• info@njombangan.com

Yearly Archive2019

Keluarga Pencipta Minta Bernyanyi Mars Jombang Beriman Dihidupkan Lagi

Jombang – Seiring berjalannya waktu, lagu mars Jombang Beriman mulai jarang dinyanyikan. Dalam beberapa kesempatan peringatan hari nasional misalnya, lagu ini jarang terdengar lagi. Di mata keluarga pencipta lagu, mereka berharap lagu tersebut tetap hidup menjadi lagu kebanggaan masyarakat Jombang.  

”Kalau sekarang saya memang jarang dengar lagu itu dinyanyikan,’’ ujar Sri Suyeti, anak kadung Subardi. Sepengetahuan dia, lagu mars Jombang Beriman dinyanyikan sekitar 2007-an. ”Terakhir dinyanyikan 2007 lalu. Tapi di bawah 2000 selalu dinyanyikan dalam berbagai kesempatan,’’ jelas dia.

Misalnya, pada 1994 lagu tersebut pernah dinyanyikan oleh ratusan orang dalam sebuah peringatan HUT Kemerdekaan RI yang dihadiri Gubernur Jatim Basofi Surdirman. Karena peringatan HUT Kemerdekaan RI, maka berkumandangnya lagu itu terdengar dari penjuru kota karena bertempat di Alun Alun Jombang. “Pokoknya sering dinyanyikan, bahkan 1995 pernah mendapat penghargaan dari Bupati Soewoto Adiwibowo,’’ tegasnya.

Biola lawas milik Subardi juga masih tersimpan dan terawat dengan baik.

Biola lawas milik Subardi juga masih tersimpan dan terawat dengan baik. (Anggi Fridianto/Jawa Pos Radar Jombang)

 

Hal senada diungkapkan, Arifah Roosenani anak kandung Rooslan Effendhie, yang menyebut lagu mars Jombang mulai jarang dikenal khalayak umum termasuk generasi muda. Dia berharap ke depan lagu tersebut terus dikenalkan agar tidak hilang tergerus zaman. ”Terus dinyanyikan dalam kesempatan tertentu, agar anak cucu kita tahu bahwa Jombang memiliki lagu mars sendiri,’’ pungkas dosen Unwaha Tambakberas ini. (*)

(jo/ang/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Bangunan SDN Banyuarang 1, Saksi Sejarah Perjuangan Brimob di Jombang

Jombang – Meski terletak di ujung desa, siapa sangka bangunan sekolah ini pernah jadi markas perjuangan Brimob dalam masa-masa perang mempertahankan kemerdekaan. Bangunan ini adalah SDN Banyuarang I.  

Lokasi sekolah ini berada di Dusun Plemahan, Desa Banyuarang, Kecamatan Ngoro, sekitar satu kilometer arah barat Kantor Desa Banyuarang. Sekolah ini mudah dikenali dengan sebuah monumen polisi menenteng senjata terpampang di depan pintu gerbang. Di bawahnya tertulis beberapa pesan perjuangan polisi dan janji-janjinya.

Memasuki kompleks sekolah, suasana klasik langsung menyambut pengunjung yang datang. Bangunan beratap rendah nan miring khas bangunan era lama bisa dilihat jelas. Pintu dua bukaan, jendela besar hingga tiang penyangga dan struktur kayu menghiasi seluruh bangunan ini. Bertembok struktur batu bata yang terlihat kokoh, ciri klasik bangunan ini juga terlihat dari struktur pondasi dan tembok bawah yang berupa susunan batu.

Berdiri di areal seluas 7.000 meter persegi ini, bangunan ini berbentuk persegi dengan dua bangunan utama, lapangan dan satu bangunan yang biasa disebut aula di bagian ujung selatan. Dua bangunan besar membujur dari utara ke selatan dan saling berhadapan. Bangunan sisi barat, memiliki tiga ruangan utama dan satu ruangan tanpa sekat lebih kecil di bagian selatan. Sementara pada bangunan sisi timur, terdapat tiga ruangan besar dan dua ruangan kecil di sisi utara.

