M Romandhon MK Pegiat Budaya “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu hidup dengan budaya keseniannya” (Lao Tzu). Betapa pentingnya sebuah budaya sebagai identitas bangsa. Ludruk, kesenian khas Jawa Timur, adalah satu dari sekian banyak budaya bangsa. Dilihat dari akar historisnya, kesenian ini lahir dari bentuk perlawanan kaum kelas bawah (proletariat) terhadap kekuasaan penjajah. Sebelum Indonesia merdeka, pertunjukan ludruk menjadi media propaganda yang efektif untuk melawan tirani. Karena alasan itulah, ludruk menuntut dan membentuk aturan bahwa semua pemainnya adalah kaum laki-laki, meski dalam pemeranannya ada tokoh wanita. Untuk menyiasati itu, maka tokoh perempuannya diperankan oleh wedo’an (pria yang berdandan layaknya perempuan dalam pementasan ludruk). Ketidakterlibatan perempuan dalam aksi panggung ludruk, bukan berarti sengaja ingin menciptakan hierarki di tubuh ludruk. Namun, alasan ini lebih dititikberatkan pada keadaan yang tidak berpihak pada perempuan.
Dalam situasi perlawanan saat ludruk lahir, pementasan membutuhkan kekuatan laki-laki walaupun pada perkembangannya, kesenian ini sudah ada yang memakai peran wanita asli. Ludruk memiliki kecenderungan egaliter kerakyatan yang tidak membedakan status sosial. Selain itu, ludruk juga menjadi media penyampaian pesan moral, kerukunan, persatuan, dan kesatuan serta penanaman rasa nasionalisme bagi generasi muda, khususnya masyarakat Jawa Timur. Seiring dengan peralihan zaman, ludruk pernah mengalami masa kejayaan, terutama pada masa Orde Lama. Pada masa Soekarno, apresiasi pemerintah saat itu sangat baik terhadap pelestarian dan pengembangan kesenian-kesenian tradisional, termasuk ludruk yang menjadi corong identitas masyarakat Jawa Timur. Saat itulah, keberadaan ludruk mendapat angin segar dan lebih bebas berkreasi. Akan tetapi, memasuki era 1970-an yang ditandai dengan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto (Orde Baru), justru respons pemerintah sangatlah buruk. Bahkan pada rezim Orde Baru, kesenian ludruk sempat dilarang dan diberhentikan. Hal ini karena ludruk dianggap sebagai media propaganda penyebaran ideologi Komunis atau corong PKI. Memang tak bisa disangkal antusiasme PKI (komunis) terhadap kesenian-kesenian rakyat sangatlah tinggi. Termasuk juga seperti kesenian tayuban khas masyarakat Bojonegoro. Imbas dari semuanya itu, kesenian tayuban pun juga mendapatkan pencekalan oleh rezim Orde Baru. Kondisi ini juga digambarkan sastrawan Ahmad Tohari dalam novelnya Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Bagaimana proses peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru secara nyata telah ‘membunuh’ kesenian-kesenian tradisional di negeri ini. Imbas dari larangan pemerintah terhadap ludruk tersebut, mengakibatkan kesenian tradisi ini sempat mengalami kevakuman dan citranya pun menjadi buruk di mata publik. Beberapa waktu kemudian, ludruk pun bangkit lagi di bawah pengawasan militer, namun perjuangan yang gigih para pemain ludruk mencoba untuk lepas dari pengawasan. Momok Kesenian Ludruk Dulu, ada kelompok ludruk keliling dari kampung ke kampung di saat musim kemarau, setelah panen tiba. Mereka mendirikan tobong (gedung dari anyaman bambu) di tanah lapang.
Biasanya para penduduk datang berbondong-bondong setelah mendengar siaran ludruk akan digelar. Akan tetapi, setelah berkembangnya teknologi, listrik masuk desa, dan adanya televisi, lambat laun ludruk tobong semakin tergeser dan berada pada ambang kepunahan. Inilah yang sesungguhnya menjadi momok yang menakutkan bagi keberlangsungan kesenian ludruk. Paradigma masyarakat yang sudah telanjur dicekoki budaya konsumerisme dan pragmatisme dengan mengatasnamakan modernitas seolah menjadi frame baru di bawah alam sadar masyarakat. Akibatnya, kesenian-kesenian tradisional dianggap sebagai sesuatu ndeso, kolot, dan identik dengan kebodohan. Terbukti sampai saat ini hanya berapa gelintir budaya asli bangsa ini yang masih dilestarikan, selebihnya masyarakat justru menganut budaya Barat, yang sebenarnya tidak diketahui asal-muasalnya. Salah satu kelompok ludruk yang bisa ditemui dan masih bertahan dengan napas ngos-ngosan di Surabaya, adalah ludruk di bawah pimpinan Sunaryo Sakiah. Pertunjukannya memakai gedung bekas bioskop di Jalan Pulo Wonokromo. Gedung ini tidak gratis karena Sunaryo harus membayar sewa Rp 8 juta setahun. Meski demikian, bukan berarti ini menyurutkan semangat pementasan tradisi ludruk yang kian termarjinalkan. Bisa dibayangkan, dalam pentas ludruk di bawah pimpinan Sunaryo, setiap malamnya itu hanya ditonton 5-7 orang. Hari panen mereka adalah hari Minggu. Penonton bisa mencapai 30-40 orang. Dengan harga tiket Rp 4.000 bisa dihitung berapa penghasilan pelaku kesenian rakyat ini. Peminat yang paling banyak adalah mereka yang ingin membuat penelitian tentang kesenian rakyat dan mereka yang penasaran dengan cara hidup pemain ludruk yang penghasilannya sangat tipis. Makin tahun, perhatian pemerintah makin menipis. Tentu sah-sah saja jika alasannya ada banyak hal lain yang harus dipikirkan dan dikembangkan agar Surabaya benar-benar menjadi kota metropolitan yang mengagumkan.
Apresiasi pemerintah yang rendah ini menjadi momok tersendiri bagi ludruk. Mimpi buruk memang setiap saat dapat terjadi. Toh, pada kenyataannya masyarakat memang menjauh dari kesenian tradisional. Masyarakat sudah memiliki stempel sendiri tentang ludruk sebagai tontonan yang sudah usang dan katrok. Disadari atau tidak, nasib kesenian Indonesia sekarang sedang di ambang kehancuran. Bukan tidak mungkin mahasiswa dan pelajar masa kini tidak lagi mengenal ludruk. Benar kata Cak Kartolo dalam sebuah bincang-bincang tentang ludruk. Cara untuk mengangkat pamor ludruk bukan dengan adu argumentasi atau seminar melainkan nanggap ludruk. Semakin sering ditanggap, ludruk makin eksis. Semakin sering tanggapan, para pemain ludruk makin lega karena penghasilan yang harus dibagi untuk semua pemain dan niyaga bisa diharapkan. Anda mau nanggap ludruk? Segeralah sebelum kesenian rakyat ini gulung tikar.n
Penulis: –
Article courtesy: Tribunnews.com
Photo courtesy: Indonesiakaya.com