Halo Rek,
Tari remo sebagai ikon budaya Jawa Timur merupakan kebanggaan seni budaya yang berasal dari Jombang. Tari ini bahkan sudah menyebar ke berbagai daerah lain dan kerap di tampilkan pada acara tertentu. Tari yang memiliki pesan nilai kepahlawanan dan keberanian ini juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat Jombang.
Njombangan bersyukur bahwa inisiatif pelestarian tari ini sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Tari ini bahkan diajarkan ke anak-anak melalui sekolah-sekolah atau sanggar-sanggar seni. Bahkan beberapa waktu lalu ada pemecahan rekor MURI untuk tari remo massal yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Jombang.
Tahukah kalian Rek bahwa logo Njombangan juga terinspirasi dari tari remo gaya boletan yang sangat khas Jombang.
Nah Njombangan juga pernah mengadakan program Njombangan Menari yang memberikan latihan remo gratis untuk anak-anak dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya.
Kali ini, Njombangan juga ingin menjadi dan mengambil peran yang lebih luas dalam pelestarian tari daerah ini. Kami membuat grup tari remo yang bernama Srikandi Jombang. Kegiatan dipusatkan di Desa Ngogri, Kecamatan Megaluh, Jombang. Nama srikandi digunakan karena sebagai representasi atau simbol perempuan yang berani juga tangguh. Srikandi menjadi inspirasi perempuan terutama anggota dari grup tari ini.
“Grup tari remo Srikandi Jombang ini terbuka untuk siapa saja perempuan yang memiliki ketertarikan untuk belajar tari remo. Pelatih profesional akan mengajarkan tari dari awal sampai akhir dan semua peserta bisa ikut secara gratis.” ujar Muchdlir Zauhariy atau akrab disapa Johar yang merupakan Inisiator dan Pendiri Njombangan.
Latihan dilakukan seminggu sekali dan peralatan pendukung latihan disediakan oleh Njombangan. Bahkan konsumsi juga disediakan oleh panitia lokal.
“Latihan tari remo ini sangat seru bagi semua anggota. Beberapa di antaranya sudah pernah belajar tari saat kecil namun sebagian besar adalah baru pertama kali.” Kata Mbak Ririn yang merupakan ketua grup Srikandi Jombang.
Njombangan mendampingi dan membiayai secara penuh grup seni budaya ini. Kami mengundang siapa saja yang tertarik belajar tari remo untuk ikut serta.
Njombangan ingin mendorong agar grup ini nanti bisa naik kelas dan menjadi kebanggaan tidak hanya warga Ngogri, namun juga Megaluh dan Jombang.
Semoga harapan ini akan terwujud segera.
Suwun Rek!
Wong tani panen akeh bebas hama
Ayo nda padha latihan tari ngremo
Halo Rek,
Pernahkah kamu mendengar lesung, alu, atau gejok lesung? Bagi sebagian dari kalian tentu pernah mendengar kata ini, namun sebagian lainnya akan terdengar asing.
Lesung dan alu adalah dua alat yang kerap ditemui di budaya masyarakat agraris atau pertanian. Lesung adalah alat tradisional, biasanya terbuat dari satu kayu utuh yang kemudian dilubangi. Sedang alu adalah tongkat yang juga terbuat dari kayu. Lesung dan alu digunakan untuk menumbuk padi, jagung, atau hasil panen lainnya dengan tujuan untuk menghaluskannya.
Ketika mesin penghalus otomatis sudah mulai gampang ditemui, fungsi lesung dan alu ini mulai terganti. Sayang sekali memang, karena lesung alu adalah bagian dan kearifan lokal masyarakat.
Selain difungsikan untuk menumbuk hasil panen, lesung dan alu ini juga kerap dibunyikan oleh masyarakat pada momen-momen tertentu misalnya saat mulai tanam atau saat panen atau di acara perayaan desa lainnya. Alunan musik ini kemudian disebut dengan gejok lesung. Selain membunyikan lesung dengan alu, biasanya warga akan menyanyi dan menari. Lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu daerah Jawa. Gejok lesung menjadi hiburan untuk warga di kala lelah atau saat merayakan sesuatu.
Njombangan memahami pentingnya pelestarian gejok lesung. Bahkan gejok lesung sudah menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
“Lesung dan alu menjadi bagian penting dari cerita budaya agraris masyarakat secara utuh. Walau saat ini sudah tidak banyak digunakan, melestarikan sisi seni dari peralatan ini akan sangat menarik.” ujar Muchdlir Zauhariy atau akrab disapa Johar yang merupakan Inisiator dan Pendiri Njombangan.
Kami akhirnya membentuk grup gejok lesung yang kami namakan Guyub Rukun. Di awal pembentukannya grup ini beranggotakan 13 orang yang merupakan ibu-ibu dan mbak-mbak di Desa Ngogri, Kecamatan Megaluh, Jombang. Anggota bisa ikut latihan secara gratis. Mereka berlatih secara rutin mingguan dan dilatih oleh pelatih profesional.