Di antara kedua bangunan ini, terdapat sebuah ruangan beratap genteng dengan struktur kayu yang cukup luas. Sementara lorong-lorong dengan bentuk klasik terpantau dibangun untuk menghubungkan masing-masing bangunan ini. Areal yang lebih luas yang ada di tengah ketiga bangunan ini berupa tanah lapang yang ditanami sejumlah pohon.

”Sekolah ini dulunya hadiah dari Brimob untuk warga Plemahan karena tempat ini dijadikan markas Brimob untuk mengatur siasat untuk mengusir Belanda pada saat agresi militer Belanda tahun 1949,” ujar Sudarsono, Kepala Dusun Plemahan.

Brimob memberi dua pilihan bangunan kepada masyarakat Dusun Plemahan kala itu. Bisa dibangun sebuah pasar atau pendidikan. “Akhirnya masyarakat memilih sekolahan, hingga pada tahun 1965 akhirnya sekolah ini dibangun dan satu tahun kemudian sekolah tersebut mulai ada aktivitas belajar mengajar,” imbuh pria yang juga  komite SDN Banyuarang 1 tersebut.

Sebuah situs bahkan bisa ditemukan tak jauh dari sekolahan ini. Berupa prasasti yang dibuat 1993, untuk markas brimob lain yang kini sudah dirobohkan. “Jadi SD ini markas utamanya, terus ada pos lagi di sebelah selatan, dulu ada dua rumahnya, sekarang sudah tidak ada dan hanya tinggal prasastinya itu,” pungkasnya.

Sebagai situs yang bernilai sejarah bagi Brimob, SDN Banyuarang 1 berusaha untuk tetap berada pada bentuknya yang asli. Suasana klasik dan kuno ini bahkan membuat sekolah ini seringkali jadi pilihan untuk berbagai macam acara warga hingga pemerintahan.

Menurut Kepala SDN Banyuarang 1, Slamet Riyadi, sejak awal bangunan memang sudah berdiri seperti ini. Sekolahnya ini jadi sekolah yang punya nilai sejarah tersendiri.

“Belum ada perubahan, masih asli semua. Renovasi yang pernah dilakukan hanya menambah tinggi atap saja, itupun hanya menambah bata, karena kayu yang dipakai atap tetap kayu lama,” terangnya.

Alasannya, meski statusnya bangunan ini adalah bangunan sekolah, namun nilai sejarah dari bangunan lama disebutnya membuat hingga kini tetap dipertahankan. “Ya, dan kami juga memang berusaha menjaga warisan ini. Kan dulu juga dari kepolisian sempat juga meminta agar tidak dilakukan perubahan, selain dari warga dan sesepuh desa,” lanjutnya.

Bahkan karena keasliannya ini, sekolah yang dipimpinnya ini tak saja berfungsi sebagai sekolah. Beberapa warga seringkali menggunakan sekolah ini sebagai ajang rapat desa hingga kegiatan lain. “Kebetulan untuk aula terbuka itu kan memang nyaman ditempati, jadi sering memang orang desa rapat di sini. Suasananya enak katanya,” imbuhnya.

Selain itu, sekolahan ini juga jadi salah satu tempat wajib untuk napak tilas perjuangan Brimob tiap tahunnya. “Kalau pas November, ulang tahunnya Brimob ya pasti di sini dulu. Seperti tahun kemarin kan ada longmarch juga, sejak dulu pasti kalau yang ulang tahun itu,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Selamat kepada Pemenang Jombang Kota Toleransi Postcard Giveaway!

Njombangan mengucapkan selamat kepada para pemenang Jombang Kota Toleransi Postcard Giveaway . Kami mengangkat tema ini sebagai satu kampanye yang ingin kami gaungkan untuk mempromosikan Jombang sebagai kota toleransi. Ya, Jombang bisa menjadi panutan bagi daerah lainnya di Indonesia untuk menyebarkan semangat kebersamaan dan saling menghormati bagi semua masyarakat.

