya Dipayana, ludruk awalnya bertumpu pada kecerdasan para pemain, wawasan yang memadai, serta kepekaan terhadap realita sosial. “Ludruk kehilangan seniman yang seperti itu. Fungsi sebagai kontrol sosial seharusnya tetap dipertahankan,” katanya. “Ludruk sudah hilang keludrukannya.”
Sementara menurut Djujuk Prabowo, seniman ludruk perlu asupan gizi, seperti zaman dulu. “Keludrukan saat ini luntur. Tidak punya pamor. Kropos. Orang-orang yang peduli ludruk tidak hanya menyenangi saja, tetapi harus meresapi dan mempratikkan” katanya. Djujuk mengibaratkan ludruk ini seperti pakaian. “Ludruk harus dipelihara, dieman, lalu dipakai,” sambungnya.
Sumarsono, seniman ludruk dari Malang, mengku mulai senang ludruk sejak kecil. Tahun 2000 mulai masuk grup ludruk dan ikut berbagai pelatihan tentang profesionalisme ludruk.
Agung, seniman ludruk dari Surabaya, mengkhawatirkan regenerasi kesenian ludruk. “Ludruk remaja dibina dinas pendidikan. Tapi setelah itu terus bagaimana kelanjutannya,” katanya.
Jamil, seniman ludruk dari Malang menyatakan, saat ini yang memegang peranan adalah juragan ludruk. Seniman hanya tukang. “Juragan kadang memaksakan keinginan karena memang dia yang punya uang dan kuasa. Juragan ikut mengurusi isi cerita panggung. Kami ini pun digaji di bawah upah minimum regional,” tuturnya. (Susi Ivvaty)

(Alex Pangestu)

Penulis:Alex Pangestu

Article courtesy: nationalgeographic.co.id

Photo courtesy: bintangtimoer.com

Anak Muda Sudah Tak Kenal Besut

SURABAYA, KOMPAS.com – Anak muda zaman sekarang sudah tidak kenal dengan seni pertunjukan teater rakyat Besut yang menjadi cikal bakal kesenian Ludruk. Pasalnya, seniman maupun pemerintah sendiri tidak terlampau perhatian dan peduli, sehingga seni pertunjukan teater rakyat Besut berada dalam ambang kepunahan.

“Memang benar anak-anak muda sekarang sudah tidak lagi tahu dan kenal Besut. Padahal, seni pertunjukan teater rakyat Besut itu cikal bakal kesenian ludruk yang luar biasa dan tidak lapuk dengan anak zaman dan tinggal siapa yang mau memulai untuk menghidupkan kembali Besut,” kata Hengky Kusuma, Seniman Ludruk dan Pemerhati Ludruk Remaja, Jumat (7/1/2011), di Surabaya.

Dikatakan, masa-masa reformasi lalu Besut sempat mencuat dalam panggung seni pertunjukan teater di kota Arek Suroboyo, tatkala salah seorang seniman dan aktor teater Bawong Suatmadji Nitiberi (almarhum) yang akrab disapa Cak Bawong menampilkannya kembali kepada khalayak dengan mengusung lakon Dodol Gombal.

“Dalam konteks politik kala itu lakon Dodol Gombal dalam pertunjukan Besut sangat menarik dan menurut saya Besut sangat luar biasa dan bisa dibawa ke zaman apa pun,” katanya.

Hengky mengatakan, persoalannya sekarang ini seni pertunjukan teater rakyat Besut oleh sebagian masyarakat dianggap kuno dan masa lalu. Padahal, kalau ada pihak yang mau menggarap dan mengemas Besut pasti akan tetap menarik, karena Besut bisa diinovasi dengan kreativitas tanpa batas.

“Sah-sah saja Besut dimainkan lebih dari empat orang pemain sesuai dengan kebutuhan cerita dan naskah, misalnya Gayus,” katanya.

Dalam seni pertunjukan teater rakyat Besut lazimnya dimainkan oleh empat orang yang memerankan sosok Besut, Man Jamino, Rusmini dan Sumo Gambar. Dari panggung seni pertunjukan teater rakyat Besut atau Besutan, itu pula cerita lakon apa pun bisa dimainkan tanpa harus terbelenggu dengan cerita-cerita rakyat, kepahlawanan dan legenda yang masih kuat dalam panggung kesenian ludruk.

“Teater Smada Jombang yang meraih juara umum dalam festival teater pelajar tingkat nasional yang mengusung lakon Hanyut dengan sutradara Agus Jombang dalam seni pertunjukannya mengangkat Besut atau Besutan,” kata Hengky.

Besut sebagai salah satu kekayaan budaya dalam seni pertunjukan teater rakyat yang dimiliki Jawa Timur, kini berada dalam ambang kepunahan. Hal itu terjadi karena masyarakat, termasuk seniman dan pemerintah sendiri sudah melupakan Besut.

“Salah satu pintu masuk untuk kembali menghidupkan Besut atau Besutan tidak lain adalah Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata, sehingga anak-anak muda mengenal kesenian Besut yang menjadi cikal bakal kesenian ludruk,” kata Hengky.

Setahun lalu dalam Pra-Festival Seni Surabaya, Komunitas Ludruk Karya Budaya Mojokerto menghadirkan seni pertunjukan teater rakyat Besut dengan lakon Kebun Binatang. Namun, sayangnya terhenti hanya dalam Pra-Festival Seni Surabaya.

“Kalau ngomong sisi komersialnya untuk seni pertunjukan teater rakyat Besut memang susah, karena siapa sih sekarang ini yang mau nanggap. Padahal untuk menampilkan kembali Besut dengan garapan dan kemasan yang menarik, tentunya membutuhkan biaya produksi yang tidak sedikit dan seniman tidak punya kemampuan untuk membiayainya,” kata Hengky.

 

Penulis:-

Article courtesy: Kompas.com

Photo courtesy: Kompas.com