Njombangan mendampingi dan membiayai secara penuh grup seni budaya ini mulai dari biaya pelatihan, konsumsi, pembuatan kaos, sampai pembuatan kostum. Target Njombangan adalah agar grup ini nantinya bisa siap tampil memainkan gejok lesung dengan nyanyian dan tarian.
“Warga di desa ini sangat antusias. Mereka kangen akan kebiasaan membunyikan gejok lesung yang dulu ada namun sudah lama hilang. Kami ingin mengenang masa itu dan menumbuhkan kreativitas seni kami.” kata Novi, yang didapuk dari ketua grup gejok lesung Guyub Rukun.
Njombangan ingin mendorong agar grup ini nanti bisa naik kelas dan menjadi kebanggaan tidak hanya warga Ngogri, namun juga Megaluh dan Jombang.
Semoga harapan ini akan terwujud segera.
Suwun Rek!
Sore-sore ngrukno gejok lesung
Rame-rame ayo seduluran disambung
JOMBANG – Masjid Al Jamhar yang terletak di Dusun Bulusari, Desa Kebondalem, Kecamatan Bareng termasuk masjid tua di Jombang. Usianya bahkan diperkirakan hampir dua abad lamanya.
Masjid ini didirikan Mbah Jamhari, tokoh agama yang merupakan prajurit Pangeran Diponegoro. Cerita yang didapat Jawa Pos Radar Jombang, masjid tersebut didirikan sekitar tahun 1830-an.
”Ini cerita dari orang tua saya, yang mendirikan itu Mbah Jamhari. Sebelum ke Kebondalem, Mbah Jamhari adalah prajurit Pangeran Dipenogoro,’’ ujar Zainul Abidin, 58, pengurus Masjid Al Jamhar.
Zainul menambahkan, Mbah Jamhari pernah diasingkan ke Sumatera Barat setelah tertangkap Belanda pada tahun 1827. Sekitar 1830-an, Mbah Jamhar kemudian masuk ke wilayah timur untuk menetap di Jombang.
”Akhirnya memilih menetap di sini (Kebondalem) dan mendirikan masjid serta membina orang-orang ngaji,’’ tambah Zainal yang masih punya garis keturunan dengan Mbah Jamhar.
Masjid Al Jamhar sangat kental dengan gaya arsitektur Jawa kuno. Bagian atap masjid berbentuk tajuk tumpang ala Masjid Demak. Selain itu, di ruang utama masjid juga terdapat empat soko guru yang terbuat dari kayu.
Meski usianya sudah mencapai 1,5 abad lebih, empat pilar kayu penyangga bangunan utama masjid masih utuh dan kokoh berdiri.
”Ya ini pilar utama masih asli dari kayu 1830-an. Ini ada lafal Allah SWT di bagian pilarnya,” tambahnya sembari menunjukkan ukiran lafal-lafal di permukaan kayu.
Kesan bangunan klasik juga terlihat dari bangunan tembok masjid. Tembok masjid berwarna putih ini memiliki ukuran lebih tebal dibandingkan dengan umumnya bangunan masjid di era modern.
Saat ini bangunan tembok masih kokoh, hanya saja di sejumlah titik tembok bagian luar mulai keropos. ”Mungkin karena kena air hujan,” imbuhnya.
Gaya arsiterktur Jawa juga terlihat pada bagian serambi depan masjid yang berbentuk joglo, identik dengan Masjid Demak. Masjid Al Jamhar juga memiliki bedug tua asli dari Kabupaten Ponorogo.
Namun, bedug tersebut tidak lagi digunakan lantaran sudah ada speaker. ”Selain itu, bagian langit-langit dan lantai sudah baru alias diganti pada 2013 lalu,’’ jelas dia.
Masjid yang didominasi dengan cat warna putih ini memang tak begitu luas. Ukurannya hanya sekitar 15 x 10 meter persegi. Untuk itu, Masjid Al Jamhar tidak ditempati salat Jumat. ”Di sini dipakai salat lima waktu, kegiatan keagamaan termasuk pengajian TPQ,’’ ujar.
Mbah Jamhari meninggal sekitar tahun 1840-an. Selain masjid, dulunya di lokasi setempat juga ada kegiatan pondok Salafiyah.
Namun, pondok tersebut dilaporkan terakhir beroperasi tahun 1970-an. ”Saya waktu masih kecil masih ada pondoknya, tapi kemudian dibongkar dan tanahnya ditempati rumah saudara-saudara,’’ pungkasnya. (ang/naz/riz)
Catatan: konten berita dan foto dalam artikel ini adalah courtesy dari Radar Jombang – Jawa Pos Group. Njombangan memberitakan kembali agar berita ini bisa dapat diketaui dan diakses oleh lebih banyak masyarakat. Terima kasih kepada Radar Jombang yang selalu memberitakan hal-hal menarik di Jombang.