Selamat kepada Pemenang Njombangan Giveaway Januari & Februari 2019

Njombangan mengucapkan selamat kepada pemenang Njombangan Giveaway edisi:

 

Januari 2019: Astri Puspita Sukawardani – Sambong Dukuh

Saya berharap agar rasa cinta pada budaya bisa ditumbuhkan sejak dini. Dimana nantinya lebih banyak PAUD dan TK mengagendakan kegiatan seni tradisional sebagai salah satu acara rutin, maupun kegiatan ekstrakurikuler wajib.

 

 

Februari 2019: Vien Yulia Ambarwati – Kabuh

Agar masyarakat semakin mudah dalam proses pengurusan e-KTP.  Agar semua masyarakat tahu bahwa pengurusan e-KTP itu sebenarnya GRATIS! Tidak ada biaya admin kecuali untuk fotokopi dan bensin kendaraan bermotor. Itupun tidak akan lebih dari 25.000🙏

Agar tidak ada lagi Perangkat Desa yang nakal (pungli) terhadap masyarakat yg notabene tidak tahu apa” tapi pengen cepet. “Please, Ibu Bapak. Mereka jangan dibodohi!”🙏

 

Semua pemenang mendapatkan piala, piagam pemenang dan merchandise keren dari Njombangan.

Selamat yo Rek!

Selamat kepada Pemenang Lomba Parikan Januari & Februari 2019

Njombangan mengucapkan selamat kepada pemenang Lomba Parikan Online Njombangan edisi:

 

Januari 2019: Syamsul Maarif

Tuku karcis dhuwit receh

Karcis kapal karcis sepur

Anyar tahun rejeki akeh

Tetep kerjo akeh o syukur

 

 

 

Februari 2019: Anis Muflikhatur Rosidah

Sore-sore tuku bubur

Tukune nang Kota Batu

Tresnoku ora bakal luntur

Walopun kehalang jarak lan wektu

 

 

Semua pemenang mendapatkan piala, piagam pemenang dan merchandise keren dari Njombangan.

Selamat yo Rek!

Mentoro Kampung Martabak; Bisnis Turun Temurun, Tak Ada Bumbu Khusus

Jombang – Di Desa Mentoro, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, banyak warganya menekuni usaha kuliner, martabak. Tak heran, Desa Mentoro disebut ‘Kampung Martabak’.

Alfendi salah satu di antaranya. Lelaki kelahiran 1962 ini mengakui penjual martabak di Jombang mayoritas berasal dari Desa Mentoro. “Sampai-sampai dikenal punjere martabak Jombang,” kata Alfendi. 

Dia sampai tak hafal sejak tahun berapa warga setempat mulai berjualan martabak. Yang dia ingat sejak 1977 dia sudah mulai menekuni usaha itu sendiri. “Jadi dulu itu ikut orang di Surabaya. Kemudian buka sendiri 1977, waktu itu martabak harganya masih Rp 150,” imbuh dia bercerita.

 

Singkat cerita, dari tahun ke tahun kuliner yang berbahan dasar tepung terigu ini kemudian berkembang pesat. Alfendi bisa dikatakan merupakan dedengkot martabak di desa setempat. 

“Rata-rata sekarang yang jualan sendiri itu dulu ikut saya. Jadi setelah bisa, mereka kemudian buat sendiri,” papar dia. Martabak yang dijual pun seluruhnya sama. yakni martabak telur dan martabak manis atau lebih akrab dengan sebutan terang bulan. Meski sama, mereka punya pangsa pasar sendiri. 

Alfendi misalnya, meski saat ini sudah tak lagi berjualan, namun usahanya sudah sampai ke Surabaya. “Keponakan saya yang jual, saya tinggal menyiapkan keperluan bahan-bahannya,” tutur dia. 

Asfandi penjual lainnya juga mengakui puluhan warga Desa Mentoro merupakan penjual martabak. Tak peduli usia, baik anak muda hingga orang tua sampai sekarang masih tetap menjajakan panganan itu. “Kalau sore sekitar pukul 16.00 waktu mau berangkat itu kelihatan. Banyak sekali, kalau dihitung yang sehari-hari pulang itu ada 50 orang lebih,” sambung Asfendi.

Dia sendiri sudah berjualan sejak 1979. “Awalnya sama dengan yang lain ikut orang, di Tambaksari kemudian buka sendiri,” sebut lelaki usia 60 tahun ini. 

Dari banyaknya penjual martabak menurut dia, tak ada perbedaan atau martabak dengan ciri khas tertentu. Baik bumbu hingga adonan hampir sama semua. “Yang menjadi beda itu ada di rasa. Itu terjadi biasanya saat penyajian atau waktu masak. Istilahnya takaran dan ukuran yang pengaruh ke rasa, kalau yang lain saya kira tidak ada. Bumbunya sama semua,” pungkas Asfendi.

Kalangan anak muda di Desa Mentoro, Kecamatan Sumobito juga banyak yang tertarik berjualan martabak. Usman Efendi misalnya, pria usia 24 tahun ini mengaku sudah berjualan satu tahunan. “Awalnya ikut mas saya di Krian juga dari sini (Mentoro). Kemudian bisa buat sendiri, sekarang buka di Jombang,” kata Efendi. 

Menurut dia, warga yang sesuia dia berjualan di Jombang kota misalnya ada sekitar 15 orang. Lokasinya menyebar di beberapa tempat. Ada yang dekat pusat perbelanjaan hingga pinggiran jalan. “Minimal ada 20-30 orang yang masih muda jualan martabak. Jualnya ya mencar-mencar ada yang di Jombang, Mojokerto ada yang sampai Kalimantan,” imbuh dia. 

Meski banyak untuk menentukan lokasi kata dia, tak ada batasan dimana mereka berjualan. “Nggak ada, semua cari sendiri. Jalan-jalan cari lokasi kalau cocok jual di situ. Kebanyakan begitu, jadi tidak dibatasi siapa yang harus jualan di sini,” papar dia. 

Resep masing-masing penjual menurut dia, juga hampir sama. “Khasnya mungkin ada di bumbu keringnya itu. Soalnya lebih banyak rempah-rempahnya ada 15 macam, seperti jinten, cengkeh dan lainnya,” sebut Efendi. Dia sendiri berjualan di area Jombang kota. Biasanya berangkat sekitar pukul 16.00. 

Karena dikenal Kampung Martabak, tahun lalu warga  menggelar  Festival Martabak Desa Mentoro. Pesertanya mereka yang berjualan martabak di Jombang. “Baru tahun kemarin dimulai buat acara. Soalnya Mentoro katanya punjere martabak. Jadi pemudanya bikin acara festival martabak. Rencananya mau buat rutinan setiap Agustus,” pungkas Efendi. (*)

(jo/fid/mar/JPR)

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Download Sekarang: Buku Kompilasi Parikan Njombangan Tahun 2018

Njombangan dengan bangga mempersembahkan Buku Kompilasi Parikan Njombangan Tahun 2018. Buku ini merupakan kompilasi dari berbagai parikan berbagai bidang mulai dari kemerdekaan, kehidupan sosial, hari pahlawan, hari ibu dan lainnya yang merupakan peserta Lomba Parikan Online Njombangan 2018. Parikan yang termuat dalam buku kompilasi ini adalah yang sudah terpilih. Kami mengucapkan terima kasih atas semua keterlibatan dari Arek-Arek Jombang. Parikan ini mengandung pesan, lelucon dan nilai yang ingin disampaikan oleh mereka yang membuatnya untuk seluruh masyarakat Jombang, Jawa Timur dan Indonesia. Kami berharap agar buku ini dapat menjadi referensi untuk para pihak terkait dan menjadi sumber inspirasi bagi mereka. Matur nuwun.

 

Untuk download, silahkan klik di sini.

Download Sekarang: Buku Kompilasi Esai Pembangunan Njombangan Tahun 2018

Njombangan dengan bangga mempersembahkan Buku Kompilasi Esai Pembangunan Njombangan Tahun 2018. Buku ini merupakan kompilasi dari berbagai esai dengan tema Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang merupakan peserta Lomba Esai Pembangunan Njombangan (LEPEN) 2018. Esai yang termuat dalam buku kompilasi ini adalah yang sudah terpilih. Kami mengucapkan terima kasih atas semua keterlibatan dari Arek-Arek Jombang. Esai ini menjelaskan berbagai ide cemerlang dari masyarakat Jombang. Kami berharap agar buku ini dapat menjadi referensi untuk para pihak terkait dan menjadi sumber inspirasi bagi mereka. Matur nuwun.

 

Untuk download, silahkan klik di sini.

Kreatifitas Mardiyah Solekati dalam Tali-Temali untuk Beragam Asesoris

JOMBANG – Seutas tali bisa dibentuk menjadi aksesoris yang menarik. Mardiyah Solekati, membuat aksesoris berbahan dasar xuping dan tali yang dirangkai menjadi gelang dan kalung.

Beberapa waktu lalu, Jawa Pos Radar Jombang berkunjung ke rumahnya. Suasana pagi yang begitu sejuk, setelah diguyur hujan, tak mebuat Mardiyah Solekati berdiam diri. Namun, tangannya terus bergerak merangkai seutas tali. Tangannya berkreasi dengan dua tali yang dirangkai menjadi sebuah karya seni berupa gelang. 

“Saya memang hobi dan suka membuat aksesoris dari dulu, jadi ada saja yang dibuat, daripada santai tidak ada hasilnya lebih baik dimanfaatkan,” ujar Diah Sello panggilan akrabnya.

Di ruang tamu rumahnya di Dusun/Desa Senden, Kecamatan Peterongan ini, ada sebuah etalase yang penuh dengan manik-manik serta hasil karya yang sudah jadi. Tidak hanya gelang, tapi juga kalung, bros, giwang atau anting-anting, hingga toples hias juga dibuatnya. 

Kali ini koleksinya yang paling banyak adalah gelang, alasan ia membuat gelang cukup simpel, yaitu mengikuti zaman. “Sekarang sedang musim gelang tali jadi saya buat itu, kalau nanti ganti musim lagi ya ganti lagi karyanya,” jelasnya. 

Gelang dibuat memang berbahan dasar dua tali, bisa satu warna atau dua warna, di tengahnya diberi aksesoris berwarna emas atau manik-manik yang ia beli di Gudo. Tali sepanjang dua meter tersebut dirangkai menjadi berbagai macam motif dan bentuk. Ada tali simpul, ada tali kepang, ada sumpul A dasar dan ada parakot. Tali simpul membutuhkan tali dua kali lipat lebih panjang, sedangkan tali parakot yang paling banyak peminatnya. 

“Saya menyesuaikan dengan pesanan saja. Tapi banyak yang pesan tali parakot,” imbuhnya. Tak butuh waktu lama tangan Diah untuk belajar membuat gelang dari tali. Ia hanya membutuhkan referensi youtube dan google, sisanya dikreasikan sesuai keinginannya sendiri. Seperti menambahkan manik-manik di tengah-tengah rangkaian talinya, atau membentuk tali yang tadinya gelang diperpanjang menjadi sebuah kalung. 

Bahkan ada yang bisa memesan sesuai dengan model yang diinginkan. Seperti manik-manik diganti dengan emas sungguhan dan lain sebagainya. “Ada yabg bawa emas dari rumah minta dirangkaikan talinya, kalau kalung banyak juga peminatnya, karena fleksibel bisa dipanjang-pendekkan, bentuknya juga unik dan jarang ada yang punya,” tambah Diah.

Tidak hanya sebagai penyalur hobi saja, tapi asesoris yang dibuat juga dijual. Ia menggunakan media sosial untuk memasarkan karyanya. Kadang juga mengikuti sejumlah bazar seperti yang ia ikuti di Hotel Yusro Jombang pagi ini (23/3). Harga gelangnya juga lumayan, mulai dari Rp 35 ribu hingga Rp 135 ribu tergantung kerumitan gelang yang dibuat. 

“Kalau saya ikut bazar tidak hanya menjual tapi juga belajar membuat karya lain dari orang lain, soalnya saya suka berkreasi jadi suka juga nambah ilmunya,” pungkasnya. (*)

(jo/wen/mar/JPR)

 

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Badri, Sang Penjaga Kesenian Kentrung Jatimenok

JOMBANG – Badri, seniman asli Jombang kelahiran tahun 1938 ini adalah satu-satunya pelaku kesenian kentrung yang hingga kini masih bertahan di Jombang. Di rumahnya di Dusun Jatimenok, Desa Rejosopinggir, Kecamatan Tembelang Jombang, ia masih menyimpan benda bersejarah yang pernah jadi ujung tombak perekonomian keluarganya tersebut.

Tak ada nama khusus untuk keseniannya ini, namun dirinya seringkali menyebut kelompoknya sebagai kentrung muda. “Kentrung muda ini saya sesuaikan dengan kondisi saya waktu itu, saat pertama memegang kesenian ini, usia saya masih belum sampai 20 tahun, setelah bapak saya meninggal dunia,” jelas Badri saat ditemui di kediamannya kemarin.

Menurutnya, kesenian ini sebenarnya berasal dari bapaknya yang bernama Sanawi yang sebelumnya memimpin kelompok kentrung ini. Ayahnya sendiri mendapatkan kemampuan melakonkan kesenian ini setelah beberapa tahun ikut dalam kelompok kesenian sejenis di luar kota. “Bapak saya ini kan memang dulu ada masalah dengan penglihatannya, tapi saat mendengar kesenian ini main pertama kali di sini, akhirnya beliau tertarik dan kemudian belajar dengan cara ikut nyantrik (belajar dengan mengabdi ke guru) kentrung asal Nganjuk,” lanjut pria berusia 80 tahun ini.

Awalnya kesenian ini dijajakan dengan mengamen dari satu daerah ke daerah lain. Daerah yang dipilih menurutnya tergantung musim panen dan wilayah yang dianggap ramai pengunjung. “Dulunya ya ngamen mas, kadang-kadang sampai Sidoarjo juga sana, tapi kemudian kita lama-lama terbiasa dengan undangan karena sudah mulai punya nama. Namun sekarang tidak pernah main sama sekali,” imbuh bapak lima orang anak ini. 

Sedangkan untuk personel, biasanya kesenian ini dilakukan empat sampai lima orang dengan tugas yang berbeda-beda. “Empat orang, atau kadang-kadang juga lima, saya di bagian kendang besar sekaligus dalangnya, yang lain biasanya wanita bagiannya memukul rebana dan alat pukul lainnya, bahkan salah satu pemukul rebananya juga istri saya sendiri,” sambung Badri.

Meski cukup sederhana, Badri menyebut pertunjukan ini juga bisa berlangsung semalam suntuk. Meski di akhir-akhir pementasan kini, pertunjukan biasanya hanya berlangsung setengan malam. “Dulunya memang semalam suntuk kayak wayang begitu, tapi lama kelamaan memang makin pendek, kan cerintanya juga bisa dipanjangkan bisa juga dipotong sebenarnya, jadi kita bisa saja menyesuaikan,” ujarnya.

Kentrung sendiri merupakjan sebuah kesenian yang berpaku mada musik dan cerita. Sepanjang pertunjukan, pemain kendang yang biasanya juga berlaku sebagai dalang akan menceritakan kisah-kisah baik kisah bernuansa Islam, cerita tradisional hingga cerita panji. “Memang kesenian ini sebenarnya unik, meski bentuknya pertunjukan yang menyajikan cerita lakon, namun tak seperti pada ludruk, wayang topeng hingga teater, semua cerita hanya diucapkan dalang tanpa satu pun alat peraga baik berupa wayang atau apapun,” sambung Nasrul Illah Budayawan Jombang dalam suatu sesi wawancara dengan Jawa Pos Radar Jombang. 

Dalam pertunjukannya, kesenian ini biasanya digunakan untuk melayani hiburan dalam beberapa hajatan. Selain itu, di beberapa kegiatan lain seperti ritual wiwit ( memulai masa tanam, Red) hingga pemenuhan nazar, kesenian ini juga seringkali dipentaskan. Sedangkan, cerita yang dipentaskan, biasanyajuga menyesuaikan dengan jenis pentas yang sedang berlangsung.

“Biasanya cerita juga akan menyesuaikan penanggapnya, kalau memang sedang wiwit akan pakai cerita Dewi Sri, atau mungkin acara lain pakai cerita panji kadang-kadang dan yang paling sering biasanya memang cerita nabi atau juga detita Angling Darma dan Aji Saka,” lanjutnya.

Meski kini Badri  sangat menguasai pertunjukan kentrung yang telah dimainkannya lebih dari 50 tahun dalam hidupnya,  ternyata Badri malah belajar banyak dari sang istri Sarmini tentang bagaimana bermain pertunjukan kentrung dengan benar. 

“Bapak itu dulu malah awalnya tidak bisa apa-apa, meski memang sudah bisa menabuh kendang sejak kecil, namun saat pertama memegang kenrtung ini dia tidak bisa jadi dalang, ceritanya saja tidak hafal,” ucap Sarmini saat menemani suaminya di rumahnya.

Maklum saja, Sarmini memang terhitung lebih lama ikut kesenian kentrung ketimbang Badri. Semenjak kesenian ini dipegang bapaknya Badri, Sarmini memang telah berposisi sebagai penabuh rebana. “Jadi memang dulu saya yang lebih hafal caranya bertutur dan bercerita karena memang saya kan ikut lebih dulu, saat masih dipegang Pak Sanawi saya sudah jadi panjak (penabuh,Red),” lanjut.

Hal inipun diakui Badri, dirinya kemudian bercerita bagaimana awalnya dirinya bisa memimpin kesenian ini. Awalnya, kesenian ini memang dijalankan sendiri oleh bapaknya. Namun  setelah bapaknya meninggal dunia, praktis tak ada lagi yang bisa meneruskan kesenian ini selain dirinya. “Saat itu saya beru tamat sekolah SMP, ya memang mau tidak mau saya harus bisa, beruntung saya sudah bisa main kendang, itu modalnya awal,” ucapnya.

Saat pertama kali tanggapan dirinya masih ingat betul bagaimana kondisinya. Ia mengaku kala itu sedang tak siap untuk bermain, namun keadaan sangat memaksa mengingat Sanawi sudah terlanjur mengiyakan untuk tampil dalam sebuah acara nadzar, namun dirinya meninggal beberapa hari sebelum pementasan dilakukan. 

“Itu di Tembelang tanggapan pertamanya, untung saja yang nanggap ini mengerti dan hanya ngomong: gowo en ae bekakasmu nang omah nak, pokok e awakmu teko, soale wes kadung ujar (bawa saja alatnya kerumah saya nak, yang penting kamu datang saya sudah terlanjur bernadzar),” ucap Badri menirukan penanggap keseniannya.

Setelah pertunjukan pertama itu, disebutnya dirinya harus berlatih keras. Beberapa cerita yang diwariskan ayahnya pun harus pelan-pelan ia pelajari. “Bahkan karena dulu saya masih belum hafal, masih harus menulis dan membaca teksnya,” lanjutnya.

Namun, setelah dirinya menguasai kesenian ini, dirinya juga tak terlalu saklek menjalankannya, Badri mengaku seringkali harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam pertunjukannya agar penonton tak jenuh. “Misalnya tentu dengan lawakan yang tetap segar, selain itu juga beberapa adat saklek seperti ritual sebelum pertunjukan serta uba rampe (sesajen, Red) juga kita akhirnya pasrah, tidak harus ada, dan terserah yang punya hajat saja,” lontarnya.

Alat berdebu, berbunyi tak nyaring serta beberapa bagian utama yang terbuat dari kulit telah terlihat menjamur. Itulah pandangan saat Jawa Pos Radar Jombang mendatangi rumah Badri untuk memintanya memainkan kembali alat musiknya.

Badri menyebut, hal ini sangat wajar mengingat alat musikya ini memang telah bertahun-tahun   tak pernah lagi dimainkan. Sudah sejak sewindu lalu, Badri berharap ada undangan pementasan keseniannya ini namun tak juga bersambut baik. “Terakhir pentas sudah delapan tahun lalu mungkin mMas, terakhir juga di nazaran warga di desa sini juga kok,” ucapnya.

Kondisi ini tenu berbanding terbalik dengan 20 hingga 30 tahun lalu, saat kesenian miliknya ini masih jadi primadona. Badri menyebut, saat itu dirinya bahkan tak sempat pulang karena banyaknya undangan pementasan yang ia terima. “Kalau di tahun 65-70an dulu, saya sendiri satu bulan bisa sampai 15 kali pentas di banyak tempat Mas. Waktu itu sudah kayak nggak mau tampil lagi saking capeknya karena pertunjukannya kan semalam suntuk,” sambungnya.

Belum lagi dengan banyaknya sambutan dari pemerintahan saat itu, Badri memang di era keemasannya seringkali diundang untuk sekedar mementaskan keseniannya ini di kawasan kota. “Di pendopo pernah, di Pasar Legi juga pernah, bahkan pernah diajak ikut festival juga di Banyuwangi dan Madiun dan banyak tempat lah. Itu saat zamannya pak Hudan Dardiri  bupatinya,” lontarnya sembari mencoba mengingat.

Namun  kini, minimnya undangan memaksanya menyimpan rapat-rapat alat yang sempat membawa namanya moncer hampir seantero Jawa Timur ini. Beberapa alatnya pun kini juga kondisinya sangat berdebu, saat ditunjukkan kepada wartawan koran ini, bahkan kendang milik Badri yang jadi musik utama pun harus terlebih dahulu mendapatkan sentuhan sebelum akhirnya bisa dipakai kembali. “Harus dikencangi dulu mas, kalau gitu tidak bisa dipakai, suaranya jelek,” lanjutnya.

Selain minimnya perhatian dari pemerintah kini hingga tanggapan dari masyarakat yang telah tak ada, yang lebih dipusingkannya tentu saja regenerasi. Sebagai satu-satunya kesenian kentrung yang kini bertahan di Jombang, Badri memang tak memiliki penerus dalam hal bermusik kentrung. “Sampai sekarang tidak ada penerusnya, anak-anak saya juga memilih bekerja di luar semua. Jadi kalau saya meninggal mungkin kesenian ini jua akan punah,” ucapnya.

Karena itu, meski mengakui terkuburnya kentrung sebagai hal yang wajar dengan gempuran kebudayaan modern. Dirinya tetap berharap ada anak-anak muda kini yang mau belajar mengenal kesenian ini. “Ya tentu kepingin sekali ada yang belajar, paling tidak, ada yang mengenal lagi dan bisa memainkan, ini kan budaya kita sendiri tentu akan sangat sayang kalau punah begitu saja,” pungkasnya. (*)

(jo/riz/mar/JPR)

 

 

Article courtesy: Radarjombang.jawapos.com

Photo courtesy: Radarjombang.jawapos.com